TIGA PULUH ENAM
i s o b e l
Ia merasa kosong. Ketika Draco memeluknya dan Apparate, dan pepohonan yang melengkung dengan rumah yang berada di depannya seperti pengumpul debu, ia merasa seakan ia hanyalah tubuh kosong. Mati rasa dan hampa dan kehabisan air mata, ia berdiri, menatap rumah yang dibangun dengan oleh cinta dan kebohongan.
Udara terasa dingin. Udara masih terasa kering dan tenang, dan matahari bersinar cerah di cakrawala. Tapi, hawa dingin seakan menusuk kulit seperti bongkahan es, menggigit pipi, hidung, ujung jarinya—
Semua terasa seperti mimpi. Film yang diputar di depannya, tanpa henti. Tidak ada jalan untuk kembali — untuk mengembalikan pilihan yang telah ia buat dan mengambil jalan lain hingga segalanya mungkin berbeda sekarang. Tidak ada cara untuk membatalkan apa yang sudah terjadi. Dan Isobel masih tidak percaya ibunya benar-benar pergi, dan di sana ia merasa tidak ada pilihan untuk menjalani mengalami kehidupan yang lain dari ini.
Isobel membisikkan sebuah mantra di bawah nafasnya, dan menyaksikan kalung perak itu melayang dari tanah dan ke arahnya. Ia memberi kalung itu pada Draco tanpa mengatakan apapun, kemudian duduk di tangga teras yang dingin.
Draco duduk di sebelahnya, memasukkan kalung ke dalam kantong celananya. "Belly," ia berkata dengan suara yang kecil, "di sini dingin sekali. Ayo masuk ke dalam."
Isobel tidak begitu mendengarnya. Ia kembali memandang ke arah matahari terbit, terang keemasan di langit biru. Terlalu indah. Rasanya tidak tepat.
Isobel merasa beban pandangan Draco pada wajahnya. Ia memejamkan mata, dan dalam diam berusaha merangkai kata dari perasaannya. Berusaha untuk membuka ikatan kusut dalam hatinya.
Isobel merasakan jari-jari Draco di antara miliknya, merasakan Draco mengangkat tangan Isobel dan menciumnya. "Maafkan aku," kata Draco, nafasnya lembut dan hangat dibanding kulit dingin Isobel.
Isobel menatap jari mereka yang bersatu. Ia pernah merasa bahwa genggaman itu terasa sangat sempurna; bahwa mereka memang diciptakan untuk satu sama lain. Sekarang ia berpikir bagaimana tangan Draco akan terlihat jika ia menggenggam tangan Astoria.
"Kau tidak akan suka dengan apa yang akan kukatakan," akhirnya Isobel berkata.
Draco menghela nafas kecil. "Teruskanlah."
"Menurutku ibuku dan orang tuamu benar," kata Isobel. Ia merasa dirinya kokoh. "Menurutku mereka benar selama ini. Aku tidak membenarkan perlakuan mereka pada kita, dan menurutku tidak seharusnya mereka ikut campur dalam hubungan kita sampai seperti ini. Tapi ketika mereka mengatakan bahwa hubungan kita lebih banyak berdampak buruk daripada baik - mereka benar."
Genggaman tangan Draco lebih erat. "Kau masih syok," kata Draco singkat. "Kau tidak berpikir dengan benar, Bel."
Isobel menggeleng. "Aku berpikir jernih. Aku tau mereka benar. Dan aku tau kau juga tau."
"Aku mengerti kau marah padaku karena memakaikan kalung padamu," kata Draco. "Aku tidak mengharapkanmu untuk memaafkanku."
Isobel berhenti. Pandangan matanya mengamati jari-jari panjang Draco, jari-jari yang melengkung bersama jarinya. "Bukan itu intinya."
"Maaf ibumu pergi, aku benar-benar minta maaf," kata Draco. Suaranya sudah tidak stabil. "Dan aku akan tetap di sini untukmu — aku akan melakukan apapun yang kau butuh—"
Mata mereka bertemu, dan bibir bawah Isobel bergetar dengan perasaan pertama yang ia rasakan sejak sampai di rumah ini. "Lihat kita," bisik Isobel. "Kita menyedihkan. Banyak hal yang kacau di hidup kita, dan itu adalah konsekuensi hubungan ini."
"Tapi orang lain yang selalu mengacau; orang tua kita—"
"Aku tau," jawab Isobel. "Tapi menurutku yang belum kita mengerti - apa yang kita selalu kacaukan selama ini - bukan hanya antara kita, yang ada di situasi ini. Orang-orang lain yang sudah terlibat dan akan selalu terlibat, mau tidak mau."
Draco cemberut. "Kau serius."
"Iya."
"Menurutmu lebih baik kita berpisah?"
Isobel ragu. Kemudian berkata, dengan suara yang sangat pelan, "iya."
"Tapi," kata Draco, semakin cemberut, "waktu yang kuhabiskan setelah pertarungan itu, mengira kau sudah meninggal — itu waktu terburuk dalam hidupku. Ini tidak ada bandingannya."
"Aku tau," air mata tergenang, membuat pandangannya kabur. "Tapi segala hal terasa selalu salah, selama kita bersama. Kita akan saling menyakiti. Dan aku hanya—" ia mengambil nafas yang bergetar, menyeka air mata yang jatuh— "Aku hanya ingin segalanya berhenti."
Draco menggelengkan kepalanya, mulutnya tertutup. "Tidak," katanya. "Tidak, aku—aku tidak bisa menahan rasa sakit kehilanganmu lagi, Belly, aku—" Draco berhenti berbicara. Kedua alisnya mengernyit, dan hati Isobel terasa sesak.
Isobel menarik nafas, mengumpulkan kekuatan pada dirinya, dan menarik tubuhnya untuk duduk di pangkuan Draco, di teras dingin itu. Draco menyandarkan keningnya di lekuk leher Isobel, dan Isobel memasukkan jari-jarinya ke rambut Draco, memeluknya. "Kau tidak perlu merasakan itu," ia berbisik. "Kau tidak harus menghadapi itu." Isobel memejamkan mata, tapi setetes air mata jatuh di pipinya.
Terakhir kali Isobel bertemu dengan Lucius Malfoy, ia mengancam untuk menghapus ingatan Draco tentangnya. Dan jika Draco kembali sekarang, setelah semua yang ia dan Draco lakukan; ancaman itu sudah pasti dilakukannya, Isobel tau itu. Lucius tidak hanya akan menghapus ingatan baik Draco tentang Isobel, ia akan menghapus seluruh ingatan. Draco tidak akan mengingat Isobel sedikit pun.
Draco akan merasakan sakit, menggila di pikirannya - buram yang bisa diperbaiki oleh Isobel. Tapi Lucius akan membentuk hidup Draco. Jalanan lurus tegas untuk diikuti. Dan mungkin Draco bisa bahagia, di sana.
Isobel mencium kening Draco, dan berdiri. Beberapa detik setelahnya, Draco mengikuti.
Draco mengelus bekas luka di pipi Isobel, satu kali lagi. "Inikah yang benar-benar kau inginkan?"
Mata abu-abu Draco terlihat penuh kesedihan dan muram, Isobel merasa sesak saat menatapnya. Isobel memalingkan wajah, merasa malu hingga ia tidak bisa menatap Draco, dan mengangguk.
Jari Draco mengelus hingga rahangnya, Ibu jarinya menyeka air mata Isobel dari pipinya.
Lalu tangannya turun, dan suara Apparate terdengar. Dan Draco menghilang.
Isobel ditinggalkan menatap posisi kosong yang tadinya ditempati oleh Draco, menggigil di tengah udara dingin.
Sebagian kecil dari Isobel berharap untuk berjalan masuk dan melihat ibunya di sana, menunggu di ruang tengah untuk menyapanya, atau duduk di meja dapur. Tapi tentu rumah itu kosong; sunyi. Langkah kakinya menggema seiring ia berjalan di koridor ke arah kamar ibunya.
Isobel naik ke tempat tidur Maggie dan berbaring di sana. Ia tidak memejamkan mata; tidak mengharapkan dirinya untuk bisa tidur. Ia hanya menggenggam kasur dingin itu, menempelkan wajahnya ke bantal ibunya, dan membiarkan waktu berjalan.
-
d r a c o
Darah yang berjatuhan di luar Manor sudah hilang, menguap tanpa meninggalkan jejak apapun. Jendela yang Draco pecahkan sudah kembali ke tempat asalnya; terlihat mengkilap dan tidak tersentuh. Semuanya terlihat normal, seperti biasa.
"Draco," ibunya memanggil, segera setelah ia melangkah masuk rumah. Ibunya berjalan dari ruang tengah, masih menolak untuk menatap anaknya. "Ada tamu untukmu."
"Aku tidak mau bertemu siapapun." Draco menjawab. Namun ibunya sudah hilang dari pandangannya.
Ia menahan keinginannya untuk mengabaikan ibunya dan pergi ke atas menuju kamarnya, menunggu ayahnya untuk mencarinya. Ketika ia berjalan masuk ke ruang tengah, ia menemukan Astoria, duduk di sofa dengan tangan yang berada di pangkuannya.
Astoria berdiri. "Aku tidak memberitau ibumu kenapa aku ada di sini," kata Astoria. Matanya bergantian memandang pintu di belakang Draco, dan Draco menutupnya. "Ibumu tidak tau kau ada di mana. Aku menduga kau bersama Isobel, jadi aku berkata akan menunggumu pulang."
Draco tidak menjawab, dan ekspresi Astoria terlihat lebih gelisah. "Aku ingin kau tau," katanya, "aku tidak pernah memberitau siapapun tentang Isobel. Aku tau keluargaku akan datang untuk makan malam nanti, tapi aku ingin berbicara padamu sekarang, untuk memberitau itu. Selamat Natal juga."
Draco mengelus bagian belakang lehernya, di mana Belly memeluknya beberapa menit yang lalu. Ia tidak percaya Belly tidak mau bertemu dengannya lagi. Ia tidak percaya bahwa Belly sungguh berpikir hidup mereka bersama, jika digabungkan dari bagian kecil, lebih buruk dibandingkan ketika mereka berpisah.
"Aku juga ke sini untuk meminta maaf," kata Astoria. "Karena marah seperti itu - untuk berteriak dan tidak memberi kalian kesempatan untuk menjelaskan. Aku masih berharap kau memberitauku lebih cepat, tapi aku mengerti kenapa kau diam." Ia mengambil nafas. "Dan aku mau menjaga rahasia itu jika itu bisa membantumu. Apapun artinya untukku."
Pada kalimat itu, Draco mengeluarkan tawa kosong. Ia merasa lelah. Dan marah, dan setengah sadar, dan entah bagaimana, rasanya konyol mendengar Astoria menawarkan diri untuk melindungi hubungan yang baru saja diakhiri oleh Belly.
Kebingungan tergambar di wajah Astoria, tapi ia melanjutkan. "Aku marah, karena aku mengambil hati. Menurutku bagaimana sikapmu itu karena aku, tapi semua masuk akal sekarang. Tentu, itu menghancurkan rencanaku seluruhnya, tapi aku turut bahagia untukmu, sungguh. Aku tau secinta apa kau pada Isobel—"
"Jangan," kata Draco, memalingkan wajah. Senyumnya hilang. "Tidak akan berhasil, semua antara aku dan Isobel."
"Aku tidak mengerti."
"Menurut Isobel kami tidak seharusnya bersama," kata Draco. "Menurutnya kami akan hancur."
Ekspresi Astoria terlihat kasihan. "Bagaimana menurutmu?"
"Tidak penting. Aku tidak bisa meyakinkan dia."
"Walaupun begitu," kata Astoria. "Sejujurnya, apa yang kau percaya?"
Seluruh tubuh Draco terasa berat akan kesedihan. "Menurutku hidup yang kuhabiskan bersamanya akan seribu kali lebih menyenangkan daripada hidup tanpanya," kata Draco. Ia ragu, mengingat air mata yang jatuh pada wajah Isobel. Aku hanya ingin semuanya berhenti. Draco tidak pernah melihatnya begitu berharap.
Yang kemungkinan paling menyakitkan adalah perasaan menakutkan bahwa mungkin Belly benar. Mungkin mereka lebih baik berpisah, di dunia yang berbeda. Tapi jika itu benar untuk mereka saat ini, maka itu juga berlaku pada hari mereka berbincang di Leaky Cauldron, dan malam di club, setiap interaksi yang mereka lakukan di sekolah dan pesta Natal. Mereka lebih aman berpisah daripada bersama, dan mungkin jika mereka tidak pernah bersama, hidup mereka tidak akan terlihat sebahaya ini.
Ibu Isobel akan tetap hidup, jika ia tidak pernah berkencan dengan Isobel. Draco yakin itu.
"Maaf," kata Astoria. "Mungkin dia hanya butuh waktu."
Draco menggelengkan kepala. "Kita tidak punya waktu."
"Tentu, Draco," kata Astoria. Senyumnya kecil dan sedih. "Hanya—mungkin semuanya belum terbuka sebagaimana yang kau mau. Mungkin sekarang bukanlah saat yang tepat."
Draco tidak mengerti apa yang dikatakan Astoria. Ada dua pilihan: kehidupan di mana mereka bersama, dan kehidupan di mana mereka berpisah. Dan Belly baru saja memberi keputusan untuk mereka berdua.
"Itu yang kurasakan tentang aku dan kau, asal kau tau," kata Astoria. "Dalam skala jauh lebih kecil, tentu saja. Menurutku kita lebih baik bersama daripada berpisah."
"Tidak sama," kata Draco. Matanya seakan mengiris Astoria. "Kau mau bersamaku untuk rasa aman. Aku ingin bersama Isobel karena aku mencintainya."
"Iya," kata Astoria. "Tapi bagaimanapun, perasaannya harus sama. Tidak ada hubungan yang berhasil jika hanya sepihak."
"Tidak," kata Draco datar. "Tidak, kau benar."
Astoria memegang lengan Draco. "Jika kau mencintainya," kata Astoria, "dan jika ia mencintaimu, kalian akan menemukan jalan untuk satu sama lain."
Walaupun Draco tidak sepenuhnya percaya pada Astoria, Draco mengangguk. Fokusnya berpindah dari Belly ke kalung di dalam kantongnya.
"Sampai jumpa," kata Astoria, dan ia mengangguk lagi.
Saat Astoria pergi, Draco berlari ke kamarnya.
Ia tetap di dalam tidak lebih dari satu jam. Kemudian meninggalkan kamarnya dan berjalan ke ruangan ayahnya.
"Ayah menang," kata Draco, berjalan masuk. Ia meregangkan tangannya, merasa mual, lelah dan sakit. "Semua sudah berakhir. Ayah boleh ambil ingatanku, dan lakukan apapun."
Lucius berdiri di belakang mejanya. Menyeimbangkan tongkat sihir di antara jemarinya, menatap anaknya untuk waktu yang lama. "Apa yang mengubah pikiranmu?"
"Aku tidak mau membicarakannya."
"Hmm," Lucius mendongak kepala. "Ibumu tidak membiarkanku mengejarmu kemarin, kau tau. Katanya kau akan kembali ke akal sehatmu, dan ayah tidak boleh ikut campur."
"Ya, ayah bisa beritau ibu," kata Draco kaku, "bahwa aku memberi izin penuh ayah melakukan ini padaku. Aku sudah berakal sehat. Sekarang ambil."
Lucius tersenyum tipis seiring ia berjalan mendekat. "Apakah gadis itu memintamu melakukan ini?" tanya Lucius. "Apa ia mengakhiri percintaan bodoh kalian?"
Draco menggertakan gigi. Ia merasa rahangnya kontraksi seiring ia menatap sinis pada ayahnya. "Iya," kata Draco, jujur. Tidak ada gunanya berbohong. "Dan aku tidak bisa mencintainya tanpa memilikinya. Aku siap mengikuti caramu sekarang."
"Bagus sekali, Draco."
Draco menutup matanya. Mulutnya terasa sangat kering, tenggorokannya terasa tertutup.
Yang ia inginkan hanyalah rasa sakitnya untuk terangkat. Rasa sakit hidup tanpa Isobel. Ia tidak bisa melaluinya. Lagi.
Ketika ia berbicara lagi, suaranya parau. "Lakukan itu, ayah," katanya. "Ambil."
Lucius mengayunkan tongkat sihirnya dan melakukan itu.
Segala ingatan Draco tentang Isobel Young hilang dalam satu kedipan mata. Seluruh obrolan dan interaksi, dari pertama kali mereka bertemu hingga saat terakhir di depan rumah Isobel hari itu - semua dicuri dari pikirannya dengan gerakan tongkat Lucius.
Mereka hilang seperti air yang menguap, satu detik ada dan hilang pada detik berikutnya.
-
Beberapa jam kemudian, keluarga Malfoy dan Greengrass makan malam Natal bersama, di bawah kondisi yang normal. Mereka membicarakan pertunangan Astoria dan Draco, makanan, dan cuaca di luar, seakan tidak ada lagi hal yang bisa mengalihkan pikiran mereka.
Malam itu, ketika piring-piring disusun dan botol wine kosong tergeletak di meja, kedua keluarga itu berjalan ke ruang tengah, di mana api terbakar di perapian. Ayah Astoria bertanya mengapa cincin tunangan masih belum dipilih, dan ayah Draco menjawab keraguan itu, dan segera obrolan tersebut berputar.
Draco berdiri dengan pipi yang hangar dari api dan wine. Dirinya sendiri tidak tau mengapa pertunangan itu masih belum dilaksanakan, rasanya mereka sudah merencanakan itu untuk waktu yang lama. Proporsi yang menguntungkan untuk kedua belah pihak, dan untuknya, sepertinya tidak ada jalan lain yang lebih aman untuk hidupnya.
Satu jam kemudian, Draco berlutut dengan satu kaki, meraih tangan Astoria, menggenggamnya, dan melamarnya.
---
APA INI WEEEEEEEEEEEE
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro