19. Terdesak
~ Terdesak keadaan, tak bisa mengelak. Jangankan manusia, bahkan setan pun dijamin akan tergelak. ~
Vonda membutuhkan lebih banyak waktu untuk mampu menilai situasi. Pertama, semenit usai melongo, ia memutuskan untuk mencuci sejenak mukanya. Takut-takut ada kotoran di mata yang membuatnya salah melihat.
Setelahnya Vonda kembali ke dapur. Demi memastikan apakah penglihatannya berubah atau tidak. Namun, yang terjadi adalah ia mendapati pertanyaan ini.
"Kamu sukanya makan apa, Von? Mama nggak tau apa kamu suka makan ayam saus dan tumis bayam jagung manis atau nggak. Max bilang kamu pemakan segalanya."
Vonda linglung dan merasa setengah tidak waras ketika menjawab begini.
"Memang, Bu. Aku memang omnivora sejati kok."
Reny menatapnya dengan pandangan geli. "Jangan panggil Ibu dong. Kesannya kok formal banget."
"Ya?" Vonda mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Max kan panggil Mama. Jadi ya kamu juga gitu."
Perkataan itu sukses membuat Vonda lagi-lagi berdiri melongo. Mulutnya setengah terbuka dan ia merasa nyawanya belum benar-benar terkumpul kala itu. Mungkin usaha mencuci muka tadi kurang bersih ya?
Vonda kembali berusaha untuk menjernihkan pikiran. Langkah kedua, ia bergerak ke kulkas dan menuangkan segelas air dingin. Meminumnya dengan cepat untuk menghilangkan dahaga, lalu berpikir bahwa kekurangan air mungkin saja bisa menimbulkan halusinasi. Namun, semenit kemudian terdengar lagi suara itu.
"Vonda, tolong keluarkan botol air yang kosong ya? Max selalu lupa untuk mengeluarkannya."
Anehnya, Vonda refleks saja berkata. "Ya, Ma."
Vonda membeku dengan perkataannya sendiri sementara Reny tersenyum lebar di seberang dapur.
"Mama siapkan dulu makan malam kita ya?"
Vonda angguk-angguk kepala dengan kaku. Sepeninggal Reny, ia mengeluarkan dua botol air mineral yang sudah kosong dari dalam kulkas. Membuang ke tempat sampah setelah meremasnya terlebih dahulu. Sekadar mencegah penyalahgunaan botol bekas dan sekalian untuk menyalurkan luapan emosinya.
Max ke mana? Kenapa aku bangun-bangun bukannya dapat hidangan kopi dan piza dingin, tapi malah disuguhi calon mertua? Ya ampun. Itu cowok beneran cari mati kali ya?
Rutukan di benak Vonda terhenti ketika Reny masuk kembali ke dapur dan mengambil piring makanan selanjutnya. Seketika saja hal tersebut membuat ia tidak enak dan langsung buru-buru mengambil piring lainnya. Turut membawa ke meja makan.
"Ya ampun. Max pintar banget cari calon istri. Udah cantik, eh juga mau bantu kerjaan Mama."
"Hahaha."
Vonda tertawa kaku mendengar komentar itu ketika mereka selesai menata semua hidangan makan malam di atas meja.
"Ngomong-ngomong," lirih Vonda kemudian dengan kepala celingak-celinguk. "Max ke mana ya, Ma?"
Reny melayangkan tatapan dan senyuman menggoda. Wanita paruh baya itu tampak mendekati Vonda dan memegang kedua tangannya. Membuat Vonda bergidik dengan penuh waspada.
"Baru nggak ketemu bentar ... udah dicariin," kata Reny dengan senyum geli. "Hihihi. Max lagi ke supermarket dekat sini. Air kan habis. Sekalian ke apotek juga."
"Apotek?" tanya Vonda. "Memangnya siapa yang butuh obat, Ma?"
Mata Reny terlihat polos saat menjawab pertanyaan Vonda. "Ya tentu Max yang butuh obat."
***
"Ma, aku mohon. Dengar dulu penjelasan aku. Aku bisa ceritakan semuanya."
"Oh. Kamu mau menceritakan setiap detail bagaimana kamu memperawani Vonda padahal kalian belum menikah?"
Glek!
"Ma. Ma, please. Bukan itu yang terjadi."
"Oh, terus sebenarnya apa yang terjadi hah?"
"Sebenarnya ... sebenarnya ... sebenarnya ...."
"Apa? Nggak bisa jawab kan? Nggak bisa kan?"
"Ma."
"Astaga, Max! Mama tau kamu udah dewasa dan harusnya kalau udah ngebet sama Vonda, ya tinggal nikahin aja. Gitu kok repot?"
"Ma. Bukan gitu, tapi—"
"Lihat! Kamu itu udah dewasa dan mapan. Kamu mau nikah dengan siapa pun, itu udah jadi hak kamu. Kan Mama juga udah ngomong. Mama bakal setuju dengan pilihan kamu."
"Iya, Ma. Iya, tapi—"
"Apa, ehm? Kamu tuh ngeyel ya jadi anak? Apa kamu mau buat Vonda hamil dulu baru kamu nikahi?"
"Ya nggak bakal hamil, Ma. Orang kami pakai kondom kok. Jadi— Auw!"
"Bisa-bisanya kamu ngomong gitu ke Mama?"
"Keceplosan, Ma."
"Keceplosan? Astaga. Ya, Tuhan. Ini anak beneran yang aku lahirkan dulu nggak sih? Kali aja tertukar di rumah sakit."
"Ma, please."
"Please please please. Coba kali ini jawab pertanyaan Mama. Udah berapa kali kamu perawani Vonda?"
"Ya cuma sekali dong, Ma. Ya kali Vonda perawannya berlapis-lapis kayak kue lapis. Kan, ng— Auw!"
"Kamu benar-benar buat Mama kacau."
"Ma, maaf. Aku sama sekali nggak ada niatan untuk buat Mama kacau. Mama nggak perlu khawatir. Ini masalah aku dan Vonda. Kami udah sama-sama dewasa. Kami bakal menyelesaikan ini semua."
"Ya memang kalian harus menyelesaikan ini semua, karena itu kamu harus secepatnya nanya ke Vonda."
"Nanya apa, Ma?"
"Dia mau uang lamaran berapa? Mau dilamar kapan?"
"What?! Maksud Mama?"
"Ya maksud Mama kapan kalian mau menikah? Memangnya ada pertimbangan apa lagi coba? Kamu nggak ada tanggungan apa pun. Nggak ada yang jadi bahan pikiran kamu."
"V-Vonda, Ma. Vonda."
"Ah, benar juga ya? Sekilas Mama bisa lihat Vonda ini wanita yang mandiri. Ck. Kalau dia memiliki tanggungan atau pertimbangan lainnya, itu berarti kita harus mendiskusikannya lebih cepat."
"Ya ampun, Ma. Kok ngebet banget mau kami nikah cepat-cepat sih?"
"Lah kamu juga. Kenapa coba ngebet mau perawani Vonda cepet-cepet?"
Max memejamkan mata, lantas terdengar satu suara.
"Total semuanya lima puluh empat ribu delapan ratus rupiah, Mas."
Ucapan kasir membuat bayangan kejadian beberapa saat yang lalu itu buyar dari ingatan Max. Ia dengan cepat mengeluarkan dompet dan menyerahkan dua lembar uang pada kasir. Uang bernominal lima puluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah.
"Dua ratusnya nggak usah, Mas," ujar Max.
Kasir itu tersenyum. "Terima kasih, Mas."
"Tapi, sebagai gantinya. Tolong dong doakan supaya saya panjang umur. Kayaknya hidup saya terancam bahaya saat ini."
Kasir pun melongo. "Ya?"
Namun, Max sudah keburu berlalu dari sana. Meninggalkan kasir yang masih bengong seraya memegang uang logam senilai dua ratus rupiah. Tanpa sadar ia melirih pelan.
"Sedekah dua ratus perak, minta doanya nggak tanggung-tanggung. Dasar nggak waras."
Langkah kaki Max gontai. Terasa tak bertenaga lantaran ia belum sempat mengisi perutnya. Jangankan makan, sekadar mandi untuk menyegarkan diri pun tidak sempat.
Kenapa juga Mama harus datang mendadak kayak gini sih? Terus juga kenapa itu Vonda bisa ngigau nggak tepat waktu? Mana yang diocehkan dia buat alam semesta jadi tau semuanya lagi. Ya Tuhan. Cuma gara-gara kejadian satu malam, semuanya jadi berantakan beruntun kayak gini, batin Max menggerutu di sepanjang jalan pulang.
Max tiba di unit apartemen sekitar lima belas menit kemudian. Masuk dan langsung menuju ke dalam. Tepat di meja makan, ia menemukan dua orang wanita sedang bercengkerama di depan piring masing-masing yang masih dalam keadaan tertutup. Cukup menjadi tanda bahwa keduanya belum memulai acara makan malam.
"Max?"
Suara Vonda langsung terdengar ketika Max tiba di sana. Meletakkan belanjaannya di satu kursi yang kosong, ia memilih duduk di kursi di sebelah Vonda.
Pilihan sulit. Cuma ... ketimbang duduk di sebelah Mama, sekarang mah lebih aman duduk di sebelah Vonda.
"Ehm," deham Max singkat.
Di tempat duduk, Vonda mengerutkan dahi saat mendapati ada yang aneh dengan Max saat itu. Refleks saja dirinya mengangkat tangan dan lantas menyentuh telinga Max.
"Telinga kamu kenapa merah kayak gini?" tanya Vonda. "Ya Tuhan. Kok lecet gi—"
"Auw!" ringis Max seraya menarik kepala menjauhi tangan Vonda yang menyentuh daun telinganya. "Jangan dipegang, Von. Rasanya perih. Lebih perih dari kena ulat api."
Vonda menarik tangannya dengan dahi berkerut. "Kenapa bisa telinga kamu kayak gitu?"
"Nggak tau," jawab Max ketus.
Tatapan Max berpindah pada Reny yang tampak mengedipkan mata berulang kali. Memutar bola mata tanpa rasa bersalah. Lantas meraih gelas air dan minum dengan santai.
"Mendadak aja kayak ada yang jadi malaikat maut dan melakukan penghakiman."
"Eh?"
Reny pun mendeham sekali. "Udah, Von. Nggak usah dikhawatirkan. Cuma lecet dikit kok. Daripada itu ... mending kita makan."
Vonda dengan ekspresi bingung memandang Reny dan Max bergantian. Entah mengapa, perasaan cewek itu seolah berkata bahwa penyebab telinga Max yang lecet adalah Reny.
Eh, tapi ... masa Max dijewer sih? Padahal udah segede ini juga. Kan nggak mungkin.
Reny mengisi nasi ke piringnya, lalu memberikan sendok itu pada Vonda. Bergantian dengan Max. Tak butuh waktu lama, mereka bertiga pun mulai menikmati acara makan malam bersama yang di luar rencana tersebut.
Beberapa menit pertama mereka makan, suasana terlihat hening. Tak terdengar suara selain bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Sampai kemudian Reny memanggil Vonda.
"Von."
Vonda mengangkat wajahnya. "Ya, Ma?"
Horor, Max refleks menoleh ke samping. Melihat pada Vonda dengan sorot mata ngeri.
Sejak kapan dia manggil Mama aku dengan panggilan Mama juga? Apa sebenarnya dia ini anak yang tertukar dengan aku di rumah sakit? Kayak yang Mama bilang tadi?
Reny membersihkan sedikit bibirnya sebelum lanjut berkata. "Mama tau ini bukan waktu yang tepat. Lagi pula seharusnya kita baru bertemu besok kan?"
Vonda menoleh. Melihat pada Max dan melayangkan tatapan.
Besok itu ada apa?
Namun, Max hanya menghela napas sebagai jawabannya. Yang mana hal tersebut jelas tidak memuaskan rasa penasaran Vonda.
"Mama sebenarnya nggak mau buru-buru ngomong soal ini sih."
"Soal apa, Ma?"
Max menegang. Matanya melotot dalam permohonan. "Ma, aku mohon. Seenggaknya jangan pas di meja makan."
"Kamu ini, Max. Ini Mama mau ngomong sama Vonda."
Vonda menatap Reny dan Max bergantian. Ia bingung seraya meraih gelas air minum. Meneguk isinya tepat ketika Reny bertanya.
"Kamu mau uang lamaran berapa, Von?"
Prut!
Air tersembur seluruhnya. Vonda jelas kaget dengan pertanyaan tersebut hingga membuatnya tersedak. Terbatuk-batuk dengan wajah mengenaskan. Max pun buru-buru menarik beberapa lembar tisu dan membersihkan mulut Vonda yang seketika menjadi berantakan.
"Ya ampun, Ma. Lihat akibatnya kan? Mama itu ya coba kalau ngomong pilih waktu yang tepat."
Vonda menahan tangan Max di depan wajahnya. Menatap Max dengan ekspresi panik, takut, bingung, dan ... mengerikan.
"I-ini ada apa, Max?"
Max mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Ya ampun. Harus dengan cara apa coba aku menjelaskan semua situasi ini ke Vonda?
Vonda menunggu, tetapi Max tidak menjawab. Hingga akhirnya Reny yang buka suara.
"Max mau melamar kamu, Von."
Vonda merasa tubuhnya lemas seketika. Tangannya yang memegang tangan Max sontak jatuh ke pangkuan. Seakan tak percaya dengan ucapan Reny.
Vonda berpaling pada Max. Ia menuntut penjelasan cowok itu. Menatap kosong dan justru bertanya.
"Kamu mau melamar aku, Max?"
Max membeku. Melirik pada Reny dan lalu pada Vonda.
Mama pasti bakal jewer aku lagi kalau aku ngomong nggak. Lagi pula Mama pasti mempertanyakan kebenaran hubungan kami. Tapi, aku pasti bakal kena hajar Vonda kalau aku ngomong iya. Lagi pula dia juga pasti mempertanyakan kebenaran cerita aku yang menghindari perjodohan dengan Olivia. Jadi ....
Max meneguk ludah. Menyadari bahwa dirinya mendapat dua tekanan dari arah yang berbeda.
Risiko yang paling kecil, Max! Risiko yang paling kecil. Ambil yang risikonya paling kecil.
Max pun mengambil risiko itu dengan meraih tangan Vonda. Sorot matanya berubah tajam dan lurus pada sepasang bola mata cewek itu. Lantas satu kata keluar dengan mantap sebagai jawaban.
"Iya."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro