Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ENAM BELAS

Draco terbangun dengan tiba-tiba, nafasnya pendek dan jantungnya berdetak cepat. Ia berbaring masih dalam pakaian yang sama di atas selimutnya, dan ia bisa merasakan keringat tebal yang menetes di keningnya. Cahaya matahari memasuki jendela; ia menyipitkan matanya.

Suara ketukan terdengar dari pintu apartemennya. Pasti itu yang membangunkannya - seseorang di depan pintu - tapi itu terlalu jauh. Ia mengerang. Kepalanya berdengung siring ia duduk; ia memegangnya, berusaha untuk mencari mantra yang bisa menyembuhkan sakit kepala.

Ketukan lagi, kemudian ada suara yang berkata, "Draco? Kau di dalam?"

Ia mengumpat dengan kencang, berdiri dengan sempoyongan, dan berjalan ke ruang tengah menuju pintu. Membukanya dan bertemu dengan wajah Emily tetangganya, tersenyum lebar padanya.

"Hai, Draco," ia berkata dengan riang, berusaha mengingat kapan ia memberitahu namanya. Ia bisa merasa baju bagian belakangnya menempel di punggungnya, karena keringat.

"Ngomong-ngomong," ia berkata dengan sangat ceria, "aku mau pergi berbelanja dan aku melihat beberapa hal di depan pintumu, yang mungkin terjatuh. Dompet dan. . ." Ia mengangkat dompet dan tongkat sihir Draco. "Aku tidak tau apa ini," katanya, menyeimbangkan tongkat sihir di antar dua jarinya dan terlihat sangat bingung.

"Oh, sial," Draco berkata dengan kencang. Kepalanya merespon dengan memberikan rasa sakit; ia memegang kepalanya dengan satu tangan dan mengambil barang-barangnya dari Emily dengan tangan lainnya. "Maaf." katanya pada Emily yang terlihat terkejut dengan seruannya.

Ia melirik ke tongkat sihir Draco. "Jadi, apa itu. . ."

Draco menghela nafas. Ia mengangkat tongkatnya untuk memperlihatkannya pada Emily. "Ini tongkat sihirku." katanya.

Emily tertawa kencang. "Kalian orang-orang Inggris dan candaan Ingris kalian," ia berkata. "Lucu sekali."

"Benar." Draco mundur memasuki apartemennya, mencari gagang pintu. Ia mempertimbangkan untuk menggunakan Obliviate padanya, tapi ia tidak bertenaga.

"Oh," kata Emily. "Kau dan temanmu sudah bertemu?"

"Temanku?"

"Ada perempuan ke sini waktu itu," katanya. "Sekitar dua minggu yang lalu. Dia mencarimu."

Draco berhenti. "Seperti apa orangnya?"

"Dia. . .pirang," kata Emily. "Tingginya lumayan. Cantik."

Draco menatap Emily, tangannya membeku di gagang pintu. "Dia - " suaranya parau; ia berdeham. "Dia memberitahu namanya?"

Emily mengangguk cepat. "Oh iya. Namanya. . . Astaga, aku tidak ingat. Daisy, mungkin?"

Ia menelan ludah. "Bukan Isobel, kan?"

"Daphne!" teriak Emily, Draco menghela nafas. "Dahne, bagaimana aku bisa lupa/"

"Daphne," ulang Draco, suaranya kosong. "Pasti."

"Kalian sudah bertemu?"

Hangover Draco menyebar ke selurh tubuhnya dan ia mulai merasa mual. "Tidak," katanya dengan datar. "Mungkin dia mencari adiknya. Adiknya adalah - temanku."

"Oh, aku tidak tau," kata Emily. "Dia benar-benar ingin mencarimu."

Draco mulai menutup pintunya. Ia berharap Emily akan mengerti maksudnya.

"Aku bilang aku akan menyampaikan kehadirannya padamu," kata Emily dengan cepat, "jadi aku hanya menyelesaikan tugasku."

"Senang bertemu denganmu, Emily."

Ia menutup pintu. Terdengar samar-samar dari belakangnya, "Kau juga, Draco!"

Draco melempar dompetnya ke lantai. Kepalanya sangat sakit, perutnya sangat mual, dan dia bisa merasakan demam yang akan datang. Ia tidak bisa merasa sakit; ibunya selalu memberi mantra dan menyediakan obat apapun yang dibutuhkannya sejak ia kecil. Ia tidak pernah merasa perlu untuk mempelajari mantra-mantra itu.

Ia tidak memiliki kopi, jadi ia menyalakan teko listriknyaa dan memasukan sebuah kantong teh ke dalam cangkir. Ia bertumpu pada tempat cuci piring.

Suara ketukan pintu terdengar lagi dan ia mengerang. Ia menyewa apartemen ini untuk menjauhi orang-orang, dan lagi, pengunjung selalu datang setiap hari.

Ia mengangkat kepalanya dengan berat; tanpa mempertimbangkannya, ia membuka pintu dan Astoria masuk. "Selamat siang," katanya, tangannya menggenggam satu sama lain di depannya.

"Siang," Draco menjawab. "Jam berapa ini?"

"Setengah satu," katanya. "Bagaimana kondisimu?" ia menatap Draco dari atas ke bawah. "Kau tidak terlihat baik-bak saja."

"Lebih baik kau memberi peringatan kau mau datang," kata Draco tidak menatapnya. Teko berbunyi; ia menuang air mendidih itu ke cangkirnya. Ia membuka kulkas dan menatapnya; hampir kosong, seperti biasa. Ia juga tidak yakin ia bisa makan tanpa memuntahkannya sekarang.

Ketika ia melihat ke arah Astoria, ia sedang berdiri di sebelah meja dapur. "Kau juga bilang kita bisa berbicara hari ini."

"Aku yakin kau yang bilang itu," ia menjawab.

"Jangan kekanak-kanakan, Draco."

Draco mengerang lagi. "Oke," katanya. "Ayo bicara. Tapi di luar. Aku butuh udara segar."

Lebih ke keinginan Draco untuk Astoria meninggalkan apartemennya daripada udara segar, tapi Astoria menurutinya. Draco mengikutinya ke pintu dan bersama mereka menuruni tangga dalam kesunyian. Draco membawa cangkirnya; teh panas itu menari di dalamnya ketika ia berjalan; seperti whiskey dalam belasan gelas yang ia pegang semalam. Atau mungkin itu rum. Ia tidak yakin.

Mereka duduk di tangga kecil di depan gedung apartemen. Hari terlihat cerah, tapi dingin. Astoria menggigil di sebelahnya, dan ia memalingkan wajah. Di seberang jalan, terlihat dinding batu bata di mana ia merasa oernah melihat Belly. Ia menatapnya lama, berusaha membayangkan wajah Belly di sana, memperhatikannya, dengan mata gelap besarnya -

"Aku sudah memikirkannya," kata Astoria, "dan aku menegerti kenapa kau tidak mau menikah. Kau sudah kenal cinta sebelumnnya; cinta nyata yang romantis. Aku mengerti bagaimana itu mungkin merusak persepsimu tentang cinta."

"Merusak?"

"Iya, merusak, Draco," katanya tegas, "karena itu tidak realistis. Tidak normal untuk mengetahui cinta seperti itu dan aku yakin jika kau tidak pernah tau itu, kau akan menikahiku. Karena kau tidak akan berpikir bahwa semua orang yang berakhir dengan seseorang harus jatuh cinta setengah mati dulu pada orang itu."

"Mungkin itu kurang sehingga cinta memang sudah rusak untukku," jawab Draco masih memandang ujung jalan itu, "dan bagusnya aku cukup beruntung untuk mengenal itu."

Astoria mendengus. "Yah, itu sudut pandang yang positif tapi aneh."

"Bagaimana dengan pendapatmu?" Draco bertanya. "Tentang - perjodohan, dan darah murni menjadi sebuah konstruksi -"

"Darah murni adalah konstruksi, Draco," Ia menjawab, terdengar jengkel. "Aku tidak akan memilih seseorang berdasarkan darahnya." Ia menghela nafas. "Tapi kurasa aku akan lebih bahagia denganmu daripada orang lain."

Draco menatapnya. Ujung bibirnya mengerut sedih, lipstick merahnya berkerut. Garis halus terlihat di keningnya, halus dan dalam, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. "Benarkah?"

"Benar," katanya. Ia mengambil ujung kepangan rambutnya. "Dan menurutku jika kau mencoba untuk meninggalkan semua yang kau tau tentang cinta dan pernikahan," katanya, "dan melihatnya dengan lebih realistis, kau akan mengerti bahwa kita bisa membuat ini berhasil."

Mereka terdiam. Tidak ada yang menjawab.

Astoria selalu marah, setiap saat. Tidak pada Draco; hanya pada dunia. Kerasnya, kemarahan dan penyelesaian kuat dari Astoria pernah membuat Draco merasa senang. Tapi ia tidak punya tenaga untuk membalas pendapatnya, untuk mendiskusikan tentang hal-hal yang Astoria sangat pedulikan. Dia pantas marah, Draco tau itu. Draco tidak membencinya untuk itu. Ia hanya merasa bersalah karena tidak bisa menyamakan perasaan itu.

"Kakakmu kesini baru-baru ini," kata Draco. "Mencarimu, kayaknya."

"Tidak mungkin," kata Astoria dengan tenang. "Kakakku di Yunani."

"Yah, dia ke sini," kata Draco. "Tetanggaku bilang dia bertemu Daphne."

Astoria menatapnya. "Kakakku di Yunani, mengunjungi teman-temannya," jawabnya, suaranya terdengar jengkel. "Sudah sebulan dia di sana. Kau akan tau itu jika kau bertanya padaku - atau siapapun temanmu - apa kabar kakakku. Yang sedang tidak terlalu baik, by the way."

Ia menatap Astoria, mencoba tetap tenang. "Aku hanya mengatakan apa yang tetanggaku katakan."

Astoria memejamkan matanya. Draco mengamatinya ketika ia menarik nafas panjang yang berlebihan. "Menurutku inilah masalah kita," ia berkata dengan mata yang masih terpejam. "Kita tidak berkomunikasi dengan baik. Mungkin jika kau benar-benar mendengarkanku, kita tidak akan runtuh seperti ini. Kau mengerti maksudku?"

Draco memalingkan pandangan dengan tidak sabar. "Semua salahku, kan?"

"Bukan itu yang kukatakan."

"Tujuanmu ke sana."

"Draco, cukup," Astoria berkata dengan tegas. "Kau bertingkah seakan kau siap untuk hubungan baru tapi kau tidak berusaha sama sekali. Sedikitpun."

Draco meletakkan cangkirnya dan mencoba untuk tidak mendengar suara Astoria. Ia merasa sangat mual. Ia memikirkan kembali malam sebelumnya untuk menghitung minum yang ia konsumsi. Satu whiskey muggle saat ia baru sampai, firewhiskey dari Theo sepuluh menit kemudian -

"Kita tidak akan kemana-mana," kata Astoria, "jika kau tidak berusaha. Jika kau tidak keluar dari zona nyamanmu -"

Ketika Astoria meninggalkannya di area merokok dan ia kembali ke bar, menabrak Blaise - itu dimana semua bercampur jadi satu. Seluruh malam itu tidak jelas, tapi itu di mana potongan kejadian-jeadian terhenti; gelap - tapi ia bisa mengingat aroma alkohol dan keringat, keramaian, suara Blaise di telinganya -

"Aku mengerti jika kau masih sedih tentang Isobel," kata Astoria. "Aku mengerti, dan itu adalah situasi yang menyedihkan -"

Draco menutup wajahnya dengan tangan, memejamkan mata.

Astoria terus berkata; "Dan sumpah hatiku hancur untukmu, tapi kau harus belajar untuk mengendalikan emosimu -"

Kemudian Draco melihatnya lagi. Kembali padanya seperti foto-foto; mata paniknya, rambut pirang coklat ikalnya di tangan Draco.

"Akut tidak menyuruhmu move on," kata Astoria. Suaranya sangat pelan. "Aku hanya meminta kau untuk melihat kehidupan di depanmu."

"Sialan," kata Draco. "Tunggu. Diam."

Tangan Belly di genggamannya. Wajah Pansy di dekatnya berkata, "Aku melihatnya di kamar mandi. Kau tidak pernah cerita dia menjadi hantu."

Belly bukan hantu. Itu yang Draco yakin.

Astoria semakin memudar di pandangannya. Astoria sedang berlutut di depannya sekarang, terlihat khawatir. "Jika kau merasa tidak enak badan," katanya, "Aku bisa membawamu ke St.Mungo's. Kau harus membenahi diri -"

"Aku harus pergi," ia menginterupsi.

Wajah Astoria berubah. "Tapi kita belum memutuskan -"

"Maaf," kata Draco. Ia menatap Astoria sekali lagi, kemudian berdiri dan dengan cepat kembali ke gedung; meninggalkannya di tangga, cangkir teh yang sudah dingin di sebelahnya.

Ia berlari sekencang-kencangnya.

Dan ketika ia berlari menaiki tangga semua terlihat lebih jelas; Belly terlihat lebih jelas di kepalanya - rambutnya, ekspresi gugupnya, lampu club yang melewati wajahnya, membuat kulitnya berganti warna - tapi bagaimana itu benar dia -

Ia masuk ke apartemennya untuk mengambil mantel, bergantung di sebelah sofanya. Ia merogoh kantongnya, mencari bukti keberadaannya -

Kemudian, di pojok ruangan - dompet yang terdampar di lantai, di mana ia membuangnya, isinya keluar ke lantai kayu apartemennya. Beberapa kartu identitas, campuran galleon dan uang muggle, kartu debit muggle - dan secaring kertas kuning.

Ketika ia mengambilnya, ia mengenali tulisan itu sebagai tulisannya sendiri. Ia terkejut saat membaca:

Cintaku yang terkasih,

Aku tau kau benci ketika aku memanggilmu begitu, tapi aku merindukanmu -

Selesai. Jantungnya berdetak cepat di dada, jarinya gemetar.

Ia membalikkan kertas itu dan nafasnya terhenti.

Teruntuk Draco,

Bisakah kau menemuiku di Three Broomsticks jam satu?

Maaf aku baru bisa mencarimu.

Dari Isobel.

---

Astoria boleh diam tidak


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro