Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EMPAT PULUH

i s o b e l

Ia tau ke mana Draco pergi, dan tau bahwa ia tidak bisa ada di sana. Tau jika Lucius dan Narcissa melihatnya di area Manor, itu akan mengarah ke bencana yang lebih besar, dan itu bukanlah risiko yang ia akan ambil. Terlihat oleh mereka bukanlah pilihan.

Saat kaki Draco dan Isobel menemukan permukaan jalan yang keras, mereka berdiri sempoyongan. Mereka jatuh bersama masih dengan kaki yang menahan satu sama lain.

Isobel melihat apa yang ada di depannya, pintu-pintu dan jendela Manor. Seluruh lampu di depan rumah mati, seluruh jendela terlihat gelap. Isobel menganggap itu adalah tanda yang baik. Saat ia menoleh ke arah Draco, ia melihat mata abu-abu Draco yang menatapnya, panik. Draco mundur sedikit bertumpu pada sikunya, menjauh dari Isobel. "Kau mengikutiku."

Jantung Isobel berdetak cepat. "Kau tidak terluka?"

Draco tidak menjawab, dan Isobel mengamati tubuh Draco di kegelapan. Darah terlihat di tempat Draco terjatuh - sama seperti yang ada di tangan dan lutut Isobel - tapi itu terlihat seperti darah Draco. Isobel menghela nafas lega. Isobel tadi yakin bahwa mungkin salah satu dari mereka akan terluka parah lagi.

"Maaf," kata Isobel. "Bisa kita kembali? Atau setidaknya menjauh dari sini, di mana pun yang lebih aman -"

Alis Draco mengernyit. "Kau siapa? Apa yang terjadi?"

Isobel duduk tegak dan melihat darah yang mengintip di balik kemeja bagian siku Draco. Isobel menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Sejak mereka kenal, Isobel selalu menjadi orang yang tidak stabil, mudah marah; tidak pernah menyembunyikan rasa paniknya, selalu bicara banyak saat gugup. Di mana Draco selalu tenang - entah memang secara alami seperti itu atau tidak, Draco selalu menghadapi guncangan dengan tenang, mencari hiburan untuk menenangkan dirinya sendiri. Sekarang, Isobel sadar, ia harus menjadi pihak yang tenang. Draco membutuhkan Isobel yang tenang. Dengan tangan Isobel di pangkuannya sendiri, ia berkata, "aku mohon Apparate bersamaku ke pernikahan. Tolong, Draco."

Draco menatapnya untuk beberapa detik, lalu menggelengkan kepala dan jantung Isobel rasanya sesak. "Kita bisa cari tempat yang sepi," Isobel berkata. "Bahkan di rumah Weasley. Tidak ada yang akan mengganggu kita."

Tatapan Draco mengarah ke bintang yang menggantung di leher Isobel. "Aku tidak merasa baik-baik saja," kata Draco. "Pikiranku - ada yang salah. Dan aku tidak mau kembali ke orang-orang itu saat aku merasa seperti ini."

"Merasa seperti apa?"

Draco menggigit pipi bagian dalamnya, lalu berkata, "Pikiranku rasanya tidak. . . Utuh. Rasanya ada yang salah. Aku menceritakan ini pada orang tuaku dan mereka bilang ini bukan apa-apa, tapi mereka salah." Draco menggelengkan kepala, masih menatap kalung itu. "Rasanya ada yang hilang."

"Seperti buram," Isobel melanjutkan. "Seperti beberapa bagian dari pikiranmu - dari ingatanmu - terlihat sangat jelas, tapi beberapa lainnya sama sekali tidak."

Pandangan Draco akhirnya mendarat di mata Isobel. "Iya. Seperti buram. Dan aku juga -" Draco mendorong ujung sepatunya ke dalam krikil - "Aku sadar Blaise dan Astoria tidak pernah benar-benar berdua. Menurutku bagus untuk mereka berbicara, tanpa aku di sana." Draco membersihkan lututnya, dan Issobel melihat telapak tangan Draco yang juga terluka karena krikil. "Astoria adalah wanita yang seharusnya menikah denganku," kata Draco. "Aku lupa aku sudah memberitaumu namanya atau belum."

"Sudah."

"Oh iya," kata Draco. "Aku berani sumpah tidak biasanya aku bercerita pada orang asing seperti itu."

Tenggorokan Isobel terasa sangat kering. "Menurutku juga bagus mereka membicarakan semuanya," kata Isobel. "Menurutku bagus untuk kalian semua."

"Jadi kita tidak bisa kembali ke pernikahan itu." Mata mereka masih bertatapan di cahaya yang redup. "Tapi kita bisa pergi ke tempat lain jika kau mau."

"Oke." Isobel melirik ke jendela Manor sekali lagi. Lalu ia berdiri, menjulurkan tangan ke arah Draco. "Mau Apparate bersamaku?"

Draco memandang tangan Isobel, lalu kembali ke matanya. "Ke mana?"

"Ke rumahku," jawab Isobel. "Aku tau tidak ada alasan untukmu percaya padaku," kata Isobel. "Tapi aku mohon."

Draco tidak bergerak. Ia masih memandang Isobel, mengamati wajahnya - dan Isobel selalu membiarkan Draco mengamatinya beribu kali sebelumnya, tapi tidak pernah setegang ini. Isobel menurunkan tangan, merasa malu. Keputusan bodoh untuk ikut ke sini, Isobel tau itu. Satu-satunya alasan Isobel mengikuti Draco adalah ketakutannya untuk tidak akan pernah melihat Draco lagi. Tapi di sinilah Iosbel, dan tentu kehadirannya sangat membingungkan untuk Draco. Tentu Draco tidak akan percaya padanya, kenapa juga harus percaya?

Kemudian, membuat Isobel terkejut, Draco berdiri. Krikil-krikil bergesekan saat Draco berjalan ke arah Isobel, dan dengan ragu, menggenggam tangannya. Isobel menatap Draco, nafas lega keluar dari paru-parunya.

"Baiklah," kata Draco, mata abu-abunya menunjukkan sedikit kebingungan. "Aku akan ikut denganmu."

"Baiklah," Isobel menjawab. Perasaan tangan mereka yang menggenggam satu sama lain hampir tidak terbendung; rasa familiar sentuhan Draco adalah hal yang Isobel coba untuk lupakan. Tapi Isobel memeluk Draco dan mendekatkan tubuh mereka. Jangan sampai salah satu dari mereka terluka sekarang. 

Isobel berputar, dan Draco tertarik dalam proses Apparate bersamanya.


d r a c o

Draco tidak tau kenapa ia mengikutinya. TIdak tau kenapa sleuruh saraf di tubuhnya mengatakan untuk ikut bersama gadis ini yang tidak lain adalah orang asing. Draco tau ia tidak seharusnya percaya, tapi ia tidak mau gadis ini pergi tanpanya. Dan sekarang tangan gadis ini melingkari tubuh Draco, melindunginya, dan mereka Apparate. Beberapa detik kemudian, mereka menginjak pasir.

Isobel menurunkan tangannya tapi tetap berdiri dekat. Draco mengamati sekitar. Langit hampir sepenuhnya gelap, tapi ia bisa melihat bukit-bukit pasir dan tebing-tebing yang menjulang tinggi. Laut terlihat hitam, dan ombak-ombaknya terdengar hanya samar-samar. Ia berani bersumpah ia tidak pernah datang ke pantai ini. Ini semua baru untuknya. Tapi entah bagaimana, Draco tau di ujung pantai ini, di atas bukit pasir yang paling tinggi, ada sebuah pondok kecil yang mengarah ke laut.

Draco tidak menyangka pondok itu akan berdiri kokoh. Untuk entah alasan apa, ia menyangka pondok itu akan menjadi reruntuhan tidak tersentuh untuk sekian dekade, dindingnya hancur. Draco tidak menyangka akan ada jalan setapak dari batu yang mengarah ke pondok itu, tapi memang benar adanya. Pondok itu tidak seperti yang ia bayangkan, tapi rasanya sangat familiar.

Draco sadar akan tatapan gadis itu yang mengarah padanya, sepanjang jalan.

Gadis itu. Isobel. Ia juga sangat familiar.

Isobel sedikit menjauh dari Draco untuk membuka kunci pintu kayu di depannya. Draco menyadari saat Isobel memasukkan kunci, jari-jarinya gemetar.

"Kunci muggle?" Draco bertanya. Suaranya serak, dan ia menyadari bahwa ia juga sangat gugup.

Isobel mengangguk. "Aku menggunakan mantra perlindungan untuk melindungi rumah dari sihir. Alohamora tidak akan berguna untuk pintu dan jendela, dan orang-orang tidak bisa Apparate dari dalam rumah." Isobel mengangkat bahu, dan mendorong pintu terbuka. "Aku sedikit merasa lebih aman."

"Kau tinggal sendiri?"

Isobel mengangguk lagi tapi tidak menjelaskan apapun, dan Draco mengikutnya masuk. Isobel mengibaskan tongkat sihirnya membuat semua lampu menyala. Jendela sepanjang dinding terlihat menatap ke arah laut.

Pintu itu langsung mengarah ke area dapur. Lemari berwarna biru dongker berbaris di dinding, di sekeliling meja lingkaran kecil dengan dua kursi. Di sisi lain ruangan, bangku panjang di depan jendela. Beberapa bantal dan selimut berwarna biru tua dan hijau tua terduduk di atas bangku, begitu juga beberapa lembar kertas dan sebuah pena bulu. Di seberang jendela, ada sebuah piano kayu tua.

Draco menatap kembali ke Isobel, dan berdeham. "Rumahmu bagus."

Ekspresi Isobel menjadi cerah. "Menurutmu begitu?"

"Iya, benar-benar bagus," kata Draco dengan tulus. Matanya mengamati gaun Isobel dan untuk pertama kalinya sejak mereka terjatuh tadi, gaun Isobel robek di bagian lutut. Darah menembus di bagian itu. "Kau terluka," kata Draco.

"Tidak apa-apa," kata Isobel, dengan mata yang masih memandang lengan kemejanya, di mana darah dengan perlahan menetes. Isobel menghela nafas. "Ayo bersih-bersih dulu."

Pondok itu hanya memiliki satu kamar mandi kecil. Draco duduk di toilet yang tertutup, tapi tetap mengambil ruang yang cukup banyak. Isobel menunjuk lengan kanan Draco, dan tanpa mengatakan apapun, Draco memberikan tangan kanannya pada Isobel. Isobel menggulung lengan baju Draco, berhati-hati untuk tidak menyentuh lukanya, dan Draco mengamati saat Isobel melambaikan tongkat sihirnya dengan gerakan melingkar dan perlahan di sekitar siku Draco untuk membersihkan darah.

Draco bukan mengamati tongkat sihir Isobel, ia mengamati ekspresi Isobel. Mengamati bagaimana mata gelap Isobel berkonsentrasi, mengamati bagaimana Isobel menggigit bibirnya dengan keras saat membersihkan luka Draco. Rambut ikal kecil yang ditata untuk acara pernikahan, sekarang jatuh membingkai wajahnya seperti lingkaran cahaya.

Saat Isobel menggulung lengan baju Draco, ekspresinya tidak berubah sedikitpun saat Isobel melihat Dark Mark. Isobel bahkan tidak menunjukkan gerakan apapun, dan matanya langsung bergerak ke arah luka Draco, wajahnya baru berekspresi saat melihat darah. Dan Draco berpikir entah ia sedang bermimpi, atau sesuatu yang sangat, sangat aneh sedang terjadi, karena ia tidak mengerti.

Draco tidak mengerti sama sekali, tapi ia merasa lebih aman dan lebih bahagia dari pada berbulan-bulan sebelumnya.

Maka Draco mengabaikan ratusan pertanyaan di kepalanya dan tidak mengatakan apapun. Ia lebih ingin mengamati Isobel bergerak di kamar mandi kecil ini, mengurus lukanya dan luka Draco.


i s o b e l

Saat Isobel sudah tidak bisa lagi menemukan luka di lengan Draco, Isobel bersandar di meja kamar mandi. Goresan di telapak tangannya tidak dalam, dan tidak akan lama untuk sembuh.

Saat Isobel sedikit mengangkat ujung gaunnya untuk melihat lututnya yang berdarah, Draco bergerak maju dengan ragu. "Boleh?"

Isobel berdiri tegak, jantung berdetak kencang. "Boleh." jawab Isobel, dengan nafasnya yang pendek. Isobel meletakkan kedua tangannya di meja kamar mandir; mengangkat tubuhnya sendiri untuk duduk di atasnya. Jika Draco merasakan ada yang familiar - jika ia merasa pernah melalui masa saat ia membersihkan luka Isobel di kamar mandi, Draco tidak mengatakannya.

Malahan, Draco menyeka lutut Isobel dengan kain basah dan bertanya, "Menurutmu acara pernikahannya sudah selesai?"

"Menurutku sudah," kata Isobel. "Sudah gelap daritadi. Kalaupun belum, harusnya sebentar lagi."

"Kalau begitu aku harus pergi sebentar lagi," kata Draco. "Blaise dan Astoria akan mencariku."

Isobel duduk tegak, dan pandangan Draco terjatuh ke kedua tangan Isobel di pangkuannya. Draco menyentuh bekas-bekas luka yang ada di punggung tangan Isobel - sedikit bekas luka yang pernah Draco rawat dengan larutan Dittany. Draco mengenali luka itu juga; Isobel yakin. Jari-jarinya mengelus bekas luka itu, dan jantung Isobel berdetak cepat. Isobel bisa mendengar nafas Draco terhenti sejenak, tapi lagi-lagi, Draco terdiam.

Draco meletakkan tangannya di kedua sisi tubuh Isobel, di meja kamar mandi. Mata Isobel menatap mata abu-abu Draco, bulu matanya, wajahnya yang berkulit pucat, rambut putihnya yang ada dalam pikiran Isobel setiap hari selama berbulan-bulan -

Pandangan Draco terhenti di bekas luka tulang pipi Isobel. Mereka bertatapan, mereka tidak bersentuhan tapi mereka sangat dekat. Dengan Draco yang ada di sini dengan posisi seperti ini, Isobel bisa membodohi dirinya sendiri untuk berpikir Draco mengenalnya. Hanya untuk beberapa saat.

"Boleh aku bertemu dengamu lagi?" Draco bertanya. Alisnya berkerut. "Aku tau - aku tau aku sudah bertunangan, jadi aku tidak bermaksud untuk, um. . ." Ia memalingkan wajah, ke arah pintu kamar mandi. "Menurutku aku harus menemuimu lagi."

"Aku akan menghubungimu," kata Isobel, suaranya lembut. "Aku akan mengirim surat."

Draco melangkah mundur. Isobel berdiri, dan mengarahkan Draco ke pintu depan. Saat ia membuka pintu, suara ombak-ombak memasukki pondok dari pantai di bawah.

Draco menyisir rambut dengan jarinya, masih memandang Isobel. "Siapa namamu?" ia bertanya. "Nama lengkapmu."

"Isobel Young." Isobel menjawab.

Draco tersenyum. "Aku senang bertemu denganmu, Isobel Young."

Hati Isobel terasa sesak. Ia tidak mau Draco mengucap selamat tinggal, tidak mau Draco pergi sama sekali. Isobel tidak yakin apakah ia bisa melihat Draco lagi, empat mata; seperti ini.

Isobel memaksakan senyuman. "Aku juga senang bertemu denganmu, Draco Malfoy." Isobel berkata.

Dari dalam hatinya, ia tulus.

-

Isobel tidak tidur malam itu. Ia duduk terbungkus dalam selimut hijau, menatap keluar jendela.

Karena langit berawan, ia tidak dapat melihat banyak hal. Tapi seiring berlalunya malam dan sekina jam sudah berlalu, awan mulai bergeser dan bulan terlihat dengan jelas. Dan beberapa jam sebelum fajar, beberapa titik bintang mulai terlihat.

Jika Isobel tau ia akan bertemu Draco hari ini, ia tidak tau apa yang ia harapkan untuk terjadi. Mungkin ia mengharapkan pertemuan untuk menegaskan bahwa ia mengambil pilihan yang tepat. Ia mungkin mengharapkan dirinya akan terlena dengan emosi pada seberapa ia merindukan Draco.

Isobel tidak mengharapkan dirinya untuk memikirkan ibunya. Tapi Isobel duduk selama beberapa jam, dan sedikit demi sedikit menyadari bahwa bertemu dengan Draco membuat dirinya mengerti maksud ibunya dengan lebih baik.

Setelah pertarungan, Maggie membuat keputusan berdasarkan emosinya. Keputusan yang pada saat itu terlihat paling mungkin. Paling rasional, namun menentukan segala lintasan hidup mereka, dan lintasan-lintasan itu sama sekali tidak baik,

Saat ibunya meninggal, Isobel melakukan hal yang sama.

Isobel tidak menyesal telah meminta Draco untuk pergi, beberapa bulan yang lalu. Hubungan mereka tidak akan berhasil saat itu. Isobel berduka atas ibunya; pernikahan Draco dan Astoria yang sudah direncanakan; Lucius yang selalu ikut campur. Dan pada masa itu, Draco mencintai Isobel lebih dari Isobel mencintai Draco. Mereka butuh waktu untuk semuanya mungkin, hanya mungkin, berhasil.

Isobel tidak mengharapkan untuk melihat cahaya kecil bersinar di ujung lorong. Cahay berbentuk bintang di kegelapan. Isobel tidak yakin ia akan mengambilnya, tapi ia berpikir mungkin ada kesempatan.

Saat fajar tiba dan langit mulai terang, ia berjalan ke kamar dan menemukan dua botol ingatan. Lalu ia mengambil pena bulu dan kertas dari tumpukan di dekat jendela.

Dan ia menulis,

Teruntuk Draco,

Ini adalah ingatan yang diambil darimu. Jika menurutmu kau bahagia dengan Astoria - jika menurutmu pernikahan itu akan membuat kalian bahagia, tolong buang ingatan ini. Tapi jika menurutmu kau tidak bahagia bersama Astoria. . . Yah, selama ingatan ini ada dalam genggamanmu, kau bebas memilih.

Botol yang kecil berisi ingatan ibuku, Maggie Young. Ada satu ingatan dari hari setelah pertarungan Hogwarts, yang menurutku harus kau saksikan. Jika kau ada pikiran untuk membawa bukti tindakan kejam ayahmu ke Kementrian, kurasa ini bisa membantumu.

Aku mencintaimu. Walaupun kau tidak mengingatku, hatiku tetap milikmu.

Dengan cinta, Belly.

---

NOTE: 

Penjelasan  kenapa Draco dan Isobel luka abis Apparate. Kalau wizard / witch yang ga fokus terus dia Apparate, mereka bisa splinched/terbelah/terluka. Gak fokus membuat satu bagian dari diri mereka berteleportasi ke tujuan, tapi sebagian ada yg ketinggalan.

Di film Harry Potter and the Deathly Hallows, ada scene Ron Weasley ke-splinched pas lagi Apparate abis itu disembuhin sama Hermione pake Dittany. Itu kira-kira begitu lahh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro