TIGA PULUH SEMBILAN
d r a c o
Rasanya terlalu manis, semua ini. Lampu-lampu kecil dan pita-pita bergantung dari langit-langit tenda; rangkaian bunga berjajar di jalur yang akan dilalui pengantin. Di pojok ruangan, empat orang beralat musik senar memainkan melodi yang tenang. Itu adalah hal yang Draco akan benci, dulu. Walau sekarang itu tidak sama sekali mengganggunya.
Di depan tenda, para pengantar sudah menunggu para bridesmaid untuk masuk. Harry Potter berdiri di sebelah mereka, ekspresi wajahnya menggambarkan campuran dari bahagia dan kegelisahaan yang Draco hanya saksikan di pesta pernikahan.
Draco selalu membenci Harry Potter di sepanjang hidupnya. Ia tidkak menyangka akan datang ke hari pernikahannya, atau bahkan akan diundang - dan jika ia datang pun, ia menyangka akan membenci setiap detik dari acara ini. Tapi ia tidak merasakan apapun. Ia tidak merasakan perasaan tertentu tentang berada di sini, tidak merasakan apapun untuk pengantin pria maupun wanita. Draco tidak akan ada di sini jika Astoria dan Blaise tidak memaksanya darang, tidak akan repot berpakaian rapi dan menempuh perjalanan ke entah berantah hanya untuk duduk di ruangan bersama orang-orang yang ia tidak suka. Tapi berbulan-bulan sejak mereka menerima undangan, Astoria dan Blaise berulang kali memaksanya untuk datang, dan akhirnya, dengan enggan, Draco setuju.
Draco belum memberitau ibu dan ayahnya bahwa ia ada di sini, tentu saja. Mereka masih membenci Harry Potter, dan ketegangan di dalam Manor sudah cukup tinggi.
Ayah Draco berkali-kali dipanggil lagi untuk mengikuti persidangan di Kementrian. Dua tahun setelah pertarungan, berarti hampir dua tahun berlalu sejak Kementrian memutuskan seorang Malfoy saja bukanlah sebuah ancaman untuk dunia sihir, maka tidak perlu seorang Malfoy dikirim ke Azkaban. Tapi semakin banyak Death Eater yang melarikan diri tertangkap, dan ingatan mereka dan kesaksian mereka diperoleh, dan bukti-bukti tentang Lucius Malfoy semakin terbuka yang membuatnya semakin mungkin untuk dipenjara. Narcissa dan Lucius hidup dalam kondisi gelisah, tapi Draco tidak tau apa yang harus ia pikirkan. Karena ia mengetahui ribuan hal yang Kementrian tidak ketahui, yang mungkin bisa mengirim ayahnya ke Azkaban.
Blaise duduk di sisi kanan Draco, di sebelah jalur pengantin. Astoria di sebelah kiri. Tamu-tamu lain berbincang dengan suara yang pelan seiring mereka menunggu acara untuk dimulai.
Bridesmaid pertama masuk, para tamu berdiri. Tenda menjadi sunyi saat para tamu memandangnya, dan pikiran Draco berjalan ke Astoria, ke pernikahan mereka.
Astoria menunda rencana itu.
Draco tidak yakin kenapa, dan tingkah laku Astoria dengan melakukan itu benar-benar tenang Draco mungkin tidak menyadarinya, mengingat orang tuanya juga tidak seserius dulu dengan rencana pernikahan ini. Pernikahan itu seharusnya di lakukan pada bulan Agustus, tapi Astoria seakan mengulur waktu. Kapanpun topik itu muncul, Astoria akan dengan mudah mengalihkannya. Kapanpun Draco bertanya tentang itu, Astoria mengabaikannya, jawabannya berbelit-belit. Saat Astoria memaksa untuk datang ke pernikahan Harry Potter, itu adalah obrolan serius yang Astoria katakan setelah beberapa bulan.
Saat bridesmaid kedua memasuki ruangan dan berdiri di posisinya, para tamu mengalihkan pandangan mereka kembali ke pintu masuk tenda, menunggu. Tapi ada jeda, dan untuk saat yang lama, tidak ada apapun yang muncul.
Bisikan dari para tamu mulai terdengar. Draco melirik ke Astoria, lalu ke Blaise. Tidak ada yang melirik kembali ke arah Draco. Mereka bertingkah semakin aneh hari ini.
Para musisi melanjutkan; senar dimainkannya begitu lembut dan merdu. Dan sesaat setelah Draco memikirkan ada masalah apa yang terjadi, sebuah tangan kecil muncul di pintu tenda. Menarik satu sisinya, dan seorang gadis dengan rambut ikal pirang gelap dan kalung bintangnya mulai melangkah masuk ke jalur pengantin.
Dan Draco yang dibesarkan di rumah berisi sihir gelap - hidup bertahun-tahun di sekolah sihir - yang sudah melihat segala hal-hal aneh dan misterius dan begitu mempesonanya - tapi Draco tidak pernah melihat apapun seperti gadis itu.
Gadis itu menawan.
Mata gelapnya, membesar karena gelisah, memandang para tamu. Para bridesmaid lain juga melakukan hal yang sama, hanya untuk menunjukkan kesopanan; mereka tersenyum dan mengangguk seiring mereka melalui semua orang -
Tapi pandangan gadis ini melewati banyak wajah, tidak tersenyum. Ia sedang mencari seseorang.
Saat gadis itu mendekati barisan kursi Draco, matanya menemukan kedua mata Draco. Nafas Draco berhenti sesaat.
Draco mengikuti pergerakan gadis itu seiring ia berjalan; sedikit menjorok ke arah Blaise dan berbisik, "itu siapa?"
Saat gadis itu mencapa depan tenda dan Blaise masih belum menjawab, Draco menatap temannya dan mengencangkan rahangnya. "Kau kenapa?"
Blaise tidak memandang Draco. "Tidak apa-apa."
"Kau tau siapa itu?"
Blaise berhenti sejenak. Berbisik, "tidak."
Ginny Weasley berjalan memasukki tenda, dan para tamu kembali menghadap ke arahnya. Saat perhatian semua orang ada di pengantin wanita, Draco menoleh sekali lagi ke gadis itu. Ia mempelajari wajahnya, rambut ikal yang bersandar di punggungnya, freckles di seluruh pipinya. Kedua tangan yang ada di depan dadanya, genggaman tangannya yang memutih seiring ia menggenggam rangkaian bunga.
Draco hampir yakin bahwa ia tidak pernah melihat gadis ini di hidupnya, maka ia tidak tau kenapa wajah itu terasa sangat familiar.
Tanpa peringatan, pandangan gadis itu tertuju pada Draco. Mata mereka bertemu selama tiga, empat, lima detik. Kegelisahan menerpa tubuh Draco seperti sengatan listrik, dan ada kerumunan orang di antara mereka, tapi rasanya seperti hanya berdua.
Gadis itu menghentikan kontak mata saat pengantin wanita mencapai altar, dan maju untuk mengambil bunga.
Draco memalingkan wajah, detak jantungnya semakin cepat. Ia tidak ingat pernah menatap seorang gadis dan merasa sangat kewalahan - Draco merasa terikat, astaga - dan Draco tidak tau bagaimana cara menggambarkan apapun yang baru saja terjadi.
Pemimpin acara meminta para tamu untuk duduk.
Draco sedikit menarik celananya untuk bisa duduk dengan santai. Terakhir ia mengenakan celana ini adalah saat kencan pertama dengan Astoria. Draco memiliki banyak celana yang terlihat persis seperti ini bahkan ia tidak pernah memakai satu celana untuk dua kali, dan celana ini terlalu bagus untuk pemakaian santai.
Saat ia duduk dengan nyaman, tangannya menyentuh sesuatu yang datar dan berbentuk persegi di kantongnya. Ia bersandar, dan Blaise atau Astoria tidak menyadarinya, ia mengeluarkannya.
Gambar itu memiliki pinggiran yang kasar, seakan itu adalah sobekan dari sebuah foto yang lebih besar. Sosok di foto itu tersenyum pada Draco, terlihat ceria dan jahil, tanpa adanya sedikitpun kegelisahan yang ia tunjukkan pada Draco saat mata mereka bertemu beberapa saat sebelumnya.
Itu adalah foto gadis tadi. Bridesmaid yang baru saja melewatinya.
-
i s o b e l
Isobel bisa merasakan detak jantungnya di sepanjang acara. Tangan lembapnya menggenggam bunga di pangkuannya, dan walau ia tetap menjaga pandangannya pada Ginny dan Harry, sulit rasanya untuk memikirkan hall lain selain Draco, beberapa baris di belakangnya.
Di luar Leaky Cauldron, satu hari setelah mereka bertemu di klub malam, Draco menatapnya dan segera menyadari bahwa ia tidak mengingat Draco. Isobel tidak terlalu yakin pada saat itu bagaimana Draco bisa langsung menyadarinya.
Isobel mengerti sekarang. Saat ia berjalan melalui Draco, ia menatap Isobel, tapi tidak ada kelembutan di matanya. Tidak ada ekspresi mengenal. Dan Isobel melihatnya sedikit mengernyitkan alis, ekspresi tipis saat mata mereka bertemu-
Tapi itu bukan dia. Itu bukan Draco milik Isobel.
Saat acara berakhir, Isobel berjalan kembali ke jalur pengantin di belakang Ginny dan Harry, bergandengan dengan Ron. Isobel bisa merasakan pandangan Draco di belakangnya seiring ia berjalan, tapi tidak bisa mengembalikan pandangan itu. Isobel hanya melihat Blaise, dan ujung bibirnya naik, tersenyum kecil semampunya. Senyuman yang dikembalikan oleh Blaise yang terlihat sama menyedihkannya.
Isobel tidak bisa pergi begitu saja setelah acara selesai. Semua orang berkumpul di sekeliling bridesmaids, mengambil foto dan berbincang dengan semangat, dan yang Isobel hanya ingin sendiri -
Saat ia berhasil melewati kerumunan, berbincang kecil dalam perjalanannya, ia bergegas ke rumah Weasley untuk mengunci diri di kamar mandi lantai bawah.
Isobel bersandar pada wastafel, dadanya naik turun dengan nafas yang pendek. Pikirannya berputar, mondar-mandir antara marah pada Ginny dan terkejut melihat Draco, khawatir apa yang akan terjadi setelah ini. Seiring berjalannya waktu, ia merasa nyaman dalam kesedihannya, menemukan kebiasaan dan stabilitas dalam kehancurannya. Tidak, ia tidak bahagia, tapi semua terasa yasudah - ia belajar untuk melaluinya, belajar untuk hidup sendiri, dan serindunya ia pada Draco, ia tidak berharap untuk bertemu lagi. Setidaknya tidak secepat ini.
Isobel merapikan gaunnya, dan menyisir rambut dengan jari-jarinya. Saat ia meletakkan tangan di gagang pintu, ada ketukan kecil.
Astoria berdiri di luar, terlihat bingung. "Jika kau sedang berpikir lagi," kata Astoria, sesaat ketika Isobel membuka pintu, "aku tidak ingin menikahinya. Jika kau berubah pikiran. Aku tidak bisa, tidak akan bisa."
Isobel memandangnya. "Aku tidak berubah pikiran."
Astoria menggelengkan kepalanya, malu. "Maaf," katanya. "Bukan maksudku untuk tidak sopan, aku hanya - aku belum melihatmu lagi sejak semua itu, dan aku tidak tau bagaimana cara menemukanmu selain datang ke pernikahan ini. Aku ingin berbicara denganmu. Dan aku ingin Draco untuk datang juga, agar kau bisa melihatnya dan yakin."
Isobel keluar dari kamar mandi dan menutup pintu. Ia bersandar pada pintu itu, dan melihat ke jendela, melihat kerumunan tamu. "Itu tidak membantu," kata Isobel. "Melihat Draco - itu sama sekali tidak membuatku lebih yakin. Aku akan merindukannya selamanya, tapi aku akan pegang omonganku. Lebih baik seperti ini."
Isobel menatap kembali ke Astoria, tapi tidak melihat keceriaan yang ia harapkan di ekspresi Astoria. "Ada apa?"
"Aku tidak yakin kau benar," kata Astoria. "Aku tidak yakin ini lebih baik."
"Maksudnya?"
Ada jeda panjang, dan Isobel merasa sesak saat Astoria mengeluarkan kalimatnya. "Draco tidak seperti dirinya," kata Astoria, akhirnya. "Sejak ayahnya menghapus ingatannya, ia berbeda. Ia tidak pernah marah lagi. Ia tidak pernah tertawa, ia tidak peduli tentang apapun, dan mungkin kalau aku tidak marah dan melangkah pergi - mungkin jika aku tetap di sana untuk berbicara dengan kalian, aku bisa melindungi kalian, dan kalian bisa masih bersama sekarang. Kita tidak akan ada di kekacauan ini."
"Bukan salahmu," kata Isobel. Kekhawatiran menggenggam hatinya saat ia berusaha mencerna informasi ini. "Aku tidak sadar bahwa ini adalah sebuah kekacauan," kata Isobel. "Kupikir ini semua sudah selesai."
"Draco menemukan parfum," kata Astoria, air mata menggenang. "Di antara barang-barangnya, ia menemukan parfum lama milikmu. Ia memberikannya padaku karena ia pikir itu milikku. Dan aku hanya bisa berkata 'terima kasih'."
"Maaf."
"Kau harus bicara padanya."
Isobel menggeleng. "Membicarakan apa, Astoria? Ia tidak mengingatku."
"Aku tidak tau," kata Astoria. "Hanya - kita harus mencari jalan keluar. Kita harus memperbaiki beberapa hal, karena tidak ada yang terasa benar, saat ini."
Hati Isobel terasa sesak lagi. Di sinilah dirinya, selama beberapa minggu, berpikir bahwa semuanya akhirnya berada di jalan yang benar. "Bagaimana perasaan Draco tentang semua ini?" tanya Isobel. "Apa menurutnya ini sebuah kekacauan juga?"
"Itu bagian yang terburuk," kata Astoria. "Menurutku Draco percaya semuanya baik-baik saja, padahal tidak. Bahkan kurasa dia tidak tau bahwa aku - bahwa Blaise -"
Astoria menunduk, dan dengan itu, Isobel tersadar. "Kau mencintai Blaise?"
Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Lalu Astoria berkata, "tidak masalah."
Amarah Isobel memuncak. "Tentu saja masalah," kata Isobel. "Jika kau bermain di belakang Draco -"
Astoria menatap tajam ke arah Isobel. "Tidak seperti itu," katanya. "Aku dan BLaise tidak pernah membicarakannya. Aku tidak tau jika Blaise. . ." Astoria memutar matanya, tidak mengerti perasaannya sendiri. "Aku tidak tau apakah Blaise merasakan hal yang sama."
Pipi Isobel memerah. "Maaf aku mengambil kesimpulan sendiri," ia bergumam. Ia tidak terlau mengenal Astoria, tapi ia tau Blaise tidak akan mengkhianati Draco seperti itu.
Saat Astoria tidak menjawab, Isobel berkata, "kau akan tau." Ia kembali melihat ke arah tamu di luar, mencari rambut putih Draco. "Kurasa kau akan tau tanpa Blaise harus mengatakan sesuatu."
Jika Astoria memiliki jawaban, ia tidak menyuarakannya. Saat ia berbicara lagi, ada sesuatu yang tergesa di nadanya. Memohon. "Kumohon bicaralah pada Draco," katanya. "Tolong."
Isobel tidak bisa menatap Astoria. "Mereka akan segera memulai resepsi," kata Isobel. "Kita harus kembali."
Sepanjang resepsi - makanan, pidato dan semuanya, Isobel tidak bisa menarik Ginny, untuk berbicara padanya. Tidak ada kesempatan untuk Isobel marah, untuk memojokkan Ginny atau untuk melampiaskan amarahnya karena Ginny terlalu sibuk, dengan seluruh tamu yang ingin menyampaikan pesan baik padanya, dan jika ia memiliki waktu luang, Isobel tidak bisa marah padanya di hari penikahannya ini. Isobel merasa sangat frustasi pada Ginny karena itu.
Dan Isobel mungkin memiliki lebih banyak perhatian pada rasa frustasinya itu, jika seluruh indranya tidak berpusat pada Draco. Langit mulai gelap di luar sana; para tamu undangan hanya diterangi oleh lilin yang berkelip, tapi tetap Draco mengamatinya, dari seberang meja. Dan Isobel tidak bisa berkonsentrasi.
Isobel tidak akan mengembalikan pandangan Draco karena ia takut Draco akan melihat, dari ekspresinya, bahwa Draco melewatkan sesuatu. Isobel tau bahwa ia ingin berbicara pada Draco, tau bahwa ia harus memberikan jawaban pada Astoria - tapi ia tidak menduga ini, tidak merencanakan ini, dan merasa terhempas oleh perasaan dan kebingungan.
Saat acara makan bersama sudah selesai dan meja-meja disingkirkan, membuat ruang untuk berdansa, Isobel keluar tenda. Ia berjalan ke arah kebun, dan bersandar di pagar kayu yang mengelilinginya. Isobel berpegangan kuat pada pagar itu seiring ia memandang ladang, di bawah langit tanpa bintang, hingga beberapa bagian kayu mulai menusuk telapak tangannya.
"Tidak ada bintang."
Isobel berbalik saat mendengar suara itu. Melihat bayangan lelaki itu di tenda yang diterangi lilin, tubuhnya hanya terbentuk seperti garis-garis dan bayangan gelap.
"Tidak," kata Isobel. "Tidak ada bintang."
Draco melangkah mendekat. Isobel bisa dengan mudah melihat bentuk wajahnya di cahaya redup, bisa melihat alisnya putihnya mengernyit. "Siapa namamu?"
"Isobel," suaranya lemah.
"Isobel," ulang Draco. Isobel memalingkan wajah, menggenggam pagar itu lagi dengan erat. Draco mengikuti, dan bersandar di pagar untuk menatapnya. "Apa aku mengenalmu?"
"Kita satu angkatan di Hogwarts."
Draco terdiam sejenak. "Kau yakin?"
"Iya."
"Kau di asrama mana?"
Isobel meliriknya; meliha tatapannya yang sangat teliti. Isobel mengetahui perasaan deja vu yang pasti Draco rasakan. "Gryffindor."
Draco menggelengkan kepala. "Aneh rasanya aku tidak mengingatmu."
Isobel mengambil nafas gemetar. "Tidak apa-apa."
"Apa kau mengingatku?"
Isobel hampir tertawa. "Sedikit."
"Dan temanku, Blaise?" kata Draco. "Aku melihat kau tersenyum padanya. Kau kenal dia?"
"Tidak terlalu."
"Apa kau tertarik padanya?"
Isobel menatap Draco. Melihat ekspresi bingungnya dan hati Isobel terasa sakit. "Tidak," jawabnya. "Aku hanya - aku mengenalnya dari sekolah, itu saja."
"Benar," gumam Draco. "Yah, mungkin itu yang terbaik, karena kurasa dia jatuh cinta pada tunanganku."
Isobel ragu. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Aku melihat bagaimana mereka memandang satu sama lain," kata Draco. Ia memalingkan wajah, dan bertumpu pada tangannya yang berada di pagar, posisi mereka sama. "Beda dari bagaimana dia melihatku, atau mungkin, bagaimana aku melihatnya. Aku tidak tau. Aku tidak bertunangan dengan Astoria karena cinta - penikahan kami dirancang bukan karena hal seperti itu, jadi -" ia mengambil jeda. "Aku berpikir apakah itu buruk untuk menutupi hal seperti itu darinya."
Isobel mengamatinya. Mata Draco memandang wajah Isobel, ekspresinya yang membatu, dan satu alis naik. "Apa?"
Isobel merasa jantungnya jatuh ke perutnya. "Aku hanya - menurutku beberapa orang mungkin percaya bahwa stabilitas adalah proporsi yang lebih baik dari pada rasa cinta," kata Isobel. "Dalam sebuah pernikahan."
"Itukah yang kau percaya?"
"Itu yang selalu kupikirkan." Isobel menghela nafas. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya kacau balau, dan ia tidak bisa memahami bahwa Draco mempetimbangkan untuk meninggalkan Astoria untuk alasan yang sangat bertolak belakang dengan alasan Isobel gunakan untuk meninggalkannya.
Isobel yakin bahwa Draco dan Astoria akan baik-baik saja sekarang. Hidup mereka akan menjadi sangat sederhana, sangat lurus - Isobel tidak tau sedetikpun bahwa jalan mereka akan penuh bebatuan bahkan sebelum mereka menikah.
"Maaf," kata Draco. Ia melangkah mundur. "Maaf - aku tidak tau kenapa aku memberitaumu itu semua."
"Jangan minta maaf," kata Isobel, dan didasari insting, ia mengambil tangan Draco.
Jari-jari mereka bersentuhan, dan Draco membeku. Matanya terus memandang Isobel. Perlahan dan ragu, tangan Draco menggenggam tangan Isobel. Dan Isobel tau - sangat tau, dengan yakin - bahwa Draco bisa merasakan kulit, jari, sentuhan Isobel yang familiar - seperti yang Isobel rasakan.
Draco menurunkan tangan Isobel. "Aku tidak tau kenapa," kata Draco, suaranya serak, "tapi rasanya aku mengenalmu. Tapi aku tidak mengenalmu, tentu - dan maaf aku menceritakan semua itu padamu -"
Air mata menggenang. Dan sebelum ia bisa berpikir - sebelum Isobel sadar atas apa yang ia lakukan - ia mengambil tangan Draco lagi. "Jangan pergi, Draco."
Draco melangkah mundur sekali lagi, tidak yakin dan ketakutan tergambar di wajah pucatnya. "Aku menemukan fotomu di kantongku," kata Draco. "Aku tidak tau bagaimana itu ada di sana. Maaf kalau itu - kalau itu menakutimu. Tapi aku tidak tau siapa kau, atau apa yang sedang terjadi, dan jujur, aku juga takut."
Draco berbalik, punggungnya menghadap Isobel. Ia menyisir rambut putih dengan jari-jarinya; menatap ladang itu untuk beberapa saat - lalu melihat ke atas, ke langit tanpa bintang.
Lalu ia berbalik menatap Isobel. Dan air mata menggenak di mata Isobel, dan Isobel menggelengkan kepalanya karena ia tau apa yang akan Draco lakukan, dan ia tidak mau Draco untuk pergi - ia hanya butuh sedikit waktu -
"Aku harus pergi."
Isobel berlari cepat ke arah Draco. Tangannya menggenggam erat baju Draco, seiring Draco ber-Apparate.
-
Cilukba Astoria plot twist amat :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro