Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SEPULUH

Untuk pertama kalinya selama lebih dari setahun, Isobel menunggu seorang tamu.

Ia gelisah. Ia tidak tau apa yang harus dikatakan atau harus dimulai darimana. Bagaimana cara menjelaskan semua yang telah terjadi sejak pertarungan itu. Ia menyibukkan diri dengan menggoreng telur untuk sarapan, walaupun ia sama sekali tidak merasa lapar.

Ia sudah tiga kali kembali ke ujung jalan itu sejak terakhir kali ia melihat seorang wanita di apartemen Draco. Awalnya ia melarang dirinya sendiri untuk kembali, tapi tiga kali ia hancur. Ia bertahan di sana hanya untuk hitungan menit. Beberapa menit untuk melihatnya, untuk memastikan Draco baik-baik saja. Beberapa menit yang singkat, tapi cukup untuk menenangkan pikirannya.

Ia tidak tau pasti apa yang ia inginkan dari Draco, tapi sering terpikir olehnya mungkin akan lebih mudah jika Draco yang melihatnya, jika ia melihat Isobel dengan tidak sengaja. Dengan begitu, ia tidak perlu mengambil keputusan apapun. Tapi Draco selalu terlihat jauh, selalu berada dalam dunianya sendiri. Draco melihatnya, melihat apa yang ada di belakangnya, tapi tidak pernah melihatnya.

Isobel memikirkannya di setiap hal yang ia lakukan. Kemana pun ia pergi, apapun yang ia lihat. Saat ibunya berdiri di depannya, Draco lah yang ada di kepalanya. Sekarang, membuat sarapan, pikirannya masih berada di Draco.

Crack, dan telur jatuh dari cangkangnya, ke wajan yang panas. Rambut putih Draco, jaket besarnya.

Crack, dan mentega meleleh dan meluas. Kesedihan Draco, kesunyiannya.

Crack, dan Ginny Weasley berdiri di depan pintu, rambut merahnya terhalang oleh jendela yang dipenuhi salju.

Isobel mematikan kompor, jari gemetar. Ia hidup bersama Ginny selama di Hogwarts; bertemu dengannya setiap hari selama lima tahun. Rasanya aneh jika sekarang ia merasa takut untuk menemuinya.

Pintu terbuka. Ginny berdiri di aspal, rambut tertiup angin. Keringat membuat keningnya bersinar.

Air mata dengan cepat mengintip dari mata Isobel. "Gin."

Pandangan Ginny terkunci pada Isobel. Ia meletakkan tangan di dadanya, dan menurunkannya. Kemudian berkata; "Astaga."

Isobel tersenyum. "Sini, sini," katanya. Ia mengulurkan tangan untuk memeluk Ginny. Ginny memeluknya kembali, sedikit; dengan kaku. Ketika Isobel mundur, Ginny masih memandangnya, beku.

Isobel menghela nafas. "Masuk," katanya, lembut.

Ginny mengikutinya ke dalam rumah dan ke dapur. Ia berdiri di depan meja, masih memandang Isobel.

Isobel memainkan jemarinya. "Aku tidak pernah melihatmu kehilangan kata-kata, Gin."

Ginny menggeleng; mematahkan kontak mata mereka, akhirnya. "Aku tidak percaya ini benar-benar kau," katanya, pelan.

"Duduk," kata Isobel. Ginny mengikutinya, melepas syal dari lehernya dan menggantungnya di belakang kursi. "Kau mau teh? Kopi?"

Ginny tersenyum. "Oh, aku butuh kopi untuk ini."

Isobel menuangkan kopi untuk mereka berdua. Kemudian duduk dan mengambil tangan Ginny. "Aku jelaskan."

Dan dengan begitu, ia menjelaskan. Ia menjelaskan bagaimana kalungnya sudah diberi mantra, bagaimana mantra itu membuatnya selamat dari pertarungan, tapi tidak tanpa konsekuensi. Bagaimana ia merasa kesakitan selama berbulan-bulan, tapi ia sudah merasa lebih baik sekarang. Bagaimana ibunya memaksanya untuk tetap di dalam rumah kecil ini, selamanya. Bagaimana Isobel tidak tau bahwa selama ini ia dianggap mati oleh teman-temannya, hingga baru-baru ini.

Ketika ia selesai, ia bernafas panjang. Ginny memandangnya; alisnya mengkerut. "Astaga, aku sangat ini mengobrol dengan ibumu."

"Ia tidak-" Isobel menggigit bibir bawahnya, tidak tau bagaimana cara menjelaskannya. "Semua yang ia lakukan - tidak semuanya buruk. Dia begitu karena takut kehilanganku, setelah ayahku juga pergi."

Ginny menggelengkan kepalanya tidak setuju, tapi tidak mengatakan apapun. Ia menyisir rambut dengan jarinya, dan sesuatu terlihat berkilau. Isobel terkejut. "Ginny, apa itu?"

"Oh," Ginny tersenyum. Mengulurkan tangannya, dan berlian kecil terlihat bersinar di jari manisnya. "Ternyata Harry Potter lumayan romantis jika tidak sedang main kejar-kejaran dengan Voldemort."

Isobel menyentuh cincinnya, menggigit pipi dalamnya. Dunia ini selalu berputar tanpanya; tentu saja. Ia menggenggam tangan Ginny. "Aku sangat senang mendengarnya. Kapan pernikahannya?"

"Musim panas tahun depan. Kau mau datang?"

Hati Isobel seakan patah. "Mau. Tapi..."

"Tapi apa?" Ginny menarik tangannya. "Menurutmu ibumu belum membiarkanmu keluar rumah di hari itu?"

"Bukan begitu," Isobel menjawab. Suaranya terdengar suram. "Aku hanya - ada beberapa hal yang harus kucari tau dulu."

Ginny menyentuh cangkir kopi yang sama sekali belum diminumnya. "Seperti?"

Isobel duduk tegak; kedua tangannya menggenggam satu sama lain. "Ya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya tentang Draco Malfoy."

Kebingungan tergambar di wajah Ginny. "Oke."

"Yah," Isobel mengulang. "Aku baru sadar..." ia mengambil jeda. "Mungkin kami pernah berpacaran, entah kapan."

Ginny memandangnya. "Iya, Isobel, kalian pernah pacaran. Kenapa kau aneh?"

"Ya," kata Isobel. "Masalahnya - aku tidak mengingatnya."

Ginny menutup mulutnya dengan satu tangan. "Apa?"

"Aku tidak mengingatnya. Atau maksudku, aku ingat siapa dia, tapi aku tidak ingat tentang pacaran."

"Astaga," kata Ginny lagi. "Apa menurutmu ibumu menghapus ingatanmu tentang dia? Untuk membuatmu aman, atau apalah?"

Isobel menggelengkan kepala. "Menurutku - dengan ibu memantrai kalungku... Menurutku mungkin mantranya memantul, jadi aku tidak bisa ingat beberapa hal. Itu kata ibuku beberapa bulan awal kami di sini, ketika aku sadar ada beberapa yang hilang, dari ingatanku. Kenangan yang aku sudah tidak punya. Tentu, aku belum memberitahunya bahwa aku tau tentang Malfoy."

Ginny memandang kalungnya. "Kau ingat yang lain, yang tidak ada hubungannya dengan Malfoy? Dari tahun-tahun itu - seperti DA, keluarga Carrow... Umbridge-"

"Iya, aku ingat semuanya. Kecuali dia."

"Oh, sangat tidak mencurigakan," kata Ginny. Kemudian, ia menarik paksa kalung Isobel.

Isobel menepis tangannya. "Aduh, Gin." Ia mengelus lehernya.

"Menurutku kau harus melepas itu," katanya. Ginny memandang kalung itu dengan teliti. "Bagaimana jika ibumu - dengan mantranya dan apalah, menghapus ingatan tentang Malfoy? Dan itu kenapa kau tidak bisa mengingatnya?"

Isobel menyentuh kalungnya dengan hati-hati; dengan protektif. "Ia memantrai kalung ini jauh sebelum pertarungan."

"Aku tidak peduli," kata Ginny. "Lepas. Bagaimana jika itu yang menghalangi ingatanmu? Isobel - lepas, atau aku yang lepas."

"Oke," kata Isobel. "Oke. Tapi itu tidak akan berhasil."

Ginny bersenandung tidak percaya. Ia menyaksikan dengan tidak sabar Isobel melepas kalungnya, menjauhkannya dari leher, dan meletakkannya di meja.

Isobel menarik pikirannya kembali ke Malfoy; melihatnya berjalan di apartemen, minum teh. Berusaha membayangkan Malfoy yang sama di meja Slytherin Hogwarts.

Ia mengangkat bahu. "Maaf," katanya. "Tapi tidak ada apapun."

Wajah Ginny muram. "Oh," katanya. "Maaf. Aku benar-benar berpikir itu caranya."

Di samping Ginny, Isobel juga merasa kecewa. Ia mengambil cangkir Ginny dan membuangnya ke cucian piring. Mengisinya dengan yang baru.

"Maaf, Iz," kata Ginny. "Lagipula, aku yakin itu bisa diperbaiki. Ingatan bisa dikembalikan, kan?"

Isobel duduk kembali dan menghela nafas. "Semoga."

"Jadi, kau sudah memberitahunya? Malfoy?"

Isobel menggenggam cangkirnya. "Aku tidak mengenalnya."

"Yah, kau kenal sih."

Ia menggeleng. "Tidak. Aku tidak tau apa kita akan akrab; tidak mengerti bagaimana kami bisa jatuh cinta. Dan - " ia mencoba untuk tidak terlalu mengumbar kebencian - "tidak ada tujuannya memberitahu aku masih hidup, karena sepertinya ia sudah punya pacar baru."

Ginny melotot. "Bagaimana kau tau?"

"Melihat mereka. Bersama." Ginny menunggu Isobel untuk melanjutkan, dan ia berkata dengan hati-hati, "Aku mengunjunginya beberapa kali. Hanya, ya, tanpa sepengetahuannya. Dari jendela."

Ginny menutup mulutnya, tapi Isobel tidak yakin apakah Ginny menahan teriakan atau tawa. "Iz," katanya. "Itu menyeramkan."

Ia cemberut. "Apa lagi yang harus kulakukan? Aku ingin mengenalnya, tapi aku tidak bisa memberitahunya aku masih hidup. Dan aku juga tidak mengawasinya sesering itu..." Ia menahan diri. "Hanya beberapa saat."

Ginny tertawa kecil, dan memasang wajah serius. "Aku tau situasimu ini unik. Tapi tidak hanya itu melanggar privasinya, kau juga menjadi stalker. Itu tidak benar."

"Aku tau," Isobel menggumam. "Menurutmu ia akan... Jika aku memberitahunya, ia akan marah?"

Ekspresi Ginny melembut. "Menurutku ia akan marah pada semua orang, kecuali padamu."

Isobel cemberut. "Rasanya aneh, menurutku," katanya. "Ia sangat menyukaiku. Aneh. Aku tidak mengingatnya, aku hanya ingat hal-hal buruk. Aku ingat kita membencinya di tahun pertama. Kapan kami pacaran?"

"Tahun kelima," kata Ginny, tanpa ragu. "Aku masih di tahun keempat. Di antara pertemuan DA - entah kapan, kau ada waktu untuk jatuh cinta padanya."

"Kau menyetujui itu?"

"Sama sekali tidak," kata Ginny. Senyumnya hilang. "Aku merasa bersalah."

"Jangan," kata Isobel. "Kapan dia mulai jadi Death Eater?"

Ginny berhenti. "Menurutku kau harus bertanya sendiri padanya. Aku seharusnya tidak memberitahumu semua ini."

"Menurutmu aku harus menemuinya?"

"Ya, tentu."

Rasa takut muncul dalam diri Isobel. Ia melihat ke jendela, mencoba berpikir jernih. Matahari pagi terlihat bersinar; menusuk matanya. "Aku sangat berbeda dengan aku yang ada di sekolah dulu," katanya. "Aku selalu merasa berani di pertemuan DA, tapi sekarang aku ketakutan. Selalu."

Ginny memegang tangan Isobel. "Pertarungan itu mengubah kita semua, Iz. Aku tidak mencoba untuk - bersikap tidak mau kalah atau apalah. Tapi kau tidak sendirian; kita semua berbeda sekarang. Tidak ada yang bisa benar-benar bangkit dari sesuatu seburuk itu."

Isobel hampir menangis. "Aku turut berduka cita untuk Fred."

Ginny mengangguk; tersenyum kecil. Isobel menggenggam tangannya. "Rasanya aneh tidak ada dia," kata Ginny lembut. "Jauh lebih sunyi. Tapi kami baik-baik saja sekarang. George tetap menjalankan joke shop sendirian, tapi kami semua membantu. Baguslah ia menyibukkan diri." Ia menggenggam balik tangan Isobel. "Astaga, aku masih tidak percaya kau ada di sini, Iz."

Isobel tertawa. "Dan aku tidak percaya kau akan menikah."

"Kalau kau datang ke pernikahanku," kata Ginny, "Aku mau kau jadi bridesmaid. Jangan merasa tertekan - aku mengerti kau harus mempertimbangkan banyak hal. Tapi jika kau datang, aku ingin itu."

Isobel mengangguk. "Aku akan memberi kabar."

Ketika Ginny pergi, sinar matahari di kursi tempat mereka duduk tadi meredup. Isobel duduk di sana sebentar, dan menangis, lagi.

Tapi kali ini, bukan kesedihan. Air mata itu harus dikeluarkan, ya, tapi ia tidak merasa terlalu kosong.

Kali ini, ada harapan.

---

Isobel anj ngapain sih ngomongin Fred bye I'm gonna cry



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro