Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA PULUH TUJUH

d r a c o

Draco tidak bisa tidur.

Dia tidak memprediksi itu. Jika ia tau kehidupannya yang berliku akan membawanya ke titik ini, ia mungkin mengharapkan malam-malam yang damai setelah Isobel kembali. Akan berpikir bahwa kehadiran Isobel di sampingnya di tempat tidur itu akan menjadi kenyamanan; mengembalikan hal yang normal.

Sebaliknya, ia terbangun dan tertidur berkali-kali, gelisah dan praranoid. Setiap suara samar yang terdengar seperti penyusup, menerobos masuk untuk menghapus Draco dari pikiran Isobel. Setiap bayangan samar seakan seorang penguntit, siap untuk membawa Isobel pergi.

Tapi beberapa jam kemudian, dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar, Belly masih ada di sebelahnya. Satu lengannya masih memeluk erat di bagian tengah tubuhnya.

Lebih dari satu tahun, ia sudah mengimpikan saat seperti ini, dan deja vu ini terasa luar biasa. Draco tau betul bagaimana tatapan mata kantuk Isobel jika ia bangun sekarang, bulu mata gelapnya terbuka perlahan. Draco tau bagaimana Isobel meregangkan tubuhnya, suara menguapnya. Draco tau semua itu, tapi Isobel hampir tidak mengenalnya sama sekali. Selamat pagi, aku mencintaimu, Isobel pasti mengatakan ini, dua tahun yang lalu. Sekarang ia hanya akan mengatakan sebagian dari kalimat itu.

Isobel bergeser dari posisinya dalam tidur, menggerakan tangan dari dada Draco menuju bahunya. Draco menghela nafas, dan menariknya dalam; berterima kasih kepada bintang keberuntungannya untuk membuat Isobel memilih untuk tetap di sini, daripada sendirian di rumahnya. Akhirnya, akhirnya, Draco terlelap.

-

i s o b e l

Ada ruang yang cukup luas di sebelahnya saat ia terbangun. Ia meregangkan kedua tangannya, tapi hanya bertemu dengan tempat tidur yang kosong. Membuka matanya, ia hanya melihat kekosongan.

Rasa panik tumbuh pada dirinya. "Draco?"

Ia berdiri dan berjalan ke pintu yang mengarah ke ruang tengah. Mengintip gugup, setengah hati mengira akan ada Lucius Malfoy di sana, menunggunya. Tongkat sihir menuju ke arah jantungnya. Tapi ruang tengah dan dapur terlihat kosong.

"Belly?"

Ia memutar tubuhnya, satu tangan di dadanya.

Draco berdiri di depan pintu kamar mandi, mengenakan pakaian lengkap; rambutnya terlihat lebih gelap karena basah. Sikat gigi di tangannya.

"Oh," Belly menghela nafas. Ia tidak menyadari suara shower yang menyala.

"Kau baik-baik saja?"

"Maaf," kata Belly. "Aku terkejut." Ia mencoba untuk mendorong rasa gugupnya; mencoba untuk tetap tenang. "Selamat pagi."

"Pagi," kata Draco, bibirnya tersenyum. Mereka menatap satu sama lain, jarak mereka dibatasi oleh tempat tidur, dan ia menelan ludah.

Kemudian, pintu depan terbuka. Draco segera berpindah ke sebelah Isobel, mengangkat tongkat sihir saat ia membuka pintu ruang tengah; memberi kode pada Isobel untuk menyiapkan tongkatnya, dan meminta Isobel untuk berdiri di belakangnya-

Tapi di ruang tengah berdiri seorang Ginny, mengeringkan payungnya. Ia menatap Draco dan Isobel, berdiri berdekatan bersama di depan pintu kamar Draco, tongkat sihir mereka menunjuk ke arahnya. Alis Ginny mengangkat hampir ke garis rambutnya. "Well,"

"Brengseklah, Weasley," kata Draco. Ia berputar dan berjalan kembali ke kamar mandi. Mengembalikan sikat gigi ke tempatnya. "Apa tidak ada yang mengetuk pintu lagi?"

Kata-katanya tidak membuat Ginny bergeming, yang matanya sedang menatap Isobel dengan tatapan jahil. "Isobel Young, kau gadis nakal."

Isobel mengembalikan tongkat sihirnya. "Jam berapa ini?"

Ginny tertawa. "Sudah lewat tengah hari. Kau tertidur sampai sekarang? Astaga -"

"Kami tidak bisa tidur sampai larut -"

"Oh, pasti lah."

Draco muncul di sebelah Isobel, masih menatap sini Ginny. "Kau mau apa?"

"Gembira seperti biasa, Malfoy," jawab Ginny, tanpa basa-basi. Ia merapikan rambut merah panjangnya. "Aku mampir ke rumah Isobel karena aku belum mendengar kabarnya sejak hari Jumat malam, dan aku khawatir akan keamanannya. Saat tidak ada orang di rumah, aku pikir sebaiknya aku mengunjungimu, siapa tau kau tau di mana Isobel. Seperti yang terjadi -" senyumnya makin lebar, ia memandang pasangan itu - "kau tau persis di mana Isobel."

"Yah, dia aman." kata Draco, dan Isobel menahan senyuman saat mendengar rasa kesal pada nada bicara Draco.

Isobel berjalan k arah Ginny untuk memeluknya. Ginny memeluknya kembali, berbisik, "kau sudah memaafkanku karena meninggalkanmu sendiri di club itu?"

Isobel mengambil langkah mundur, tersenyum. "Hampir."

Ia mencoba untuk mengingat sebanyak apa yang Ginny ketahui. Banyak yang terjadi sejak ia bertemu Draco malam itu di club. Sudut pandangnya tentang Draco sudah berubah; semua yang ia tau tentang hubungan mereka sudah berubah. Ginny tidak tau tentang Maggie yang terkapar di rumah sakit, tentang Lucius yang memojokkannya di gang kecil. Bahkan Ginny tidak tau tentang pondok kecil itu.

Isobel merasa bersalah. Beberapa hari ini terasa seperti satu bulan, perasaan-perasaan bergejolak dan merasa terperangkap dalam kehidupannya dan Draco. Mereka terlalu fokus pada diri mereka sendiri; tenggelam dalam dunia kecil mereka, hingga Isobel tidak memiliki ruang di kepalanya untuk memberitau Ginny.

"Aku ingin mengajakmu makan siang," kata Ginny. Ia memberi Draco tatapan dingin. "Jika aku boleh mencurinya darimu selama beberapa jam."

Isobel menatap Draco, menunggu penolakan yang brutal; menunggu tatapan kesal seperti yang ia berikan pada Blaise sebelumnya. Tapi Draco sedang menatapnya. Menunggunya memberi keputusan.

"Kurasa aku akan baik-baik saja," kata Isobel. "Selama aku bersama Ginny, dan selama kami tetap ada di tempat ramai."

Draco mengangguk kecil, mengamati seluruh wajahnya. Seakan Ginny tidak ada ruangan itu. "Jika kau yakin."

"Aku yakin."

Mata Ginny menatap mereka lagi, kali ini dengan tatapan prihatin. "Kalian sangat aneh."

"Jangan biarkan dia sendirian, Weasley," kata Draco, menatap Ginny. "Kau mengerti?"

"Jangan khawatir, Malfoy," kata Ginny, melirik ke jam tangannya. "Jika sesuatu terjadi padanya, aku terima akibatnya."

Ekspresi wajah Draco menjadi dingin. "Tidak akan terjadi apapun padanya."

"Aku akan ganti baju," kata Isobel, berjalan kembali ke kamar. "Draco, mungkin lebih baik kau menjelaskan pada Ginny tentang, um... Semuanya."

Draco terlihat seperti lebih baik ia melakukan hal lain daripada duduk dan berbincang bersama Ginny Weasley, tapi ia mengangguk. Isobel menutup pintu kamar Draco, mengambil barang-barangnya di pojok ruangan. Ia menggunakan mantra untuk membersihkan pakaiannya, dan memutuskan untuk mampir ke rumahnya setelah makan siang untuk mengambil baju baru.

Ia mencuci muka, menyikat gigi dan menyisir rambut dengan jari-jarinya. Ketika ia kembali ke dapir, Draco dan Ginny sedang berbincang - membuatnya merasa lega - tapi mereka berdiri sangat berjauhan seakan mereka berada di ruangan berbeda. Isobel menahan senyumnya dan berjalan untuk berdiri di sebelah Ginny. Mata Draco mengikutinya dari ujung ruangan seiring ia berkata, "Jadi sekarang ayahku berpikir aku akan menikahi Astoria dan Isobel tidak mengetahui siapa aku."

Ginny terlihat sangat terkejut. Ia menghadap ke arah Isobel, menatapnya dengan tatapan penuh hormat. "Kau melawan Lucius Malfoy?"

"Tidak juga," kata Isobel. "Kalung itu yang beraksi."

"Aku sudah menduga ada sesuatu pada kalung itu."

Isobel menggeleng, tertawa. "Kalian berdua terobsesi dengan kalung itu," katanya, menyentuh liontin bintang pada kalung itu dengan ujung jarinya yang berada di dalam kantung mantelnya. "Kalung itu membuatku aman."

"Dan kau malah melepasnya," kata Ginny.

"Hanya karena kalung itu membuat ibuku masuk rumah sakit."

Ginny menggenggam kedua tangan Isobel. "Malfoy memberitauku tentang itu. Aku turut prihatin."

Isobel tidak suka bagaimana Ginny memprihatinkannya, seakan ibunya terlalu sakit untuk dibantu. "Ia akan keluar dari rumah sakit sebentar lagi," kata Isobel, mengambil kalung dari kantongnya dan menggenggamnya. "Aku harap ada cara untuk menarik mantranya." Ia memberi lirikan panjang pada Draco, mengetahui bahwa Draco yang memberinya kalung itu, beberapa tahun yang lalu. Bahwa situasinya sama sekali tidak seperti ini saat itu.

"Benar," kata Ginny, melirik jam tangannya lagi. "Kita harus jalan sekarang, atau kita akan terlambat."

"Terlambat untuk apa?"

"Kita akan menemui Hermione," kata Ginny. "Kurasa dia bisa membantumu dengan situasi ingatanmu ini."

Isobel mengangguk perlahan, mengerti. Hermione pasti lebih tau jauh tentang hilang ingatan dibanding mereka, mengingat bagaimana Hermione pernah menggunakan mantra itu pada orangtuanya. Tetap saja, Isobel tidak pernah berpikir untuk bertanya pada Hermione. Terakhir kali mereka bertemu, Draco masih menjadi sosok jauh yang Isobel takuti.

Ia mengembalikan kalung itu ke dalam mantelnya dan menghadap ke arah Draco, yang bersandar pada dinding. Lengannya melipat di dadanya; mata abu-abunya tertuju pada Isobel. "Sampai jumpa."

Draco mengangguk. "Hati-hati."

"Kau juga," kata Isobel, bermain dengan kukunya. Isobel ingin memeluknya, tapi rasanya akan aneh. Terpaksa. Mereka tidak berpelukan. Yang pasti tidak di depan Ginny, yang sedang mengawasi mereka dengan mata elang.

Tapi Draco mengantar mereka menuruni gedung apartemen hingga lobby, di mana air hujan mengetuk pintu kaca. Draco menyentuh jari Isobel dengan punggung tangannya, tanpa disadari oleh Ginny, kemudian menurunkan kepalanya untuk berbisik di telinga Isobel. "Kau bawa tongkatmu?"

Isobel menatap Draco; menangkap kegelisahan di matanya, berbanding terbalik dengan wajahnya yang terlihat tenang. "Iya," kata Isobel. "Aku akan baik-baik saja, aku janji."

Ginny mendorong pintu untuk membukanya, dan suara orang-orang berlalu lalang, lalu lintas dan suara derasnya hujan terdengar dari lobby. Isobel membuka payungnya, dan Isobel menatapnya lagi, di mana mata Draco masih tertuju padanya, -

Isobel menarik tangan Draco dan menggenggamnya. "Sampai jumpa nanti."

"Sampai jumpa nanti." Draco bergumam, dan sebelum Isobel bisa mengatakan apapun atau melakukan apapun lagi, Ginny mengambil tangannya dan menariknya ke area yang terhujani.

"Maaf karena memotong adegan cinta-cintaan itu," kata Ginny, "tapi nanti bisa kau lanjutkan setelah kita bertemu Hermione."

Mereka berjalan cepat berdempet di bawah payung Ginny, berjalan menembus pejalan kaki lain yang meramaikan jalan. Isobel merasa pipinya terasa panas. "Itu bukan cinta-cintaan."

"Lalu apa?"

"Itu - aku tidak tau. Rumit."

"Kita tidak punya banyak waktu," kata Ginny. Ia memeluk satu lengan Isobel dan menariknya untuk berjalan lebih cepat. "Hermione sulit untuk diajak bertemu seperti ini."

"Ginny -"

"Ini tanggan 22 di bulan Desember - sudah hampir Natal - dan ia tidak punya waktu luang selain jam makan siangnya."

"Gin."

Isobel menarik lengan baju Ginny dan Ginny berhenti berjalan, menghadap Isobel di tengah jalan. "Ada apa?"

"Aku hanya ingin bilang terima kasih," kata Isobel, dan Ginny mengerucutkan bibirnya; sedikit menyembunyikan ketidak sabarannya. "Di jam ini minggu lalu, aku sangat. . . ketakutan. Aku tidak tau aku akan ada di mana jika kau tidak memaksaku untuk ke sini. Jika kau tidak memaksaku untuk bicara padanya -"

Ginny mencolek lengan Isobel. "Jangan lembek begini padaku, Isobel Young."

Isobel merasa cukup yakin jika ia mengekspresikan rasa terima kasihnya lebih jauh, ia bisa menangis. Maka ia hanya merangkul Ginny. "Aku menyayangimu, Gin."

Ia merasa Ginny lebih santai. "Aku juga menyayangimu, orang aneh." Ia menepuk pipi Isobel. "Tapi jika kau ingin bantuan apapun dari Hemione, kita harus segera kesana."

Isobel berdiri tegak, tersenyum pada temannya. "Baiklah, ayo."

Ginny memilih sebuah cafe yang kecil dan terkucilkan untuk bertemu dengan Hermione, karena cafe itu yang berjarak paling dekat dengan Kementrian, di mana Hermione bekerja. Saat mereka memasuki cafe itu, Hermione sudah terduduk di ujung ruangan, bagian belakang rambutnya yang tebal dan ikal terlihat dari depan pintu.

Selama sepuluh menit mereka berbincang, membicarakan rencana Natal dan pernikahan Ginny dan segala hal yang harus dibincangkan, hingga akhirnya Ginny menjentikkan jarinya dan meminta mereka untuk membicarakan tentang hilang ingatan, dan jangan membicarakan apapun lagi. Hermione menjelaskan pada Isobel bagaimana ia memodifikasi ingatan orangtuanya; menukar beberapa rincian masa lalu mereka agar mereka masih ingat tentang kehidupan mereka, hanya saja mereka mengingat sesuatu yang berbeda dari yang sebagaimana mestinya. Modifikasi itu adalah cara reversibel untuk mengubah ingatan seseorang; Obliviate benar-benar berbeda.

"Obliviate lebih seperti cara untuik menghilangkan elemen dari ingatan seseorang sepenuhnya," kata Hermione. "Itu kenapa penerima mantra itu sangat kebingungan. Karena bagian dari ingatannya sudah hilang, dan tidak ada lagi sama sekali. Hanya samar, di mana ingatan itu seharusnya berada."

Telapak tangan Isobel terasa lembap. Isobel mengepalkan tangan di bawah meja, menatap Ginny saat ia berkata, "Itu sangat berbahaya."

Hermione mengangguk dengan sungugh-sungguh. "Sangat berbahaya, apalagi mengingat bahwa itu tidak dapat dikembalikan. Harus dianggap sebagai mantra yang tidak termaafkan, menurutku." Ia menatap Isobel. "Jadi, bagaimana menurutmu?"

Dada Isobel terasa sesa. Ia berkata dengan lemah. "Ibuku bilang kepalaku terbentur."

Ekspresi wajah Hermione melembut. "Bagaimana menurutmu?" ia mengulang, suaranya lembut. 

Isobel menarik nafas yang bergetar. Ia sudah menghindari pertanyaan itu untuk waktu yang lama; tidak ingin mempercayai bahwa sebab dari semua ini mungkin adalah orang yang paling ia cintai. "Menurutku," ia berkata dengan perlahan. "Menurutku caramu menggambarkan Obliviate. . .Cocok dengan apa yang aku pikirkan, sejak pertarungan itu."

Ia mengepalkan tangannya lebih erat, memikirkan hari-hari di mana ia menghabiskan waktunya di ruang tengah, mencoba untuk mengingat. Mencoba untuk terbang kembali ke ingatannya, hanya untuk bertemu asap samar di mana seharusnya ada ingatan dan perasaan di sana.

"Aku memiliki kisah panjang bersama Draco yang tidak ada di ingatanku," kata Isobel. "Tidak ada apapun di tempat itu, hanya hilang saja." Ia menatap Hermione, "Aku rasa itu tidak bisa terjadi hanya karena kepalaku terbentur."

Hermione mentapnya kembali, melihatnya dengan tatapan kasihan. Kemudian menggeleng kecil.

Isobel menahan air matanya. Akhirnya, ia menerima bahwa seseorang, entah kapan, menghapus ingatannya tentang Draco Malfoy.

"Jadi itu ibumu?" tanya Ginny, tanpa merasa bersalah. "Atau Lucius Malfoy?"

"Tidak tau," kata Isobel. Masih menahan tangisannya. "Lucius pertama kali melihatku di Diagon Alley, sekali. Lalu bertemu lagi di depan apartemen Draco. Dan setiap waktu itu. . ." Ia menggeleng, mengingat kebingungan Lucius saat pertama kali berbicara pada Isobel. ISobel masih berusaha menghilang dari pandangan Draco, saat Draco masih berduka, dan Lucius tidak mengerti alasannya. "Ia sepertinya tidak tau bahwa ingatanku hilang."

Ginny menajamkan tatapannya. "Mungkin Lucius adalah pembohong yang handal."

"Mungkin," kata Isobel. "Tapi kalau tujuannya adalah untuk Obliviate lagi, tidak ada alasan untuknya berbohong. Kenapa ia bertingkah seakan ia tidak tau bahwa aku tidak bisa mengingat Draco, hanya untuk menarik ingatanku lagi nanti?"

Ginny bergumam, mengetuk permukaan samping gelas dengan kuku-kukunya. "Dan ibumu?"

Isobel menggeleng. "Menurutku bukan dia."

Ekspresi wajah Hermione dan Ginny terkejut. "Bukan?"

"Jika ibuku mau aku melupakan Draco selamanya," kata Isobel, "pasti ia akan melakukan hal yang lebih. Dia bisa memindahkan kami ke luar negeri, misalnya. Pergi ke suatu tempat di mana yang ia yakin aku tidak akan berpapasan dengan Draco. Dan aku menemukan surat Draco terlipat di rak lemarinya. Tidak ada mantra untuk menyembunyikannya, tidak ada. Jika ia mau aku melupakan Draco, ia bisa saja membuangnya - atau setidaknya menyembunyikannya lebih baik." Isobel mengangkat bahu. "Jika dia mengambil ingatanku tentang Draco, kenapa dia tidak menghancurkan bukti fisik tentang Draco juga?"

Pandangan mata Hermione berpindah ke dinding di belakang Isobel, mencerna perkataaannya. Berpikir. Tapi Ginny terlihat muak. "Aku lelah dengan semua ini," ia berkata pada Isobel. "Ayo ke rumah sakit sekarang, dan kau tanya ibumu apa yang terjadi."

Isobel hampir tertawa. "Kau pikir aku tidak pernah mencoba bertanya?"

Tapi seakan Ginny tidak mendengar, ia melanjutkan: "Kau bukan anak berumur lima tahun, Isobel Young. Kau harus beridi tegak, kau harus berhenti mengikuti obsesi aneh ibumu pada hidupmu dan katakan padanya seegois apa dia -"

"Hey," Isobel memotong, kesal. "Dia tidak egois. Dia sakit. Pikirannya tidak sehat; sudah berbulan-bulan, sekarang -"

"Justru bagus jika ia sedang sakit," kata Ginny, berdiri. "Ia tidak bisa kemana-mana jika kita bertanya tentang perlakuan sialan apa yang ia buat pada otakmu."

Mata Isobel membelalak pada Ginny dari bangkunya. "Ia tidak melakukan apapun -"

"Baiklah," kata Ginny, "jika kau ingin aku mengubah kalimatnya, kita akan bertanya padanya hal sialan apa yang terjadi pada otakmu. Senang?"

Hermione mengulurkan tangan; menarik sweater Ginny. "Duduk, Gin." Ia berkata dengan suara pelan.

Tapi Ginny tetap berdiri. "Aku ingin ke rumah sakit," ia berkata, kokoh. "Aku ingin bertanya pada ibunya Isobel apa yang ia lakukan, karena jelas kita tidak akan menemukan jawaban jika tidak begitu."

"Bukan dia." kata Isobel.

Ginny mengangkat tangannya. "Lalu siapa?"

Air mata sudah menggenang sekarang. "Aku sudah bertanya padanya," ia berkata. "Tapi ia selalu menghindari pertanyaannya. Dan aku tidak bisa menekannya terlalu jauh jika aku tidak mau ia tau bahwa aku sudah bertemu dengan Draco." Ia menghapus air mata menggunakan lengan bajunya. "Lagipula, aku tidak mau mengganggunya saat ia sakit."

Beberapa saat dalam kesunyian, Ginny terduduk lagi. Melipat kedua tangan di depan dadanya. "Maaf aku emosi," ia bergumam.

Isobel mengangkat bahu. Ia tau ibunya membenci keluarga Malfoy; tau bahwa ia hidup di ketakutan akan sesuatu yang buruk akan terjadi pada Isobel. Tapi ia masih tidak percaya bahwa ibunya begitu membenci Draco hingga menghilangkannya dari ingatannya.

Ia menarik nafas. "Ada yang punya ide lain?" kata Isobel. "Aku hilang akal."

Ginny dan Hermione menggeleng dengan suram. Sisa waktu istirahat Hermione mereka habiskan dengan duduk di sana, berpikir, tapi tidak membuahkan hasil.

Ginny menyelipkan tangannya ke tangan Isobel ketika mereka Apparate kembali ke rumah Isobel; mengikutinya selalu selama ia berada di rumah untuk mengambil baju-baju baru. Menggenggam lengannya saat mereka berjalan di Diagon Alley dan kembali ke apartemen Draco. Seperti yang Draco minta.

Isobel sangat ingin tau siapa yang melakukan ini padanya; siapa yang membenci kisahnya dan Draco hingga mampu mengambil ingatan yang bertahun-tahun lamanya. Tapi di jalan pulang ke apartemen Draco, satu pikiran buruk menetap bersama Isobel.

Yang mereka bisa simpulkan adalah Isobel memang benar disihir dengan Obliviate.

Tapi Obliviate tidak bisa dikembalikan.

Yang berarti, kecuali ada sebuah botol yang berisi ingatannya tergeletak di suatu tempat di bumi ini - dan dia benar-benar meragukan adanya botol itu - 

Ia tidak akan pernah mendapatkan ingatannya tentang Draco kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro