16. Pembalasan
"Ini, Pak. Tolong ditandatangani."
Vonda berkata dengan suara lirih. Nyaris terlalu pelan hingga setan saja mungkin tidak akan mendengar suaranya. Namun, Max mendengarnya. Terbukti cowok itu mengambil pena dan langsung mencoretkan tanda tangannya di satu kertas yang disodorkan oleh Vonda.
"Terima kasih, Pak."
Sedetik, Vonda menunggu. Hanya saja, tidak ada balasan apa pun dari Max. Jadi Vonda dengan bibir manyun beranjak dari sana. Ketika ia sudah sampai di mejanya kembali, Vonda menggerutu.
"Harusnya yang merajuk aku kan? Kenapa malah dia yang sensian? Ck! Dasar cowok baperan."
Vonda meletakkan berkas yang baru saja ditandatangani oleh Max ke dalam laci meja. Baru beralih lagi ke komputernya yang masih menyala.
"Karena kalau mau dilihat dari mana pun juga, jelas-jelas yang rugi di sini aku. Dia nggak tau gimana rasanya nggak bisa pipis gara-gara dihajar berulang kali dalam semalam kan?"
Bibir Vonda semakin maju merutuk-rutuk.
"Yah ... namanya aja cowok. Pasti dia enak-enak aja. Mana tau penderitaan cewek."
Begitulah Vonda. Setelah pertemuan dirinya, Max, dan Olivia, ia pun merutuk habis-habisan. Ia merasa dirinya tak ubah seperti mangsa yang didesak oleh dua predator sekaligus.
Hal itu membuat Vonda tak habis pikir. Tak percaya ada cewek yang tak mau dijodohkan dengan pria seperti Max. Membuat Vonda bertanya-tanya.
Kok bisa ya Via nggak mau dijodohkan sama Max? Padahal kayak yang dia bilang, Max yah ... cakep. Ehm.
Vonda menyipitkan mata.
Mungkin Max memiliki rahasia yang membuat para cewek nggak mau sama dia. Bisa jadi bisa jadi.
Namun, Vonda menyadari sesuatu. Terlepas dari desakan Olivia, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Ada foto bugil miliknya di ponsel Max yang bisa mengacaukan rotasi Bumi kalau sampai tersebar.
Alhasil, tidak heran sama sekali bila sore itu, tepat ketika jam pulang kantor, Vonda dengan akal sehatnya justru memasrahkan diri menunggu Max keluar dari ruangannya. Ketika Max keluar, cowok itu melirik sekilas.
"Loh? Tumben masih ada di sini. Nggak kabur lagi? Bukannya pintu nggak aku kunci ya?"
Vonda bisa dengan jelas menangkap nada sindiran di kata-kata Max. Lebih dari itu, Vonda pun menyadari bagaimana Max yang benar-benar tidak berbicara formal lagi pada dirinya. Tidak seperti atasan dan bawahan biasanya.
Vonda menarik napas dan meraih tas kerjanya. "Bukannya kita mau ngobrol berdua?"
Max menilai keseriusan Vonda melalui lirikan sudut matanya. "Oh." Max pun tersenyum mencemooh. "Ada yang sadar diri ternyata?"
Vonda diam. Tidak mengatakan apa-apa.
"Ayo," ajak Max kemudian.
Vonda dan Max keluar dari ruangan itu bersama-sama. Tak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan mereka. Dan kenyataan mereka berjalan berdua membuat beberapa dahi karyawan yang berpapasan dengan keduanya berkerut. Seperti bertanya-tanya.
Memangnya ada sebanyak apa atasan dan bawahan yang menyempatkan keluar dari ruangan bersama-sama? Lantas pikiran itu pun menyentuh benak para manusia yang suka menebak-nebak. Ya ampun. Hari Jumat dan pulang bersama? Itu artinya ....
Tit! Tit! Tit!
Max langsung menekan smart key di tangannya ketika ia dan Vonda telah sampai di parkiran kantor. Vonda meneguk ludah. Mendadak saja ia merasa gugup dan tubuhnya gemetaran.
"Tenang aja," kata Max sembari melarikan pandangannya. Sedikit lupa di mana memarkirkan mobilnya pagi tadi, pada akhirnya ia menemukannya pula. Sedikit terhalang oleh tiang bangunan. "Aku kalau ke kantor nggak bawa mobil Lamborghini kok."
Glek!
Tepat ketika mereka sampai di satu mobil Avanza hitam, Max kembali bicara hingga membuat lutut Vonda terasa lemas.
"Bukannya apa sih. Cuma aku ngeri bawa mobil itu kalau ada kamu. Aku khawatir mobil itu semacam jadi pemicu buat kamu. Kan gawat kalau kamu minta jatah lagi sama aku di pinggir jalan."
***
Sepanjang perjalanan, Vonda memilih diam. Ia khawatir satu kata yang ia ucapkan mampu membongkar semua kata di kamus Max. Lihat saja tadi. Ucapan Max benar-benar membuat ia malu hingga ke ubun-ubun.
Vonda melirik. Wajah Max yang terlihat serius dari tadi membuat nyali Vonda diam-diam menciut.
Saat Olivia pulang, sebenarnya Vonda menyadari kalau Max terlihat seperti memikirkan sesuatu. Vonda yakin kalau ia berani mengganggu pikiran Max dengan perkataannya, maka cowok itu tidak akan segan-segan membuat dirinya malu lagi.
Hiks!
Vonda merasa Max saat itu sedang dalam mode berlidah tajam. Dan ia tidak akan menyerahkan diri untuk menjadi bulan-bulanannya.
Tiga puluh menit berlalu. Max melajukan mobil memasuki satu kawasan apartemen elit. Mata Vonda mengamati suasana di sana. Menikmati pemandangan yang tidak sempat ia lihat malam itu ketika dirinya terburu-buru melarikan diri.
Max mengajak Vonda masuk ke satu lift dan mereka pun tiba di lantai tiga puluh sembilan. Saking banyaknya lantai yang harus mreka lalui, Vonda nyaris berpikir ia akan tertidur di dalam lift tersebut.
"Masuk saja. Nggak perlu sungkan dan anggap rumah sendiri."
Di telinga Vonda, perkataan Max benar-benar terasa bagai sindiran.
Ini cowok beneran deh. Kok mendadak yang sensian banget sih? Biasanya juga nggak kayak gini.
Ups!
Namun, Vonda sadar bahwa ia baru mengenal Max beberapa hari. Itu pun tidak benar-benar mengenal. Jadi Vonda sadar diri, ia memang belum mengenal Max. Vonda dengan kikuk melepas sepatu dan langsung menyusul langkah Max.
Seraya berjalan, Max berkata. "Ah. Kalau kamu mau ambil pakaian kamu yang ketinggalan ... bisa ambil di lemari aku."
Di belakang Max, Vonda mencibir pada cowok itu. "Ya ambilkan dong. Masa aku ambil sendiri."
Max balik badan. "Bukannya kamu udah yang biasa ya buka lemari aku?"
Ya ampun. Vonda memejamkan mata dengan dramatis. Mau mengumpat habis-habisan rasanya. Max sungguh membuat ia tidak berkutik dari tadi.
Ya Tuhan. Apa salah hamba?
"Kenapa? Sekarang kamu takut lepas kendali kalau masuk ke kamar aku?" tanya Max kemudian.
Mata Vonda membuka lagi. Mulutnya menganga mendengar pertanyaan tajam itu.
Wah!
"Ya udah. Kalau gitu kamu duduk. Aku ambilkan bentar."
Vonda tak mengatakan apa-apa. Membiarkan Max beranjak sementara ia memilih untuk duduk di sofa ruang tamu yang empuk itu.
Tak lama kemudian, Max sudah kembali. Ia sudah melepaskan jas dan dasi. Menyisakan celana dasar hitam bersama kemeja putih bersih yang telah ia buka kancing teratasnya. Lengannya disingsingkan hingga ke siku. Dan tak lama kemudian, bokongnya mendarat di sofa lainnya. Ia menaruh satu tas karton berukuran besar di atas meja.
"Itu barang-barang kamu."
Dengan cepat Vonda meraih tas itu. Membukanya dan mendapati sepatu, clutch, gaun, ponsel, dan celana dalamnya.
Ups!
Vonda menyisihkan tas itu kembali ke atas meja setelah terburu-buru mengambil ponsel. Ia mengaktifkannya dan tidak terkejut ketika mendapati begitu banyak pemberitahuan yang masuk.
Max bersedekap. Mengamati Vonda yang memeriksa ponsel. Hingga tak lama kemudian terdengar kesiapnya.
"Kamu balas pesan Ando?"
Bahu Max naik sekilas. "Mungkin."
Vonda tercengang, lalu kembali membaca pesan di sana.
Ando :
Von! Angsuran mobil bulan ini belum kamu bayar?
Pesan itu memang membuat Vonda tak habis pikir. Namun, lebih dari itu ... balasan Max sungguh membuat ia tidak mampu berkata apa-apa.
Vonda :
Nggak punya otak atau nggak punya rasa malu? Udah selingkuh masih aja bahas angsuran mobil? Jual aja sana kejantanan kamu buat bayarnya.
Vonda mengembuskan napas panjang. Beralih pada pesan Ando yang membalas pesan Max itu.
Ando :
Oh! Sekarang kamu gitu ya? Kenapa? Kamu beneran sakit hati putus sama aku? Ck. Kan kamu bilang kamu cantik dan pintar. Banyak yang mau sama kamu. Mana buktinya? Oh ya. Aku mau nanya. Mobil kamu mana? Aku mau pakai Minggu besok. Daripada kunci kamu nganggur sama aku.
Max mengamati reaksi Vonda. Bertanya-tanya ada pesan apa lagi yang dikirimkan Ando pada cewek itu. Sampai-sampai membuat Vonda mengembuskan napas panjang dan melirih pelan.
"Ini aku di kehidupan sebelumnya pasti jadi antek-antek VOC yang meras rakyat pribumi. Kok bisa nasib aku ketemu cowok modelan begini?"
Vonda meletakkan ponsel di atas meja. Ia mengusap wajahnya yang terasa panas. Marah, malu, atau kecewa, ia tidak yakin. Hanya saja dirinya merasa lelah.
"Ckckckck."
Max terdengar berdecak.
"Kalau tuh cowok belum disunat ya memang kayak gini kelakuannya. Kotoran bekas buang air kecil pada kumpul. Buat peredaran darah jadi tersumbat. Hasilnya ... yang sampai ke otak justru darah kotor semua."
Vonda tidak yakin ada korelasi antara disunat, kotoran buang air kecil, dan darah kotor yang sampai ke otak. Posisi kemaluan dan otak jauh sekali, kecuali kalau Ando memiliki keduanya di tempat yang sama.
Hiks!
Namun, terlepas dari itu ... Vonda justru merasa ada yang janggal. Saat ia melihat Max yang teramat santai mengambil ponselnya. Turut membaca pesan itu. Lantas tangannya dengan cepat bergerak. Vonda mengerutkan dahi.
"Kamu ngetik apa?"
Max diam. Sejurus kemudian baru meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Segera saja Vonda membaca pesan balasan.
Vonda :
Karena aku cantik dan pintar, makanya aku jadi selektif cari cowok. Cukup sekali ketipu sama cowok modelan kayak kamu. Udah nggak punya modal, eh nggak punya malu lagi. Yakin kemaluan masih berfungsi dengan baik dan benar? Paling juga lima menit udah loyo. Kamu tau? Aku udah ketemu sama cowok yang tahan tiga ronde dalam semalam. Satu ronde kisaran sembilan puluh menit gitu. Mana belum termasuk pemanasan dan pendinginan lagi. Aduh. Kebayang kan besoknya aku nggak bisa pipis gara-gara dia?
"Ya Tuhan."
Max membalas kesiap dan tatapan tak percaya Vonda dengan begitu santai. Seolah ia tak melakukan apa pun yang bisa membuat gula darah cewek itu turun drastis.
"Maksud kamu apa, Max?"
Max menyeringai. Entah karena menyadari Vonda untuk pertama kalinya menyebut namanya ... atau lantaran dirinya yang bahagia mendadak akibat satu hal.
"Satu sama, Von."
Vonda langsung mengerti maksud tersebut. Tentu saja cowok itu mengacu pada tindakan yang dirinya lakukan tadi di depan Olivia. Pun menilik dari ekspresi semringah wajahnya, ia bisa menebak bahwa Max memang begitu sengaja memanfaatkan situasi sehingga ia mendapatkan malu yang serupa di depan Ando.
Vonda menggeram. Menyadari kelicikan Max. Hingga tak sadar ia meremas kedua tangannya. "Dasar rubah ekor sembilan."
Mata Max berkilat geli.
"Ekor aku cuma satu, by the way. Dan kamu tau pasti kalau posisinya di depan."
Vonda membeku. Benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro