Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Tekad Yang Berbeda

Max melihat jam tangan. Jam kerja telah berakhir. Ia pun bangkit. Meraih jas yang ada di gantungan dan segera memasangnya kembali. Usai mengambil tas kerja, pria setinggi seratus delapan puluh delapan sentimeter itu beranjak keluar.

Tepat ketika Max melangkah keluar dari ruangan, di saat itu pula Vonda terlihat bangkit dari duduk. Mata mereka beradu pandangan. Max terpaksa harus mendeham gara-gara sesuatu melintas di benaknya.

"Kamu kenapa sih? Makan aja bisa kesedak gitu. Memang mikir apa?"

"Mikir soal malam itu, Mas."

Ya ampun. Sekarang malah aku yang mikirin omongan dia.

Di hadapannya, Vonda ikut-ikutan mendeham dengan wajah yang memerah. Terlihat ia melarikan tatapan ke arah lain sebelum Max berkata.

"Ayo. Buruan. Kita balik sekarang."

Vonda menggigit bibir bawah. Ajakan Max untuk pulang bersama membuat ia panas dingin seluruh badan. Ia tak yakin entah yang paling membuatnya takut. Membicarakan soal pertanggungjawaban dirinya atau tentang rencana menemui orang tua Max?

Astaga! Untung aku udah gila dari awal, jadi aku nggak perlu khawatir bakal jadi gila.

Max menutup pintu ruangannya di balik punggung. Melangkah dan bisa merasakan Vonda juga turut beranjak di belakangnya. Tangan cowok itu merogoh saku celana, mengeluarkan anak kunci. Memasukkan benda itu ke lubangnya dan memutarnya sebanyak dua kali.

Max baru saja menarik daun pintu, ketika mendadak saja ia menyadari bahwa Vonda adalah wanita paling gila yang pernah ditemuinya seumur hidup.

Tepat di detik Max membuka pintu maka di detik itu pula Vonda langsung mengambil tindakan. Ia dengan gerakan gesit dan cepat mengambil kesempatan di saat Max harus melangkah mundur bersamaan dengan tangannya menarik pintu tersebut.

Zuuut!

Vonda langsung berlari dan berkata.

"Saya duluan, Mas."

Untuk sedetik, Max hanya bisa terbengong. Sampai ia tersadar bahwa dirinya baru saja kecolongon oleh Vonda. Ia menggeram.

"Itu cewek!"

Max meremas daun pintu dengan kesal. Wajahnya mengeras. Mungkin merasa malu karena dipercundangi Vonda di detik-detik terakhir.

Kalau tau dia bakal kabur dengan licik kayak gini, ngapain juga aku sampai mengurung diri berdua sama dia selama delapan jam?

Max ingin meledak rasanya.

***

Vonda tersenyum dan bersenandung kecil masuk ke apartemen. Bisa kabur dari perangkap Max tadi benar-benar membuat ia bahagia.

"Lagian ya? Mana ada ceritanya cowok yang harus minta pertanggungjawaban cewek?" tanya Vonda seraya melenggang. Dua tangannya memegang benda yang berbeda. Satu bungkusan makanan di tangan kanan dan sepasang sepatu hak tinggi di tangan kiri.

Sekilas Vonda meletakkan sepatu itu di lemari yang terletak di dekat lorong penghubung pintu unit dan ruang tamu, lalu melanjutkan langkah kembali. Ia menyimpan bungkusan makanan di atas meja ruang tamu. Berpikir nanti saja membawa barang tersebut ke dapur. Ia lebih memilih untuk ke kamar terlebih dahulu.

Usai meletakkan tas kerja di meja, Vonda beranjak membuka kancing-kancing di kemeja yang ia kenakan sambil terus melangkah. Kali ini ia menuju ke kamar mandi.

Vonda memutuskan segera mandi lantaran gerah. Selama delapan jam kulitnya terpapar udara AC tanpa merasakan udara bebas hanya karena ulah Max. Ia tidak ingin mengalami penuaan dini karena kulit kering. Vonda melepaskan seluruh pakaian. Meletakkannya di keranjang pakaian sebelum masuk ke bilik pancuran.

Merasakan dingin air yang mengucur membasahi kepalanya, Vonda juga memijit-mijit kulit dengan lembut. Matanya mengerjap tatkala air membasahi wajah. Terpikir sesuatu.

"Cuma ... kalau aku nggak menuruti omongan dia, sebenarnya aku juga rugi loh."

Vonda menyadari itu.

"Ponsel dan kunci mobil aku masih sama dia."

Ya ampun. Vonda beruntung selalu membiasakan memberikan nomor telepon kantornya terhadap rekan-rekan kerjanya. Mereka terbiasa menghubungi Vonda lewat telepon, alih-alih pesan di ponsel. Tentu saja, lewat email yang pastinya.

Namun, tetap saja. Tanpa ponsel, itu artinya Vonda seolah hilang dari peradaban. Ia tidak tahu ada gosip baru apa di grup pesannya atau berita panas yang lainnya.

Intinya yang paling penting adalah sudah tiga hari ini ia tidak memposting foto di akun Instagram. Padahal di malam pesta pernikahan direktur utama kala itu, Vonda sudah berganti pose tidak terhitung banyaknya hanya demi mendapat foto yang keren untuk diunggah. Sekarang boro-boro akan mengunggah, ponselnya saja masih dengan Max.

Vonda menyadari dirinya tidak mungkin bisa mendapatkan semua barang-barangnya dari Max dengan mudah. Max tentu akan memperalat dirinya dengan ponsel dan kunci mobil itu.

"Argh!"

Vonda bisa saja memikirkan untuk membeli ponsel. Namun, tidak dengan kunci mobil. Apalagi kunci utama maupun kunci cadangannya sama-sama tidak ia miliki saat ini.

Pilihan yang berat, tapi Vonda bertekad menghindari Max. Sebisa mungkin akan benar-benar menghindarinya. Ia sungguh tidak ingin membahas soal pertanggungjawaban yang mengerikan itu.

"Menemui orang tuanya?" tanya Vonda tak percaya ketika malam itu ia merebahkan tubuh di atas kasur.

Kepala Vonda menggeleng-geleng di atas kasur.

"Dalam mimpi pun aku nggak bakal mau ketemu sama orang tuanya."

Selesai menggumamkan hal itu, Vonda menutup mata. Tidur dan apa yang ia ucapkan datang. Menjelma menjadi tayangan di dalam alam bawah sadar. Mimpi buruk kembali muncul. Mengganggu istirahat Vonda.

Sepasang orang tua mendobrak pintu unit apartemennya dengan begitu brutal dan lalu menangkap dirinya. Ia diikat di kursinya dan disiksa.

"Kamu nggak mau bertanggungjawab, Von?"

"Kamu ingin kabur dari kejahatan yang telah kamu perbuat?"

Vonda meneguk ludah.

"Kami tidak akan membiarkan kamu bebas berkeliaran sementara Max harus menderita dan menjalani hidup seorang diri."

"Kamu harus menikahi Max atau kami akan membunuh kamu."

"Tidaaak!"

Vonda bangkit dari tidurnya dengan sama mengenaskannya seperti semalam. Dengan napas terengah-engah, tubuh bergetar, dan keringat sebesar biji jagung yang membasahi wajahnya.

"Ya Tuhan."

Dadanya naik turun dengan begitu tergesa-gesa, seolah-olah selama tidur tadi ia tak bisa menghirup udara. Amat frustrasi, Vonda mengusap wajah hingga ke kepala. Ia terlihat begitu menyedihkan dan meringis.

"Bahkan dalam mimpi pun aku benar-benar dipaksa untuk bertemu dengan orang tua Max."

Vonda meremas rambutnya.

"Nggak di dunia nyata, nggak di dunia mimpi," kata Vonda ngeri. "Kenapa aku harus mengalami teror seperti ini?"

***

Max menatap ponselnya keesokan hari. Menunggu untuk beberapa saat dan lalu tersenyum. Tangannya naik, berkacak di pinggang. Wajah menengadah ke atas dan kemudian ia tertawa.

"Hahaha."

Max tertawa lepas.

"Akhirnya hari ini bisa dimulai tanpa drama telepon dari Mama."

Namun, sedetik kemudian tawa Max berhenti. Wajahnya turun kembali dan kali ini dahinya berkerut.

"Ah! Cuma walaupun Mama nggak nelepon pagi ini, bukan berarti masalah ini selesai."

Max menggaruk kepala. Menggeleng sekali. Menyadari bahwa kebahagiaannya yang beberapa detik tadi dengan cepat tergantikan oleh kenyataan lain.

"Gimanapun juga aku nggak bisa terus menerus menghindari Mama. Ya kali seumur hidup aku menghindari Mama. Kan nggak mungkin."

Max berpikir.

"Kalau aku pikir-pikir, kok aku kayak yang sial banget ya? Gimana bisa gitu ceritanya aku ketemu sama dua orang wanita yang sama-sama bisa buat aku pusing kayak gini?" tanya Max kesal. "Dari Mama dan eh ... sekarang ada Vonda."

Max menarik napas dalam-dalam. Di benaknya ia bertekad. Apa pun yang terjadi, hari ini dirinya benar-benar harus bisa menyeret Vonda untuk bicara berdua saja dengannya secara pribadi. Ia harus bisa membuat kesepakatan dengan Vonda agar mau menemui orang tuanya.

Alhasil jangan heran jika saat Max masuk dan menemukan Vonda duduk di kursinya, cowok itu langsung mengunci pintu. Kemarin Max sudah mengatur rencana dan dengan sengaja membawa pulang anak kunci ruangan mereka. Ia tidak ingin Vonda berinisiatif menyembunyikan anak kunci itu dan mempercundangi dirinya lagi.

Vonda mengerjapkan matanya yang terasa berat. Mengantisipasi Max yang mendekati dirinya dengan tatapan mengancam.

"Mbak nggak bakal bisa kabur dari saya lagi. Awas saja. Balik ntar Mbak bakalan saya seret."

Glek!

Vonda meneguk ludah sementara Max langsung beranjak ke ruangannya. Meninggalkan Vonda yang serta merta memutar otak. Mencari ide untuk bisa melarikan diri dari Max dan hal itu datang dalam bentuk Sarah. Vonda menyeringai penuh arti. Yakin bahwa sore nanti ia bisa kabur lagi.

Ketika waktu pulang kantor tiba, Max sebenarnya sudah mengantisipasi ide licik Vonda. Jadi Max pun memikirkan cara untuk menahan Vonda. Max menggenggam tangan Vonda tepat ketika cewek itu bangkit dan beranjak dari meja kerjanya.

"Mas?"

Vonda tergugu. Matanya menatap tak percaya saat menyadari bagaimana tangan Max yang besar memegang tangannya.

Glek!

Mata Max menyipit melihat Vonda.

"Kenapa?" tanya Max kemudian. "Apa Mbak teringat sesuatu yang lainnya kalau saya megang tangan Mbak kayak gini?"

"Eh?"

Max mendeham sejenak, lalu mengangkat tangan Vonda ke atas. Tepat di antara wajah mereka sehingga membuat Vonda terpaksa mengangkat wajahnya demi bisa melihat kedua mata Max yang cokelat gelap. Pertanyaan Max membuat ia merasa sesak napas.

"Ehm ... saya megang tangan Mbak kayak gini ... nggak buat Mbak ingat waktu malam itu kan? Yang di saat saya megang tangan Mbak dan menahannya di dinding?"

Vonda melotot. Menyadari ke mana arah pembicaraan Max. Namun, seakan semuanya perlu menjadi lebih jelas, Max justru menambahkan.

"Sewaktu kita pakai gaya cicak di dinding."

"Astaga."

Vonda mendesis horor dengan kengerian di wajah. Satu tangannya yang bebas naik dan menutup mulutnya yang menganga.

"Omongan Mas ini ... wah!"

Max geram. "Kayak Mbak pernah mikir saja kalau mau ngomong."

Cowok itu menurunkan tangan seraya mengembuskan napas panjang. Wajah Vonda terlihat memerah karena perkataannya tersebut. Anehnya, justru membuat Max merasa geli sendiri. Alih-alih merasa kesal seperti beberapa waktu yang lalu.

"Sudah!" putus Max. "Kita balik dan mampir dulu. Ke mana gitu. Asalkan kita bisa ngobrol berdua."

Vonda mengatupkan mulut rapat-rapat. Membiarkan tangannya ditarik oleh Max sewaktu cowok itu beranjak ke depan pintu.

Di pintu, Max kebingungan. Satu tangannya memegang tangan Vonda dan satu lagi memegang tas kerjanya. Ia melirik Vonda sekilas yang menyampirkan tas di bahunya. Tak berpikir dua kali, Max mengulurkan tas kerjanya. Vonda dengan wajah bingung menerima dengan satu tangannya yang bebas. Ketika Max memutar anak kunci, Vonda menunggu dengan penuh antisipasi.

Krek!

Max menarik pintu itu hingga terbuka dan satu sapaan langsung menyapa gendang telinganya.

"Selamat sore, Pak."

Max mengerjap. Mendapati seorang cewek berdiri di depan ruangan, tersenyum, dan menyapa dengan ramah. Bingung karena tak mengenal siapa adanya cewek itu, membuat Max hanya membalas sopan dengan seadanya.

"Selamat sore."

Cewek itu masih mempertahankan senyumnya. "Saya Sarah, Pak. Lengkapnya Salsabilla Sarah. Dari bagian HRD."

"Sarah." Max menyebut nama itu dengan bingung. Terasa familiar, membuat ia bergumam rendah. "Sarah ... Saroh ... Saru ?"

Gantian Sarah yang mengerjap. "Eh?"

Seolah baru menyadari apa yang terlepas dari bibirnya, Max terbata berkata. "Oh, Sarah. Ada apa?"

Kebingungan tercetak di wajah Sarah. Namun, belum lagi ia menjawab, eh mendadak saja pintu yang masih terbuka setengah dan ditahan oleh Max, terbuka dengan kuat.

"Sarah!"

Fokus mata Sarah berpindah. Pada Vonda yang baru ia sadari berada di balik pintu itu dengan .... Mata Sarah mengerjap lagi. Pada tangan Vonda yang digenggam oleh Max!

Omo! Vonda.

Vonda menyadari arah tatapan mata Sarah. Ia dengan serta merta menarik tangannya terlepas dari genggaman Max yang mengendur karena kehadiran Sarah.

"Eh?"

Max menoleh. Melotot pada Vonda yang melepaskan diri dari dirinya. Rasanya Max ingin mengumpat, tapi Vonda sudah berkata lebih dahulu seraya menyerahkan tas kerjanya pada tangannya yang seolah melemas tanpa tenaga.

"Saya permisi pulang duluan, Mas."

Seperti tak terjadi apa-apa, Vonda langsung meraih tangan Sarah dan terbirit-birit melarikan diri dari sana. Membuat Max hanya bisa menggenggam tas kerjanya dengan menggeram penuh kekesalan.

"Itu cewek!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro