Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Perawan Gila

"A-a-apa?"

Vonda menyeringai lebar. Suara terbata si cowok justru menyulut keberanian dalam dirinya untuk semakin membara. Membuat ia kian beranjak dari kursi penumpang yang semula didudukinya.

Vonda semakin mendekati cowok itu. Dengan posisi tubuh yang setengah merangkak, bertumpu pada kedua lutut di atas kursi penumpang, Vonda kian mengikis jarak. Wajah cowok itu terlihat syok dan penuh antisipasi.

"Mbak, eh? Ini mau ngapain?"

Mata Vonda bergerak dengan liar. Terlihat meneliti wajah tampan di depannya. Ia bergumam rendah seraya memamerkan pundak yang mulus.

"Saya cantik kan Mas?"

Glek!

"Cantik nggak, Mas?"

"Ehm ... itu ...."

Kring!

Dering ponsel membuat fokus cowok itu teralihkan. Begitu pula dengan Vonda yang tampak kebingungan.

"Itu bukan nada dering ponsel saya."

Cowok itu berusaha menarik diri. "Ponsel saya, Mbak. Saya mau angkat dulu."

Perkataan tersebut membuat Vonda menarik tangannya dari wajah cowok itu, tapi bukan berarti dia akan menggeser tubuhnya. Nyatanya Vonda masih mempertahankan posisi setengah merangkaknya.

Merogoh saku celana dengan gemetaran, cowok itu berusaha mengambil ponsel dalam keadaan yang terbatas. Dan ia tidak merasa heran saat mengetahui siapa yang menghubunginya.

Lucas Ferdinand is calling ....

Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Mas."

Vonda menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tetap menjaga kesadarannya yang semakin lama terasa kian berat.

"Max, kamu di mana? Sampai pesta berakhir kamu nggak ada."

Sial! umpat cowok itu di dalam hati.

"Mas, aku bukannya nggak mau datang. Sumpah! Aku udah di jalan. Tadi aku udah sampai ke hotel, tapi mendadak sa—"

"Mas."

Desahan Vonda memutus perkataan cowok itu.

"Mas udahan yuk neleponnya," desah Vonda lagi. "Katanya kita mau kuda-kudaan di dalam mobil. Mumpung jalan lagi sepi."

What?!

Cowok itu meneguk ludah.

Cewek ini beneran gila!

"Ehm .... Maxwell Ferdinand."

Suara Lucas di seberang sana membuat Max tersadar akan gentingnya situasi saat itu. Tentu saja orang-orang akan salah paham akan perkataan Vonda barusan.

"Aku sama sekali nggak tau kalau kamu sedang sibuk dengan—"

"Mas, nggak kayak gitu."

"Mas." Vonda mendesah lagi. "Apa kita ke unit aku aja?"

Shiiit!

"Oke, Max. Aku kasih pengecualian kali ini."

Max panik. "Mas Lucas! Mas! Mas—"

Tit!

Panggilan berakhir.

Max dengan geram meremas ponsel beberapa saat sebelum membuangnya asal ke dashboard. Ia berpaling pada Vonda.

"Mbak ini beneran gila ya?" tanyanya geram. "Mbak tau siapa yang nelepon saya tadi itu?"

Polos, Vonda geleng-gelengkan kepalanya.

"Bukan Ando kan?" tanya Vonda terkikik geli dan Max memejamkan matanya dengan dramatis.

"Ya ampun. Apa ada petugas bea cukai yang sakit hati pas urus mobil ini ya?" tanya Max dengan membuka mata kembali dan melihat kesal pada Vonda. "Kenapa baru dipakai sekali, aku justru langsung ketemu cewek gila yang lagi mabuk?"

Vonda jelas mengabaikan gerutuan Max. Terbukti. Lantaran ia justru melayangkan pertanyaan dengan wajah tanpa dosa. Ekspresi yang sukses membuat Max melotot.

"Terus siapa?"

"Itu sepupu saya. Dia paling dekat dengan Mama saya dan Mbak tau apa akibat yang bisa ditimbulkan oleh desahan Mbak tadi?"

Vonda menggeleng dan ia memukul kepalanya sekali. "Mas, udah dong ngobrolnya. Kita main kuda-kudaan aja."

Kedua tangan Max meremas kemudi dengan penuh rasa geram. "Ya Tuhan. Ngapain saya main kuda-kudaan kalau saya ada mobil?" Max makin melotot. "Mbak ini bener-bener buat saya habis kesabaran."

"Huh!"

Vonda mendengkus dengan kasar.

"Memangnya Mas aja yang habis kesabaran?!" balas Vonda. "Saya juga udah habis kesabaran dari tadi!"

Setelah mengatakan itu, Vonda menarik tangan Max tanpa peringatan sama sekali. Membuat Max mengerjapkan mata sekali, sebelum merasakan bagaimana bibir Vonda mendarat di bibirnya.

Max melotot. Vonda benar-benar mencium cowok yang tidak dikenalnya dengan penuh keberanian hingga bisa membuat semua orang gila di muka bumi ini kehilangan muka.

"Gimana, Mas?" tanya Vonda tersenyum seraya menarik sebentar ciumannya, tampak menikmati raut terperangah Max yang membeku kaku. "Saya cium lagi ya?"

Max berusaha untuk menenangkan diri. Gelagapan, ia berusaha untuk bicara. Namun, Vonda kembali bertindak.

Bibir Vonda kembali menyapa Max. Dan nahas! Kali ini bukan hanya sekadar sentuhan bibir belaka. Bukan sekadar ciuman biasa.

Vonda memanfaatkan situasi di mana Max berniat untuk bicara. Sontak, lidahnya menyelinap di antara dua bibir cowok itu

Max terkejut, tapi Vonda terlalu cepat dan langsung memanggut bibirnya. Melumat dan mencium dirinya, seolah-olah bahwa itu adalah hal yang pantas untuk ia lakukan.

Bibir Vonda bergerak dengan irama yang tidak teratur sebenarnya. Terburu-buru dan terasa kaku, tapi tetap saja. Hal tersebut pelan-pelan memercik api di tubuh Max.

Max merasakan tangan Vonda naik dan menangkup rahangnya di satu sisi. Memberikan satu usapan lembut dan Max mendengar suara erangan Vonda.

Ciuman.

Sentuhan.

Erangan.

Max memejamkan mata.

Ini cewek beneran gila atau udah nggak punya otak sih?

Namun, Vonda benar-benar menciumnya. Semakin dalam mencium dirinya hingga membuat Max merasa napasnya kian sesak.

Tangan Max kemudian naik. Mencengkeram tangan Vonda yang berada di wajahnya. Membuat cewek itu terkesiap dan langsung menarik ciumannya. Mata Vonda menatap bingung pada Max.

"Mbak tau apa yang Mbak lakukan?" tanya Max. Memalukan, tapi ia bahkan bisa merasakan suaranya yang terdengar berat saat itu.

Yang benar saja. Aku ini cowok normal.

Vonda menatap wajah Max. Memulas satu senyuman beraura misterius dan ia menjawab lirih dengan napas hangat yang membelai wajah Max.

"Tau kok, Mas. Saya mau Mas bantu saya lupain rasa sakit hati saya." Mata Vonda mengerjap sekali. "Saya juga wanita normal. Saya nggak mau ngapa-ngapain sama mantan saya, bukan berarti saya nggak bisa ngapa-ngapain. Entah kenapa, tapi saya memang nggak mau aja melakukannya sama dia."

Glek!

"Te-terus Mbak malah mau melakukannya sama saya?"

Vonda mengerjap kembali, tapi ia tidak menjawab. Melainkan kembali menarik wajah Max. Vonda memberikan jawaban dalam bentuk satu ciuman. Membuat Max menggeram.

Vonda semakin menggebu. Menuntut dan menekankan bibirnya pada bibir Max. Tak peduli penolakan yang terjadi hingga Max benar-benar semakin tersudut saat berusaha menarik dirinya.

Vonda kian berani mencondongkan tubuhnya. Sampai pada satu titik, ciuman Vonda terlepas dan bibir cewek itu meleset. Menyapu rahang Max yang baru saja dicukur demi datang ke pesta dengan bibirnya yang terbuka. Hangat dan basah mulut Vonda memberikan jejak di kulit cowok itu. Membuat Max seketika meremang dan tangannya pun bergerak.

Vonda terkesiap. Menyadari Max sudah meraih kedua lengan atasnya dengan kuat. Cowok itu terlihat menggeram.

"Jangan salahkan saya kalau pada akhirnya saya benar-benar ajak Mbak kuda-kudaan di sini."

Senyum Vonda mengembang. "Itu memang kemauan saya, Mas."

Untuk terakhir kalinya, Max melihat mata cewek asing di hadapannya itu. Cantik dengan pipi yang merona. Entah karena mabuk atau gairah. Mungkin karena keduanya. Cewek asing yang meminta dirinya untuk membantunya melupakan rasa sakit hati.

Gila! Aku nggak bermaksud jadi malaikat yang memberikan kebaikan hati untuk berhubungan badan dengan dia kan? Ini sebenarnya masalah atau pahala?

Max mencoba untuk bertahan. Ia tidak mungkin melakukan hal seperti itu pada cewek asing. Terlebih lagi melakukannya di pinggir jalan.

Oh, yang benar saja! Seumur-umur, Max tidak pernah melakukan hal seperti itu di pinggir jalan. Risiko malu tepergok orang lewat lebih besar daripada rasa kenikmatan yang membayang. Cuma ....

Setiap orang memiliki batas pertahanannya. Max pun bisa merasakan bagaimana ciuman Vonda membuat pertahanannya runtuh. Memalukan, tapi ia akhirnya bergerak.

Vonda terkejut ketika mendapati Max maju dan mencium dirinya dengan beringas. Namun, keterkejutan tersebut langsung tergantikan oleh kepasrahan. Tatkala Max mendekat usai melepas sabuk pengamannya dan mendesak tubuhnya untuk kembali duduk di kursi penumpang, Vonda tidak menolak sama sekali.

Max memainkan bibirnya di bibir Vonda. Melumat dan juga mengecupnya. Bergantian dan berulang kali hingga menimbulkan suara berdecak.

Vonda mendesah. Tepat di saat Max melepaskan ciuman dan membawa bibirnya untuk menyusuri rahang Vonda.

Terengah-engah, Vonda mengangkat dagunya. Membiarkan Max untuk bisa menyapu sepanjang kulitnya di bagian leher ... lalu terus mencumbu di sana. Vonda meremas rambut hitam cowok itu. Cumbuan Max di lehernya membuat ia terbuai.

Vonda memiliki leher jenjang yang cantik. Membuat Max tergoda untuk semakin lama bermain-main di sana. Mencium dan mengisapnya berulang kali. Menarik erangan Vonda untuk melantun seiring dengan melengkungnya tubuh cewek itu ke arah Max. Seolah-olah ingin menawarkan lebih banyak lagi.

Max melepaskan kulit leher Vonda yang diisap basah oleh mulutnya. Menatap bekas kemerahan di sana. Bekas yang sangat seksi dan lidah Max terulur. Membelai bekas kemerahan itu hingga Vonda merasa kepalanya semakin pening.

Satu tangan Max menyusup ke balik punggung Vonda, menarik tubuh ramping cewek itu untuk semakin mendekat. Seiring dengan pergerakan tangan Max yang lainnya, menuju pada tepian gaun Vonda di seputaran dada, menariknya pelan. Lantaran ia yang terpancing untuk merasakan kulit Vonda di tempat-tempat lain. Di sekitaran tulang selangka, di pundaknya, dan di mana-mana.

Max menaburkan beberapa ciuman di sana. Lalu menarik kembali tangannya. Membuat gaun itu turun dan menampilkan bagian intim dari tubuh Vonda.

Mata Max menggelap. Gundukan lembut payudara Vonda menyembul dengan begitu menggoda. Dan Max tidak membuang-buang waktu untuk memberi sapaan pertamanya di sana.

"Oh."

Desahan Vonda mengalun. Ia memejamkan mata saat payudaranya dicumbu oleh Max. Remasan tangannya di rambut Max semakin kuat tatkala cowok itu menggoda puncak payudara dengan ujung lidahnya.

Sekarang giliran Max yang menggeram, menarik tubuh Vonda. Ia membawa cewek itu mendarat di pangkuan saat dirinya memutuskan untuk kembali duduk di kursinya. Dengan cepat ia melepas sepasang sepatu hak Vonda dan membiarkan kedua kaki jenjang itu mengapit dirinya.

Tangan Max bergerak. Semakin menarik turun gaun dan Vonda mengeluarkan kedua tangan dari lengan gaun sabrina itu.

Gaun teronggok di sekitaran perut Vonda. Kedua payudara Vonda terpampang polos di pandangan mata. Max membawa kedua tangan mendarat di payudara itu dan meremasnya dengan gemas.

"Astaga, Mas."

Vonda membanting kepala ke belakang. Menikmati remasan tangan Max pada payudaranya. Tak hanya itu, mulut Max pun kembali beraksi. Mengulum, menjilat, dan melakukan semua kenakalan yang membuat erangan Vonda semakin mengalun tanpa henti.

Max menggeram. Mengisap puting payudara Vonda membuat ia merasa pening. Membuat ia ingin merasakannya berulang kali. Dan itulah yang ia lakukan.

Max melakukan semua apa yang ia inginkan. Hingga setiap tindakannya menerbitkan reaksi Vonda. Respon alamiah yang membuat Max bergerak semakin liar.

Percikan gelora terasa semakin nyata. Max sadar dirinya benar-benar terangsang. Terutama ketika ia menyadari bahwa Vonda yang mengerang bukanlah wanita pasif. Nyatanya Vonda membawa tangannya untuk membelai dada, mengusap rahang, dan semua yang dilakukannya semakin menyulut api gairah Max.

Vonda mendorong jas yang dikenakan oleh Max. Cowok itu beranjak cepat untuk benar-benar melepaskan jas yang membuat ia merasa sulit untuk bergerak. Melemparnya asal dan jas mendarat entah ke mana.

Jari lentik Vonda bergerak. Membuka dengan terburu-buru deretan kancing di kemeja sementara Max menariknya dari dalam celana. Sedetik kemudian kemeja itu pun bernasib sama dengan jasnya.

Vonda mendekat. Meraba dada bidang Max dan mencium di sana. Max memejamkan mata. Menikmati sentuhan lembut Vonda dan menyadari bahwa ia menyukai cara cewek itu menyentuhnya. Lembut dan terasa ada kesan hati-hati di sana.

Namun, satu pemikiran kembali melintas di benak Max. Membuat ia menahan tangan Vonda. Menatap cewek itu dan bertanya untuk yang terakhir kalinya.

"Mbak serius?"

Vonda pun kembali mendekat. Dengan penuh kesengajaan menyentuhkan kedua payudaranya ke dada Max hingga cowok itu terpaksa menggeram karenanya.

"Saya serius banget, Mas."

Max mengeraskan rahang. Mendorong Vonda untuk sedikit bangkit dari pangkuannya sementara ia mengeluarkan dompet dari saku celananya. Vonda hanya diam saat melihat Max mengeluarkan satu bungkusan kecil dari dalam dompetnya dan sejurus kemudian dompet itu melayang pula.

Max dengan cepat melepaskan ikat pinggang. Membuka kait celana dan menurunkan ritsleting. Mengeluarkan kejantanannya yang sudah terasa ngilu karena mendesak dari tadi.

"Wah!"

Vonda melotot. Max menyeringai. Merobek bungkusan yang tak lain adalah kondom itu dengan giginya.

"Saya harap Mbak tahan kuda-kudaan lama malam ini."

Vonda meneguk ludah. Melihat Max memasang kondom dan lalu meraih dirinya. Tangan cowok itu menyusup ke balik gaun Vonda. Membantu melepaskan gaun hingga menyisakan celana dalam di tubuhnya.

Tangan Max terulur. Menyasar ke area intim Vonda dan merasakan kelembaban yang telah menembus kain halus celana dalam itu. Hangat dan menggoda.

Vonda menggigit bibir. Menuruti tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat Max pelan-pelan menuntun dirinya untuk melepaskan celana dalam. Sedikit susah dengan semua keterbatasan gerak mereka, tapi nyatanya Vonda berhasil menyingkirkan benda itu dari dirinya.

Jari Max mengusap kewanitaan Vonda. Membuat cewek itu memejamkan mata dan meremas pundak Max.

Merabanya dengan pelan, Max seolah tengah mempelajari kewanitaan Vonda. Mengikuti setiap lekuknya.

"Mas."

Vonda mendesah. Tanpa sadar ia menggerakkan pinggulnya. Dorongan alamiah karena merasakan rangsangan. Membuat ia ingin menggesek-gesekkan tubuh.

Max menggertakkan rahang. Kelembaban Vonda di bawah sana membuat ia benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Alhasil, dua tangan Max meraih pinggang Vonda.

Mengangkat tubuh Vonda dengan hati-hati, Max mengarahkan kewanitaan tersebut menuju kejantanannya yang sudah berdiri dengan sempurna. Lantas Max menurunkan tubuh Vonda dengan cepat.

"Argh!"

Vonda memejamkan mata. Sontak menjerit saat merasakan rasa sakitnya.

Max melotot tercekat. Terdiam seketika saat Vonda mendarat kembali ke pangkuannya. Rasa takut dengan hawa dingin langsung hadir dan menyelimuti dirinya.

"Mb-Mbak masih perawan?"

Seumur hidup, Max tidak pernah merasakan kengerian seperti itu. Memperawani seorang cewek yang tidak ia kenal?

Astaga. Kenapa aku berasa jadi cowok paling bejat sedunia?

Vonda mencoba untuk tetap bernapas sementara tangannya semakin kuat mencengkeram pundak Max. Sejenak ia menggigit bibir bawah di saat matanya masih memejam dengan begitu erat. Tatkala merasa tubuh Max kaku dan ia pun sudah mampu menenangkan diri, Vonda pelan-pelan membuka mata dan berkata lirih dengan meringis.

"Ya ... saya udah nggak perawan lagi dong, Mas. Kan ini udah diperawani sama Mas."

Max makin melotot frustrasi. "Kenapa Mbak nggak bilang kalau masih perawan?"

"Mas juga nggak nanya."

Kali ini Max memejamkan mata dengan dramatis karena jawaban Vonda.

Ini cewek beneran udah gila!

"Argh!"

Max menggeram. Di saat masih kesal dan bingung dengan sejuta emosi yang berkecamuk di benaknya, Vonda kembali bersuara.

"Mas, terus ini gimana? Kuda-kudaannya udah selesai?"

"Masih bisa bahas kuda-kudaan? Mbak nggak tau kalau sekarang ini lagi genting?" tanya Max geram. "Gimana bisa Mbak menyerahkan diri Mbak ke cowok asing? Mbak ini lahir nggak ada otak atau gimana sih?"

Vonda cemberut. "Saya ada otak kok, Mas. Buktinya saya masih hidup."

"Kamu."

"Lagi pula, Mas." Vonda tersenyum dan remasannya di pundak Max mengendur seiring dengan menyantainya dirinya. Bahkan sejurus kemudian tangannya berubah mengalung pada leher Max. "Entah kenapa saya merasa yakin gitu untuk melakukan ini sama Mas. Mungkin sudah takdir."

Max benar-benar lepas kendali melihat situasi dirinya saat itu. Bertemu dengan seorang cewek gila yang sedang mabuk. Menggoda dirinya dan mengatakan segala macam tentang takdir.

"Dasar perawan gila!" Max menatap tajam. "Oke kalau memang itu mau Mbak," katanya dengan suara berat. "Saya harap Mbak benar-benar tahan untuk kuda-kudaan malam ini."

Vonda tersenyum.

"Karena saya nggak suka ditunggangi kalau sebentar."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro