TIGA PULUH
d r a c o
Kamar tidur Draco berubah. Bintang-bintang bersinar dari langit-langit, lemari, dinding; bercahaya hijau dan redup.
Bayangan Belly; rambut ikal menutupi sisi kiri wajahnya. Menanti reaksi Draco.
Draco sudah menghabiskan berbulan-bulan panjang berbaring di kamar ini, merasa kosong. Tidak ingin melakukan apapun atau pergi kemanapun, tidak peduli tentang apapun atau siapapun. Menatap dinding kosong dan hanya melihat warna abu-abu.
Memiliki Belly di sini, bersamanya, membuatnya merasa mendapatkan tenaga lagi. Seakan ia bisa menghadapi kehidupan ini, lagi. Bahkan mungkin bisa menikmatinya.
Dan nafasnya terasa sesak; beribu-ribu kata terhenti di ujung lidahnya, karena ia tidak tau bagaimana cara untuk mengekspresikan rasa tidak percayanya akan kehadiran Belly di sini, di depannya; dan mereka baru saja menempelkan bintang-bintang plastik di dinding Draco bersama. . . itu menakjubkan. Dia menakjubkan.
Belly mengambil tongkat sihir dari celana di bagian pinggangnya dan mengayunkannya pada bintang-bintang itu. Dengan bersamaan, mereka bersinar lebih terang, kamar itu mulai terang, dan sekarang Draco bisa melihat wajah Belly dengan jelas, sedikit berbayang kehijauan; mata gelap Belly berkedip saat menatapnya. "Apa ini lebih baik?"
"Iya." kata Draco, menjulurkan tangan untuk memegang tangan Belly. "Terima kasih. Ini lebih baik."
Kemudian jari-jari Belly menyentuh jari-jari Draco lagi; sentuhan tipis, sedikit sentuhan pada kulitnya. Sentuhan yang sudah Draco rasakan beribu-ribu kali sebelumnya, tapi tetap cukup untuk membuat sarafnya terkejut. "Terima kasih," Draco berkata lagi, suaranya rendah.
Draco melangkah lebih dekat. Mendengar Belly menarik nafas yang bergetar, tapi ia juga melangkah lebih dekat, dan pandangan mata Belly menurun ke bibir Draco dan ia tau - Draco tau bahwa dunia ini tidak mau mereka tetap bersama dan keadaan akan sangat kacau jika mereka tetap melakukannya, tapi yang Draco lihat hanyalah dia; yang Draco rasakan hanyalah jari-jari Belly yang menggenggam tangannya -
Belly melangkah lebih dekat. Kemudian pintu depan Draco terbuka lebar.
Draco mendorong Belly menjauh, tidak terlihat, ke pojok di dekat bagian kepala tempat tidurnya. Kemudian membuka pintu kamar tidurnya.
Dadanya terasa sesak dengan amarah saat ia melihat sosok Astoria berjalan masuk.
"Astoria," kata Draco, dengan kesal. Di sudut matanya, ia melihat Belly melangkah mendekat. Ia menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak memperlihatkan pergerakan apapun pada Astoria tapi cukup untuk Belly lihat.
"Draco," Astoria menjawab dengan nada angkuh. "Aku tau kita akan bertemu di hari Natal, tapi aku ingin meluruskannya sekarang." Ia menyisir rambut gelapnya ke belakang bahunya. "Tanpa keluarga kita."
Draco berkedip. "Meluruskan apa?"
Astoria menatapnya. "Semuanya," ia berkata, dengan kesal. "Kekacauan ini. Aku tidak bisa fokus dengan hal lain, sejak argumen kita di bar."
"Aku - sialan." Draco menutup matanya, kepalanya berputar. Ia tau ia harus menjelaskan beberapa hal pada Astoria, tapi Belly berdiri hanya beberapa meter darinya - beberapa meter dari Astoria, dan yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara mengusir Astoria dari apartemen ini dan dari mereka.
Draco membuka matanya. "Sekarang tanggal berapa?"
"22," kata Astoria. "Keluargaku akan mengunjungi rumahmu untuk makan malam Natal hari Sabtu. Astaga, Draco, kau harus meluruskan -"
"Kita tunggu saja sampai Natal," kata Draco. "Oke, Astoria? Keluarga kita akan membantu kita meluruskannya."
"Mereka bukan dokter kita," kata Astoria. Ia mengambil satu langkah mendekati Draco; berhenti di sofa. Draco bersandar di daun pintu dan mengamati Astoria. Berharap ia tidak akan mendekat lagi. "Kita ini sudah dewasa, Draco," ia berkata. "Kita harus meluruskan ini sendiri. Mereka sudah meluruskan segala hal lain dari pernikahan ini untuk kita; kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri."
"Apa yang terjadi dengan kau yang membenci perjodohan?"
"Itu dia," kata Astoria. "Orang tua kita menentukan jalan hidup kita, dan karena kita tidak bisa membantahnya, menurutku kita lebih baik tau cara berkomunikasi dengan satu sama lain sendiri."
Draco menggelengkan kepalanya. "Ini bukan waktu yang tepat untukku-"
"Aku tidak peduli."
Draco melirik ke arah di mana Belly berdiri - melihat Belly mengangkat alisnya membuat matanya terlihat lebih besar, menyuruh Draco untuk memberitau Astoria. Tapi Astoria akan mengunjungi orang tua Draco hari Sabtu ini, dan ia tidak mau mereka mengetahui Belly masih hidup.
"Aku tidak mau membicarakan ini sekarang," kata Draco dengan kesal. "Satu lagi, aku akan sangat, sangat menghargai jika kau mengetuk pintu dulu, lain kali ketika kau memutuskan untuk muncul tanpa aba-aba begini."
"Kenapa?" tanya Astoria, menajamkan pandangannya. "Apa aku mengganggu sesuatu?"
"Tidak, tapi -"
Astoria menganggukkan kepalanya ke kamar tidur Draco. "Apa ada wanita lain di sana, atau apa?"
"Astoria," kata Draco dengan tenang, "siapa yang mungkin masuk ke dalam kamar tidurku?"
Astoria memandang Draco dengan tatapan yang sama tajamnya. "Perempuan muggle, aku tidak tau. Aku tidak peduli." Ia menyilangkan tangan di depan dadanya. "Aku tidak pernah berharap kita punya hubungan lebih daripada sekedar hubungan yang platonis tapi aku harap itu cukup untukmu. Dan jika tidak, katakan padaku sekarang agar aku tidak mempermalukan diriku sendiri."
"Astaga -"
"Jawab dengan jujur," kata Astoria. "Kau ada rencana untuk menikahiku atau tidak?"
"Tidak, tidak ada rencana untuk itu," kata Draco, dan wajah Astoria terlihat muram seketika. "Tapi," lanjutnya, "Aku yakin orang tuaku akan memaksaku hari Sabtu nanti."
"Aku bahkan tidak tau apa maksudmu -"
"Aku tidak ada waktu untuk ini sekarang."
"Kau tidak pernah ada waktu untuk ini!" kata Astoria, suaranya tinggi. Air matanya menggenang, dan Draco melihat Belly mengambil langkah mendekat lagi -
"Kapan kau akan memperhatikan orang lain selain dirimu sendiri?" tanya Astoria. "Kapan kau akan menghadapi kenyataan dan sadar akan siapa dirimu, dan siapa keluargamu dan tugas yang kau miliki -"
Astoria berhenti berbicara, mengambil nafas yang bergetar. Draco melihat air mata di pipinya, dan dadanya sesak karena merasa bersalah. Tapi itu tidak cukup untuknya berkata jujur. Maka ia terdiam, tidak mengatakan apapun.
Astoria menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia berjalan ke pintu apartemen Draco, membukanya lebar. "Kau tidak pernah berusaha," kata Astoria, suaranya dingin, "dan aku juga tidak mau menikahimu."
Ia pergi, membanting pintu di belakangnya. Draco mendengar langkah kakinya menjauh, ke arah tangga.
i s o b e l
Saat pintu tertutup, Isobel berlari ke jendela. Ia hanya ingin melihat Astoria. Jika ia tidak boleh berbicara padanya.
Pintu gedung apartemen terbuka dengan kencang, dan Astoria berjalan keluar; mengambil langkah panjang melalui cuaca yang dingin.
Kemudian ia berhenti, berputar dan melihat ke atas ke jendela apartemen Draco; rambut panjangnya berterbangan di angin yang cukup kencang. Dan untuk beberapa detik pendek, matanya bertemu Isobel.
Isobel mundur jauh, hilang dari pengelihatan; berlari ke ruang tengah, ke Draco.
"Kurasa ia melihatku," kata Isobel. "Sebenarnya, tidak. Tidak, mungkin ia tidak -"
Wajah Draco memucat. "Dia melihatmu?"
"Tidak," kata Isobel. "Aku mungkin hanya berhalusinasi. Matanya bertemu mataku untuk satu detik, tapi pasti dia tidak bisa melihat dari jendela. Ya kan?"
Draco memandangnya. "Aku tidak tau."
"Tidak," kata Isobel. Ia tertawa gugup. "Tidak, aku pasti salah lihat."
"Aku tidak percaya pada Astoria untuk tidak memberitau orang tuanya," katanya dengan tegang. Mata abu-abunya tertuju hanya pada Isobel. "Aku tau itu tidak adil."
"Tidak ada yang adil," kata Isobel dengan suara yang kecil.
Kekacauan besar ini. Dengan Isobel yang tidak bisa melihat satu hari pun di masa depannya. Tidak ada yang adil sedikitpun.
"Dia tidak boleh tau kau masih hidup," kata Draco. "Tidak boleh. Terlalu banyak orang yang sudah tau."
Isobel menghela nafas; membiarkan ketegangan di bahunya lepas. "Aku sangat lelah," kata Isobel, "lelah menjadi sebuah rahasia. Aku hanya ingin normal."
Draco mengangkat tangannya. Mengelus pipi Isobel. "Aku tau. Maaf."
Dada Isobel terasa sesak, nafasnya berhenti di paru-parunya. Rasanya seakan semua berbalik melawan mereka, setiap orang yang hidup di luar apartemen ini diadu untuk melawan mereka; berusaha untuk memisahkan mereka.
"Sudah larut," kata Isobel, walaupun ia tidak merasa capek sama sekali. "Ayo tidur."
-
Isobel mandi dan mengganti pakaiannya dengan celana panjang Draco; menggulung bagian pinggangnya dua kali, menyelipkan tongkat sihirnya. Ia bisa saja mengambil piyama dari rumahnya. Tapi ia suka bagaimana baju Draco memiliki baunya; suka bagaimana lengan hoodienya menggantung di tangannya, bagaimana celananya terlalu panjang di kakinya.
Isobel membuka pintu untuk membiarkan uap kamar mandi keluar. Kemudian ia mengeluarkan pasta gigi dan meletakkannya di atas sikat giginya, dan mulai menyikat gigi.
Ia memikirkan kebingungan Astoria, keinginannya; kesetiaannya pada Draco dan orang tuanya. Isobel berharap Astoria bisa ada di pihak mereka - Astoria bisa menolak rencana orang tuanya untuk dirinya dan Draco. Isobel berharap mereka bisa memberitaunya tentang segala hal, mungkin Astoria bisa membantu mereka; memberitau mereka apa yang harus dilakukan.
Isobel tau Draco tidak mau menikahi Astoria. Tapi baru sekarang, Isobel mulai menyadari bahwa Astoria juga tidak mau Draco menikahinya.
Astoria benar-benar tidak mau.
Isobel menghapus embun di kaca, dan menatap bayangannya. Melihat rambut basahnya; melihat pipinya yang hangat dan kemerahan -
Kemudian Draco muncul di belakangnya.
Tanpa mengatakan apapun, Draco mendekat di belakang Isobel. Mengambil pasta gigi dan melakukan hal yang sama.
Isobel mengamatinya melalui cermin. Senyum tipis tergambar di wajah Draco, dan Isobel sadar bahwa ia berhenti menyikat giginya; tangannya membeku diam saat ia melihat Draco.
Ia memutar tubuhnya, memandang Draco; bersandar di wastafel, dan mulai menyikat gigi lagi. Ia sangat berusaha untuk tetap tenang - menaikkan alisnya dan berkedip sambil menatap Draco - tapi pipinya terasa panas dan jantungnya berdetak cukup kencang dan Draco berdiri sangat dekat dengannya -
Senyum tipisnya masih berada di wajah Draco. Lalu, ia meletakkan satu tangan di pinggul Isobel.
Beberapa detik berlalu, dan Draco mengangkat satu alisnya, dan Isobel sadar apa yang Draco tunggu. Isobel menarik nafas, dan ia mengangguk.
Draco menggigit sikat giginya, dan mata Isobel turun ke mulutnya; bibir Draco yang sedikit terbuka -
Draco meletakkan satu tangan lainnya di pinggul Isobel, dan Isobel mengangguk lagi, dan mata abu-abunya menatap kedua mata Isobel dan Isobel mengangkat satu tangannya; menggerakannya, mengelus di sepanjang rahang Draco -
Draco menggerakkan kedua tangannya; sentuhannya ringan, gerakannya sangat lambat. Menggerakkannya naik, naik; di bawah sweater yang Isobel pakai, hingga kedua tangannya menemukan kulit Isobel. Kedua tangannya menemukan lekukan pinggang Isobel, dan kedua tangan Draco berhenti di situ.
Dan jantung Isobel berdetak sangat kencang sekarang, berdetak sangat cepat ia yakin Draco bisa mendengarnya, dan Isobel mengumpat pada sikat gigi mereka di dalam hatinya, hambatan belaka di antara mereka -
Draco memiringkan wajahnya, melalui Isobel, dan Isobel bisa mendengarnya meludah di wastafel di belakangnya. Draco melepaskan satu tangan dari pinggang Isobel untuk membilas mulutnya.
Draco melangkah mundur, dan memberi senyuman kecil sama sekali tidak bersalah; hiburan menari di matanya. Lalu satu tangan dilepasnya dari pinggang Isobel, dan ia berjalan keluar dari kamar mandi.
Isobel menatapnya. Berputar perlahan, membilas mulutnya; seluruh saraf terasa geli, kehilangan sentuhan Draco dari pinggangnya.
Isobel membuka pintu kamar dengan perlahan. Lampu apartemen Draco mati. Draco duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya mendongak ke langit-langit memandang bintang-bintang hijau itu.
Isobel duduk di sebelahnya.
Mata abu-abu Draco memandangnya. "Apa yang akan kau lakukan," Draco bertanya, suaranya terdengar hati-hati; "saat aku pergi di hari Natal nanti? Kau mau ke mana?"
Isobel mengangkat bahunya. "Mungkin aku mengunjungi ibu sebentar," kata Isobel. "Tidak masalah. Aku bisa menghabiskan hari Natal sendirian."
Draco mengernyitkan alisnya. "Aku tidak mau kau sendirian di hari Natal."
"Dengan semua yang terjadi sekarang," kata Isobel, "Natal rasanya tidak sepenting itu untukku. Mungkin tahun depan aku bisa merayakannya."
Dadanya kembali merasa sesak saat memikirkan itu. Ia benar-benar tidak tau apa yang akan terjadi tahun depan. Ia tidak tau apakah ia akan masih mengenal Draco, Natal tahun depan.
"Aku harus pergi ke Manor," kata Draco. "Kalau aku tidak di sana di Malam Natal, mereka akan mencariku."
"Tidak apa-apa," kata Isobel. "Kau boleh pergi."
Draco menghadapkan tubuhnya pada Isobel. "Tapi bagaimana jika aku pergi," kata Draco dengan suara kecil, "dan aku tidak akan melihatmu lagi? Bagaimana jika aku pergi, dan kau melupakanku? Bagaimana jika aku melupakanmu?"
Isobel tidak tau. Ia tidak tau apa yang bisa saja terjadi dalam kurun waktu tiga hari ke depan: bahkan tidak tau apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Yang ia tau hanyalah mereka berdua ada di sini, sekarang. Dari setiap saat yang menunggu mereka di depan nanti, di kehidupan yang mereka jalankan - ini adalah satu saat yang bisa mereka kendalikan.
Maka Isobel mendekat, berjarak sentimeter. Dan ia mencium pipi Draco.
Lalu satu lagi, sedikit di bawah pipinya. Dan satu lagi, sedikit lebih rendah. Dan satu lagi, di ujung bibirnya.
Isobel mundur, jantungnya berdetak sangat cepat; menarik nafas. Dan dengan hitungan detik, tangan Draco berpindah. Menemukan jarak antara sweater dan celana Belly; menariknya tubuhnya mendekat.
Dan tangan Draco mengelus punggung Isobel di dalam sweaternya; kulit Isobel hangat akan sentuhan Draco. Dan Isobel memanjat duduk di pangkuan Draco, berhadapan dengannya -
Isobel menatapnya, dan ia sangat yakin - sangat-sangat yakin - Draco bisa mendengar detak jantungnya sekarang. Wajah Draco sedikit mendongak ke arahnya; garis rahang yang kuat dan tegas; mata abu-abu yang menyala. Dan jari-jari Isobel berada di belakang leher Draco, kedua kakinya berada di kiri dan kanan tubuh Draco; dan Isobel tau bahwa tidak ada yang mereka lakukan selain menghitung detik sampai -
Isobel menurunkan kepalanya, dan menutup jarak di antara mereka. Dan akhirnya, akhirnya - Isobel menciumnya.
Awalnya, mereka bergerak cukup perlahan. Bibir Draco terasa sangat hangat, jauh lebih lembut dibanding yang ada di bayangan Isobel, sangat familiar - dan tangan Draco terasa lembut di punggungnya, menariknya lebih dekat -
Isobel meremas rambut Draco, ingin lebih dekat. Isobel mendekatkan diri pada Draco, bergerak lebih dekat, dan tangan Draco masih ada di punggung Isobel, kukunya sedikit menekan kulit halus di pinggang Isobel, dan seketika gerakan mereka seakan tergesa, lebih nekat - dan Isobel masih meremas rambut Draco dan menariknya, ingin Draco lebih dekat -
Di sana, di kejauhan, samar-samar, ada ketukan pintu. Tapi Isobel tidak terlalu mendengarnya, tidak bisa fokus pada apapun lagi selain Draco, dan tangan Draco di kulitnya, mengelus kulit di bawah sweaternya, tapi -
Ketukan itu terdengar lagi, dan Draco terdiam. Isobel mengangkat kepalanya, tangannya masih di rambut Draco.
Mereka memandang satu sama lain; nafas mereka terengah-engah. Dan Isobel tidak bisa memalingkan pandangan dari Draco, tapi ketukan itu semakin menjadi -
Isobel menurunkan tangannya dan menyentuh bibir Draco dengan jarinya. Kemudian Draco menariknya lagi, memberi ciuman-ciuman kecil pada rahang Isobel, dan Isobel menemukan bagian bawah kaus Draco, memasukkan tangannya dan menyentuh Draco, di dadanya. Mereka berdua lebih lembut sekarang; mereka berdua tidak terlalu tergesa lagi.
Suara pintu apartemen Draco yang terbuka terdengar, lalu suara Astoria: "Aku tau kau menyuruhku untuk mengetuk tapi aku tidak akan melakukannya jika kau tidak mau membukakan pintu -"
Langkah kakinya terdengar di ruang tengah.
Dan Isobel mengangkat dirinya, melepaskan diri dari Draco, dan Draco juga berdiri, matanya tertuju pada Isobel, panik -
Dan Isobel belum sembat melangkah masuk ke kamar mandi ketika pintu kamar Draco terbuka lebar, dan mata Astoria berhenti pada Isobel.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro