Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TUJUH BELAS

Udara terasa dingin di Three Broomsticks. Isobel mengenakan setidaknya tiga lapis pakaian, dan tetap, ia menggigil.

Tiga lapis pakaian dan tetap saja, ketika ia meletakkan tangannya di dada, ia bisa merasakan detak jantungnya.

Ia duduk di meja bundar yang berada di belakang bar itu. Waktu menunjukkan jam satu lewat sepuluh menit.

Ia hanya berbicara beberapa menit pada Draco di malam sebelumnya. Atau mencoba untuk berbicara dengannya. Draco sangat mabuk, dan sangat bingung akan kehadirannya, dan Isobel sangat merasa bersalah setiap Draco memberinya tatapan sedih dan tidak percaya. Seakan - Draco ingin percaya bahwa ia memang ada di sana, di depannya. Tapi tidak mungkin.

Isobel tidak tau apa yang harus dilakukan. Tidak ada rencana, tidak ada strategi. Tidak ada jalan yang bisa ia ikuti. Maka, di ketidaktahuannya, ia mengambil secarik kertas yang ia miliki. Surat itu, surat berharga yang ia genggam berbulan-bulan, yang ia genggam seakan itu adalah bagian dari dirinya; dan ia menyobeknya. Ia menyobek kata-kata melankolis Draco, dan mencoret bagian belakangnya. Sebuah undangan untuk bertemu di sini, agar mereka bisa berbincang; agar mereka bisa meluruskan semuanya.

Lutut Isobel tidak berhenti bergoyang dengan gelisah di bawah meja. Ia mulai menyadari hal-hal yang mungkin saja tidak seharusnya terjadi dengan undangannya ini.

Three Broomsticks lumayan kosong, mengingat ini adalah jam makan siang di akhir pekan. Beberapa orang yang menyendiri tersebar jauh di sekeliling ruangan, wajah-wajah mereka tidak terlihat dari tempat di mana Isobel duduk. Ia memesan segelas bir untuk dirinya sendiri: bir itu terduduk tidak tersentuh di tengah meja berdebu.

Di belakang Three Broomsticks adalah pintu masuk ke Diagon Alley. Ia tidak tau pintu mana yang akan Draco pilih - jika ia datang. Yang membuatnya semakin berpikir: ia tidak tau harus melihat ke arah mana, untuk mempersiapkan dirinya dari kehadiran Draco.

Jarum panjang menunjuk ke angka tiga. Draco terlambat 15 menit.

Tidak apa-apa, jika ia terlambat. Normal. Bukan sesuatu yang harus dipikirkan.

Tapi astaga, ia khawatir. Berbeda sejak terakhir ia bertemu dengannya. Isobel digerakkan oleh alkohol dan adrenalin, oleh kemarahannya pada Lucius Malfoy. Sekarang, pikirannya benar-benar jelas.

Pertama, tidak ada kesimpulan yang bisa ditarik dari perjodohan. Hanya karena seseorang menyuruh Draco menikahi Astoria, bukan berarti Draco tidak menyukainya - atau bahkan mencintainya. Tidak berarti Draco tidak ingin menikahinya.

Kedua, Lucius Malfoy lebih dari pengganggu. Keluarga Draco sangat berkuasa, dan Isobel khawatir mereka mencegat Draco entah bagaimana. Ia yakin jika Lucius mengetahui tentang semalam, ia akan terlibat - mungkin dengan mencegah Draco datang ke sini, atau dengan mengikuti Draco. . . Jika Draco datang bersama orangtuanya, atau bersama Astoria - Isobel tidak yakin ia bisa mengatasi itu.

Yang terakhir, bodoh untuk mengundangnya dengan meletakkan secarik kertas di tangan seseorang yang mabuk. Untuk menganggap kertas itu adalah metode yang cukup dan dapat diandalkan untuk berkomunikasi, menganggap kertas itu tidak akan terjatuh atau terselip di keadaannya yang mabuk. Bodoh untuk menganggap Draco akan ingat tentang tadi malam.

Kehilangan ingatan adalah hal yang sulit, saat-saat penting, berbulan-bulan, bertahun-tahun hilang dari ingatan. Perasaan. Tidak hanya membuat lubang di permadani mereka, tapi juga itu benar-benar menyobeknya. Dan Isobel hanya berpegangan pada benang-benangnya.

Bodoh untuk khawatir sekarang, ia tau itu. Bodoh untuk memikirkan semuanya saat ia bisa saja hanya selisih beberapa menit sebelum berbincang dengannya. Tapi perutnya terasa geli dan nafasnya pendek dan udara berasap kabur di bar memasuki mulut dan paru-parunya.

Ia berdiri, tangannya bergetar. Ia butuh udara segar.

Ia berjalan tidak seimbang ke pintu di mana satu tangannya menekan dadanya, pandangannya kabur. Rasanya terlalu sesak. Kenapa Draco Malfoy, dan kenapa Isobel? Dan kenapa mereka seakan ditarik kembali dengan sesuatu yang seakan adalah tarikan magnet

-

Terlalu banyak. Ia meninggalkan Three Broomsticks, berusaha untuk berdiri dengan memegang dinding tapi ia terduduk, bernafas cepat; memeluk lutut di antara lengannya dan menundukkan kepala.

Menit-menit panjang sebelum tangan-tangan kuat memegang pundaknya, kemudian lengannya. Tangan putih pucat.

Tangan-tangan itu menarik tangan Isobel dari mana ia memeluk lututnya. Jari-jari itu menggenggam tangan Isobel; ibu jari yang pucat mengelus telapak tangannya. Isobel memperhatikannya, sebelum menatap ke atas ke arah Draco Malfoy.

Draco berjongkok di depannya; air mata menggenang, bibir bawahnya bergetar.

Suara dari dunia ini kembali. Isobel mulai sadar, lagi, akan keberadaan orang-orang di jalanan, suara perkotaan, kerasnya jalanan di bawahnya -

Tapi tidak sesadar Isobel, Draco Malfoy yang berjongkok di depannya, menggengga, tangannya dengan erat. Dengan rasa menderita dan ketakutan, seakan ia takut Isobel akan berubah menjadi debu kapanpun.

"Halo," sapa Isobel pelan, berusaha menggambar senyuman di wajahnya.

Ia menarik tangannya dari genggaman Draco - menghapus setetes air mata di pipinya. Hal yang aneh, Isobel pikir, untuk duduk sangat dekat dengan Draco Malfoy; untuk menghapus air matanya.

Ketika Draco berbicara, suaranya serak. "Kau terluka?"

"Tidak," kata Isobel, merasa hangat di pipinya. Jantungnya berdetak kencang, tapi nafasnya sudah stabil dan pandangannya jelas. "Aku baik-baik saja, terima kasih. Hanya sedikit kewalahan."

Draco menatapnya. Lutut mereka bertemu; ia memegang satu lutut Isobel dengan tangannya. 

"Kau tidak ingat," kata Draco. Itu bukan pertanyaan.

Isobel mengambil nafas panjang, dan menggelengkan kepala. "Bagaimana kau. . ." Ia berhenti. "Aku kira aku harus menejelaskannya padamu."

Draco memalingkan pandangannya untuk pertama kali. "Sesuatu di matamu," ia bergumam.

Mereka berdiri bersama. Draco lebih tinggi dari yang Isobel bayangkan, dan berdiri di hadapannya sekarang. Ia merasa awkward dan tidak percaya diri, seakan mereka adalah orang asing di kencan buta. Atau teman lama, yang tidak yakin bagaimana cara berkomunikasi.

Draco masih mengenakan baju semalam. Rambutnya tergantung di depan matanya, tapi ia sekarang terlihat kusut. Isobel bisa mencium aroma tembakau dan alkohol di sweater hitam rajutnya, bisa melihat rambut-rambut halus tipis di garis rahangnya. Karena gugup, Isobel menjulurkan tangan untuk bersalaman. Draco menatapnya.

Isobel menurunkannya. "Maaf," katanya. "Aku yakin ini aneh juga untukmu."

Draco menaikkan tangannya; menyentuh pipinya. Pejalan kaki berjalan di sekitar mereka, tapi Draco seakan tidak menyadari keberadaan mereka; ia menggerakkan jarinya ke leher Isobel dan memainkan syalnya dan bertanya, dengan parau. "Bagaimana kau ini nyata?"

Isobel merasa air mata menggenang. "Banyak yang harus aku jelaskan," katanya. "Maaf aku baru bisa mencarimu setelah selama ini, Malfoy, aku -"

Draco meringis saat mendengarnya; menurunkan tangannya memasukkan di kantong, dan menunduk seakan Isobel baru saja menamparnya. "Tolong jangan panggil aku begitu."

Isobel menghela nafas. "Maaf," ia menjawab. "Draco, maksudku." Draco tidak menjawab, maka ia bertanya. "Mau masuk? Aku ada meja di dalam."

Ia masih merasa tidak seimbang, dan meja yang ia pilih tadi rasanya sangat jauh sekarang. Di belakang bar, ia menyadari banyak mata memandangnya. Ia mengambil segelas bir saat mereka duduk; sudah hangat sekarang, dan rata.

Ia menggenggam kedua tangannya sendiri dan melihat ke arah Draco: rambut putih dan tubuhnya yang panjang terduduk di kursi di hadapannya; mata abu-abunya menatapnya, meresapinya. "Kau tidak terluka?" ia bertanya lagi.

Isobel menggeleng. "Maaf, itu memalukan. Aku hanya - ini terlalu tiba-tiba."

Pandangan Draco berpindah ke bekas luka di tulang pipinya - tanda tipis yang ia dapat di pertarungan itu. Draco memegangnya; mengelus bekas luka itu. "Apa ini?"

"Bukan apa-apa," kata Isobel. "Aku terjatuh di pertarungan itu. Ketika aku diserang. . ."

Draco menurunkan tangannya. Ia mengerutkan bibirnya, ekspresi sedih di wajahnya; dan berkata, "Aku melihatmu, di halaman, berbaring. Aku menyentuhmu. Kau dingin seperti es." Ia menggelengkan kepalanya; mengusap wajah dengan telapak tangannya. "Ini terasa seperti mimpi."

"Ibuku memantrai sebuah kalung," kata Isobel. "Mantra pelindung, melawan sihir gelap."

Ia mengangguk. "Aku tau."

"Kau tau?"

"Iya," kata Draco. "Temanmu - anak perempuan Weasley -"

"Ginny," koreksi Isobel.

"Dia menjelaskan," katanya. "Aku tidak percaya padanya."

"Kau berbicara dengan Ginny?" Isobel bertanya.

Ia bersandar, matanya masih memandang Isobel. "Dia datang ke apartemenku. Mendobrak masuk seperti rumah sendiri."

Isobel tersenyum. "Kau tidak percaya padanya?"

Ia menggeleng. "Menurutku kau tidak mungkin masih hidup. Karena aku pikir. . . Aku pikir jika kau hidup, kau akan kembali padaku." Ia menatapnya, tapi langsung menjelaskan, "tapi kau tidak ingat aku. Jadi aku mengerti."

"Maaf," Isobel berkata dengan lembut. "Aku ingat kau dari sekolah, dari saat kita masih muda."

Alis Draco mengernyit. "Kau ingat?"

"Iya," katanya. "Aku ingat kau, aku hanya tidak ingat. . ." ia berhenti, dan wajah Draco terlihat lebih mengerti. 

"Kita," ia menyelesaikan.

"Iya."

Draco menggertakan giginya, menggenggam dan melepaskan salah satu tangan pucatnya. Kemudian berkata, "Menurutku itu lebih parah."

Giliran Isobel untuk menjangkaunya, menyentuh jari-jarinya dan ke punggung telapak tangannya. "Menurutmu lebih baik aku tidak mengingatmu sama sekali?"

"Menurutku iya," katanya, hampir dengan nada kosong. Ia terlihat sibuk memperhatikan Isobel, dengan memandang seluruh bagian wajahnya, daripada mendiskusikan itu.

Isobel menelan, berusaha tidak menangis. "Maaf," ia berbisik. "Aku tidak tau kenapa aku tidak ingat. AKu berusaha." Draco tidak menjawab, maka ia melanjutkan; "Ginny pikir mungkin karena kalungnya. Ia pikir ibuku memantrai kalung ini agar aku melupakan seluruh ingatanku tentang kau. Tapi bukan itu."

Ia menyaksikan Draco menggigit bibir bawahnya. "Kau masih memakai itu?" ia bertanya. Ia menyentuk syal di lehernya. "Ini punyaku," gumam Draco.

"Ini punyamu?" Isobel bertanya, tersenyum lagi. "Ini syal kesukaanku."

Draco memutar bola matanya. "Sejak kau mencurinya dariku di tahun ketujuh."

Yah, sekarang punyaku," katanya. Kemudian menambahkan dengan gugup. "Kecuali kalau mau kau ambil lagu -"

Ujung bibir Draco naik menunjukkan senyum kecil. "Tentu terlihat lebih bagus ketika kau yang pakai."

Isobel tertawa gugup. Ia membuka syalnya, dan mengambil kalung perak dari balik sweaternya. "Aku memakai ini setiap hari," katanya, memegang bintang kecil itu di antara dua jarinya. "Aku tidak tau aku memakai ini juga di sekolah."

Draco memandang kalung itu. "Aku memberikan itu padamu," katanya.

"Oh," kata Isobel, mengembalikan kalung ke dalam sweaternya. Isobel kedinginan tadi; udara masih dingin sekarang, tapi dengan Draco di dekatnya, ia merasa panas dan malu. "Aku tidak tau."

"Iya, aku -" Draco tertawa. "Itu bodoh sih."

Tawanya mencerahkan seluruh wajahnya; semua kesedihan, kelelahan dan kemuraman hilang sesaat. Isobel memandangnya, terpesona. "Ceritakan padaku."

Draco menutup wajahnya sebentar - kemudian membukanya, terlihat malu. "Bahkan itu sebelum kita dekat, dengan benar. Kita ada di pesta Natal bodoh ini kemudian kau mengatakan sesuatu yang sangat anggun tentang bagaimana tidak ada yang istimewa lagi -" ia berhenti sejenak, matanya mengamati Isobel. "Dan bagaimana semuanya sangat biasa, akhir-akhir ini, bagaimana orang bisa membeli bintang di langit."

"Oh," Isobel mengangguk pelan, mengerti. "Bintangku sendiri. Aku mengerti."

Draco mengangguk, senyumnya mulai hilang. "Bodoh," dia mengulang.

"Itu tidak bodoh," kata Isobel; merasa bersalah. "Aku hanya berharap aku bisa mengingatnya."

Draco menggenggam tangannya lagi, membiarkannya seperti itu. Isobel merasa tersambar, tidak untuk pertama kalinya, dengan bagaimana Draco dengan santai bergerak di sekitar Isobel, bagaimana familiarnya Draco dengan kehadiran Isobel. Ia yakin Draco bukanlah orang yang penuh kasih sayang dari lahir, tapi rasanya mudah menggenggam tangan Isobel, wajahnya, kulitnya - seakan ia pernah menyentuhnya ratusan ribu kali sebelumnya. Mungkin sudah, ia mengingatkan dirinya sendiri, tapi rasanya masih membingungkan. Karena Draco, entah bagaimana, adalah orang asing baginya.

Matanya tidak memandang Isobel lagi, dan ia melihat segelas bir di meja. "Ini punyamu?" ia bertanya, terlihat bingung.

Isobel mengangguk. "Jelas aku sedang tidak mood untuk meminumnya."

Ia tertawa, dan menyeringai ke arah Isobel. "Kau minum bir?"

Isobel cemberut. "Biasanya tidak?"

Draco melambaikan tangannya, masih tersenyum. "Ya, sedikit. Kau biasanya lebih suka yang manis dan berasa buah."

"Oh," kata Isobel. "Benar."

Senyum Draco hilang sekali lagi, dan Isobel merasa sesuatu di perutnya. "Apalagi yang tidak bisa kau ingat?" Draco bertanya. "Selain hubungan kita."

Isobel menggenggam tangannya, menatap ke bawah. "Aku tidak tau," ia berkata, memainkan ibu jarinya. "Aku tidak tau apa yang aku tidka ingat, karena aku tidak bisa mengingatnya." Dengan cepat Isobel menatap Draco. "Maaf, aku tidak bermaksud kasar."

Draco menjulurkan tangannya - lagi, dengan menyentuh - dan menyelipkan rambut Isobel di belakang telinganya. "Kau tidak harus minta maaf padaku."

Isobel selalu sendirian untuk waktu yang lama. Tentu dia punya Ginny dan ibunya, tapi rasanya aneh duduk berdekatan dengan orang lain, untuk melihat kulit rapuh di dekat matanya saat mereka sedang mengamati satu sama lain, untuk melihatnya menggigit bibir merah mudanya, untuk melihat rambut pirangnya.

Isobel berdeham, merasa tidak percaya diri. "Aku tidak bisa berlama-lama."

"Maksudmu?" ia bertanya, matanya terlihat takut. "Kita baru sampai. Kau tidak bisa pergi -"

"Maaf, aku -"

"Kau tidak bisa meninggalkanku lagi."

Isobel merasa sangat bersalah. "Maaf," katanya. "Aku harus pulang sebelum ibuku sadar aku pergi. Aku perlu waktu untuk mencerna ini. . . Dan menurutku kau juga."

Draco memalingkan pandangannya dari Isobel; menatap meja, seakan ingin membuat lubang di situ. "Aku mau kau mengerti," kata Isobel dengan hati-hati, "bahwa aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tidak ingat pernah jatuh cinta denganmu, dan - banyak waktu yang berlalu setelah pertarungan itu, aku tidak tau apa kita bisa bersama. Semoga itu tidak apa-apa."

Draco menggertakan giginya. Ia memandang meja. "Oke."

"Aku tidak meragukan apa yang kita miliki," kata Isobel. "Tapi aku tidak bisa memaksa apapun."

"Oke," ia mengulang.

"Maksudku," kata Isobel, merasa malu, "Aku tidak menganggap kau mau sesuatu dariku. Aku tau kita jauh lebih muda waktu itu, dan aku tau kau punya kehidupan tanpaku, sekarang, dan aku tidak menganggap kau mau aku datang ke sini dan mengacaukan itu semua -"

Ia menatap Isobel, terkejut. "Belly," katanya dengan tegas. "Hidupku sekarang hanya setengah dibanding ketika aku memilikimu. Bahkan dengan segala hal sulit yang kita lalui dulu. Aku memikirkanmu setiap hari - setiap saat setiap hari - dan aku pikir aku adalah bayangan dari diriku ketika kita masih bersama. Dan sekarang kau kembali, dan sumpah aku merasa sedang mimpi, tapi jika ada sedikitpun sekecil apapun kesempatan untukmu kembali ke hidupku lagi -"

Matanya tergenang oleh air mata lagi. Sebelum Isobel tau apa yang ia lakukan, ia maju ke depan dan memeluk Draco. Ia merasa tubuhnya lebih santai; merasa tegangan di tubuhnya runtuh dan ia memeluk Isobel juga; menggerakkan tangan dari punggung ke pinggang Isobel dan memeluknya erat, dan Isobel dengan ingatannya yang sangat sedikit tentang Draco, tapi ia merasa sangat familiar -

Isobel menarik dirinya dan duduk, mengusap air matanya dengan lengan bajunya. Draco juga melakukan hal yang sama. "Belly."

Isobel tertawa. "Belly, iya. Aku membaca itu di suratmu. Apa aku pernah setuju untuk dipanggil begitu?"

"Oh, jangan mulai lagi," ia berkata, nadanya ringan, tapi ekspresinya gugup. "Aku tidak bisa memanggilmu Isobel, itu sangat terlalu formal." Alisnya mengernyit lagi. "Di mana kau selama ini?"

Siapapun pengunjung Three Broomsticks hari itu mungkin memandang mereka dengan tatapan aneh: dua orang berusia sekitar dua puluh-an, berbincang di pojok remang. Ada rasa familiar di antara gerak tubuh mereka dan perasaan di tutur kata mereka, dan tapi mereka duduk cukup jauh untuk memungkinkan mereka menjadi orang asing. Satu gelas bir berdiri di meja, terlupakan.

Saat mereka berpisah - Draco ke apartemennya yang sangat dekat, Isobel ke rumah di pinggir kota sejauh 200 mil - Draco memeluknya lagi; memasukkan wajahnya ke rambut Isobel dan memeluknya erat seakan sedang mengingat segala aspek dari dirinya. "Tolong bilang kau akan kembali secepatnya," ia berbisik. Isobel tersenyum padanya; malu dan berharap, dan memberinya anggukan kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro