TIGA BELAS
NOVEMBER 1999
dua minggu sebelumnya
Saat Isobel sampai di rumah, ia menemukan ibunya di ruang tengah. Wajah ibunya terlihat pucat; jubah St.Mungo's berwarna hijaunya mengintip keluar selimut yang ia gunakan. Ia tidak melihat ke Isobel; bergerak sedikitpun tidak, ketika Isobel berjalan ke ruangan itu. Ia hanya memandang kosong ke meja di depannya.
Isobel melepas mantelnya dan duduk terdiam di sebelah ibunya, berharap ibunya tidak akan mengomentari make up yang tergambar di wajahnya.
"Terlalu banyak pegawai di rumah sakit," kata Maggie, akhirnya. Suaranya terdengar parau. "Ibu izin pulang cepat. Ibu tidak enak badan."
Isobel menggenggam tangan di atas pahanya. Lucius meninggalkan dia sendirian di gang kecil itu; ia mondar-mandir selama 15 menit untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, berusaha mencari alasan untuk diberikan pada ibu, untuk menjelaskan kenapa ia belum pulang. Ia mengeluarkannya: "Maaf aku tidak ada dis ini. Aku ke pantai di Scarborough, aku tidak berbicara pada siapapun, sumpah. Aku hanya perlu keluar sekali-sekali. Ibu tidak bisa mengurungku di sini selamanya, iya kan?" Ibunya tidak menatapnya, maka Isobel berkata dengan hati-hati. "Menurutku aku harus cari pekerjaan. Jika tidak di dunia sihir, pekerjaan di desa terdekat. Aku mau lebih mandiri secara keuangan, dan aku - aku mau lebih sering keluar rumah. . ." ia berhenti. "Bu? Menurut ibu, apa aku boleh cari kerja?"
Maggie mengangguk kecil. Kemudian berkata, "ada scarf di dapur. Bukan punyamu."
"Itu baru," kata Isobel dengan cepat, mengingatkan dirinya untuk lebih hati-hati. Ia mencoba untuk mengingat motif scarf Ginny. "Aku kedinginan di pantai waktu itu. Jadi aku beli."
Maggie menatap Isobel - tanpa peringatan, wajahnya sangat kusut. "Ibu tidak mau seperti ini," katanya, air mata tergenang. "Kita - berbohong ke satu sama lain, setiap saat. Dulu kita dekat."
"Kita tidak sesering itu berbohong," kata Isobel, tapi kata-katanya terasa sangat konyol. Ia mengambil nafas panjang. "Kalau begitu apa lagi? Apa lagi kebohongan ibu padaku?"
Maggie memegang tangan Isobel dengan tangan dinginnya. Setetes air mata terjatuh: terlihat dari tulang pipinya yang berkilau. "Mungkin, milik ibu, semua itu lebih mengarah ke kelalaian daripada kebohongan."
"Apa yang tidak ibu beritahu aku?" Isobel bertanya. Ia memikirkan Draco, memikirkan genggaman tangan Lucius di lengannya. Putraku akan menikah dengan Astoria Greengrass. Ia berpikir apakah ibunya tau tentang pernikahan itu.
Ibunya berkata dengan pelan. "Ibu tau cara menggunakan mantra perlindungan di kalungmu karena pengalaman ibu di St.Mungo's. Karena orang lain yang menggunakan mantra itu harus dilarikan ke rumah sakit. Ada alasan kenapa mantra itu tidak diketahui banyak orang. . ." Air mata tergenang lagi. "Isobel, nyawa tidak semudah itu bisa diselamatkan, ketika sihir gelap sudah terlibat. Selalu ada bayarannya. Perhiasan yang dimantrai memiliki keberhasilan paling tinggi untuk melawan sihir gelap, tapi itu tidak akan berhasil tanpa biaya."
"Biaya?" Isobel bertanya. Jantungnya berdetak cepat.
"Mantra itu hanya untuk pencegahan, tentu," kata Maggie. "Ibu harap kau tidak akan berada di dalam bahaya, tapi kau - lingkunganmu saat itu -"
Maggie menangkap kontak mata dengan Isobel, dan Isobel mengaku. "Aku tau tentang Draco Malfoy."
"Bagaimana-"
"Itu tidak penting. Aku tidak bicara dengannya." Suara Isobel bergetar. "Tolong, lanjutkan."
Ibunya menghela nafas. Ia melihat ke arah anaknya, dan berkata, "Isobel - perhiasan yang diberi mantra bisa menyelamatkan nyawa penggunanya, tapi hanya dengan mengorbankan kerusakan pada orang yang memberi mantra."
Isobel merasakan adanya benjolan di tenggorokannya. "Kerusakan?"
Ibunya mengangguk; tanpa panjang lebar. Ia langsung tersadar serapuh apa ibunya terlihat sekarang; bagaimana kurus wajahnya, bagaimana matanya terlihat sangat lelah. Setelah semua yang mereka lalui, semua yang terjadi - inilah hasilnya. Awal dan akhir; semua dibentuk oleh kalung bintang bodoh ini. Ibunya menggenggam tangan Isobel lebih erat, tapi hanya terasa dingin dan rapuh; tidak ada rasa menenangkan.
"Aku tidak mengerti," kata Isobel. Air mata tergenang. "Biaya dari nyawaku adalah nyawa ibu?"
"Tidak secara langsung begitu," kata Maggie. "Dan tidak segera. Ibu akan baik-baik saja, ibu hanya perlu istirahat."
"Apa ibu tau ini akan terjadi?" tanya Isobel. "Itu akan memengaruhi ibu seperti ini?"
"Pengaruhnya tidak selalu langsung, bisa sepuluh tahun." Maggie menutup matanya. "Ibu tau ini egois, untuk menjagamu tetap di samping ibu. Tapi kau akan punya banyak waktu luang tanpa ibu."
Isobel mulai menangis. "Bu, ibu harusnya bilang."
Maggie menggelengkan kepalanya. "Ibu hanya ingin sedikit waktu, Isobel. Di mana hanya ada kita, tidka ada yang lain. Di mana kita bisa berpura-pura semuanya normal. Tahun lalu sebelum pertarungan, kau meninggalkan ibu terus-terusan. Setiap kali kau tidak ada, ibu selalu khawatir akan ada sesuatu yang buruk terjadi padamu."
"Aku tidak ingat itu," kata Isobel, menghapus air matanya. "Maaf."
"Tidak apa-apa," kata Maggie, "kau milik ibu sekarang. Tapi anak itu. . . dia membuatmu lupa dengan ibu."
"Berhenti," kata Isobel dengan tajam. Ia terkejut dengan kekerasan yang ada di suaranya, tidak sama dengan air matanya yang mengalir. "Aku tidak akan melupakan ibu. Jangan berkata begitu." Ia menggenggam tanagn ibunya lebih erat dan menatapnya. Berkedip menghilangkan air matanya. "Aku akan mengirim pesan ke St.Mungo," katanya. "Ibu istirahatlah beberapa hari. Ibu tidak boleh ke mana-mana."
-
dua minggu kemudian; empat jam sebelumnya
Hati Isobel terasa sakit melihat ibunya sakit. Rasanya menyedihkan, ia sadar itu; ketika orang yang ia sayang jatuh sakit, dan tidak ada yang bisa dilakukan. Beda dengan ayahnya, yang secara tiba-tiba meninggal; pergi dari kehidupan ini tanpa peringatan. Ia selalu meratapi bagaimana ia tidak bisa bersama ayahnya di detik terakhir hidupnya, tapi duduk di sebelah ibunya juga membuatnya merasa tidak berguna.
Kondisi ibunya memburuk. Isobel berharap dengan ibunya libur; istirahat di kamar beberapa hari, bisa mengembalikan kesehatannya, dan ia akan kembali pulih. Ia bahkan merasa terhibur dengan kemungkinan ibunya bisa kembali normal dan bekerja lagi. Tapi setiap hari terasa semakin suram dan gelap dari pada hari sebelumnya, dan Isobel tidak melihat tanda pemulihan. Ibunya memaksa bahwa Isobel salah; ia akan pulih sebentar lagi, tapi otot lemasnya, wajah pucat dan tangan lemahnya, berkata lain.
Maggie sama sekali tidak baik-baik saja; Isobel bisa melihat itu sekarang. Ibunya sangat membutuhkan kehadirannya; sangat bergantung pada keberadaan Isobel. Bukan saatnya untuk Isobel mengambil itu dari ibunya.
Ginny menulis sebuah surat setiap hari. Selalu hal yang sama; dengan kata-kata yang bervariasi: Kau sudah beritahu Malfoy? Apa ibumu tau? Beri aku kabar, tolong. Isobel tidak terlalu memperhatikan mereka sebelum mengembalikan mereka ke dalam lemari, dan mencari hal yang lebih berguna untuk ibunya. Membawakannya air; membuat roti panggang atau kaldu sayur. Hanya itu makanan yang bisa dikonsumsi oleh ibunya.
Ia berpikir bagaimana jika ia dan Draco masih bersama, apa yang akan terjadi jika ia bertemu Astoria. Apakah Draco akan lebih menyukainya dan meninggalkan Isobel untuknya? Ia berpikir jika Draco lebih bahagia bersama Astoria dibanding bersamanya dulu.
Ia ingin, sangat ingin, kembali kepadanya; jika tidak mencoba untuk berbicara dengannya, mungkin hanya untuk melihatnya; untuk melihat rambut pirang kusutnya, jaket lembutnya; untuk menyaksikan bagaimana ia minum teh, jari-jarinya menggenggam cangkir sampai seakan ia akan memecahkannya.
Tapi ia akan menikah. Ia tidak hanya pacaran dengan Astoria, ia berencana untuk menikahinya.
Isobel memikirkan pikiran ini berkali-kali, mempertimbangkan di titik mana ia akan merasa terlalu terlambat untuk memberitahu Draco bahwa ia maish hidup. Ia sedang tenggelam dalam pikirannya di suatu Jumat malam ketika ia mendengar suara ketukan di jendelanya, membawanya kembali.
Ia berjalan ke jendela kamar tidurnya, membuka tirai untuk bertemu dengan Ginny; rambut merahnya berterbangan oleh angin malam.
Isobel membuka jendela. "Kami punya pintu."
"Aku tidak mau ibumu tau aku datang," Ginny tersenyum.
Dada Isobel terasa sesak. Ibunya tertidur di kamar tidurnya, tidak akan mendengar kedatangan Ginny di sisi lain rumah ini. Tapi menurut Isobel, Maggie juga tidak akan terlalu peduli. Tidak akan kuat untuk peduli. "Masuk," ia bergumam.
Ginny memanjat jendela. "Kamar yang bagus," katanya.
Kamar Isobel sempit dan berantakan; baju-baju, buku dan kertas menutupi seluruh permukaan. Tidak ada yang bagus dari itu. Ia hanya mengangguk untuk mengucap terima kasih. "Maaf aku belum balas suratmu. Aku - ibuku sakit, dan -"
"Bukan itu alasanku ke sini," kata Ginny. "Astaga, dingin sekali di luar-" Ia menggosokkan kedua tangannya dan meniupnya, kemudian ia melihat ke arah Isobel dengan senyum lebar. "Harry, Hermione, Ron dan aku akan keluar malam ini. Kau ikut."
Isobel hampir tertawa. "Aku tidak ikut."
"Iya, kau ikut," kata Ginny. "Dan aku punya alasan bagus." Ia membuka lengannya dengan lebar. "Aku masuk ke Holyhead Harpies. Sebagai chaser, squad utama."
"Ginny - hebat sekali -" Isobel berkata terbata-bata. "Hebat sekali. Aku bahkan tidak tau kau mencoba itu."
Ginny menghiraukannya. "Kau punya terlalu banyak masalah. Tapi itu alasan yang cukup bagus, kan? Untukmu meninggalkan rumah, untuk melihat teman-temanmu lagi?" Ia melirik ke pintu Isobel, merendahkan suaranya. "Kau bahkan tidak perlu memberitahu ibumu."
Isobel menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa meninggalkan ibuku begitu saja."
"Oh, ayolah, Iz," Ginny memohon. "Pikirkan tentang trio - pikirkan bagaimana jika mereka melihatmu lagi. Mereka pasti ingin bertemu lagi denganmu."
Isobel memucat. "Kau tidak memberitahu mereka kan? Kalau aku masih hidup?"
"Tidak, tapi aku akan memberitahu mereka," kata Ginny. "Sebelum kita pergi dengam mereka malam ini, aku akan memberitahu mereka. Aku sudah memikirkan ini semua, dan menurutku ini cara terbaik."
"Itu terlalu berbahaya," kata Isobel, berusaha terdengar tegas. "Bukan untukku, untuk ibuku. Aku hanya - aku tidak mau ia terkena masalah. Dan sekarang dia sakit, dan-"
"Iz," Ginny memotong. "Aku tidak mau mendengarnya. Kau selalu begini, dan cukup." Ginny duduk di tempat tidur Isobel dan meminta Isobel duduk di sebelahnya. "Begini," kata Ginny. "Kau harus berhenti menghindari semuanya. Kau juga begini di sekolah, walaupun kau tidak ingat. Ketika kau terlibat dengan Malfoy kau ketakutan, jadi kau menghindari perasaanmu. Sama seperti yang terjadi di tahun ketujuh - kau sangat menyukainya, tapi terlalu takut untuk mengakuinya ke dirimu sendiri, atau ke kami. Sejujurnya, aku tidak suka kau pacaran dengannya, jadi aku tidak berkata apapun. Tapi cukup."
Isobel menatap tangannya. Ginny benar. Ia benci itu.
"Ayo," Ginny mencoba lagi, suaranya lembut. "Aku tau kau ingin."
"Kenapa malam ini?" tanya Isobel. "Aku berterima kasih, Gin- tapi rasanya sangat mengejutkan. Bisakah lain waktu, ketika aku punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri?"
Ginny menggelengkan kepalanya. "Kurasa tidak. Hermione selalu bekerja; jarang aku melihat mereka bertiga bersama. Tidak ada alasan untuk mereka tidak pergi malam ini, kau tau-" ia tersenyum- "dengan perayaan besar yang bisa dirayakan."
Isobel cemberut, mempertimbangkan. "Kalau Neville dan Luna?"
"Luna di Irlandia," kata Ginny, "dan Neville bekerja. Dia bekerja di Hogwarts sekarang, aku belum bilang ya? Dia bekerja bersama Professor Sprout."
"Astaga." Isobel menutup mulutnya, menggigit kuku. "Kurasa aku paling merindukan Neville."
Ginny menepis tangannya. "Jangan gigit kukumu, menjijikan. Kau akan bertemu dengan Neville. Trio dulu, oke?"
Isobel mengangguk. "Oke." Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ibunya tertidur: jika Isobel pergi sekarang dan kembali sebelum tengah malam, ibunya gidak akan tau Isobel baru saja pergi. Dan Maggie pasti baik-baik saja tanpa Isobel selama beberapa jam. Ia menatap Ginny. "Oke, baik. Kau menang. Aku akan pergi."
Ginny berdiri; menepuk tangannya dengan senang. "Bagus! Tapi -" ia melihat Isobel dari atas ke bawah, mengamati baju hangat dan celana rumah Isobel. Ia mengernyitkan hidung, berjalan ke lemari Isobel dan membukanya. "Ayo kita siapkan dirimu."
-
NOTE:
HOLYHEAD HARPIES: Holyhead Harpies adalah tim Quidditch yang semuanya perempuan yang bermain di Liga Quidditch Inggris dan Irlandia.
CHASER: Chaser adalah posisi pemain dalam olahraga sihir Quidditch.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro