Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Adu Strategi

Vonda begitu terburu-buru dan ketakutan menarik tangan Sarah. Tak memedulikan 'ah eh ih oh uh' Sarah yang terlontar bergantian dari tadi, ia tetap membawa kakinya melangkah dengan cepat. Saking cepatnya, langkah terburu mereka itu nyaris membuat mereka silap beberapa kali. Beruntung sekali kaki mereka sudah terlatih berjalan dengan hak lancip selama ini. Jadi kemungkinan mereka untuk jatuh tersungkur dan mencium lantai bisa dihindari.

"Kamu kenapa sih, Von?"

Vonda tak menghiraukan pertanyaan Sarah. Kalaupun Vonda benar-benar ingin menjawab, tentu saja saat itu bukanlah waktu yang tepat. Ada berapa pasang telinga yang bisa mendengar perkataan dirinya. Lagi pula, dibanding harus menghabiskan waktu untuk menjawab pertanyaan Sarah, Vonda lebih memilih untuk melarikan diri sejauh mungkin terlebih dahulu. Saking ingin melarikan diri, Vonda tak yakin dirinya masih bernapas dari tadi.

Sekitar sepuluh lima menit kemudian, setidaknya saat mereka sudah berada di dalam lift, Vonda bisa menarik napas dengan lega kembali. Tak memedulikan karyawan lainnya di lift, Vonda menyandarkan punggung di dinding lift yang dingin. Terengah-engah menarik napas sepuas mungkin.

"Ya Tuhan. Akhirnya aku bisa kabur lagi."

Sarah menatap Vonda dengan dahi berkerut. "Kabur?"

Kembali tak menghiraukan pertanyaan Sarah, Vonda hanya meneguk ludah berkali-kali. Tenggorokannya terasa kering kerontang dan ia terus menarik udara seraya geleng-geleng kepala, hingga membuat Sarah menjadi kesal karenanya.

Sayangnya Sarah bukan tipe wanita penyabar. Jadi tidak heran bila pada akhirnya gantian ia yang kemudian menyeret Vonda ke parkiran. Tepat ketika lift membuka di lantai dasar.

"Sar?" Vonda mengerjap bingung. "Kamu mau bawa aku ke mana?"

Sarah tidak menjawab. Alih-alih mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Vonda. Membuat cewek itu bingung.

"Kamu kenapa sih, Sar?"

Sarah mendengkus. "Itu persis pertanyaan aku tadi sewaktu kamu seret aku sambil terbirit-birit dari ruangan kamu."

Mata Vonda membesar. Teringat akan hal itu.

"Ah."

Vonda meneguk ludah. Tepat ketika hak sepatunya tersangkut.

"Eh."

Untung saja Vonda tidak terjatuh. Membayangkan ia tersungkur di parkiran membuat ia bergidik.

"Ih!"

Mencari sumber masalah di sepatunya, Vonda mendapati haknya telah terkikis sebelah. Pantas saja ia merasa tidak nyaman.

"Oh."

Menyadari bahwa hak sepatu telah rusak sebelah, otomatis hal tersebut membuat Vonda kesal. Sudah menjadi cukup tanda baginya untuk membeli sepatu baru bulan depan. Ia pun mengeluh.

"Uh!"

Di depannya, Sarah mengembuskan napas. Berhenti melangkah dengan mendadak di dekat satu mobil, nyaris membuat Vonda menubruk dirinya.

Sarah memutar tubuh. Mendapati Vonda yang manyun dan Sarah mengangkat tangan. Menunjuk pada Vonda.

"Kita perlu ngomong berdua sebelum balik, Von."

Bibir Vonda kian manyun. Menggerutu pelan. "Ini kenapa orang-orang pada mau ngomong berdua sama aku terus sih?"

Mata Sarah melotot.

"I-iya ... iya," kata Vonda cepat, lalu ia tersenyum. "Mau ngobrol di mana?"

Tak menjawab, Sarah mengeluarkan kontak mobil dari dalam tasnya. Menekan smart key itu dan mobil yang berada di dekat mereka berbunyi.

"Masuk."

Vonda hanya terkekeh geli mendengar perintah dari Sarah. Tak membuang waktu, ia mengikuti Sarah yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam mobil itu.

Sepanjang perjalanan, Sarah tak mengatakan apa pun. Mungkin ia takut pembicaraan bisa membuat konsentrasi mengemudi dirinya lenyap dan mengakibatkan mereka berdua kecelakaan. Akhirnya keheninganlah yang mewarnai perjalanan mereka.

Beberapa saat kemudian, Sarah membelokkan kemudi. Mobil melaju masuk ke dalam satu kawasan kafe. Sepuluh menit berlalu dan mereka sudah duduk di salah satu meja. Menunggu pesanan mereka.

Sementara Vonda tampak memutari pandangan menilai keadaan kafe itu, Sarah justru melakukan hal yang sebaliknya. Melipat kedua tangannya di atas meja dan matanya tajam menyipit pada Vonda.

"Udah. Nggak usah berusaha buat mengalihkan fokus sore ini. Kamu tau masa penghakiman kamu bentar lagi bakal datang."

Suara Sarah terdengar mengandung ancaman hingga membuat Vonda pelan-pelan membawa matanya balas menatap pada Sarah. Ia terlihat salah tingkah. Sarah menarik napas dalam-dalam.

"Kamu nggak merasa mau menjelaskan something gitu ke aku?" tanya Sarah dengan dahi yang terlihat berkerut. "Karena jujur aja, sekarang ini aku butuh penjelasan. Semuanya terasa kusut di dalam kepala aku."

Bibir Vonda manyun.

"Karena ... karena .... Ya ampun. Tadi itu aku jelas banget lihat itu ketua baru kamu megang tangan kamu. Mana erat lagi. Padahal dia baru berapa hari coba kerja. Ehm ..." Sarah terlihat berpikir sejenak. "Baru tiga hari, Von. Dan kalian sudah di dalam tahap hubungan yang saling memegang tangan gitu?"

Bibir Vonda masih mayun.

"Dan tadi ... aku nggak mungkin salah dengar saat dia bilang aku 'Sarah Saroh Saru'." Sarah benar-benar meringis. "Panggilan memalukan itu ... dia tau dari mana panggilan khas kamu ke aku?"

Vonda meneguk ludah, bahkan tanpa sadar menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Juga telinga aku nggak mungkin bermasalah karena jelas-jelas tadi kamu manggil dia bukan dengan panggilan 'Pak'. Melainkan 'Mas'."

Mata Vonda terpejam dramatis. Di saat itulah ia baru menyadari bahwa selama ini-selama ia dan Max berinteraksi di kantor sebagai atasan dan bawahan-mereka tetap saling memanggil dengan panggilan Mas dan Mbak.

Oalah, Tuhan. Mana ada atasan dan bawahan seperti mereka berdua?

"Von?"

Vonda menyerah. Ia menarik napas sekilas.

"Sebelum aku cerita," kata Vonda pada akhirnya. "Aku cuma mau memastikan sesuatu. Kamu nggak ada riwayat sakit jantung kan?"

Kengerian membayang di wajah Sarah. "Maksud kamu apa?"

Sekilas, Vonda menggigit bibir bawah. Mengambil jeda beberapa detik sebelum lanjut bertanya.

"Kamu nggak lupa insiden aku test drive di pinggir jalan itu kan?"

Sarah hanya mampu mengangguk sekali. "Ya, aku nggak lupa. Kan nggak mungkin aku bisa lupa kejadian hangat bin gila seperti itu. Bahkan seumur hidup pun aku nggak bakal lupa."

"Oke." Vonda mengembus napas panjang sekali. "Intinya adalah ... kamu belum tau kan siapa cowok itu?" tanyanya. "Cowok yang ntah jadi korban atau tersangka dalam tragedi test drive pinggir jalan itu ... kamu nggak tau kan?"

Pertanyaan Vonda membuat Sarah melotot, lalu satu kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya dengan napas yang seolah tercekik.

"Shit!"

Bola mata Vonda berputar sekali. Sama sekali tidak heran dengan respon Sarah yang satu itu.

"Dia, Von? Cowok yang nge-test drive-in kamu itu, dia?" cerca Sarah. "Pak Max?"

Lesu, tapi Vonda memaksa kepalanya untuk mengangguk.

"Wah! Daebak!"

Mata Vonda mengerjap. "Dae-dae-daebak?"

"Sekali pecah perawan, eh malah cowok secakep itu yang mecahin."

Tangan Vonda pun meraih buku menu. Tanpa aba-aba ia langsung bangkit demi memukul kepala Sarah dengan benda itu. Ia duduk kembali bertepatan dengan 'aduh' Sarah.

"Gila kamu ya, Sar," ujar Vonda mendelik. "Bisa-bisanya ngomong gitu di saat aku yang lagi pusing begini."

Sarah mengusap kepala. "Kenapa pusing? Kalian berdua sudah sama-sama dewasa kan? Ehm ... malam itu dia pakai kondom kan?"

"Ya Tuhan!"

Vonda menyesal hanya memukul kepala Sarah dengan buku menu. Harusnya langsung saja ia pukul dengan kursi.

Sarah tertawa.

"Aku yakin kok kalau dia pakai kondom. Hahaha. Terus sekarang ada apa?" Tatapan mata Sarah berubah menjadi tatapan menggoda. "Apa dia jadi ketagihan sama kamu? Merasa jatuh cinta gitu?"

Bahu Vonda jatuh lemas seketika. "Nggak, tapi yang terjadi sekarang adalah hal yang paling menakutkan sedunia."

"Apa memangnya?"

"Dia minta pertanggungjawaban aku, Sar. Dia mau aku datang buat menemui orang tua dia."

"Eh?" Sarah melongo, matanya membesar, dan mulutnya pun menganga. "Nggak salah?"

"Nggak."

"Nggak kebalik?"

"Nggak."

"Kok bisa?"

"Ya mana aku tau," jawab Vonda meringis. "Dan karena itulah kenapa akhir-akhir ini aku berusaha kabur dari dia. Ya kali aku datang temui orang tua dia."

Sarah diam dengan dahi berkerut. "Aneh banget. Lagian juga, kok bisa kamu di-test drive-in sama Pak Max sih?"

"Ya ampun, Sar. Malam itu aku mabuk. Aku salah naik mobil. Aku pikir dia itu ojol aku. Eh, taunya bukan."

Sarah angguk-angguk kepala. "Terus?"

"Terus aku pikir semua kecelakaan itu bisa kami lupakan. Ya kali, Sar. Itu nggak sengaja kan? Kalau ada yang rugi, sebenarnya itu pun aku. Eh, kok malah dia yang minta pertanggungjawaban aku?"

"Hihihi."

Vonda melotot mendapati Sarah yang spontan terkikik.

"Sorry-sorry, cuma ... gimana lagi coba? Ini langka banget. Di mana ada cowok yang minta pertanggungjawaban?"

Vonda menahan napas sejenak. Sengaja menunda membalas perkataan Sarah karena ada pelayan yang datang membawa pesanan mereka. Usai pelayan itu berlalu, Vonda berkata.

"Makanya itu. Dia bilang dia bakal melaporkan aku ke polisi kalau aku nggak mau menemui orang tua dia."

"Ehm ... ini agak berat juga sih masalahnya."

Vonda menyeruput es capuccino pesanannya. "Berat gimana?"

"Soalnya bukan apa, Von. Pak Max itu masih keluarganya Pak Dirut kan? Pak Lucas. Dia masih sepupunya. Ya kali kamu buat masalah sama keluarga Pak Dirut."

Sedotan terlepas dari bibir Vonda yang memakai lipstik merah muda. Baru menyadari hal tersebut, kali ini dia yang mengumpat.

"Shit!"

Sarah mengeluarkan raut wajah penuh simpatik. "Aku nggak tau mana yang lebih parah antara masuk penjara atau dipecat nggak terhormat tanpa pesangon."

Vonda merasakan nyawanya sudah hilang separuh.

"Ya Tuhan."

***

Menjelang akhir pekan, pagi itu Max bangun dengan kesal. Mandi keramas pun terbukti tidak mampu meredakan pusing kepala. Otaknya sedang kusut. Terlebih lagi ketika ia melihat ke atas meja nakasnya. Di mana ponselnya berada dan ia mengembuskan napas panjang.

Mama benar-benar nggak hubungi aku berapa hari ini. Kalau besok aku sampai nggak bisa bawa Vonda ke rumah, ya ampun. Aku nggak bisa bayangin bakal semurka apa Mama ke aku.

"Argh!"

Max menggeram. Membuka pintu lemari dengan kesal dan menarik kemeja yang rapi dari sana, lalu mengenakannya.

"Astaga. Itu Vonda benar-benar kebangetan ya? Dua hari ini sengaja banget nyuruh Sarah jemput di ruangan. Ya kali di depan temannya aku seret-seret dia."

Max mendengkus dan bingung memikirkan cara untuk membawa Vonda menemui orang tuanya. Bertepatan dengan satu denting yang menyapa gendang telinga.

Ting!

Max menoleh ke atas nakas. Dahinya yang memang sudah berkerut menjadi kian berkerut mendengar denting ponsel bernada asing itu. Ketika ia mendekati, Max menyadari bahwa bunyi itu bukanlah berasal dari ponsel miliknya. Melainkan ponsel lainnya yang berada di dekatnya.

Max meraih ponsel itu. Ponsel yang tak lain dan tak bukan adalah milik Vonda. Heran, tapi selama beberapa hari ini Max spontan saja rutin mengisi daya baterai benda pipih itu. Menjaganya untuk tetap menyala.

Mata Max sedikit menyipit saat melihat pemberitahuan pesan masuk ke ponsel Vonda. Mengabaikan dan tak peduli akan pemberitahuan yang selama ini masuk ke sana, Max justru merasakan hal lain pagi itu. Iseng, Max mengusap turun layar ponsel dan melihat beberapa pemberitahuan pesan di sana. Namun, ada satu yang membuat Max tertarik.

"Ando?"

Max bergumam pelan. Ingatannya melayang ke belakang.

"Mbak, ini kita mau ke mana?"

"Ke kantor polisi bisa, Mas?"

"Eh? Mau ngapain, Mbak?"

"Melaporkan Ando dan Lesti untuk tindakan nggak menyenangkan. Hiks! Mereka main kuda-kudaan di kantor, Mas."

Max meringis teringat akan bayangan malam itu. Tak perlu bertanya pada siapa pun, Max pun bisa mengetahui siapa adanya Ando itu.

"Ternyata ini toh pelaku kuda-kudaan," kata Max geli.

Entah apa yang terbersit di benak Max hingga kemudian ia memfokuskan retina matanya pada sedikit pesan yang tampak di pemberitahuan itu. Kali ini ia benar-benar menarik turun layar untuk membaca pesan itu.

Ando :
Von! Angsuran mobil bulan ini belum kamu bayar?

Geli di wajah Max menghilang. Tergantikan oleh wajah melongo tak percaya. Ia pun teringat dengan percakapan lainnya antara mereka malam itu. Tentang mobil, DP, dan tagihannya bulan ini.

Max meletakkan kembali ponsel Vonda di atas nakas. Beranjak kembali ke lemari untuk berpakaian. Namun, ketika Max menatap pantulan diri di cermin, tak urung juga lirihan meluncur dari bibir cowok itu.

"Ini cowok sebangsa nggak ada kemaluan atau gimana ya? Bisa-bisanya ngomong soal angsuran mobil sama mantan yang udah dia sakiti kayak gitu?"

Max memutar tubuh. Kembali mengambil ponsel Vonda untuk mengirim balasan melalui pemberitahuan itu.

Vonda :
Nggak punya otak atau nggak punya rasa malu?
Udah selingkuh masih aja bahas angsuran mobil?
Jual saja sana kejantanan kamu buat bayarnya.

Max tersenyum puas seraya meletakkan kembali ponsel itu di nakas, lalu kembali lagi menghadap ke cermin seraya menggerutu.

"Malu-maluin kaum cowok aja. Bisa-bisanya dia hubungi mantan lewat chat cuma gara-gara angsuran mobil yang mobilnya aja udah ia jual."

Memasang dasi di leher, Max mendadak tidak habis pikir.

"Perasaan Vonda itu terlepas dari sifat gilanya, tapi dia lumayan cantik sih. Posisi dia pun sudah cukup membuktikan kalau dia pintar dan kompeten. Kok malah bisa ya punya pacar kayak gitu?"

Max menarik ekor dasi. Merapikannya sekilas sebelum beranjak meraih jas.

"Padahal berbekal fisik saja dia pasti bisa dapat cowok kaya. Belum lagi dengan otaknya. Cuma kok malah dapat cowok nggak tau malu ya?"

Kedua tangan Max yang baru saja mengusap lidah jas mendadak berhenti seketika. Dahinya berkerut ketika sesuatu melintas di benaknya.

"Ponsel. Fisik."

Mata Max membesar. Lantas, satu seringai muncul di benaknya.

"Hahaha! Sepertinya aku tau cara buat seret Vonda untuk bicara sama aku atau bahkan lebih dari itu."

Max tertawa puas.

"Aku bisa pastikan dia dengan sukarela mau menemui orang tua aku. Hahaha."

Max yang semula uring-uringan, mendadak bersemangat melajukan mobil ke kantor. Ketika ia sampai di ruangan, ia menemui Vonda. Meletakkan anak kunci di meja kerja cewek itu. Vonda menatap heran pada Max.

"Saya nggak bakal memaksa Mbak buat bicara sama saya lagi. Saya capek. Maksa-maksa cewek, itu bukan tipe saya banget."

Kebingungan langsung tercetak di wajah Vonda. Heran dengan perubahan sikap Max yang tiba-tiba sekali. Namun , sedetik kemudian Max berhasil membuat Vonda membeku. Itu adalah ketika Max mencondongkan tubuh ke arah Vonda seraya bertanya.

"Cuma saya pengen nanya aja gitu. Mbak pernah dengar cerita karyawan yang memilih mengundurkan diri karena malu foto bugilnya tersebar di kantor?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro