Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Di Luar Antisipasi

"Mama datang kok nggak ngomong-ngomong sih?"

"Mama kenapa datang ke sini, Ma?"

"Mama harusnya ngomong dulu sebelum datang, Ma?"

Tak terhitung lagi apa saja yang dikatakan oleh Max sebagai bentuk rasa kaget mendapati kedatangan ibunya yang tiba-tiba. Lebih dari itu, ketika Reny mengucapkan nama Vonda, seketika saja tubuh Max menegang.

Bisa-bisanya Mama datang pas ada Vonda? Celaka ini! Benar-benar celaka dua belas!

Di lain pihak, mengabaikan pertanyaan bertubi-tubi dari sang anak, Reny justru melakukan hal lain. Meraih tangan anaknya itu dan menggenggamnya dengan erat.

Max berusaha melepaskan diri, tapi Reny jelas bukan tandingannya. Walau secara harfiah jelas Max adalah seorang pria dewasa yang bertubuh tinggi dan besar, tapi tetap saja. Yang menjadi lawannya sekarang adalah Reny, ibu kandungnya sendiri.

Durhaka kena kutuk jadi remah rengginang baru tau rasa aku.

"Sini kamu, Max. Sini," desis Reny.

Max pada akhirnya pasrah saja meletakkan ketel itu di sembarang tempat. Tak melakukan apa pun ketika Reny menyeret dirinya untuk keluar dari dapur. Langkah kaki Max terasa bagai diseret ketika Reny justru membawa dirinya ke ruang tamu. Sesampainya di sana, Reny menunjuk dengan mata tajam pada Max.

"Lihat?" tanya Reny setengah berbisik dengan penuh penekanan. "Masa kamu biarin calon mantu Mama tidur di sofa?"

What?!

Max buru-buru menutup mulut.

Aku nggak ada magh. Beneran. Cuma ini kenapa perut aku berasa mual-mual?

Reny menggeram. Mencubit perut Max hingga cowok itu meringis. Tak hanya itu, wanita paruh baya itu pun melotot. Seakan meyakinkan Max bahwa ia tak main-main memarahi putranya.

"Kalau pinggangnya terkilir gimana?"

Max melongo. "Di mana ada judulnya pinggang terkilir, Ma?"

Tangan Reny lagi-lagi bergerak ingin mencubit, tetapi Max menghindar dengan cepat hingga ibu kandungnya itu hanya bisa melotot sejadi-jadinya.

"Lagi pula, bukan salah aku kalau dia ketiduran di sini, Ma. Tadi itu aku tinggalin dia dalam keadaan masih sadar. Orang dia aja tadi minta kopi sama piza kok."

Reny mengembuskan napas. "Oke-oke." Ia mengangguk-angguk. "Kalau gitu, angkat Vonda. Pindahin ke kamar. Biar enak tidurnya."

"Eh?" Max melihat ibunya horor. "Angkat dia, Ma?"

"Iya. Maksud Mama gendong dia. Bawa ke kamar kamu biar dia bisa tidur dengan nyenyak."

Max meneguk ludah. Menatap mata Reny dan menyadari ibunya itu tidak main-main. Ia sudah bisa menebak, bahkan ia tidak punya pilihan lain. Max hanya bisa menuruti perintah Reny.

Diperuntukkan bagi kaum lajang, apartemen Max hanya memiliki satu kamar. Kenyataan yang berarti membuat Max harus membawa Vonda ke kamarnya.

Reny mengerutkan dahi. Menunggu dan mengulang perintah itu dengan delikan mata.

Max menyerah. Pelan-pelan cowok itu mendekati Vonda. Memposisikan diri dengan tepat sebelum membawa tubuh Vonda ke dalam gendongannya.

Vonda terdengar melenguh samar. Hal yang tanpa sadar membuat Max justru mengeluarkan desisan untuk menenangkannya.

"Ssst. Ssst."

Vonda sedikit bergerak di gendongan Max saat cowok itu berusaha berdiri. Wajahnya terlihat risau. Dahinya berkerut dengan ekspresi yang tampak tak nyaman.

"Ma ... x."

Max mengerjap-ngerjap. Kakinya yang semula ingin berjalan mendadak jadi berhenti seketika. Tatapan matanya pun beradu pada ibunya ketika terdengar lirihan Vonda yang membuat jiwa raganya membeku.

"Ber ... henti."

Max melihat pada Reny dengan dahi berkerut, lalu menunduk. Semula ia pikir Vonda terbangun, tapi nyatanya tidak. Mata cewek itu masih tertutup rapat. Artinya Vonda masih tidur kan? Namun, yang tadi itu?

"Tunggu ... bentar. Jangan kuat-kuat."

Eh?

"Nan ... ti aku ... nggak bisa pipis la ... gi."

Max langsung memucat. Otaknya dengan cepat memberi perintah agar beranjak dari sana. Namun, satu kalimat pamungkas dari igauan Vonda sukses membuat Reny kembali melotot besar.

"Diperawani itu sakit, Max."

Lantas, Vonda meringis. Sesegukan tanpa air mata untuk beberapa saat hingga ia tenang lagi. Tidur dengan nyaman layaknya hal yang baru saja ia lakukan tidak akan berakibat apa-apa.

Glek!

Max merasa tubuhnya mati rasa. Napas seperti tertarik dari paru-paru, jantung tidak berdetak, dan rohnya melayang. Sorot mata Reny yang tajam seakan ingin mengiris tubuh Max hidup-hidup.

Aku beneran bakal mampus kali ini.

***

Vonda tak tahu kapan persisnya ia kehilangan kesadaran. Sepeninggal Max, dirinya merasa kantuk yang benar-benar tidak tertahankan. Alih-alih bertahan menunggu kopi hitamnya sampai, pada akhirnya Vonda memilih untuk membaringkan tubuh sejenak di sofa itu. Bersandar pada lengan dan memeluk satu bantalnya.

Kala itu Vonda berpikir ia akan mengistirahatkan matanya sejenak sebelum Max datang kembali. Namun, tanpa diduga. Insomnia bermalam-malam berkat rasa takut yang membabi buta akan permasalahan dirinya dengan Max justru meminta penebusan saat itu juga.

Perasaan tenang usai pembicaraan antara mereka membuat Vonda mengetahui bahwa ketakutannya selama ini benar-benar tidak beralasan. Pada saat itu benaknya jadi merutuk habis-habisan.

"Kalau tau masalahnya cuma karena ingin menghindari perjodohan, ya harusnya dia ngomong aja terus terang dari awal. Nggak tau aja gara-gara dia yang sibuk ngomong soal tanggung jawab tanggung jawab segala macam, malah buat aku jadi nggak bisa tidur bermalam-malam?"

Begitulah. Ketika berhasil terbebas dari bayangan ketakutan itu, tubuh Vonda seakan meminta pengistirahatan yang tidak ia dapatkan selama beberapa hari terakhir ini. Suka tak suka, Vonda akhirnya menyerah pada rasa kantuk, pun lelah yang sudah mendera dirinya.

Beberapa saat kemudian, kesadaran Vonda perlahan mulai datang kembali. Membuat ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum benar-benar membuka matanya.

Deg!

Ketika Vonda membuka mata, ia merasakan kejanggalan yang membuat tubuhnya terasa dingin. Terutama ketika ia memutar bola matanya. Memandang sekilas dan mendadak rasa ngeri itu datang.

Ini ... ini di kamar dia?

Sudah barang tentu Vonda tahu bahwa ruangan saat itu adalah kamar Max. Bagaimanapun juga ia pernah bermalam di sana. Dan mendapati dirinya bangun di sana jelas bukan hal yang bagus untuknya. Panik, Vonda segera bangkit dengan pikiran menakutkan.

Dia ngapa-ngapain aku selama aku ketiduran? Dia pasti—

Pikiran itu berhenti di tengah jalan. Tepat ketika Vonda bangkit dan mendapati bahwa pakaiannya masih lengkap di badan. Lebih dari itu, sehelai selimut pun menutupinya saat tertidur tadi.

Vonda mengembuskan napas panjang. Ia merasa sangat lega. Hingga tanpa sadar ia mengusap wajah dan kepala.

"Ya ampun. Aku jadi parnoan kayak gini," desah Vonda lemas.

Semenit kemudian, setelah merasa benar-benar sadar, Vonda bangkit. Mulanya cewek itu ingin langsung keluar dari kamar, tetapi jepit rambutnya yang terjatuh membuat ia mengurungkan niatan tersebut. Alih-alih langsung keluar, Vonda memutuskan untuk bercermin terlebih dahulu.

Vonda memilih untuk benar-benar melepas rambutnya dari sanggulan kantor yang sudah acak-acakan. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut bergelombang sepunggung miliknya. Usai dinilai cukup rapi, Vonda pun keluar dan di saat itulah ia terkejut melihat jam di dinding.

"Wah! Sudah hampir jam tujuh malam?"

Vonda tidak mengira akan tertidur selama itu. Sampai hal tersebut mendorong dirinya untuk bergegas. Pertama-tama ia harus mencari Max. Baru memikirkan, apakah ia langsung pulang atau justru harus menghabiskan kopi hitam yang pasti sudah dingin itu.

"Max?"

Vonda mencari di ruang tamu, tapi tak ada. Berpikir sejenak dan ia berjalan menuju ruangan lainnya. Ke ruang menonton.

"Di sini juga nggak ada."

Secara mendadak, ada sesuatu yang membuat perut Vonda berbunyi seketika. Respon alamiah muncul dan hidungnya mengendus aroma nikmat itu lebih dalam lagi.

Vonda meneguk ludah. Menerka keberadaan Max melalui aroma itu dan segera bergegas menuju tempat di mana aroma itu berasal.

"Max!" seru Vonda seraya mempercepat langkah kakinya. "Max!" Ia kembali menyerukan nama itu saat melihat ambang dapur. "Max! Kamu ma—"

Tak hanya ucapannya saja yang berhenti seketika, melainkan juga dengan langkah kakinya. Vonda terdiam. Berdiri mematung ketika baru tiga langkah masuk ke dapur. Bingung dan tak tahu harus berbuat apa ketika mendapati keberadaan seorang wanita paruh baya yang tampak tersenyum padanya seraya memadamkan kompor.

Wanita itu terlihat mengenakan celemek yang sudah cukup menjadi tanda bahwa yang masak bukanlah Max. Ia menatap Vonda dan beranjak. Langkah pelannya terarah pada Vonda.

I-ibu ini siapa ya?

Mata Vonda bergerak ke kiri ke kanan. Mencoba mencari keberadaan Max, tapi tidak ada.

Max ke mana? Ibu ini siapa?

Untuk beberapa hal yang tak mampu Vonda mengerti, entah mengapa saat itu ia merasa gemetaran. Padahal jika dilihat-lihat, ibu yang mendekatinya itu tersenyum ramah dan terlihat bersahabat. Namun, selang beberapa detik kemudian Vonda pun tahu alasan mengapa tubuhnya terasa bereaksi penuh antisipasi.

Itu adalah karena pada akhirnya ibu tersebut bertanya dengan santai pada dirinya.

"Udah bangun, Calon Mantu?"

Vonda melongo.

Apa sekarang ini aku masih tidur?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro