Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LIMA

Draco menatap langit. Ia berdiri di kamar tidurnya, menatap, selama 30 menit. Lengan bawahnya terasa keram karena terlalu lama menahan beban tubuhnya di pinggir jendela.

Ia menghela nafas panjang, dan berjalan menuju tempat tidurnya  untuk berbaring. Ia memutuskan untuk menghitung hingga 100 sebelum ia kembali menatap langit lagi.

Belum lama ini ia pergi berbelanja furniture, untuk mengisi kamarnya menjadi lebih penuh dari sebelumnya. Ia memberi dirinya satu hari untuk menghabiskan energi: satu hari untuk mendapat semua yang ia butuhkan, sebelum ia mengurung diri lagi. Barang-barang itu antara lain kerangka tempat tidur, dua meja kecil dan sofa untuk ruang tengahnya. Ia juga membeli beberapa lampu meja, dan membiarkan mereka semua menyala, juga beberapa lampu tinggi.

Ia sedikit terkesan dengan dirinya sendiri, jujur. Ia tidak terlalu menggunakan barang-barang seperti itu--ia tidak pernah benar-benar keluar dari pikirannya sendiri--tapi setidaknya apartemennya terlihat berpenghuni. Apartemennya terlihat lebih 'dewasa'. Terkadang, ia membayangkan kehadiran Belly di sebelahnya, kepala Belly yang bersandar masuk di lengkung lehernya, satu tangan memeluknya. Ia suka membayangkan apartemen ini menjadi milik mereka, bukan hanya miliknya.

Ketika ia tidak tinggal di dunia penuh angan, atau tidak sedang mengasihani dirinya sendiri, ia tenggelam dalam amarah yang tiada henti.

Ia marah dengan kartu yang dunia ini mainkan padanya; pada hidup yang ia miliki. Ia marah dengan dirinya sendiri--sangat marah--karena lengah dan membiarkan Isobel sendirian pada pertarungan itu. Ia merasa marah pada dirinya dulu, untuk memaksakan sesuatu yang salah. Jika ia tidak pernah berbicara padanya--jika ia mengabaikan keinginan yang selalu muncul untuk berbicara dengan Isobel, untuk mengganggunya, untuk mendapat perhatiannya... Jika ia tidak pernah jatuh cinta dengan Isobel dan sebaliknya, mungkin Isobel masih hidup.

Yang paling besar sekarang adalah rasa marahnya pada ibunya, yang menganggap satu tahun sudah cukup untuk move on, dan sekarang berusaha mengatur pernikahannya dengan wanita lain. Memaksanya untuk bertemu wanita itu secepatnya. Dan untuk membeli bunga bodoh yang ia tidak tahu sama sekali.

Ia tidak melakukan apapun dengan amarahnya, tentu. Hanya berbaring di sana dan membiarkannya meluap.

Ketukan pintu menariknya kembali dari pikirannya. "Masuk," ia berkata dengan lantang, tidak bergerak. Satu-satunya orang yang mengetuk pintunya adalah Blaise, yang selalu muncul tanpa peringatan setiap beberapa minggu. Hampir seluruh teman Draco dari sekolah sudah sedikit menjauhinya. Mereka merasa tidak nyaman berada di sekitarnya, sekarang ia tidak lagi mengenakan topeng sombong dan percaya dirinya. Tapi Blaise menunjukkan perasaan tulus yang tidak terduga pada kondisi Draco saat ini, dan, bagaimanapun caranya, memastikan Draco tidak menghabiskan seluruh waktunya dengan berbaring di tempat tidur.

"Dingin di sini," kata Blaise, sebagai sapaan. Langkah kakinya terdengar di ruang tengah. "Jendelanya boleh ditutup?"

"Jangan," gumam Draco. Tapi Blaise terlihat seakan tidak mendengarnya, atau menghiraukannya, karena terdengar suara jendela yang tertutup. Suara bising kota London sekarang terdengar seperti gumam halus.

"Jadi," Blaise muncul di depan pintu. "Apa kabar? Terang sekali di sini, astaga." Mengecilkan mata, ia mematikan satu lampu yang paling dekat dengannya. "Orang-orang depresi biasanya suka gelap, tau kan." Ia mengernyitkan hidungnya. "Bau apa itu? Seperti—gula gosong—"

Draco memutar bola matanya. Di meja kecil sebelahnya terduduk botol kaca berwarna pink, parfum Isobel. Ia menunjuknya. "Menurutku itu caramel."

"Kenapa kau punya itu?" tanya Blaise—kemudian ekspresinya datar. "Itu punya dia ya?"

Draco berbaring, tidak mengatakan apapun. Ia lumayan suka bau parfum itu, aromanya tidak terlalu manis, tapi semacam bau musk. Walaupun, ia yakin, jika baunya tidak enak pun, ia tetap akan menjadikannya pewangi ruangan.

"Maaf," kata Blaise. "Itu, umm—tidak seburuk itu." Ia melihat Draco dengan tatapan sedih. "Sikapmu manis dengan menyimpan itu."

"Botol yang ini bukan miliknya," kata Draco, muram. "Tapi—dia selalu pakai ini. Jadi kubeli satu." Ia melihat ke arah Blaise, menunggunya tertawa, tapi Blaise hanya mengangkat bahunya. Draco tidak hanya membeli satu: ada dua lagi di dalam lemarinya. Ia hanya baru menyadari parfum yang biasa digunakan Belly bukanlah satu-satunya di dunia ini. Ia menemukan parfum itu di toko kecil dan berdebu yang ada di ujung Diagon Alley, dan membanting tiga botol di meja kasir, membuat pegawai di sana ketakutan. Aromanya seperti dia. Ia tidak peduli apa yang Blaise pikirkan.

"Cahayanya agak berlebihan," kata Blaise. "Apa kau tidak merasa—tidak tau ya, pusing?"

"Indraku rasanya lebih kuat," kata Draco, "kalau itu maksudmu."

"Dan kau suka itu?"

Draco mengangguk.

Blaise memulai. "Itu membuatmu lupa? Karena kalau kau mau melupakan, kau bisa mabuk-mabukan seperti orang normal. Atau, yah, aku ada akses ke—"

Draco menggelengkan kepalanya. Persetan. Ia tidak ingin melupakan, ia hanya ingin semua ini terasa sedikit berkurang. Ia ingin bebannya terasa lebih ringan, tapi ia tidak mau melupakan dia, demi Tuhan. Lagi pula, ia sudah mencoba alkohol. Hasilnya sangat tidak baik. Ia beralih untuk mengajarkan dirinya minum teh, dan mungkin ia sudah meminumnya dengan jumlah yang tidak wajar. Lebih aman daripada alkohol.

"Astaga," kata Blaise lagi. "Aku pasti tertawa kalau situasinya tidak setragis ini."

Draco selalu menyukai kehadiran Blaise—ia adalah orang satu-satunya, di samping ibunya, yang tidak benci ketika meninggalkan apartemennya. Tapi ia tidak suka jika Blaise muncul seperti ini. Membuatnya merasa terlalu terbuka.

Blaise menyandarkan punggung di lemari. Ia berkata, dengan perlahan, "Young tidak akan senang jika kau seperti ini. Dia pasti tidak mau melihatmu sangat... menggantung. Kau layu, Malfoy."

Mendengar orang lain menyebut nama Isobel tadinya selalu membuat Draco gusar. Tapi ia baik-baik saja sekarang; ia belajar. "Yah," ia berkata. "Ibuku sudah merencanakan pernikahanku dengan orang lain. Jadi kurasa aku tidak akan bisa mengurung diri lagi."

Blaise memandang ke arah lain. "Ya, seharusnya."

Draco terduduk. Belum lama ini ia tersadar, tidak sopan jika ia terus berbaring ketika ada tamu berkunjung. Maka ia pindah ke tepi tempat tidur, dan menggunakan sikunya sebagai tumpuan di lututnya. "Bagaimana pekerjaanmu?"

Blaise menunjukkan ekspresi datar. Ia baru saja mendapat posisi junior di suatu tempat di departemen keamanan Kementerian. Draco tidak terlalu ingat lengkapnya. "Baik," kata Blaise. "Harus banyak membaca, tidak banyak bekerja. Banyak laki-laki tua membosankan. Ngomong-ngomong—" ia menyeringai. "Maksud kedatanganku adalah untuk menanyakan tentang kau mencari bunga. Bagaimana?"

Draco cemberut. "Pencarianku?"

"Kau tidak tau cara membeli bunga... untuk adik Daphne?"

"Oh, iya," kata Draco. Ibunya memberi instruksi tegas untuk membeli bunga untuk Astoria Greengrass, untuk memberikannya di kencan mereka yang penuh dengan setting-an. Ia mengangkat dirinya dari tempat tidur. "Aku akan tunjukkan." Blaise mengikutinya ke ruang tengah dan ke area dapur, di mana Draco menunjuk bunga anyelir yang ia beli. Mereka tergeletak melintang di tempat cuci piring, terlihat sedikit layu. "Mereka terlihat baik-baik saja kan?"

Blaise menghela nafas kencang, yang berubah menjadi suara tawa. Ia menepuk permukaan meja. "Coy. Aku tau kau tidak ada ketertarikan pada wanita lain, tapi setidaknya masukkan mereka ke vas."

Draco cemberut. "Mereka di tempat cuci piring. Aku tidak punya vas."

Masih tertawa, Blaise mengambil gelas dari lemari Draco dan menggunakan mantra untuk membesarkan ukurannya menjadi seukuran vas yang seharusnya. Ia mengisi gelasnya dengan air, menggunakan mantra untuk memotong ujung bunga dan memasukkannya ke gelas. Ia menyeringai lagi. "Tidak sesulit itu."

Draco tersenyum kecil. Ia tau bunga-bunga itu sudah tidak terlalu bagus, tapi ia juga yakin Astoria tidak berharap banyak darinya, mengingat mereka tidak mengenal satu sama lain. Semuanya—bertemu dengannya, berbicara dengannya, berkencan dengan seseorang yang bukan Isobel—terasa sangat berlimpah, jujur. Rasanya terlalu cepat. Selain bunga salju kecil yang terduduk di pinggir jendelanya, bunga bukanlah yang ada di kepalanya.

Seakan membaca pikiran, Blaise meletakkan satu tangan di pundak Draco. "Kau tidak perlu membuatnya terbang, Malfoy. Bersikap baik saja, oke?"

Draco mengangguk kecil.

"Oke," kata bLaise. "Yah, aku harus pergi, aku mau makan malam dengan ibuku. Dia membeli bunga lili—yang harus dirawat tanpa henti, aku akan mengajarkanmu."

Draco memutar bola matanya. "Iya, iya."

Seiring Blaise pulang, ia membuka kembali jendelanya. Kemudian ia meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela dan bertumpu, menatap langit lagi.

Narcissa pertama kali menyebut Astoria Greengrass pada bulan November setelah perang—tidak lebih lama dari enam bulan setelah kepergian Isobel. Ia mengajak Draco meminum teh sebelum mengangkat topik itu. Draco marah, keluar dari toko, dan mengabaikan ibunya selama satu bulan penuh. Tapi beberapa minggu terakhir, Narcissa kembali mengangkat topik itu. Akan menjadi hal baik untuk Draco, katanya, mengenal seseorang yang baru. Untuk menyadari bahwa Isobel Young bukanlah satu-satunya hal yang indah di dunia ini. Di samping itu, katanya, semua orang seusianya sedang mencari pasangan sekarang. Komunitas sihir sempit. Jika ia tidak menemukan seseorang, dia tidak akan pernah menemukan siapapun.

Narcissa tidak salah di sini—terlalu banyak, banyak orang seusianya yang mulai membicarakan tentang pernikahan. Bahkan Blaise mulai serius dengan siswi Prancis dari Beauxbatons itu. Tapi hal yang salah dari Narcissa adalah Draco tidak peduli jika ia tidak menemukan siapapun. Ia sudah sendirian hampir sepanjang hidupnya, dan ia merasa baik-baik saja melewati itu semua.

Ia menajamkan mata, mencari pergerakan di langit. Gerakan kecil apapun yang mungkin menandakan burung hantu yang mendekat. Ginny Weasley, menurutnya, adalah pembalas surat yang lambat.

----

KAGET BGT AUTHORNYA TIBA-TIBA UPDATE HAHA

ANYWAY, DRACO NGIRIM SURAT KE GINNY UWOW

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro