Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA PULUH TIGA

Mereka diselimuti oleh lapisan baju tebal. Sudah dua kali Belly bertanya padanya ke mana mereka akan pergi, tapi ia tidak memberitaunya.

Belly mengunci pintu depan, dan mereka melangkah keluar ke udara dingin. Saat ia mengambil tangan Belly, ia melihat ekspresi wajah khawatirnya. Beberapa detik Belly terlihat khawatir saat ia kembali melirik ke rumahnya; kemudian perhatian Belly kembali padanya.

Saat mereka Apparate, ia memeluk Belly dengan erat di dadanya. Ia takut untuk melepaskannya, takut terpisah; takut Belly akan lepas dari pelukannya menuju ruang putaran proses Apparate.

Pikirannya yang penuh ketakutan terlihat sangat tidak rasional, ia tau itu. Tapi ia masih belum terbiasa akan kehadiran Belly. Dengan seluruh nafasnya, ia takut akan kehilangan Belly lagi.

Kaki mereka menemukan permukaan keras, dan ia mengangkat satu tangan untuk menutup mata Belly. Ia berbisik ditelinganya. "Kau belum boleh melihat."

Mereka berdiri di atas bukit pasir, menghadap ke sebuah teluk kecil. Ia memutar tubuh Belly ke ujung bukit, di mana mereka bisa melihat seluruh pantai.

Angin meniup rambutnya dan udara yang bernuansa asin mengisi hidungnya. Ia menatap Belly; melihat sebuah senyuman tergambar di wajahnya, tanpa ragu merasakan tiupan angin yang sama juga. Ia menurunkan tangannya. "Kau sudah menduga tempat ini?"

Belly menghela nafas dengan senand seiring ia mengamati sekeliling pantai putih dan laut gelap; awan kelabu di atas mereka. Belly menatapnya. "Mungkin aku lebih mengenalmu lebih dari yang kau tau."

"Kejutan gagal, ya." Balasnya.

Tapi senyum Belly semakin lebar. "Aku cinta pantai. Kita pernah ke sini sebelumnya?"

Ia menggeleng. "Kita tidak pernah ke mana-mana kecuali sekolah, rumahku atau rumahmu."

Belly mengangguk, terlihat puas dengan informasi ini. Senang untuk berada di posisi yang setara. "Tapi kau pernah ke sini sebelumnya?"

Ia mengangkat bahu. "Satu atau dua kali."

Belly mengamatinya untuk beberapa saat, kemudian memeluk tubuhnya sendiri dengan mantelnya dan menghadap ke arah yang berlawanan dari tiupan angin. "Indah sekali."

Teluk itu berada dalam jarak tidak lebih dari satu mil. Tersembunyi dari bagian yang lapang; satu sisi tertutup oleh bukit pasir dan satu sisi dihadang oleh tebing curam. Ketika ia menemukannya secara kebetulan pada musim panas setelah pertarungan, matahari menyerang terik ke pipinya dan pasir terasa sangat panas untuk disentuh. Sekarang, udara terasa seperti es dan langit terlihat abu-abu gelap, tapi itu tetap terlihat sangat indah.

Yang paling ia suka tentang pantai ini adalah kapanpun ia datang, tidak pernah ada orang lain yang terlihat.

Ia menatap Belly saat ia sedang memandangi kaki langit, rambutnya berterbangan ke belakang; dagunya terangkat. Teringat, ia pernah memandangnya persis seperti ini, di atas air mancur Manor. Berpikir suatu hari ia bisa memberitaunya tentang segala pengalaman mengerikan yang terkumpul dalam dirinya, setajam pisau; bagaimana Dumbledore dan Voldemort dan para Death Eater sering memasuki mimpi buruknya seperti monster. Tapu sebelum ia bisa memberitau itu semua, Belly menjadi salah satu dari mereka. Pernah, di hari pertarungan, menjadi seseorang dengan wajah yang menghantuinya siang dan malam.

Belly pernah lenyap dari kehidupannya sebelum ia bisa membawanya ke tempat seperti ini. Tidak sebagaimana ia membayangkannya; kehadiran Belly yang tidak pasti, kemungkinan untuk kehilangannya kapanpun. Tapi tetap, pikirnya, rasanya cukup baik.

"Menurutmu airnya sedingin apa ya?"

Draco berkedip tidak yakin. "Kita datang ke sini bukan untuk berenang."

"Aku tidak mau berenang. Aku hanya mau merasakan airnya dengan kakiku."

"Ini bulan Desember."

Belly mengamati ekspresi lelaki itu, dan menyeringai. "Kau takut, Malfoy?"

Ia menatap Belly. Berpikir kapan, selama tiga hari ini, penggunaan nama belakangnya terasa seperti istilah kasih sayang. "Tentu tidak."

"Buka sepatumu," kata Belly. "Kita balapan ke sana."

Draco menatap awan di atasnya. Menggelengkan kepala Tapi Belly menggenggam satu tangannya dan menarik. "Ayo."

Draco menendang sepatunya, Belly mengikuti, dan mereka berlari bersama ke tepi air. Belly membungkuk, menggulung celana bagian bawahnya, kemudian berjalan ke dalam air. Belly menatapnya; wajahnya tidak terkontrol. "Dingin sekali."

"Pasti," Draco menjawab, tapi tetap mengikutinya; mengabaikan rasa tidak nyaman dinginnya air hingga ia bisa mencapai Belly. Mereka berdiri bersebelahan, alis Draco mengernyit. Merasa seakan ada ratusan jarum yang menusuk kakinya.

Belly menggunakan tangannya untuk mengelus kepalan tangan Draco. "Santai."

Dan ia melakukannya. Untuk Belly. Melepas kepalan tangannya dan merasakan ombak kecil di sekeliling mata kakinya.

Belly menurunkan tangannya. "Enak kan?"

"Menurutku kakiku mati rasa."

Belly tertawa. "Yah, menurutku rasanya seperti magis."

Magis. Kata seorang gadis yang memang memiliki magis dalam darahnya, terdengar seperti pujian yang sangat tinggi.

"Apakah ini yang kita rencanakan?" Tanya Belly. Kata-katanya ringan. "Apakah kita akan melarikan diri ke sini?"

Draco mengangkat kepalanya. "Kita tidak menentukan lokasi yang spesifik. Beberapa bulan setelah aku pindah ke London, aku menemukan tempat ini. Kurasa cocok dengan apa yang kita bayangkan."

Tatapan mata Belly tidak meninggalkannya.

"Tapi seperti yang kukatakan, kita sepertinya sudah tidak perlu kabur."

Belly mengangguk, masih terdiam. Kemudian pandangannya berpindah ke sesuatu di atas belakang di mana Draco berdiri.

Draco mengikuti arah pandangan Belly. Di atas bukit pasir, dikelilingi rumput rimbun, sebuah pondok kecil berdiri.

Tidak terlihat dari pantai, tapi mereka sudah berada jauh di air untuk melihatnya. Belly menatap pondok itu. "Apakah itu. . .?"

Draco mengusap tulang rahangnya, mengamati Belly. Ia tidak mau Belly melihat itu. Ia berusaha Apparate menjauhi pondok itu; tidak berpikir mereka akan berjalan ke air. Tidak merencanakan untuk memperlihatkan itu padanya, Draco tidak mau Belly merasa takut.

Tapi Belly kembali menatapnya; tegas di ketenangannya. "Aku mau masuk."

Draco menggeleng. "Aku tidak mau. . . Tidak perlu. Pondok itu milikku, tapi tidak ada apa-apa di dalamnya. Sudah rusak. Aku yakin di dalamnya sudah membusuk."

"Tapi bisakah kita tetap masuk?"

Draco menggigit bagian dalam pipinya. "Yah, kalau kau mau."

"Aku mau." Ia berjalan melalui air ke arah Draco, menyenggol sikunya. "Lagipula di sini dingin sekali."

Draco memimpin jalan melalui liku bukit pasir yang mengarah ke pondok kecil. Jalannya curam, dan angin kencang membawa pasir ke wajah mereka. Draco melirik ke belakang untuk melihat Belly - ia mendaki bukit itu dengan langkah panjang dan berat. Draco menahan diri untuk menggenggam tangannya. Itu bukan haknya lagi.

Pondok terpencil itu sendirian tanpa jalan setapak yang mengarahkan siapapun padanya; sangat terbengkalai di mana jalanan yang seharusnya terlihat sudah tidak ada lagi. Saat Draco berkunjung, Agustus kemarin, ia merasa bahwa pondok ini milik mereka. Tau bahwa pondok itu seharusnya milik mereka, dan tidak mau satu orang pun untuk menginjakkan kakinya di sini. Ia membelinya tanpa ingin menggunakannya, atau bahkan untuk kembali ke sini. Ia berpikir pondok ini hanya akan berdiri di sini, terbengkalai dan busuk; ia akan memikirkan pondok ini selama sisa hidupnya dan mengingatnya.

Pintu depan sudah rusak; lepas dari engselnya, mereka mengambil jalur belakang. Di sini tidak ada pintu sama sekali, dan setengah dinding batu bata ini sudah hancur. Belly memimpin jalan dan Draco mengikutinya; menunduk memasukki ruangan untuk berhadapan dengan pemandangan yang ia harap tidak akan dijumpanya lagi.

Pondok itu memiliki empat, atau mungkin lima ruangan. Sulit dipastikan karena dinding yang sudah runtuh; menutupi lantai yang kusam dengan puing dan debu. Furniture bertebaran di sekelilingnya, rusak dan rapuh.

Ruangan terbesar ada di ujung koridor, paling dekat dengan pantai. Di pojok ujung terdapat sebuah dapur. Lemari-lemari dapur, dua kursi rapuh.

Di dalam pondok terasa sama dinginnya dengan di pantai. Angin bertiup masuk melalui jendela-jendela yang rusak; menerbangkan rambut Belly ke pipinya. Ia terdiam, pandangannya tertuju pada dinding yang jauh.

Jendela besar menutupi dinding itu, menghadap ke laut. Sepanjang dinding itu terdapat bangku panjang, rusak dan reyot tapi masih terlihat kokoh. Kaca jendela itu hancur di beberapa bagian.

Pondok itu tidak berarti lebih bagi Draco selain hanya sebagai ingatan menyakitkan tentang kehidupan yang seharusnya mereka miliki. Berbulan-bulan yang lalu, pemandangan ini bisa membuatnya menangis, tapi sekarang rasanya seperti memar yang sudah lama, sudah terlalu lama hingga ia merasa terbiasa akan rasa sakitnya. Matanya tertuju pada Belly, menunggu reaksinya. Apapun.

Belly berjalan ke jendela itu; menekannya dengan jari. "Aku membaca tentang ini di suratmu," akhirnya ia berkata. "Kita akan tinggal di pondok di dekat pantai dan duduk di dalam selimut menghadap jendela besar dan menyaksikan hujan. Aku bisa melihat itu. Di sini."

Cukup untuk membuat Draco hampir menangis. Ia tidak menjawab.

"Aku menyobek bagian dari surat itu untuk menulis catatan kecil untukmu," kata Belly. "Kuharap kau masih menyimpannya. Surat itu sangat berarti untukku."

"Ya, masih ada." Draco menunduk. Ia tidak sedikitpun peduli tentang surat itu, tapi rasanya menenangkan untuk mendengar itu berarti untuk Belly.

Belly menatap lautan kembali. "Terlihat sempurna, di sini."

Sempurna. Draco tau itu. Belly lah yang selalu menyukai ide untuk tinggal di dekat pantai, bukan Draco. Ia akan mengikuti Belly ke mana pun; bersedia untuk hidup di tenda seumur hidup jika itu membuat Belly senang.

Draco tau pondok ini adalah yang Belly inginkan, pada saat itu. Tapi Draco juga tau akan terlihat bodoh jika ia berpikir Belly akan tertarik untuk tinggal di sini. Tidak sekarang. Tidak di saat di mana Belly tidak begitu mengenalnya, sekarang.

Teluk kecil itu menghadap ke tenggara, dan matahari mulai tenggelam di garis cakrawala. Belum malam, - matahari memang terbenam lebih cepat di bulan Desember - tapi Draco tau Belly ingin pulang sebentar lagi. Yakin Belly akan menggunakan waktunya untuk memanfaatkan jam berkunjung di St.Mungo's.

-

Itu adalah keputusan Isobel. Semua yang Draco inginkan, ada di tangan Isobel: ia harus mencium Draco lebih dulu, memeluknya lebih dulu; ia harus menjadi seseorang yang mengatakan, ya, ayo lakukan itu, tinggalkan semuanya dan pindah ke sini. Tekanan itu ada padanya.

Ia tidak bisa memberikan itu pada Draco. Ia tidak bisa meninggalkan ibunya, meninggalkan semuanya dan segala hal yang sudah direncanakannya untuk lelaki yang baru saja ia kenal. Ia berhenti memandang laut dan memindahkannya pada Draco. Ia melihat rasa sakit di matanya, ia melihat bahwa Draco juga mengetahui itu.

Isobel sadar ia sudah beberapa kali mengeluarkan perkataan yang terasa kasar sejak mereka bertemu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tidak bisa memaksakan apapun. Ia berbicara terlalu banyak ketika ia gugup. Tapi kali ini ia menahan lidahnya.

Di sini berdiri seorang lelaki, menawarkan segalanya. Menawarkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya. Tapi ia terlalu takut untuk menerimanya.

Mereka meninggalkan pondok itu tanpa mengatakan apapun lagi; udara terasa sesak dengan kata-kata yang tidak terucapkan. Seiring mereka berjalan di pinggir pantai, ia menggenggam tangan Draco. Berharap ia akan mengerti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro