15. Bukan Pertikaian
~ Setelah kejutan demi kejutan, tapi jantung masih sehat? Selamat! Itu memang organ ciptaan Tuhan! ~
Dari semua respons yang bisa dilakukan oleh seorang cewek ketika dituding dengan pertanyaan: 'Kamu pacar dia?', Vonda melakukan respons yang berada di kasta paling bawah. Yaitu, diam.
Memangnya Vonda bisa merespons seperti apa? Baru juga beberapa menit yang lalu ia kegirangan karena mendapati Max yang ditemui seorang wanita, eh sekarang dirinya yang harus berhadapan dengan cewek itu.
Tidak main-main! Sekalinya berhadapan, Vonda langsung didesak oleh pertanyaan ampuh bin mujarab yang bisa membuat ia kaku seluruh tubuh.
Olivia berpaling. Kembali melihat pada Max yang menyusul dirinya bangkit berdiri dari duduk.
"Ternyata benar. Ini cewek yang dibilang Tante kemaren."
Max memejamkan matanya dengan dramatis.
Ya ampun, Ma. Kenapa udah dibilang aja sama si Via?
"Kamu yang namanya Vonda kan?"
Baru saja Vonda ingin menarik napas, eh Olivia kembali beralih padanya. Kali ini bahkan melontarkan pertanyaan—yang terang saja pertanyaan basa-basi mengingat papan nama di atas meja itu—pada Vonda.
Tak mampu mengelak, Vonda mengangguk.
Daripada dia minta buat cek nama asli di akta kelahiran aku, mending jujur aja deh. Hiks.
Olivia tampak menilai Vonda. Melihat cewek itu dari atas hingga bawah, lalu naik lagi ke atas. Max menggeram.
Sial deh.
"Jadi kamu beneran pacarnya Max?" tanya Olivia seraya beranjak dari tempatnya berdiri.
Max mengulurkan tangannya. Menahan tangan Olivia.
"Via, please. Ini di kantor. Jangan buat kekacauan di sini. Ntar deh. Aku pasti bakal jelasin semuanya."
Langkah kaki Olivia terhenti. Sejenak ia melihat pada tangan Max yang memegang pergelangan tangannya, lalu matanya naik. Bertemu pada tatapan Max.
"Aku juga nggak mau buat kekacauan di sini, Max. Cuma ... ya ampun. Harusnya kamu mikir itu sebelum kamu mengabaikan pesan aku dan menolak semua panggilan aku. Sekadar informasi buat kamu, aku nggak percaya dengan: ntar deh, aku pasti bakal jelasin semuanya."
Di sisi lain, walau jelas-jelas menyadari bahwa yang dituding kali ini adalah Max, nyatanya hal itu juga membuat Vonda ketar-ketir.
Mampuslah aku. Seumur hidup, aku nggak pernah bermimpi bakal terlibat dalam pertarungan sepasang kekasih seperti ini.
Mata Vonda menyala pada Max.
Dasar cowok mata keranjang. Udah ada cewek, tapi malah nekat mau ajak aku ketemu sama orang tua dia? Beneran nggak ada akhlak ini cowok.
Max menarik napas dalam-dalam.
"Oke, sorry. Cuma kamu tau kan? Aku lagi sibuk urus kerjaan di sini. Aku baru berapa hari di sini, Via."
"Bohong!"
Satu tukasan itu membuat interupsi di percakapan antara Max dan Olivia. Membuat mereka berdua sama-sama melihat ke sumber suara. Yang tak lain dan tak bukan adalah suara Vonda.
Max melotot.
Apa-apaan ini cewek?
Vonda membalas pelototan Max. Tak menghiraukan peringatan di sana, terus berkata.
"Pak Max juga belum sibuk banget minggu ini. Baru cek beberapa sisa pekerjaan yang tertunda."
Sialan!
Olivia menyipitkan matanya pada Max.
"Oh. Kamu dengar? Ini bahkan cewek kamu sendiri yang ngomong gitu."
"Ya Tuhan," lirih Max.
"Maaf, Mbak. Saya bukan cewek Pak Max," tukas Vonda.
"Bukan?" tanya Olivia tidak percaya. "Bukan itu yang aku dengar saat Tante ngomong perjodohan kami batal."
"Wah!" kesiap Max.
"Perjodohan?" Mata Vonda membesar. "Mbak dan Pak Max sudah ada ikatan perjodohan?"
Olivia tersenyum muram. "Ya. Saya Olivia Rawnie. Kami berdua sudah dijodohkan."
"Astaga," desis Vonda ngeri. Sontak ia menatap pada Max yang terlihat salah tingkah.
Max melangkah. Mendekati Vonda. Khawatir ketika melihat nampan di tangan cewek itu terlihat bergetar. Seolah tangan Vonda mendadak kehilangan kekuatannya.
"Vonda, dengar. Aku bisa jelaskan semuanya."
Vonda menatap tak berkedip pada Max. Mengabaikan semua bentuk sopan santun di kantor, ia bertanya dengan nada tajam.
"Mau menjelaskan apa lagi? Kamu nggak lihat aku udah dituding sebagai penyebab batalnya perjodohan kalian?"
Max meneguk ludah. Tanpa permisi langsung mengambil nampan di tangan Vonda. Meletakkannya di atas meja. Antisipasi sebelum nampan itu jatuh.
"Tunggu, Von. Kamu salah menangkap maksud di sini," ujar Max hati-hati
"Salah nangkap gimana?" tanya Vonda tajam.
"Ini bukan kayak kamu yang menyebabkan perjodohan kami batal," geleng Max. Ia berusaha menenangkan Vonda "Bukan kayak gitu."
"Kan nyatanya memang Vonda penyebab perjodohan kita batal."
Max menoleh. Menatap tajam pada Olivia yang mendadak turut bicara. Namun, belum lagi ia bisa membalas perkataan Olivia, ternyata Vonda sudah bicara terlebih dahulu.
"Maaf, Mbak Olivia. Saya benar-benar nggak ada hubungan dengan dia."
Olivia mendengkus.
"Nggak usah bohong. Saya sudah dengar dari Mama Max. Tante sendiri yang ngomong kalau Max sudah berpacaran dengan cewek yang namanya Vonda."
"Ya Tuhan. Saya bahkan nggak pernah berpacaran dengan dia, Mbak."
"Terus maksud kamu Tante sudah membohongi saya?"
"Bukan Tante yang membohongi Mbak, tapi Pak Max."
"Gimana ceritanya bohong? Bukannya kalian berdua ya sewaktu pesta pernikahan Mas Lucas?"
"Astaga."
"Kenapa? Nggak bisa membantah kan? Udah dong. Jujur aja."
Sementara kedua cewek itu saling bertukar kata-kata, Max yang berdiri di antara mereka tampak sekilas melihat pada pintu. Memastikan bahwa pintu itu sudah tertutup. Setidaknya itu bisa membuat Max sedikit lega, menyadari bahwa tak akan ada orang luar yang mendengar perdebatan dua orang cewek itu.
Argh!
Max meremas rambutnya.
Aku heran! Kok bisa-bisanya ada cowok yang mau punya dua istri? Ini belum nikah aja dua cewek udah kayak yang mau tanding MMA. Ya Tuhan.
"Via," lirih Max seraya menahan tangan Olivia dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lainnya berusaha menahan tangan Vonda. "Vonda."
Baik Vonda maupun Olivia sama-sama melihat pada Max dan menukas dalam pertanyaan yang sama.
"Apa?!"
"Apa?!"
Glek!
Max meneguk ludah.
"Kalian jangan emosi dulu," kata Max kemudian. "Kita bisa membicarakan masalah ini dengan kepala dingin."
Dari raut wajah saja, Max sudah menduga. Tak ada yang kepalanya tengah dingin di situasi seperti saat itu. Entah Vonda atau Olivia, wajah mereka sama terlihat tidak baik-baik saja.
"Aku tau situasi kita lagi sulit, tapi bukan berarti kalian harus berantem kayak gini. Bagaimanapun juga, kalian berdua jangan sampai berantem gara-gara aku."
Vonda memelototkan mata. Begitu pun dengan Olivia.
Hingga pada detik yang sama, Vonda dan Olivia sama-sama saling pandang. Entah kenapa mereka kompak berkata.
"Buat kamu aja!"
"Buat kamu aja!"
Max terbengong.
"Eh?"
***
Sebentar. Sepertinya ada yang salah skenario di sini. Max yakin itu. Normalnya, saat ada dua orang wanita berkelahi dan ditengahi oleh seorang cowok tampan seperti dirinya, pasti dua orang cewek tersebut akan bersikeras untuk mempertahankan cowok itu. Benar kan? Ya pasti benar dong. Namun, apa yang terjadi saat ini?
Max menatap bergantian pada Vonda dan Olivia yang memilih kursi berseberangan, sementara dirinya duduk di kursi panjang yang berada di antara kursi kedua cewek itu. Max tampak kesal pada Vonda dan Olivia yang sama-sama menyesap teh.
Sial! Cuma aku yang nggak dapat teh di sini.
Hanya saja jika dibandingkan dengan perkara teh, Max justru bertanya-tanya tentang hal tadi.
Maksudnya apa?
"Jadi intinya, Vonda. Saya itu ...." Olivia menjeda sejenak ucapannya. "Kayaknya kita nggak perlu formal deh ya? Soalnya ini juga urusan pribadi."
Vonda mengangguk.
"Ehm, Via." Max memanggil Olivia. Berusaha untuk turut bicara.
Olivia menatap tajam pada Max. "Diam bentar, Max. Ini urusan cewek."
Max menarik napas dalam-dalam.
"Intinya," lanjut Olivia seraya beralih lagi pada Vonda. "Aku ke sini cuma ingin meminta kejelasan dengan Max. Apa benar dia sudah punya pacar atau belum. Soalnya kalau iya, aku kan nggak perlu sibuk cari cowok yang bisa membantu aku. Bukannya apa, tapi hanya dengan begitu perjodohan kami bisa dibatalkan."
"Pruuut!"
Teh di mulut Vonda keluar. Terburu-buru ia mengambil tisu dan membersihkan kekacauan itu.
"A-apa?" tanya Vonda gagap.
Olivia meletakkan tehnya di atas meja dan tersenyum. "Kalau Max dan kamu pacaran, itu artinya aku terbebas dong dari perjodohan ini."
Ya ampun.
Perkataan Olivia membuat Vonda merasa seperti dirinya sedang bergerak di komedi putar dengan posisi kepala di bawah. Semua penjelasan Olivia berjejer rapi di benak Vonda.
Perjodohan. Pembatalan.
Sial!
Vonda baru menyadarinya.
Jadi ini cewek datang ke sini bukannya mau melabrak aku karena sudah hadir di hubungan mereka? Melainkan justru ingin mengkonfirmasi bahwa apa benar perjodohan mereka bisa dibatalkan? Bisa dibatalkan karena dia menganggap aku dan cowok gila ini pacaran? Nggak mungkin. Nggak mungkin.
Vonda geleng-geleng kepala. "Aku dan Max nggak pacaran, Via."
"Eh?" Olivia menatap polos pada Vonda. "Tante Reny bilang Max sudah punya pacar yang namanya Vonda."
Max melihat pada Olivia. Benar-benar tak percaya dengan apa yang ia katakan.
Sebenarnya apa aja yang udah Mama bilangin ke dia sih?
"Oh ... itu nggak benar, Via."
Max berpaling pada Vonda. Cewek itu tampak bersikeras membantah perkataan Olivia.
"Nggak benar?" tanya Olivia seraya mengerjap beberapa kali. "Ya kalau gitu tinggal buat hal itu jadi satu kebenaran dong."
"Maksudnya?"
"Ya kalian tinggal pacaran aja mulai dari sekarang. Selesai kan?"
"Eh? Mana bisa gitu?" Vonda bergidik. "Pokoknya aku nggak mau pacaran sama dia."
Olivia menarik napas sejenak. "Pokoknya kamu harus pacaran sama dia. Biar kami nggak dijodohkan lagi."
"Nggak mau. Pokoknya kamu dan Max harus tetap dijodohkan."
"Ya nggak bisa gitu. Kan katanya kalian udah pacaran."
"Apalah arti pacaran dibandingkan dengan perjodohan?"
"Nggak kayak gitu, Von. Max harus dengan kamu."
"Yang bener adalah Max harus dengan kamu, Via."
Saat Vonda dan Olivia saling bertukar argumen, Max justru sibuk toleh kanan toleh kiri. Melihat bergantian pada kedua orang cewek yang sama keras kepalanya itu. Keras kepala yang membuat ia jengkel setengah mati dari tadi. Hingga mendesak Max ingin meledak rasanya.
"Argh!"
Max benar-benar menggeram. Membuat Vonda dan Olivia menghentikan laju kata-kata mereka. Kini keduanya sama-sama menatap pada Max dengan bingung.
"Kalian berdua benar-benar kelewatan ya?" tanya Max frustrasi. "Bisa banget coba kalian ngopor-ngoporin aku kayak gini?"
Vonda dan Olivia kompak membisu tatkala mendapati Max yang mendadak bicara.
"Kalian sadar nggak kalau omongan kalian berdua kayak yang menjatuhkan harga diri aku? Memangnya aku jelek banget ya sampai dari kalian berdua nggak ada yang mau mempertahankan aku?" tanya Max dengan wajah memerah.
"Kan kita dari awal memang nggak setuju dengan perjodohan ini, Max," jawab Olivia.
"Ya memang sih, Via. Cuma ... nggak usah segitunya juga kali buat membatalkannya. Pakai acara kayak gini. Seolah-olah aib banget dijodohkan sama aku."
Max membuang napas kasar. Kali ini ia ganti menatap Vonda.
"Kamu juga, Von. Sama atasan sendiri ya? Berani kamu?"
"Aku cuma nggak mau dijadikan alasan buat pembatalan perjodohan orang. Kayak aku kurang cakep aja sampai-sampai merebut cowok orang."
Max meringis. "Ya ampun."
"Kamu nggak merebut siapa dari siapa, Von," ujar Olivia. "Kamu nggak perlu merasa bersalah."
Vonda bersikeras menolak. "Pokoknya nggak."
"Lagi pula Max ganteng kan? Lihat deh lihat. Dia itu cakep."
Max meradang. "Udah telat buat muji aku kini, Via."
Namun, Olivia mengabaikan rutukan Max. "Dia tinggi. Badannya bagus. Wajahnya cakep. Kapan lagi coba kamu bisa dapatkan cowok kayak gini?"
"Kenapa berasa kayak sales lagi menawarkan barang sih?" rutuk Max lagi.
Olivia mengabaikan Max. Tatapannya tetap tertuju pada Vonda. "Bener kan yang aku bilang?"
Vonda melirik Max. Hanya sekilas lantaran ia menyadari sesuatu. Bahkan tanpa melihat pun ia bisa mengetahui kebenaran dari perkataan Olivi. Ya ... Max memang menarik sebagai seorang pria. Cuma ... tetap saja. Vonda kembali menggeleng.
"Walau bagaimanapun juga aku tetap nggak mau jadi pacar Max," kata Vonda keukeuh. "Aku nggak mungkin bisa menjalin hubungan dengan cowok kayak gini."
Oh, ho! Ada harga diri seorang cowok yang tersentil di sini.
"Cowok kayak gini?" tanya Max dengan nada tersinggung. "Maksud kamu apa?"
Vonda manyun. "Kamu itu cowok ganas. Kasar. Dan aku nggak suka tipe cowok yang gitu."
"Eh? Max ganas? Kasar?" tanya Olivia dengan nada kaget.
"Fitnah!" tukas Max. "Memang kapan aku pernah kasarin kamu? Kapan aku pernah ganasin kamu?"
Vonda mengangkat dagu, menuding pada Max. "Kamu nggak bakal tau karena kamu adalah cowok."
"Oh, please. Coba kasih tau aku," tantang Max. "Jangan asal fitnah deh jadi cewek."
"Aku nggak asal fitnah," balas Vonda kemudian.
"Jadi apa?" desak Max. "Bukti kalau aku pernah berbuat ganas sama kamu. Kasar sama kamu. Apa buktinya?"
Vonda menyipitkan mata. Tangan bersedekap di depan dada dan tanpa tedeng aling-aling, ia pun berkata.
"Buktinya adalah kamu udah buat aku nggak bisa pipis seharian!"
Eh?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro