DUA PULUH LIMA (updated)
Ini extended yaa guys, karena kata authornya chapter 25 dan 26 pendek jadi sama dia digabungin untuk dari sudut pandangnya Draco hihi. Yang udah baca bagian Isobel langsung cus ke bawah aja cari yang Draco :)
-
i s o b e l
Jarum jam hampir menyentuh angka satu dini hari. Isobel duduk di anak tangga gedung apartemen Draco, menggigil dalam mantelnya.
Mereka menghabiskan hari di taman, berbincang berjam-jam, bernafas mengeluarkan kabut ke udara musim dingin dan mengamati keramaian yang berlalu lalang. Ketika udara terasa terlalu dingin, mereka berjalan kembali ke apartemen Draco, memesan makanan dan minum wine di sofanya. Dan selama itu, ia merasa sulit untuk melepaskan pandangannya dari Draco.
Draco meninggalkannya di St.Mungo's, dengan kata-katanya untuk bertemu lagi keesokan hari.
Ibunya tertidur selama jam berkunjung, tapi kali ini tidak ada mengigau; tidak ada gumam yang tidak jelas. Isobel menggenggam tangannya selama dua jam, duduk di kursi kayu yang tidak nyaman dan berharap ibunya akan membaik.
Ketika ia kembali ke rumah, kesunyian mengisi penuh seluruh ruangan, kesepian terasa di hatinya. Ia berjalan mengelilingi rumahnya, kalung itu tergenggam di tangannya, berpikir bahwa 'besok' tidaklah cukup. Ia ingin menemui Draco sekarang. Jika ada ancaman untuk melupakannya kapan pun, ia ingin menghabiskan waktu yang tersisa bersamanya.
Ia tidak bisa memberi segala hal yang Draco inginkan. Belum bisa. Gambaran Draco di pondok itu mengganggunya; berdiri di depan pintu, wajah pucat yang terisi dengan kesenduan. Ia tidak siap untuk memberi kehidupan yang Draco inginkan, tapi setidaknya mereka bisa membuat kehidupan yang ini lebih berarti.
Hingga tengah malam tiba, ia Apparate kembali ke apartemen Draco, berpikir pastinya ia sudah kembali dari bar sekarang. Tapi ia sudah masuk ke gedung apartemen dan mengetuk pintu Draco selama beberapa menit, dan tidak ada jawaban. Maka ia duduk di luar di anak tangga, menunggunya di dinginnya malam. Jantung berdetak cepat; merasa semangat ketika melihat sepasang mata abu-abu itu lagi.
Draco datang cukup lama setelah Isobel, rambut putihnya terlihat dalam jarak satu blok. Isobel mengamatinya yang berjalan mendekat, menopang dagu, siku di lututnya. Sangat berharap seandainya ia bisa mempercayainya dan mendekat padanya berbulan-bulan yang lalu, agar mereka bisa memiliki waktu lebih banyak.
Tapi ketika Draco mencapainya, ia tidak terlihat senang. Ia berhenti beberapa meter darinya, berkata, "kau tidak seharusnya di luar sini sendirian."
Isobel berdiri. "Hai juga."
Lampu jalan di sekeliling mereka membentuk bayangan tajam di wajah Draco. "Kau harusnya di dalam."
Isobel cemberut. "Kau tidak ada, jadi aku menunggumu."
"Lain kali, masuk saja," ia berkata, kesal. Ia berjalan melalui Isobel, mengambil kunci di kantongnya. "Itu yang orang lain selalu lakukan."
"Aku tidak bisa masuk ke apartemenmu jika kau tidak ada."
"Iya, bisa," kata Draco. "Aku memberimu kunci. Tunggu di dalam lain kali."
Isobel mendengus; mengamati Draco dengan kuncinya dan membuka pintu gedungnya dengan lebar menggunakan bahunya. "Apa ada yang terjadi di bar? Sesuatu yang membuatmu marah dan sekarang kau lampiaskan ke aku?"
Draco tidak menjawab. Hanya menahan pintu mempersilahkan Isobel masuk; membelakanginya.
"Dengar, jika kau tidak mau aku ada di sini, aku akan pergi -"
Draco memutar tubuhnya untuk menghadap Isobel, satu tangan di pintu, satu lagi mengepal. "Masuk, Belly."
"Tidak," kata Isobel, mengangkat dagunya. "Aku tidak akan masuk jika kau bersikap seperti ini."
Draco menatap langit tanpa bintang itu. Untuk beberapa saat mereka tetap di sana, dan Isobel hampir berdebat lebih jauh, hampir mengatakan sesuatu yang akan membuat Draco semakin kesal, saat pandangannya kembali pada Isobel. "Jika kau mau aku memohon, aku akan memohon."
Isobel merasa pipinya panas. Untuk beberapa detik yang menegangkan, Isobel tidak bergerak, melirik sinis pada Draco. "Tidak, aku tidak butuh itu." Ia berjalan melaluinya, masuk ke lobby apartemen. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Ya, aku pernah dengar itu sebelumnya," kata Draco, dengan nada datar. "Kau tidak ingat, tapi kau sering berkata seperti itu."
Emosi Isobel meningkat. "Kau tidak bisa mengharapkan aku untuk tau itu. Dan aku bisa mengurus diri sendiri."
Draco memutar bola matanya dan membelakangi Isobel lagi, menaikki dua anak tangga sekaligus.
Isobel mengikuti. "Aku tidak membutuhkanmu untuk melindungiku, dan kau tidak bisa menjadi penjagaku hanya karena itu bisa meringankan pikiranmu."
"Aku tidak mau menjadi penjagamu."
"Kalau begitu tidak ada masalah."
"Masalahnya," kata Draco, berhenti di tengah tangga dan menghadap ke Isobel, "kau duduk di jalanan yang gelap sendirian. Mengingat kau tidak mau memakai kalungmu -"
Isobel mengerang. "Kenapa kau mengungkit itu terus?"
"Aku tidak mengungkit," kata Draco tegas, "dan itu tidak mengejutkan sama sekali. Tapi ibumu akan tetap sakit, jadi aku hanya berharap kau bisa memakai benda bodoh itu. Aku yakin ibumu juga mau hal yang sama."
Isobel menatap Draco tajam, tapi ia hanya menatap Isobel dengan pandangan kosong; ekspresinya hampir terlihat bosan. "Oke," Isobel berkata, kesal. "Jika kau akan terus seperti ini, aku pulang." Isobel menuruni tangga dengan marah, tidak mau menoleh ke belakang. "Maaf karena kau ingin keluar sejenak setelah dikurung selama satu tahun setengah -"
Sebelum Isobel bisa berjalan lebih jauh, kedua tangan Draco mendarat mengelilingi pinggangnya dan Draco mengangkat Isobel dan membuatnya bertumpu pada bahu Draco.
Isobel hanya bisa menatap punggung Draco; merasakannya menaikki beberapa anak tangga lagi untuk mencapai apartemennya. "Draco -"
"Aku memaafkanmu," kata Draco, dan Isobel merasa Draco mengalihkan beban tubuhnya saat sedang membuka kunci, satu tangan melingkar di belakang Isobel dengan erat. "Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi."
Isobel menggertakan giginya. "Turunkan aku."
Isobel merasa getaran pada tubuh Draco, dan sadar bahwa ia sedang tertawa. "Sabarlah," kata Draco, dengan sangat tenang.
Draco mengangkat satu kaki, menendang pintu di belakangnya dan menurunkan Isobel di sofa. Isobel berdiri, marah; menatap ekspresi terhibur Draco dengan kesal.
Lampu apartemen itu mati, tapi cahaya lampu jalan bersinar masuk melalui jendela, membuat bayangan di dalam apartemen. Di cahaya remang, Isobel melihat Draco tersenyum. "Sekarang kita sudah sama-sama nyaman, kau mau minum apa?"
"Tidak."
Draco duduk di sebelahnya, mengangkat satu kaki ke kaki lainnya dan mulai melepas tali sepatunya. Ia mengangkat satu alis pada Isobel, membuatnya tersipu lagi.
"Tidak, terima kasih." Isobel mengoreksi, masih kesal.
Draco tersenyum. "Lihat siapa yang merajuk sekarang?"
Isobel menghela nafas, membiarkan rasa kesalnya keluar. "Apa memang seperti ini?" Isobel bertanya. "Apa kita selalu bertingkah seperti ini jika sedang bersama, hanya - bertengkar? Berdebat?"
Senyum Draco hilang. "Tidak, kita tidak seperti ini. Hanya jika ada masalah serius."
Isobel mengangguk pelan. Ini cukup serius untuk didebatkan; Isobel terima itu. "Apa yang terjadi di bar?"
Ekspresi Draco muram. "Tidak ada apa-apa. Astoria datang, dan semua orang menggodaku." Ia menendang sepatunya. "Tentang pernikahan."
Isobel merasa dirinya melembut. "Apa dia tau? Aku masih hidup?"
"Tidak," kata Draco. Tapi Blaise dan Theo tau, dan mereka bertingkah seperti orang brengsek. Mencoba melihat sejauh apa mereka bisa membuat lelucon tentang pernikahan itu."
"Maaf."
"Mereka hanya ingin terlihat lucu."
Di cahaya yang redup, Isobel melihat rahang Draco mengencang. Tanpa berpikir, ia menjulurkan tangan; meraba garis rahang Draco dengan jarinya. Draco menatapnya kembali, dan ia menurunkan tangannya, malu. Tapi Isobel tidak bisa melepas pandangannya dari Draco. "Kau lelah?"
"Tidak," kata Draco. "Kau?"
Isobel menggelengkan kepala, merasa perutnya berputar. "Aku tidak memikirkan itu sebelum datang ke sini," kata Isobel. "Bahwa kau mungkin lelah. Dan mengingat ini sudah lewat tengah malam. Aku tidak tau apa yang kuharapkan."
Draco menatapnya, perhatian Draco sepenuhnya milik Isobel; tapi tidak mengatakan apa-apa.
Isobel sadar bahwa ia sedang berbicara karena gugup, sadar bahwa Draco pasti sudah terbiasa dengan kebiasaan memalukan ini. Tapi ia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri: "Sepertinya aku takut aku akan tertidur dan tidak mengingatmu ketika aku bangun. Aku tau itu tidak realistis, tapi jika seluruh ingatanku tentangmu saat ini diambil -" Isobel memandang kedua mata Draco - "aku akan sedih." Isobel menghela nafas yang bergetar. "Sangat sedih bahkan."
"Aku juga tidak akan menyukai itu," kata Draco, dan kata-katanya terdengar datar, tapi mata abu-abunya terlihat tegang. Di satu titik di saat itu, tangan Draco menemukan tangan Isobel, menggenggam jemari Isobel di sela-sela jarinya sendiri.
"Tapi aku tidak akan tau kalau ingatanku diambil, pastinya," kata Isobel. "Dan itu akan terasa lebih buruk. Karena aku tidak akan tau aku kehilangan apa."
Tangan Draco menggenggamnya lebih erat. "Kalau begitu kita habiskan malam ini bersama."
"Sebelum kita harus tidur?"
"Iya," kata Draco, bibirnya tersenyum tipis. "Kapanpun itu."
Isobel tersenyum kembali padanya, pipinya terasa hangat, dan berharap ada cara untuk tidak tertidur lagi selamanya.
-
d r a c o
satu jam sebelumnya
Draco tidak ingin pergi ke bar, ia ingin diam di rumah menunggu Belly menjenguk ibunya dan kemudian mendapat perhatian penuhnya lagi.
Untuk beberapa saat, situasi masih terasa nyaman. Tapi Astoria datang beberapa jam setelah ia tiba, tanpa peringatan. Blaise menarik sebuah kursi untuknya dan Draco terduduk di antara mereka; merasakan tatapan dingin Astoria, yang memperhatikan dan mengikuti sekecil apapun gerakan yang ia buat.
Draco tidak ingin ada di sana dari awal, dan rasanya lebih buruk ketika melihat seluruh pandangan teman-temannya hanya tertuju pada mereka, untuk melihat teman-temannya menahan tawa, untuk mendengar lelucon Theo tentang pernikahan mereka. Untuk merasa tertusuk oleh rasa tidak nyaman ketika Astoria menyinggung sesuatu tentang pernikahan.
Ketika Draco mendapat alasan untuk pergi, Astoria mengikutinya keluar bar, mengejarnya dengan bibir merahnya yang cemberut. "Ada yang salah, Draco?"
Keinginan untuk mengabaikannya dan tetap berjalan sangat besar. Tapi Draco terhenti, memutar tubuh untuk menghadap Astoria. "Tidak, tidak ada apa-apa."
"Lalu kenapa kau diam saja? Kenapa kau pulang duluan?"
Draco menggertakan giginya. "Karena aku tidak mau ada di sini."
"Ada tempat yang harus kau kunjungi?"
Draco memikirkan Belly, yang mungkin sedang terlelap di rumahnya. "Tidak," ia menjawab. "Aku hanya ingin pulang."
"Kau tidak mengabariku berhari-hari," kata Astoria, air matanya menggenang. "Tidak ada apapun - dan ketika kita akhirnya bertemu, kau bahkan tidak bisa menghabiskan satu jam saja denganku. Apa bayangan tentang menikahiku seburuk itu hingga kau bahkan tidak bisa lagi menatapku?"
Draco meringis. "Tidak," katanya. "Tidak seperti itu -"
"Lalu apa? Apa yang kulakukan hingga kau membenciku seperti ini?"
"Aku tidak membencimu, Astoria -"
"Kalau begitu beritau aku!" ia berkata, suaranya bergetar. "Karena aku berusaha keras untuk membuat hubungan ini berhasil, dan aku tidak mendapat balasan apapun!"
Draco menggelengkan kepala, memalingkan pandangan dari Astoria. Draco tidak ingin menikahinya satu minggu yang lalu, tapi sekarang menikahinya bahkan tidak lagi menjadi suatu kemungkinan. Tidak saat Belly masih hidup. Jika Draco memang pernah ingin menikahi Astoria, jika ia pernah memikirkan kemungkinan untuk memiliki hubungan seperti itu - pikiran itu sudah hilang sekarang, digantikan oleh pikiran-pikiran yang hanya berpusat pada Isobel Young. Tapi jika ia mengatakan itu pada Astoria, orang tua mereka akan terlibat.
"Apa kau akan terus seperti ini selamanya?" Astoria bertanya. "Mengabaikanku kapanpun kau mau?"
"Astoria," kata Draco, dan ia melihat setetes air mata di pipi gadis itu. Draco menggeleng lagi. "Maaf. Kita bicarakan tentang ini saat Natal."
Draco tidak tau apa yang harus dikatakannya pada saat Natal nanti, saat keluarga Greengrass datang untuk makan malam. Tapi setidaknya Draco memiliki beberapa hari untuk memikirkan jalan keluar.
Draco sadar bahwa ia sedang memanfaatkan Astoria. Sadar bahwa ini akan memudahkannya untuk meyakinkan ayahnya bahwa ia tidak tau tentang Isobel, jika Astoria masih terus berpikir bahwa mereka akan menikah. Meskipun ia merasa muak harus menyeret Astoria terus menerus.
Anak Slytherin lainnya berjalan keluar bar, saling merangkul. Satu per satu, mereka menyadari keberadaan Draco dan Astoria di sana, dan obrolan mereka terhenti.
"Debat pasangan?" tanya Adrian, menyeringai. Tapi pertanyaan itu bergantung dan mati begitu saja di udara dingin malam itu, dan ekspresi wajah kelompok itu terlihat tidak nyaman. Theo melihat ke arah Draco, mulutnya sedikit terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu; seakan hampir meminta maaf untuk lelucon yang tadi dibuatnya. Tapi ia memeluk Pansy dengan erat; mengangkat bahu tanpa perkataan lain.
Astoria mengeluarkan suara tangis dan berlari dengan tangan yang menutupi wajahnya; Daphne mengikuti. Pansy melirik Draco dengan tatapan bingung, kemudian melepas pelukan Theo dan mengejar mereka.
Kesunyian berdiri tegak di antara mereka.
"Semua baik-baik saja?" tanya Blaise.
Draco mendengus. "Ya, sempurna, terima kasih."
Di ujung jalan, Astoria berhenti di sebuah dinding. Pansy dan Daphne merangkulnya; menyeka rambut dari wajahnya. Di antara obrolan, mereka melirik Draco berkali-kali dengan pandangan sinis.
Draco memutar matanya, merasa panas di dada. Menatap anak Slytherin lain, yang terlihat tidak nyaman.
"Maaf," kata Theo, menggaruk belakang lehernya. "Lelucon yang kukatakan di dalam tadi - tentang pernikahan. . . Agak melampaui batas."
Draco membelakangi mereka dan berjalan menjauh, tapi langkah kaki terdengar di belakangnya. "Malfoy."
Ia terus berjalan. "Aku tidak mau membicarakan ini, Zabini."
Blaise muncul di sebelahnya. "Malfoy, beritau dia."
"Tidak akan."
"Kau tidak adil padanya," kata Blaise. "Dia masih berpikir kau benar-benar akan menikahinya."
"Memang harus begitu."
"Itu tidak adil."
"Hidup memang tidak adil," Draco berkata dengan kesal. "Tidak ada hal buruk yang akan terjadi ketika Astoria tau bahwa kami tidak akan menikah."
"Kecuali dia akan sangat sedih karena itu."
"Oh, kalau begitu kau saja yang menikahinya, jika kau memang memiliki hati seperti malaikat."
Blaise terdiam untuk beberapa saat, dan Draco berhenti, memutar tubuh untuk menghadap Blaise dan siap untuk menjawab lagi. Tapi Blaise sudah terlihat sebagai bayangan kecil di ujung jalan, berjalan kembali ke kelompoknya.
Draco menatap sinis ke arah punggung Blaise untuk beberapa saat. Kemudian membelakangi mereka dan berjalan pulang.
Saat kembali ke apartemen, Belly ada di tangga gedung apartemennya dengan menopang dagu, menunggu Draco.
-
Ia tidak bisa marah pada Belly terlalu lama. Rasanya kesal untuk melihatnya sendirian di kegelapan. Tapi Draco menemukan rasa nyaman di kehadiran Belly dan ia tidak ada pilihan lain selain tertawa karenanya; tidak ada pilihan lain selain menyadari serindu apa ia pada emosi Belly yang cepat naik.
Cahaya dari lampu jalan menyinari mereka dari kaca jenela, masuk melalui rambut ikal Belly membuat bayangan aneh di dinding. Bahkan dengan keberadaan Belly di sana, di depannya, rasa bersalah masih mendatangi Draco saat ia mengingat bagaimana ia meninggikan suara pada Blaise; bagaimana ia membelakangi teman-temannya dan berbohong pada Astoria. Ia tidak bisa melihat jalan keluar dari situasi ini, keculi dengan melupakannya selama yang ia bisa. Untuk menghabiskan banyak waktu dengan Belly malam ini dan mengabaikan apapun yang akan datang di pagi hari.
-
Toko di ujung jalan buka selama 24 jam, maka mereka berjalan ke sana. Draco memastikan ia sudah mengeluh tentang bagaimana ia harus mengenakan sepatunya setelah melepasnya, dan Belly memastikan bahwa ia sudah memberitau Draco tentang kekanak-kanakannya.
Toko kecil redup itu benar-benar kosong, kecuali seorang kasir yang masih muda dalam shift malamnya, hampir tertidur di mesin kasir. Belly dan Draco berjalan menyusuri lorong demi lorong tanpa tujuan, memberi ekspresi konyol ke satu sama lain melalui sela-sela rak.
Mereka akhirnya membeli sebotol wine dan berjalan ke taman terdekat, di mana mereka bisa berbaring di rumput dan mengamati langit tanpa bintang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro