TIGA PULUH TUJUH
i s o b e l
Isobel tidak tidur. Ia tidak menangis, tidak bergerak - hanya berbaring di tempat tidur ibunya, menghadap ke jendela; menyaksikan matahari menyeberangi langit seiring waktu berjalan.
Matahari tenggelam, dan malam pun tiba. Matahari terbit, dan Isobel masih di sana.
Matahari terbit, setiap pagi seumur hidupnya dan akan terus berjalan seperti itu, setiap hari. Aneh baginya melihat bumi yang masih berputar. Aneh rasanya melihat kehidupan masih berjalan normal di luar sana, saat kehidupannya baru saja terkoyak habis.
Saat ayahnya meninggal, hati Isobel hancur berantakan. Ia merasa, untuk waktu yang lama, bahwa ia tidak akan pernah bahagia lagi, bahwa ia tidak akan tersenyum atau tertawa atau bisa menikmati apapun. Fokus untuk menjaga ibunya berhasil menariknya pada saat itu. Ia berdiri dari kasur setiap hari, membuat makanan dan membersihkan rumah, hanya demi ibunya. Bersama mereka belajar untuk hidup dengan rasa sakitnya merindukan ayahnya dan akhirnya, mulai mencari celah untuk bahagia lagi.
Sekarang, Isobel tidak memiliki siapapun untuk membuatnya bangun dari tempat tidur.
Maka ia tidak berdiri. Ia tetap berbaring. Dan saat cahaya dirasa terlalu terang, ia menutupi dirinya dengan selimut sampai di atas kepalanya.
Karena Draco selalu bersamanya sebelum dan sesudah ia mengetahui kepergian ayahnya di tahun ke-enam, ia tidak bisa mengingat masa itu. Ia tidak bisa mengingat apa yang ia rasakan saat itu. Ia tidak bisa mengingat apa yang ia rasakan ataupun yang ia pikirkan, hanya mengingat saat ia tiba di rumah memeluk ibunya dan mereka menangis bersama. Isobel tidak tau apakah ini baik atau buruk untuk tidak mengingat masa di mana ia, bisa dikatakan, hidup.
Isobel kehilangan mereka bertiga sekarang. Dan saat ini, ia benar-benar tidak tau apakah ia bisa merasa bahagia lagi.
Konsep waktu seakan hancur untuknya. Menit terasa seperti jam, dan jam memudar tak terpisahkan antara satu sama lain. Isobel tidak ada keinginan untuk berdiri, tidak ada keinginan untuk keluar rumah atau bahkan kamar. Yang ia inginkan hanyalah ibunya masuk, memeluknya dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
Isobel menyaksikan matahari yang terbenam lagi. Pada titik antara senja dan fajar, ia tenggelam dalam tidur yang tidak tenang.
-
Ia terbangun dari suara pintu depan yang terbuka.
Isobel mendengarkan orang yang bergerak menyusuri rumah, langkahnya pelan dan ragu. Saat langkah kaki itu mencapai kamar ibunya, ketukan pintu terdengar, dan Isobel duduk tegak. "Iya?"
Pintu terbuka, dan Blaise melangkah memasukki ruangan. Isobel membersihkan matanya. "Hai."
"Hai." Blaise melangkah ke arah meja di pojok ruangan. Ia duduk di kursinya, mata cokelat hangat itu menatap Isobel. "Aku turut berduka cita," kata Blaise. "Dan aku harap tidak apa-apa aku di sini."
"Draco menyuruhmu ke sini?"
Blaise mengangguk. "Ia menulis surat untukku di hari Natal, menjelaskan semuanya. Menyuruhku menunggu beberapa hari sebelum mengunjungimu, untuk memberimu waktu sendiri."
Isobel menggenggam erat selimutnya. "Lucius sudah menghapus ingatannya?"
"Iya."
Isobel menghela nafas, berusaha untuk mengabaikan tenggorokannya yang terasa sesak. "Oke."
Blaise ragu. "Itukah yang kau mau darinya? Untuk melupakanmu?"
Isobel mengangguk. Tidak menatap Blaise, hanya mampu menatap selimut yang digenggamnya. "Lebih baik begini," kata Isobel. "Untuk kami berdua."
"Tapi kalian bahagia saat bersama," kata Blaise. "Maaf - aku tau ini saat yang buruk untuk berdebat, tapi dia tergila-gila padamu. Dan ada beberapa halangan, iya, tapi menurutku kau bisa melaluinya."
Isobel mengeluarkan kata-kata yang ia ulang berkali-kali di dalam kepalanya. "Tidak semudah itu," ia berkata. "Tidak masalah sebesar apa perasaan kami pada satu sama lain. Selama kami bersama, semuanya menjadi kacau. Kami tidak akan berhasil -"
"Dan menurutmu Draco dan Astoria akan berhasil?"
Isobel menatap Blaise, bingung. "Tentu. Menurutmu tidak?"
"Tidak tau," kata Blaise. Garis di wajahnya seakan menunjukkan ketegangan. "Orang tua Draco terus ikut campur, untuk satu hal. Mereka akan melakukannya, tidak peduli keadaan Draco."
"Iya," kata Isobel. "Tapi akan lebih mudah untuk Draco. Ia akan memiliki jalan yang lurus dan jelas. Aku tidak bisa menahannya untuk itu."
"Yah," kata Blaise. "Draco melamar Astoria. Jadi kurasa jika kau tidak melakukan apapun, itulah jalan yang akan ia ambil."
Isobel memalingkan wajah. Ia merasa pundaknya lemah, merasa air mata akan segera berkumpul di matanya sekali lagi, tapi ia tau ini akan datang - ia memilih ini. Saat ia berbicara, suaranya kecil. "Apa jawaban Astoria?"
"Draco melamar pada hari Natal," kata Blaise. "Mereka sudah membicarakan pertunangannya sepanjang malam, dan kedua keluarga sedang berkumpul saat ia melakukannya." Blaise berhenti sejenak. "Astoria menerimanya. Jika Draco melamar di tempat yang tertutup, mungkin Astoria akan memiliki jawaban yang berbeda, aku tidak tau."
"Apa Astoria menceritakan ini semua padamu?"
"Astoria datang menangis," kata Blaise, "pagi keesokannya. Ia takut karena beberapa hari yang lalu Draco bahkan tidak mau melihatnya dan sekarang Draco bertekad untuk menikahinya. Tentu, rencana kedua keluarga itu yang membuat pernikahan ini terjadi, dan dengan entah berapa kali mereka membicarakannya, rasanya akan terlihat aneh jika Astoria menolak. Tapi Astoria akan mundur jika kau ingin dia untuk mundur."
"Tidak," kata Isobel, walaupun air mata yang menggenang seakan berkata lain. "Tentu aku tidak mau dia mundur."
Blaise mengangkat bahu. Isobel baru menyadari selelah apa wajah Blaise sejak ia tiba tadi. "Astoria ingin menikahinya, kan?" Isobel bertanya. "Sejauh yang aku mengerti, ia yakin mau menikahi Draco."
Sesuatu yang tidak terbaca terlihat di ekspresi Blaise. "Astoria mau menikahinya, memang. Tapi itu sebelum dia bertemu denganmu."
"Kalau begitu mereka sehaursnya menikah."
Blaise menghela nafas dengan kencang. "Yah," katanya. "Itu keputusanmu. Tapi ingat, aku harap kau berubah pikiran."
Blaise berdiri dan mengambil sebuah bungkusan dari kantong mantelnya. Ia memberikannya pada Isobel, sebelum mengambil sesuatu di kantong belakang celananya.
Bungkusan itu tidak terlihat rapi, terikat sebuah tali. "Aku tidak tau itu apa," kata Blaise. "Ia memberikannya padaku di hari Natal, dan memintaku untuk memberikannya padamu. Dia juga memintaku memberimu ini, yang sebenarnya sudah aku simpan untuk beberapa lama." Blaise memberinya botol kecil, terisi dengan helaian perak.
Isobel mengambil botol itu dan menggenggamnya. "Ingatan Draco," ia menggumam. "Terima kasih."
"Dia juga menyuruhku menghubungi Ginny Weasley," kata Blaise. "Ia berkata untuk menceritakan semuanya pada Ginny, agar ia bisa menjagamu. Maka jika kau setuju untuk itu. . ."
Isobel menggelengkan kepalanya. Ia menggenggam erat pada botol yang berisi ingatan Draco, perutnya terasa tidak nyaman ketika memikirkan Ginny yang berusaha membuatnya berubah pikiran. "Tunggu dulu," Isobel memohon. "Aku tidak bisa berbicara pada Ginny, belum."
Blaise mengangguk dan menerima keputusannya, terlihat sama ragunya seperti saat ia menerima argumen Isobel selama sepuluh menit terakhir. Ketika Blaise pergi, Isobel mengamatinya, masih memegang erat ingatan Draco di satu tangan dan paket di tangan lainnya.
Isobel mengangkat botol kecil itu ke arah cahaya. Setelah pertarungan, ia selalu berharap hal-hal yang sudah dihapus dari ingatannya ini bisa kembali padanya. Ia menghabiskan berjam-jam duduk di sofa, berusaha mengingat isi dari ingatannya yang pernah ada. Ketika ia mendekati Draco dan perlahan mengenalnya, keinginan itu hilang. Digantikan oleh ingatan baru yang mereka buat bersama; Draco yang Isobel kenal sekarang.
Dulu Isobel akan memberi apapun untuk bisa menyaksikan ingatan-ingatan ini. Sekarang, rasa takut akan kesedihan yang akan datang bersama kenangan itu, Isobel tidak yakin apakah ia ingin menyaksikannya.
Isobel melirik ke arah paket, dan memandangnya untuk waktu yang cukup lama. Isobel mungkin tau apa yang ada di dalamnya, tapi ia tetap takut. Ini lah kata-kata terakhir yang akan Draco ucapkan padanya. Dan semua akan dikatakan dan berakhir, dan cerita mereka akan selesai.
Isobel berdiri, berjalan lemas ke arah dapur. Memaksakan diri untuk makan, dan minum, sebelum kembali ke kamar ibunya.
Ia duduk di tempat tidur dan dengan tangan yang gemetar, membuka tali pembungkus paket.
Secarik kertas, kalung bintangnya dan botol kecil kedua terjatuh di kasurnya. Ia menatapnya satu per satu. Kertas itu adalah setengah surat Draco yang ia temukan di lemari ibunya. Satu sisi berisi kata-kata pembuka dari suratnya - surat yang memulai segalanya, semua ini. Sisi lainnya berisi tulisan Isobel, meminta Draco untuk menemuinya di Leaky Cauldron.
Isobel menyelipkan kertas itu ke dalam tangan Draco pada tengah malam. Apparate pulang dengan jantung yang berdebar dan tidak tau apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka.
Pandangan Isobel pindah ke kalung yang rusak dan botol kecil berisi ingatan Draco. Isobel meletakkan mereka di sampingnya. Lalu ia meluruskan surat yang membungkus botol tersebut, dan mulai membaca.
-
Cintaku terkasih,
Jika kita tidak akan pernah bertemu lagi, ada beberapa hal yang kau harus ketahui.
Pertama, kau adalah cinta matiku. Di hidup ini, sebelumnya, dan apapun yang akan datang. Selalu dirimu; akan selalu begitu.
Hari di mana kita mengunjungi ibumu di St. Mungo's, ia memberiku ingatan ini. Ia memberitaumu segalanya yang ia ketahui, tidak akan ada kejutan. Ia berkata bahwa ia ingin kau memiliki ini jika waktunya telah tiba.
Aku meminta Blaise untuk memberikan ingatanku juga. Maaf aku tidak segera memperlihatkannya padamu. Aku tau kau akan melihat bagian dariku yang kau tidak akan suka, dan aku takut bagian itu akan menakutimu. Aku takut kehilanganmu lagi, tapi sepertinya itu sudah terjadi lagi. Jadi inilah ingatanku, yang baik dan yang buruk. Aku akan tenang mengetahui aku tidak akan mengingatmu, tapi kau akan tau semua tentang kisah kita.
Aku juga memasukkan kalungmu. Aku tau kau tidak mau menerimanya, tapi akan lebih aman jika kau yang menyimpan. Aku takut jika aku melihatnya, tidak tau apapun tentangnya, aku akan membuangnya. Aku harap kau mau menyimpannya untukku.
Jika aku melupakanmu sekarang, aku mungkin akan menikahi Astoria. Jika aku tidak mengenalmu, pikiranku tidak akan melihat pilihan yang lebih baik. Jika kau berubah pikiran dan memutuskan untuk memperkenalkan dirimu padaku, silahkan menjadi perusuh di pernikahan kami.
Pertama kali aku kehilanganmu, aku pikir aku tidak akan pulih. Dunai terasa gelap dan suram, dan aku tidak mau ada di dunia tanpamu. Ketika kau kembali padaku, aku bersumpah tidak akan melepaskanmu lagi. Rasanya sangat sakit untuk melangkah menjauh darimu, dengan pilihan.
Aku mencintaimu. Itu sesuatu yang tidak akan bisa diambil oleh siapapun. Bahkan jika aku tidak mengingatmu, hatiku akan selalu menjadi milikmu, selamanya.
Menjadi kebanggaan untukku bisa mengenalmu.
Dengan cinta, Draco.
n.b: giliranmu untuk mengirimku surat sudah lewat jauh. Aku membayangkan akan sebingung apa aku jika menerima surat darimu.
Isobel menyeka satu tetes air mata terakhir yang terjatuh. Ia membaca surat itu untuk kedua kalinya, lalu sekali lagi. Kemudian ia berjalan ke kamarnya dan mengambil setengah surat Draco dari lantai kayunya. Duduk di tempat tidur ibunya, ia meletakkan kedua bagian itu bersebelahan, melambaikan mantra untuk memperbaikinya. Kedua kertas itu menyatu sempurna, seperti tidak pernah rusak.
Ia meletakkan kedua surat, kedua botol dan kalungnya dengan hati-hati di meja sebelah tempat tidur. Menarik selimut untuk menutupinya dan berbaring menghadap ke arah barang-barang terebut. Itulah kenangannya bersama Draco, bukti keberadaan Draco. Isobel akan menyimpannya selamanya.
Isobel tertidur di tengah hari, merindukan sentuhan tangan Draco.
-
Beberapa hari berlalu, seperti buram, sebelum Ginny berkunjung. Ia tiba seperti saat Blaise datang: dengan mempersilahkan dirinya sendiri masuk dan mencari ke seluruh rumah sampai ia menemukan Isobel.
Tidak seperti Blaise, Ginny tidak duduk di kursi meja. Ia naik ke tempat tidur di sebelah Isobel dan memeluknya. "Kau terlihat kacau, Iz."
Isobel tidak menangis sejak ia membaca surat Draco. Tapi suara Ginny, merasakan pelukan, tangan Ginny yang hangat - ia jatuh menangis.
Ginny mengeratkan pelukannya dan mengelus Isobel untuk menenangkannya. Ketika Isobel lebih tenang, Ginny memindahkan rambut Isobel yang menempel di wajah basahnya. "Kau akan baik-baik saja," bisik Ginny. "Walaupun rasanya tidak seperti itu sekarang."
"Kurasa aku tidak akan pernah baik-baik saja."
"Kau akan baik-baik saja," kata Ginny. "Akan."
Isobel mendengus. "Apa Blaise mengirim surat?"
"Iya," kata Ginny. "Aku pikir Malfoy mengirimku surat itu sudah sangat aneh. Tapi sekarang aku mendapat surat dari Malfoy dan Zabini, dan aku bersumpah dunia ini terasa terbalik."
Isobel tertawa lemas. "Semua sudah selesai," kata Isobel. "Kau tidak akan menerima surat lagi."
"Kau dan Malfoy akan menemukan jalan kalian lagi, Iz," kata Ginny, dan Isobel terkejut sesaat dengan nada bicara Ginny yang tegas. "Kau harus."
"Tidak, kami tidak akan -"
"Aku sayang padamu," kata Ginny, "dan karena itu, aku menolak untuk membiarkanmu melakukan ini pada dirimu sendiri."
"Kami tidak akan kembali," Isobel mengulang, lebih tegas. "Kami tidak akan berhasil dari awal, dunia ini membenci kami. Dan sekarang ibuku sudah pergi, dan alasan ia pergi adalah karena kalung yang Draco pasangkan di leherku -" Isobel merasa wajahnya meringis kagi. "Kami berasal dari dunia yang berbeda, dan aku tidak bisa kembali padanya. Aku tidak bisa - aku sudah membuat keputusan -"
"Oke," kata Ginny dengan lembut. "Kalau begitu setidaknya keluarlah dari rumah yang menyedihkan ini. Aku bersumpah, setiap kali aku masuk ke rumah ini aku merasa ratusan kali lebih sedih."
"Tidak ada tujuan," Isobel menggumam.
"Sampah," kata Ginny. "Kau bisa menginap dirumahku dan Harry, selama yang kau mau."
Isobel menggeleng. "Aku tidak bisa," katanya. "Belum bisa - tolong, beri aku waktu."
Membuat terkejut, Ginny memeluknya lagi dan tidak memaksa. "Oke," ia berbisik. "Gunakan sebanyak apapun waktu yang kau butuhkan."
Untuk beberapa jam Ginny duduk bersama Isobel, memeluknya, tanpa suara.
Ketika Ginny pergi, Isobel menenggelamkan wajahnya ke bantal. Menghapus air matanya.
-
Beberapa minggu kemudian, Isobel bisa bangun dari tempat tidurnya, berjalan ke arah dapur dengan keinginannya sendiri untuk memasak makanan. Beberapa minggu setelah itu, ia ke kebun belakang; menginjakkan rumput yang ber-es dan menghirup udara dingin.
Ia merindukan ibunya, sangat. Ia memikirkan ibunya dengan segalanya yang ia lakukan.
Tapi ia juga merindukan Draco. Ia sangat merindukan Draco hingga dadanya terasa sakit; tubuhnya terasa sakit menginginkan Draco untuk ada di sampingnya.
Bukan berarti ia tidak menduga hal ini. Bukan berarti ia tidak menduga akan merasa sakit setiap saat.
Isobel sudah memberitau dirinya sendiri bahwa Draco akan berjalan ke arah kehidupan di mana seluruh bagian akan terpasang sempurna; bahwa Draco bersama seorang wanita yang tidak membawa rasa sakit dengan cintanya, tapi tetap saja. Bayangan Draco berjalan di dunia di mana ia tidak mengenal Isobel terasa sangat menyiksa.
Matahari terus terbit dan terbenam, dan Isobel terus memikirkannya.
-
Sudah mau tamat guys :" dua minggu lagi update :"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro