10. Tanpa Sadar
~ Ironis mungkin, tapi sebenarnya tanggung jawab memang nggak mengenal jenis kelamin. Termasuk bila itu menyangkut soal alat kelamin. ~
Kring!
Bertepatan dengan kancing terakhir yang Max masukkan ke lubang di pergelangan tangan kemeja, ponselnya berdering. Memutar tubuh, Max menatap benda pipih itu di atas nakas. Sedikit bergetar.
Untuk beberapa saat lamanya, Max tak ubahnya seperti orang linglung. Hanya diam di tempatnya berdiri. Seakan sedang menunggu apakah ponselnya itu akan meledak atau tidak.
Hingga beberapa saat kemudian, dering itu pun berhenti. Tanpa sadar Max mengembuskan napas lega. Seolah dering itu bukanlah bunyi dari ponsel, melainkan gema terompet Malaikat Kematian.
Max kembali membalikkan badan. Berniat untuk lanjut berpakaian. Kali ini ia mengulurkan tangan demi meraih jas hitam yang tersemat pada gantungan pakaian di dalam lemari.
Kring!
Max terlonjak kaget. Dengan raut horor, ia berbalik lagi. Meneguk ludah dan menyadari satu kemungkinan. Bila panggilan pertama bisa dilanjutkan oleh panggilan kedua maka sangat bisa dipastikan panggilan kedua akan dilanjutkan oleh panggilan ketiga, andai panggilan ini tidak segera diangkat. Benar kan?
Akhirnya Max beranjak dari tempatnya berdiri. Menuju ke nakas dan meraih ponsel. Ketika ia melihat nama pemanggil di layar, Max menarik napas dalam-dalam. Dugaannya benar.
"Halo, Ma."
Max berusaha untuk menyapa ibunya dengan seramah mungkin. Bukannya apa. Setahu Max, bisa kualat kalau bicara kasar sama orang tua.
"Ya ampun ini anak ...."
Hanya saja masalahnya adalah orang tua tidak akan pernah kualat kalau bicara geram seperti ini pada anaknya.
Hiks!
Max menguatkan hati. Bersiap untuk menerima takdir yang membayang di depan mata.
"Lihat kan? Udah berani nggak angkat telepon Mama kan? Kenapa? Mama ada buat salah?"
Sabar ... sabar ....
Max menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku abis dari toilet, Ma. Memangnya Mama mau aku angkat telepon Mama di sana?"
"Kamu ini!"
"Makanya aku baru bisa angkat telepon Mama sekarang," sambung Max cepat. "Ehm Mama nelepon sepagi ini ... buat bangunin aku? Aku udah bangun kok, Ma. Ini udah mau berangkat bentar lagi."
"Sembarangan ngomong Mama nelepon cuma buat bangunin kamu. Mama cuma mau nanya. Kemaren kamu udah ngomong sama Vonda?"
Max memejamkan mata dengan dramatis. Rasa-rasanya ia sangat ingin mengumpat sekarang. Namun, Max mencoba untuk bertahan. Ia tidak ingin karena kelepasan emosi justru membuat petaka menghampiri dirinya. Kecelakaan mobil saat ingin ke kantor misalnya.
"Ma," ujar Max seraya berusaha untuk menjaga intonasi suara. "Kemaren aku belum sempat ngomong."
"Loh? Kok belum sih?"
Max memaksa tersenyum walau tidak akan bisa dilihat oleh ibunya. Dengan otak yang terus berputar demi memikirkan alasan.
"Ma, please. Mama pikir Vonda ini anak Sultan atau Putri Raja? Yang dia nggak ada kerjaan gitu?"
"Oh."
"Dia itu kerja, Ma. Sekarang dia lagi sibuk-sibuknya urus pekerjaan yang terbengkalai selama hampir empat bulan."
"Oh."
"Mama nggak tau kan? Dia itu wakil ketua di departemen dia kerja, Ma. Jadi kerjaan dia bukan nonton gosip di televisi. Dia repot."
"Oh."
"Mana selama ini ketua departemen dia berurusan sama polisi lagi. Itulah mengapa semua pekerjaan akhirnya ditangani sama dia. Vonda itu harus lembur dan mondar-mandir nggak ketulungan seorang diri, Ma."
"Oh."
"Jadi Mama bisa mengerti kalau aku butuh mencari waktu yang tepat buat ngomong sama dia kan? Aku takut salah milih waktu malah buat dia stress loh, Ma."
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. "Maaf, Max. Mama nggak tau kalau Vonda wanita karier dengan tanggung jawab seperti itu."
Ehm sepertinya ada yang percaya dengan omongan aku pagi ini.
Secercah kelegaan perlahan tumbuh di benak Max.
"Makanya, Ma. Kalau Mama mendesak kayak gini, bisa-bisa Vonda kabur ketakutan lagi."
"Eh? Ya nggak gitu juga kali, Max."
Tanpa sadar, senyum di wajah Max berangsur berubah menjadi santai. Merasa perubahan nada di suara ibunya, membuat Max yakin kalau ia berhasil mengulur waktu untuk yang kesekian kali.
"Jadi gimana?" tanya Max kemudian. "Mama bisa sabar dikit kan selagi aku cari waktu yang pas buat ngomong sama Vonda?"
"Kayak Mama ada pilihan yang lain aja."
Senyum Max berubah menjadi senyum geli mendengar gerutuan ibunya itu.
"Mama berdoa aja ya? Biar aku dapat waktu yang pas buat ngomong sama dia. Dan selagi menunggu, please, Ma. Nggak usah nelepon aku tiap saat kayak gini. Ini persis banget kayak debt collector pinjol. Bikin hidup aku nggak tenang, Ma. Sumpah."
Tawa berderai di telinga Max. Sudah cukup untuk memberikan bayangan bagi cowok itu. Bahwa di seberang sana sang ibu merasa geli mendengar perkataannya.
"Oke, Mama nggak bakal neror lagi. Cuma sebagai gantinya ... kalau Mama nggak dapat kabar, Jumat besok Mama bakal sampairin kamu di unit. Awas aja kalau kamu menghindari Mama."
Glek!
Max melongo. "Eh?"
"Oke. Kalau gitu, hati-hati di jalan dan kerja yang bagus."
"Ma. Ma?"
Tut tut tut tut tut ....
Panggilan pun terputus.
Max mengembuskan napas panjang. Panggilan itu membuat dirinya terduduk lemas di tepi tempat tidur. Kepalanya pusing. Ia bisa memperkirakan bahwa dirinya memang tidak punya pilihan lain, kecuali membawa Vonda ke hadapan orang tuanya.
Kalau tidak, Max yakin ponselnya akan rusak sebentar lagi. Lantaran harus menerima telepon ibunya setiap saat hanya untuk menanyakan hal yang sama. Vonda.
Tapi, gimana caranya?
Itulah satu pertanyaan yang mengiringi kepergian Max menuju kantor. Pertanyaan yang membuat Max merasa tubuhnya lemas seketika. Hingga ia nyaris seperti zombi yang menyeret langkah kakinya.
Max menyipitkan mata. Ketika ia berbelok di lorong dan pandangannya terlempar ke seberang saja, ia melihat Vonda yang berdiam diri di depan pintu.
Kenapa dia belum masuk? Pintu terkunci atau gimana?
Max mempercepat langkah kakinya hanya untuk mendapati Vonda yang benar-benar terdiam di depan pintu. Sedikit, ia merasa bingung dengan sikap Vonda. Namun, keinginan untuk bicara dengan Vonda hadir dan mendesaknya. Membuat ia tanpa basa-basi menaruh tangan di daun pintu. Gilanya, Max baru menyadari ada tangan Vonda di sana tatkala ia menyentuhnya.
Max menebalkan muka. Bersikap tak peduli ketika menekan daun pintu itu. Artinya, mau tak mau Max justru menggenggam tangan Vonda.
"Saya pikir pintunya terkunci, ternyata nggak."
Ketika pada akhirnya mereka berdua masuk ke dalam ruangan itu, adu argumen pun menjadi hal yang tak terelakkan lagi. Hingga perdebatan pun sepenuhnya dimenangkan oleh Max. Tepat ketika ia memamerkan dua anak kunci di tangan, sebelum memasukkan ke dalam saku celananya.
"Sepertinya kunci utama dan kunci cadangan harus saya tahan untuk sementara waktu."
Berhasil membuat Vonda membeku dengan rentetan kata-katanya, Max mengulum senyum kemenangan seraya masuk ke dalam ruangannya. Senandung kecil terlontar dari bibirnya.
"Oke. Sepertinya masalah aku akan selesai sebentar lagi."
***
"Von, kamu di mana? Aku udah mau turun nih. Buruan ya? Soalnya aku udah kelaparan sampai hampir mampus rasanya. Kalau bentar lagi aku nggak dapat asupan bahan makan, pulang ntar bisa-bisa aku ngesot gara-gara nggak ada tenaga."
Vonda membuang napas panjang. Matanya melirik ke ruangan Max, lalu beralih pada pintu utama ruangan mereka. Benda berbahan dasar kayu itu masih tertutup dan juga terkunci.
Dari tadi Max benar-benar tidak membuka pintu mereka. Beruntung ada ventilasi. Jadi udara masih bisa masuk. Jika tidak, mungkin Vonda sudah kejang-kejang kekurangan udara.
"Kayaknya siang ini kamu makan sendiri deh, Sar."
"Loh? Kenapa?" tanya Sarah di sambungan telepon.
Lagi-lagi, Vonda mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke tumpukan berkas di atas meja kerjanya dan mulai berdalih.
"Kerjaan aku lagi numpuk banget, Sar. Mesti buru-buru aku selesaikan."
"Eh? Cuma untuk setengah jam makan siang pun nggak bisa?"
"Ketua aku yang baru minta laporan secepatnya."
"Oh ... gitu."
Vonda mendengar desahan Sarah di seberang sana.
"Memang ya? Ternyata buah itu nggak jatuh jauh dari pohonnya dan sekumpulan pohon biasanya punya buah yang sama."
Dahi Vonda seketika berkerut. "Apa hubungannya kerjaan aku sama pohon buah-buahan?"
"Hahaha."
Sarah tertawa dengan penuh semangat. Hingga Vonda sempat khawatir ponselnya akan meledak akibat suara cewek itu.
"Maksud aku ya nggak heran aja lihat kamu didesak sama ketua baru kamu. Sifat dia pasti sebelas dua belas sama Pak Lucas."
"Excuse me?" Mata Vonda pun mengerjap. "Pak Lucas?" tanyanya. "Pak Lucas yang mana nih?"
"Hahaha. Yakin kamu nggak butuh makan siang? Kayaknya otak kamu mulai lemot deh," goda Sarah. "Ya, Pak Lucas mana lagi yang aku maksud kalau bukan Pak Lucas Ferdinand? Dirut perusahaan kita."
Tak akan terlihat oleh Sarah, tapi Vonda mengerutkan dahi. Sedikit bingung.
"Jangan bilang kamu nggak tau loh, Von. Nama ketua kamu itu Maxwell Ferdinand kan?"
Mata Vonda membesar. Mendadak saja ia teringat perkataan Wahyu kemaren. Ketika penyambutan Max.
"Hahaha. Tenang saja. Saya jamin, ketika kamu lihat siapa yang datang untuk mengisi posisi ketua departemen kamu, beuh ... semua masalah kamu pasti hilang."
"Orangnya masih muda dan masih terhitung keluarga sama Pak Dirut. Dengar-dengar sepupunya dan dia cakep loh."
Seakan ingatan itu belum cukup meyakinkan Vonda, melalui sambungan telepon itu Sarah kembali berkata.
"Dia itu masih sepupunya Pak Lucas."
Vonda melongo. "Oh ... my ... God ...."
Sontak tubuh Vonda membeku.
Kenapa bisa aku melewatkan fakta yang satu itu, Tuhan? Sial!
Vonda merinding.
Ya Tuhan. Itu artinya aku udah memperkosa sepupu pimpinan perusahaan tempat aku bekerja?
Glek!
Rasa-rasanya ventilasi pun tidak berguna saat ini. Vonda nyaris tidak bisa bernapas karena menyadari hal tersebut. Dan selagi bayangan-bayangan itu melintas di benaknya, mendadak saja pintu ruangan Max terbuka. Diiringi oleh perkataannya.
"Saya harap Mbak suka bakmi ayam jamur extra pedas, karena itu menu makan siang kita."
Terlupa oleh panggilan Sarah yang masih tersambung di ponselnya, Vonda bertanya seraya tangannya spontan turun dari telinga. Tak peduli bahwa di seberang sana ada Sarah yang memanggil-manggil namanya.
"Bisa pesan es capuccino nggak, Mas?"
Max mendekat. "Mbak mau itu?"
"Iya. Soalnya saya ngantuk."
Max mendengkus. "Orang ngantuk itu minumnya kopi hitam, bukannya es capuccino."
Walau demikian Max tetap memesan minuman dingin itu. Dan di saat itulah Vonda teringat kembali dengan ponselnya. Ia mengerjap. Mengangkat kembali ke telinga dan baru menyadari bahwa panggilan sudah terputus. Vonda pun menaruh ponselnya di atas meja.
"Nanti kalau pintu ruangan kita diketuk, Mbak panggil saya," kata Max. "Biar saya yang buka pintu."
Vonda benar-benar tidak percaya dengan keteguhan Max.
Dia benar-benar nggak bakal biarkan aku kabur ya?
Seakan mengetahui pertanyaan di benak Vonda, Max menyeringai.
"Ya pasti dong saya nggak bakal kasih celah sedikit pun buat Mbak kabur. Hahaha."
Vonda rasanya ingin mati saja.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, pintu ruangannya benar-benar diketuk. Usai mengucapkan satu kalimat agar seorang office boy mau menunggu, Vonda bergegas ke ruangan Max. Cowok itu dengan langkahnya yang lebar keluar dan segera membuka pintu. Meraih pesanan mereka dan mengunci pintu itu kembali.
Diulangi sekali lagi ya. Mengunci pintu itu kembali.
Vonda tidak bisa berkata apa-apa melihat kejadian itu, terutama ketika Max sudah duduk di sofa tamu ruangan mereka. Mengeluarkan bingkisan dari dalam sana.
"Mbak nggak mau makan?"
Vonda tersadar. Ia pun kemudian memilih untuk duduk pula.
Max memberi satu mangkuk bakmi yang sudah terbuka pada Vonda. Ia menyiapkan makan siang tersebut. Menuangkan sedikit kuah pada mi yang berada di dalam sana sebelum memberikannya pada Vonda.
"Makasih," lirih Vonda kemudian.
"Bakmi ini aslinya enak banget loh. Mbak harusnya merasa bersyukur bisa makan bakmi ini," kata Max seraya menarik dua lembar tisu, membersihkan tangannya yang basah karena kuah. "Mana ditraktir sama saya lagi."
Sementara Vonda memisahkan dua batang sumpit kayu di tangannya untuk makan siang, Max justru melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Menyampirkannya di lengan sofa sebelum melepas kedua kancing di pergelangan kemejanya. Menggulung lengan kemeja dengan sedikit asal hingga ke siku. Memperlihatkan tangan besar Max di sana. Ketika bergerak, otot bersama tulangnya terlihat familiar di mata Vonda.
Sumpit di tangan Vonda bergerak. Mengambil sepotong jamur, menyuapnya ke dalam mulut. Di saat matanya melihat Max menjepit dua pangkal sumpit di jari jempol dan telunjuk, mendadak saja Vonda teringat rasa 'familiar' yang direspons oleh matanya tadi.
Vonda membeku. Persis seperti Max menjepit puting payudaranya malam itu.
"Ukhuk!"
Jamur kancing tersangkut di tenggorakan Vonda, bahkan sumpit pun terlepas dari tangannya. Ia terbatuk.
Max dengan terburu mengambil minum Vonda. Membantu Vonda untuk meminum es capuccino. Ketika batuk Vonda berakhir, Max menyerahkan tisu seraya bertanya.
"Mbak kenapa sih? Makan aja bisa kesedak gitu. Memang mikir apa?"
Vonda meraih tisu. Langsung menyeka mulutnya yang sedikit berantakan. Sekilas matanya melihat pada Max yang kembali meraih sumpitnya. Dan entah otak Vonda memang berubah lemot seperti yang dikatakan Sarah tadi atau bagaimana, intinya ia enteng sekali berkata.
"Mikir soal malam itu, Mas."
"Eh?" kesiap Max kaget. "Mikir soal malam itu?"
Vonda melotot. Baru tersadar untuk apa yang telah ia ucapkan.
Ya Tuhan. Apa yang baru aja aku bilang?
Di hadapannya, Max menatap Vonda dengan sorot tak percaya.
"Mbak ..."
Vonda meneguk ludah. Wajahnya seketika membeku.
"... mau menggoda saya lagi? Di sini?"
Sumpit terlepas dari tangan Max dan spontan saja kedua tangan Max naik, menyilang di depan dadanya.
"Ya Tuhan, tolong lindungi hamba."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro