Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LIMA BELAS

trigger warning: alkohol, menyebutkan penggunaan obat-obatan

-

dua jam sebelumnya

Alkohol membuat semuanya lebih jelas.

Itu adalah kesalahpahaman yang paling umum, pikir Draco; menunduk menatap permukaan bar dengan wajah muram. Orang berkata alkohol membuat dunia buram; alkohol menghilangkan rasa sakit dan menggelapkan pikiran. Tapi di samping firewhiskey yang mengalir di peredaran darahnya, beban di kepalanya, mati rasa akan indera-inderanya - pikiran Draco cukup jelas.

Ia harus melupakan Belly.

Atau tidak melupakannya, tapi move on. Tinggalkan Belly di belakang. Ia sudah berduka terlalu lama.

Sialan. Yah, mungkin tidak. Tangannya bergerak ke bunga salju di kantong celana jeansnya. Bunga itu sudah kusut dan lapuk, kelopaknya rontok, batangnya membusuk. Ia tidak mungkin merasa cukup berduka akan kepergian Belly, tidak akan pernah. Tapi akhirnya, bumi ini tidak berhenti berputar saat ia kehilangan Belly. Dan retakan-retakan yang sudah ada sejak sebelum perang, sekarang berubah menjadi jurang.

Ia mengangkat tangan pada bartender, meminta minuman lagi. Lelaki itu menyeret sebuah gelas padanya: cairan keemasan bersinar di bawah cahaya lampu club. Draco tidak yakin apa yang ada di gelasnya. Teman-temannya memesan whiskey dan rum, menghabiskannya dan mengisinya denga berbotol-botol fireswhiskey yang mereka bawa di kantong mereka. Ia meminumnya dengan sekali teguk, meminta satu gelas lagi.

Di seberang ruangan, anak Slytherin lainnya ada di pojok belakang club; dapat dibedakan karena pakaian lengan panjang mereka.

Teman-teman Draco mendapat Dark Mark mereka di tahun ketujuh, diam-diam saling bertukar cerita di ruang rekreasi; dengan wajah sombong, diskusi santai di sekeliling meja Slytherin. Ia beberapa kali memikirkan apakah merasa bangga dengan Dark Mark adalah sejenis trend hina yang tanpa sengaja ia mulai, atau memang itu membuat semuanya lebih mudah ditoleransi dengan berpura-pura tanda itu membuat mereka keren, dulu.

Dark Mark terasa hampir tidak tertahankan sekarang. Mereka tergambar di lengan bawah banyak orang, tengkorak dan ular tidak memudar. Anak-anak ini pernah menganggapnya sebagai pengingat masa lalu mereka - luka perang - tapi sekarang lebih terlihat seperti kutukan, selamanya memberikan identitas diri mereja saat mereka berusia 17 tahun. Atau saat mereka ingin menjadi bagian dari anggota itu, atau saat orang tua mereka menginginkan anak mereka untuk menjadi bagian itu. Itulah klasifikasinya sekarang, dan akan selamanya ada pada tubuh mereka.

Dari lingkaran Slytherin, Theo menengok dan melambaikan tangan ke Draco. Draco membelakangi mereka dan bergerak ke pinggir ruangan. Ia mengenakan baju tangan panjang yang dirajut dan merasa sangat hangat. Ia merindukan apartemennya.

Ia menyandarkan punggungnya di dinding. Tubuh-tubuh berkeringat menempel satu sama lain menggeliat di lantai dansa di depannya. Ia memejamkan mata untuk menutup mereka semua.

Teman-temannya tidak sedang baik-baik saja. Ia menegerti itu sekarang. Selama 18 bulan pikirannya hanya berputar di sekitar Belly, Voldemort, keluarganya. Terkucilkan dari dunia sihir yang ia nikmati.

Di lirikan pertama, kau mungkin menyadari. Di permukaan, kelompok Slytherin - berbincang, tertawa, bercanda - bisa menjadi orang-orang yang paling bahagia dan tidak peduli akan apapun di ruangan ini.

Tapi senyum mereka kosong, mata mereka redup. Ketika ia mendekat, Pansy berdiri menjinjit, menarik kepalanya dan mendekatkan wajah ke arah Draco. "Kami kehilanganmu, sayang," katanya dengan tulus, "ke teh camomile-mu. Dan Blaise memberitau kami tentang parfum itu. Menyedihkan, dan itu harus berhenti."

Semuanya seperti Pansy, mabuk atau 'teler' dari isi kepalanya. Draco tidak bisa menyalahkan mereka, ia hanya tidak terlalu memikirkannya. Tidak sadar mungkin mereka juga sama menderitanya seperti dirinya.

"Pacarmu ada di sini," suara di telinga Draco berkata.

Draco menjauh; melotot pada Theo, yang sedang menyeringai. "Apa?"

"Astoria. Istrimu, dia di sini," senyum Theo. Ia menggertakan giginya. "Dan sepertinya dia tidak terlalu senang denganmu."

Draco memandang Theo. "Se-teler apa kau?"

Theo menghiraukannya, memutar bola matanya. "Jangan khawatir, Malfoy." Ia merangkulnya. "Kami merindukanmu."

Seiring Draco mengangguk kecil untuk menjawab omongan terakhirnya, Pansy berjalan sempoyongan melewati mereka. "Mau ke toilet," ia berkata. Dan mengedipkan satu matanya.

"Ia tidak baik-baik saja," kata Theo, mengangkat gelasnya ke arah Pansy berjalan. "Dia hampir selalu mabuk, dan jika dia tidak mabuk, dia hangover. Dia hangover - hampir setiap hari, dia terus minum. . . Dia terus minum karena dia tau kalau dia berhenti, dia akan hangover. Masuk akal?" Draco menangguk; mencoba untuk membuat Theo menjauh, tapi ia melanjutkan: "Kami tinggal bersama, kalau kau tidak tau. Aku, dia dan Zabini. Jadi aku. . . merawatnya setiap hari, walaupun aku tidak terlalu lebih baik darinya." Ia berhenti, senyumnya menghilang. "Aku khawatir padanya."

"Untungnya ada Zabini yang menjaga kita." Kata Draco.

Theo menggelengkan kepalanya, mengindikasikan ia tidak bisa mendengar Draco. "Musiknya -"

"Blaise," kata Draco dengan kencang. Ia memiringkan tubuhnya ke Theo. "Setidaknya Zabini baik-baik saja."

Theo menggelengkan kepalanya lagi, kali ini karena ia tidak setuju. "Bro," katanya, nafasnya panas dan berat, "Zabini yang paling buruk. Dia mabuk berat setiap kami keluar - benar-benar semabuk itu. Ayo, minum lagi."

Theo menjauh dari Draco, dan Draco dengan patuh mengikutinya ke bar. "Aku tidak mengerti," ia berkata. "Dia kerja di Kementrian. Dan tidak terlalu sedih karena, um. . ." Ia berhenti, melupakan nama siswi Beauxbatons itu.

Theo berpegangan pada pinggir bar, menatap bartender yang menuang minuman mereka. "Dipecat dari pekerjaannya," katanya. "Dia melamar dengan nama lain, mereka memecatnya saat ia ketahuan pernah menjadi Death Eater." Ia memberi sebuah gelas pada Draco; menabrakan gelasnya sendiri. "Tidak ada masa depan untuk Death Eater sekarang. Tidak ada harapan untuk kita."

Draco mengumpat. "Aku mau cari angin," katanya, berusaha menjauh.

"Tunggu." Theo memegang lenagan Draco. Wajahnya tersenyum lebar. Draco tidak melihatnya, tapi Theo menariknya lebih dekat. "Malfoy, semua akan baik-baik saja. Sekarang kau bersama kami lagi - semuanya berbeda. Kau bisa bantu kami."

Draco tidak bisa menahannya lagi. Ia menarik lengannya dari genggaman Theo; pindah ke luar belakang gedung. Area berbatu kecil tertutup di antara gedung yang dibangun sebagai area merokok. Ia mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya hingga ia menemukan ruang kosong di dekat dinding; ia bersandar, nafasnya berat.

Ia sangat marah pada dunia ini. Muak dengan struktur sosial, muak dengan orang-orang. Muak dengan hidup tanpa Belly. Muak dengan wajah Belly yang mengikutinya.

Berminggu-minggu setelah kematiannya, ia berharap - dengan sedikit naif dan banyaknya kepentingan diri sendiri - ia berharap Belly kembali sebagai hantu. Hantu, sebagaimana kita tau, ada di dunia ini karena mereka memiliki sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Bukannya Belly memiliki sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan?

Tapi Draco menunggu, dan menunggu, dan Belly tidak pernah kembali.

Jika dia menjadi hantu, pasti dia sudah mendekati Draco. Berbicara dengannya. Jika dia menjadi hantu, Draco tau - pasti tujuannya adalah untuk tetap bersamanya. Itu bagaimana ia tau setiap ia melihat Belly sekarang, itu hanya halusinasi. Belly adalah bagian dari imajinasinya, hasil dari otaknya yang bermain trik. Dan dia muak.

Yang terburuk dari semua itu, titik ujungnya, adalah ketukan di pintu apartemennya, beberapa menit setelah Blaise keluar di siang itu. Ia berjalan dengan kesal ke arah pintu; Aku bilang aku akan ikut, Zabini-

Tapi bukan Blaise, itu adalah Ginny Weasley yang memasuki apartemennya. Masuk tanpa dipersilahkan; berdiri di ruang tengahnya dengan tangan di pinggang.

Draco tercengang, dibuat bingung oleh wajah yang sudah tidak dilihatnya bertahun-tahun. Berdiri di apartemen yang ia tempati sekarang untuk melupakan orang seperti Ginny. Ada alasan kau ke sini, Weasley?

Dengan kau yang terkejut melihatku di sini, sepertinya kau tidak tau. Kata Ginny.

Tau apa? Katakan.

Ia mencoba untuk memberitau Draco bahwa Belly masih hidup.

Mungkin ia mau mengolok-olok Draco. Atau mungkin itu suruhan Kementrian, mungkin sedang ada yang memata-matai Draco, berusaha mencari informasi darinya - ia tidak tau. Rasanya seperti tamparan di wajah, pikirnya. Menghantuinya; mereka pikir mereka bisa mempermainkan dia dan teman-temannya seperti boneka. Penegasan bahwa masih ada pihak memihak.

Banyak orang yang menghalangi hubungannya dan Belly ketika ia masih hidup, dan Ginny Weasley adalah salah satunya.

Siksaan, itulah yang terjadi.

Draco mengusirnya hingga tiga kali sampai akhirnya ia benar-benar keluar. Tapi tidak sebelum ia bertanya: Apa yang kau lakukan akhir-akhir ini? Apa kau akan ada di sini malam ini? Kau mau kemana?

Sudah cukup untuknya - sudah cukup akan permainan bodoh kekanak-kanakan yang dunia sihir ini mainkan. Konstruksi dan hirarki. Ia membenci teman-teman lama Belly, benci pekerja Kementrian, benci orang tuanya karena berpartisipasi dalam kekacauan ini juga. Ia muak menjadi pion.

Tangan kecil menggenggam lengannya, dan suara Astoria terdengar di sebelahnya. "Aku sudah mencarimu selama satu jam."

Draco menarik dirinya, berusaha berdiri tegak. Ia masih memegang minuman yang Theo berikan; cairan di dalamnya berputar-putar. Ia menatap Astoria dengan ragu, meringis ke arahnya. "Aku tidak menyangka kau akan ke sini."

"Pansy mengajakku," kata Astoria. Rambut coklat panjangnya dikepang, lipstick merah yang selalu ia pakai terlihat sangat terang hampir membutakan. Dan nada bicaranya dingin. "Aku tidak mau datang tadinya, tapi katanya kau akan ada di sini. Dan kupikir, huh, lucu. Karena kau tidak menyebutkan tentang malam ini padaku."

"Iya," kata Draco. Ia membelakanginya dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.

"Kau mabuk?"

"Kenapa kau peduli?"

Ia mendengar Astoria mendengus. "Aku tidak peduli." katanya.

Mereka terdiam unutk beberapa saat, menyaksikan muggle masuk dan keluar area merokok; udara di sekitar mereka terasa sesak. Kemudian Draco berkata, "Menurutku sebaiknya kita tidak bersama dulu untuk beberapa saat."

"Apa kita pernah bersama?"

"Bukan," katanya, "maksudku sungguh-sungguh. Aku tidak mau melihatmu dulu."

Draco menatapnya: Astoria terlihat sangat marah. "Yah," katanya. "Kita akan menikah, Draco. Jadi lebih baik kau mulai membiasakan diri melihatku."

"Kita tidak harus menikah," kata Draco. "Aku benar kan? Mereka tidak bisa memaksa kita."

Ekspresi wajah Astoria turun. "Kau tidak mau menikahiku?"

"Kau mau?" ia bertanya. "Astoria, kita tidak saling cinta. Dan kau selalu bilang kau tidak percaya pada perjodohan antara darah murni."

Astoria tidak menjawab untuk beberapa saat. "Aku kira kita akan berakhir bersama," akhirnya ia berkata. "Dunia sihir ini sangat kecil, dan kurasa kita adalah pilihan tepat untuk satu sama lain. Tentu aku tidak percaya kita akan jatuh cinta, aku tidak naif. Tapi aku tidak berpikir kita tidak akan bahagia."

"Kita tidak akan bahagia juga," kata Draco.

Astoria membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri. Ia mengelus lengan Draco. "Aku akan pulang," katanya. "Kita bicarakan ini lagi besok, kalau kau sudah sadar."

Draco meninggalkan area merokok setelah Astoria pergi. Jika dia tetap di sana, dia akan memikirkan tentang obrolan mereka; meragukan diri sendiri. Dan sekarang, dia tidak butuh itu.

Ketika ia kembali ke bar untuk mencari minum lagi, ia menarik lengan bajunya ke lengan atasnya. Ia terlalu kepanasan sekarang, dan tidak peduli jika ada yang melihat tandanya. Mereka yang mengerti arti tanda itu juga sudah mengetahui siapa Draco. Itulah beda teman-temannya dan dirinya, ia berpikir - ketika mereka ditandai dengan Death Mark, ia ditandai dengan rambut putih, wajah pucat dan hampir kembar dengan ayahnya. Ia terlihat seperti seorang Malfoy; dan itu lebih buruk daripada Death Mark.

Sudah larut malam, tapi ruangan semakin dipenuhi orang. Ketika ia mencapai bar, orang-orang ramai mengelilinginya. Ia menemukan Blaise yang sedang terpojok di salah satu meja bar dan berjalan ke arahnya; melalui sekumpulan wanita untuk merangkul pundak Blaise. Blaise menoleh ke arah di mana Draco meletakkan tangannya dan tersenyum padanya.

Blaise, yang kehilangan pekerjaan dan pacar, dan sama sekali tidak menceritakannya pada Draco.

Ia menarik Draco dari keramaian, mendekat ke bar. "Kau baik-baik saja? Astoria menganggapmu baik-baik saja?" Draco mengangguk. "Senang bisa bertemu teman-temanmu lagi?" tanay Blaise. Nafasnya bau alkohol. Tapi mungkin, nafas Draco juga.

"Nott mau aku menjaga kalian semua."

"Apa?"

"Nott -" Draco meninggikan suaranya - "ia pikir aku adalah jawaban dari masalah kalian semua. Mau aku menjaga kalian."

Blaise tertawa. "Ngga. Kau tau maksud dia bukan itu. Lebih ke kau pernah menjadi - pemimpin, atau apalah. Senang bisa main bersamamu lagi, itu saja." Ia menggenggam bahu Draco. "Kau harus mampir ke apartemen kami."

Draco merasa tenggorokannya menyempit - ia menelannya, merasa konyol. Jari-jarinya mulai bergetar, maka ia menggenggam erat gelasnya, menatap Blaise. "Aku tidak bisa mengasuh kalian."

Blaise menatapnya dengan simpatik. "Tidak ada yang minta kau mengasih mereka, Malfoy. Mereka ingin kau menjadi teman mereka."

Draco mengangguk. Kepalanya mengambang, matanya berat. Tapi dia tau dia bisa. Untuk dirinya, untuk mereka. Dia bisa menjadi seorang teman.

Musik terdengar entah dari bagian ruangan yang mana: lagu pop yang diberatkan bass dan diulang-ulang. Draco merasa getaran di dadanya, bahunya; merasakan kehangatan dari orang-orang di sekitarnya, hangat sampai wajahnya. "Kau harus melupakan dia," kata Blaise. "Sudah terlalu lama. Kau harus melupakannya, agar kau bisa kembali ke kami."

Draco mengangguk lagi. Ia jugaa bisa melakukan itu.

Ia mengosongkan gelasnya. Berpikir; Belly sering minum alkohol lebih dari yang ia bisa. Ia meminum alkohol untuk menenggelamkan kesedihannya hingga membuat khawatir, menghilangkan rasa gelisahnya dengan alkohol - 

Draco tidak, karena ia terlalu sibuk menyaksikan Belly.

Karena Belly sudah cukup menjadi alkohol untuknya. Ia tidak membutuhkan ini; tidak pernah mau.

Tapi ia sudah tidak memilikinya lagi.

lima menit sebelum

Draco tau ia sangat mabuk. Ia merasa seperti berjalan di bawah air, di lantai lautan. Tapi siapa peduli? Siapa yang peduli jika ia memabukkan dirinya hingga tidak bisa melihat apapun malam ini?

Untuk beberapa saat, ia pikir ia melihat Belly lagi; tidak jelas di seberang ruangan, rambut pirang kecoklatan bersandar di punggungnya. Draco berpegangan pada meja bar, meminum segelas lagi, memejamkan matanya karena ia menghantuinya - 

Tangan kecil bertulang menggenggam lengan bawah Draco. Wajah Pansy muncul, sangat dekat dengannya, berkata, "Dia di sini."

Ia menatap Pansy. Dan Pansy semakin mendekat. "Aku melihatnya di toilet. Kau tidak pernah bilang dia menjadi hantu."

Draco mengernyitkan alisnya, berkedip perlahan. "Kau melihatnya juga?"

Ia mengeratkan pegangannya di lengan Draco. "Aku menyayangimu. Aku akan cari Theo."

Pansy menghilang. Ia menatap ke bawah gelasnya. Kosong.

Ia menatap ke atas, dan Belly ada di sana. Lagi Di seberang ruangan, di lantai dua.

Aku harus melupakanmu, pikir Draco, menyaksikannya bergerak ke tangga. Aku akan melupakanmu sekarang.

Mata Belly bertemu dengannya - terbuka lebar, panik.

Mereka mendekat ke satu sama lain seperti magnet. Draco bergerak melalui keramaian, melalui tubuh berkeringat, tapi matanya tetap berada pada Belly.

Ia mencapai tangga seiring Belly mencapai anak tangga terakhir: dunia berputar di sekitar mereka ketika Draco menatapnya - di sana, cukup dekat untuk menyentuhnya, sangat nyata - 

"Tinggalkan aku sendiri," Draco berkata. Dia tidak tau apakah ia sedang berbisik, menggumam, atau mengeluarkan suara. Musik menenggelamkan suaranya. Ia mencoba lagi: "Berhenti mengikutiku. Berhenti menghantuiku."

Mulut Belly bergerak, tapi ia tidak mendengar apapun. Lampu neon bergerak melalui wajahnya, dan ia terlihat sangat jelas, sangat amat nyata, tapi bagaimana mungkin ini dia - 

"Aku akan tutup mata," ia berkata, menahan air mata, "dan melupakanmu. Ini terakhir kalinya aku akan memikirkanmu."

Belly menggelengkan kepalanya, menunjuk telinganya, mendekatkan tubuhny pada Draco. Draco memandangnya, mengamatinya. Dan menutup matanya. Biarkan aku melupakanmu, Isobel Young.

Ketika ia membuka matanya, Belly masih ada di sana. Menangis; pipinya basah, alisnya mengernyit. Draco kedip. Ia bisa mencium bau gula yang gosong.

Ia menyaksikan tangannya bergerak ke arah Belly; menyaksikan jari-jarinya menyisir rambut pirang kecoklatannya.

Ia berkedip lagi. Belly masih ada.

Sisa malam itu berlalu dengan cepat. Tangan kecil Belly di genggaman tangan Draco, wajah mereka sangat dekat, air mata di pipi Belly bersinar.

Belly meninggalkannya di luar bersama Theo dan Blaise, menghilang di udara malam. Tapi tidak sebelum ia menyelipkan secarik kertas di tangan Draco, berbisik padanya, "Maafkan aku."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro