DUA PULUH EMPAT
i s o b e l
Isobel menyaksikan Draco berjalan menjauhinya, kembali ke apartemen. Lampu-lampu Natal yang berwarna dan berkilau yang bergantung di sekitar St.Mungo's mengikutinya, bergerak di rambutnya seiring ia berjalan meninggalkan Isobel.
"Sampai jumpa besok," katanya, bahu kirinya bersandar di dinding resepsionis; kedua tangannya tersembunyi di dalam kantong celana jeansnya.
Nafas Isobel terhenti; ratusan saran berada tepat di ujung lidahnya; ikutlah denganku, tunggu aku, biarkan aku tidur di sofamu malam ini, daripada menyendiri di rumahku yang sepi, tidak nyaman -
Tapi ia tidak mengatakannya, begitu juga dengan Draco. Kemudian jam tujuh pun tiba, dan Isobel harus pergi. Sampai jumpa besok, Draco.
Tidak pernah sebelumnya kata-kata itu membawa beban yang sangat berat. Ia menginginkan ratusan 'besok' dengan Draco, tapi bahkan satu 'besok' pun juga belum pasti.
Ketika Isobel tiba di bangsal Maggie, ibunya sedang terlelap. Tidak mengejutkan, tapi ia merasa sedikit rasa kecewa. Ia duduk, mengamati dada ibunya yang naik turun seiring ia bernafas, mengamati wajahnya yang terlihat rapuh dan kelabu. Pikirannya masih tertinggal di pondok pantai.
Dia belum memberitau Draco betapa sempurnanya itu, betapa indahnya - seakan mimpi yang menjadi nyata untuk duduk di depan jendela yang menghadap langsung ke laut.
Sudah hancur, memang, tapi semudah apa untuk membangun dindingnya kembali, untuk memperbaiki furniture dan mengganti baru untuk barang-barang yang tidak bisa diperbaiki; untuk membersihkan dan mengembalikan kaca jendela dengan sentuhan tongkat sihir. Bagaimana semuanya cocok dengan segala hal yang Isobel inginkan dari sebuah rumah.
Tapi, Draco mungkin sudah mengetahui itu. Draco kenal Isobel.
Ia duduk di sebelah ibunya selama dua jam penuh, tapi Maggie tidak terbangun. Ia tertidur pulas dan tidak bergerak.
Pukul sembilan, Isobel berdiri untuk pergi, membenarkan posisi bunga-bunga pada meja di sebelah tempat tidur ibunya dan mengecup pipinya, ketika tangan kecil ibunya menggenggam pergelagan tangan Isobel. "Aku tidak bisa."
Isobel berhenti. "Apa bu?"
Tapi ibunya menggumam sesuatu yang tidak jelas, memalingkan wajah, dan Isobel menatapnya; tidak bisa apa-
Ia mengelus pipi ibunya, Maggie menjauhkan wajah dari sentuhan Isobel, menggerakan kepalanya ke belakang dan membuka matanya, menatap Isobel; "Jangan sakiti dia."
Pintu bangsal terbuka, dan suara seorang perawat terdengar. "Jam berkunjung sudah habis."
"Tunggu," kata Isobel, menengok ke arah perawat. "Tunggu, ibuku sedang memberitauku sesuatu -"
Lelaki itu menatapnya dengan pandangan tidak sabar, tapi berjalan menjauh, dan Isobel menatap ibunya kembali -
"Lucius."
Isobel membeku. "Apa? Ibu, apa yang Lucius lakukan?"
Lagi, Maggie terlihat tidak mendengar anaknya. Pikrian Isobel tidak tenang.
Ia melangkah maju lagi, meletakkan tangan di pundak ibunya. "Ibu?"
"Mereka tidak akan bahagia bersama," bisik Maggie. Kemudian bola matanya memutar, dan tubuhnya mulai berkejang.
Isobel mundur. "Tolong!" Ia berteriak, mencari perawat di sekitarnya. "Siapapun tolong!"
Entah dari mana, para perawat memasuki bangsal. Isobel terdorong menjauh dari tempat tidur ibunya, yang dikelilingi perawat laki-laki dan perempuan dengan pakaian hijau seragam St.Mungo, menekan ibunya dan meneriakan perintah, dan mata Isobel sudah dipenuhi air mata -
Beberapa menit, sebuah wajah bulat yang terlihat ramah, ada di hadapannya, dan ia mengenali wanita itu sebagai perawat yang dilihatnya tadi.
"Dia hanya kambuh, sayang. Dia akan baik-baik saja, tapi kita harus memindahkannya ke bangsal yang lebih sepi."
Perawat itu mengarahkan Isobel keluar, ke koridor. Isobel menjinjit berusaha melihat kembali ke dalam bangsal, tapi pintu ditutup rapat. Ia menghapus air matanya; menghadap ke perawat. "Apa itu normal?" Ia bertanya. "Ibuku terlihat sehat pagi ini."
Tapi ia segera menyesali pertanyaannya, karena ekspresi wajah perawat itu tidak menenangkannya. "Kami tidak menduga itu," kata perawat, tatapannya penuh rasa kasihan. "Kami akan melakukan tes."
"Boleh aku menginap di sini? Aku mohon."
Perawat itu menggeleng, dan Isobel merasa siap untuk menangis lagi. "Kita akan segera menghubungimu jika ada sesuatu."
Isobel berjalan di sekitar gedung itu selama setengah jam sebelum pergi, memikirkan banyak cara untuk menyusup masuk kembali. Tapi orang-orang dengan seragam hijau mengisi area lobby, dan ia tidak melihat adanya jalan untuk menyelinap melalui mereka semua. Ia tidak tau di mana bangsal baru ibunya.
Kumpulan kecil penyanyi Natal berjalan melewatinya, menariknya dari imajinasinya.
Ia fokus pada lampu jalan yang berkedip, memikirkan Draco. Ia bisa ke apartemennya, tapi ia melihat kelelahan di mata Draco; mungkin ia sudah tidur sekarang. Dan Draco tidak akan marah jika Isobel membangunkannya, ia tau itu. Tapi tiga hari terakhir ini, Isobel sudah sangat membuatnya sangat kesulitan.
Maka, ia Apparate kembali ke rumahnya. Menghapus air mata seiring ia melepas mantelnya; tubuhnya terasa berat karena rasa lelah. Ia ingin berada di manapun kecuali di sini. Pondok dingin di pantai pasti akan terasa lebih nyaman dibandingkan rumah terpencil ini.
Ia berjalan ke ruang tengah, membenamkan diri di titik di mana Draco duduk beberapa jam sebelumnya; kakinya yang panjang dan rambut pirang putihnya. Di mana ia melihat Isobel dan berkata, "Jika boleh jujur Belly, aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian."
Ia mengambil sebuah bantal kecil; menempelkan itu pada wajahnya untuk melihat apakah Draco meninggalkan aromanya. Tapi tidak ada.
Ia merasa dirinya termakan oleh rasa lelah. Ia meringkuk di mana ia duduk, dan terlelap di sana.
-
Ia terbangun siang keesokan harinya, masih mengenakan pakaian yang sama tapi ia merasa jauh lebih segar. Ia berganti pakaian, kemudian menggunakan Floo network untuk pergi ke Diagon Alley. Di sana, ia menunduk seiring ia berjalan melalui keramaian yang padat; melalui ratusan orang yang berbelanja untuk keperluan Natal. Jika saja, dengan kemungkinan yang mengerikan, ia berpapasan dengan Lucious Malfoy, setidaknya Lucius tidak bisa melakukan apapun di sini. Setidaknya Isobel mendapat sedikit waktu untuk bereaksi; untuk mempersiapkan diri pada apapun yang akan dilakukan Lucius berikutnya.
Dalam perjalanan ke apartemen Draco, pikirannya melayang dengan ketidak adilan ini. Bagaimana ibunya sakit dan tidak ada yang bisa Isobel lakukan; tidak ada kenyamanan yang bisa ia berikan selain menemaninya. Bagaimana lelahnya Draco; bagaimana riuhnya untuk Draco, bagaimana tidak adilnya untuk berduka karena seseorang selama satu tahun setengah, hanya untuk mengetahui bahwa seseorang itu masih hidup selama ini, hanya berjarak 200 mil.
Bagaimana Isobel belum bisa memberikan apa yang ia inginkan; bagaimana Isobel hanya membutuhkan waktu. Tapi waktu adalah hal yang tidak banyak.
Kata-kata yang ibunya bisikkan padanya di rumah sakit menghantuinya sepanjang malam, dan masih ada padanya sampai sekarang. Lucius, tolong. Mereka tidak akan bahagia bersama. Apakah Lucius berkontak dengan ibunya? Jika iya, bagaimana Lucius tau bahwa Isobel sudah mencari Draco, tapi Maggie tidak tau? Itu mengganggu Isobel, karena ia tidak tau jika kata-kata itu adalah gumam delusi ibunya; sebagai gejala penyakitnya dan dalam pengaruh obat-obatan, atau memang itu semua berarti. Sesuatu yang harusnya masuk di akalnya.
Penampakan gedung apartemen Draco membawa rasa nyaman. Ia menaikki tangga dan mengambil tongkat sihir dari celana jeansnya. Seperti yang ia lakukan sebelumnya, ia menggunakan Alohamora di pintu dan menaikkan tangannya untuk membuka.
Tapi tangan berkulit pucat muncul dari belakangnya; menekan jari-jari panjangnya pada pintu menahan Isobel untuk membukanya. "Mengawasiku dari jendela tidak cukup?" kata suara Draco. "Masuk tanpa izin juga sekarang?"
Isobel memutar tubuhnya untuk melihat wajah Draco. Ia sedang mengenakan celana pendek dan baju olahraga berlengan panjang. Keringat membuat pelipisnya dan kepalanya bersinar, di pipinya juga terlihat sedikit warna. Ia menaikan alis, menunggu respon Isobel.
"Aku tidak bisa mengerti sistem bel."
"Ah. Aku juga tidak bisa membantumu tentang itu," kata Draco, tangan masih di pintu di belakang Isobel.
"Aku tidak tau cara lain untuk masuk."
"Di perumahan muggle," kata Draco, "kita gunakan kunci."
"Aku tidak punya kunci."
"Aku akan memberimu kunci."
Pandangan Isobel terjatuh pada kaki Draco; panjang dan kencang. "Kau tidak kedinginan?"
Draco tersenyum. "Tidak. Kau kedinginan?"
"Sedikit," kata Isobel. Ia memakai mantel dan syal - syal Draco - tapi tetap merasa dingin. Ia tidak tau bagaimana Draco bisa berjalan keluar dengan celana pendek dan tidak menunjukkan rasa tidak nyaman, tapi air yang dingin dan pasir basah bisa membuatnya panik.
"Aku tidak bisa berenang," kata Draco, seakan membaca pikiran Isobel. "Tidak pernah belajar. Ayo masuk."
Isobel mengikutinya; mengamati kaus Draco yang menempel pada punggungnya seiring ia menaikki tangga. "Orang tuamu tidak pernah mengajarimu?"
Ia tertawa kecil. "Mereka tidak punya waktu untuk hal seperti itu."
Ribuan hal berlarian di pikiran Isobel; yang terbesar adalah bagaimana Draco senang tinggal di pantai jika ia tidak bisa berenang. "Apa aku tau itu? Sebelum aku hilang ingatan?"
Draco meliriknya ketika mereka tiba di apartemen Draco, senyum tipis tergambar di wajahnya. "Oh, iya. Kau selalu meledek."
Isobel menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Maaf."
Draco mendengus. "Oh, aku juga seing meledekmu. Seperti saat kau takut dengan badut."
"Kau tau itu?"
"Tentu." Draco membuka pintu dengan bahunya. "Badut. Konyol sekali."
Sebuah jendela terbuka lebar di apartemen Draco, tapi ia terlihat tidak peduli. Isobel berlutut di sofa dan mengamatinya di belakang sofa, seiring Draco mengisi gelasnya dengan air dari tempat cuci piring. Otot-ototnya bergerak di tenggorokan saat ia menelan airnya.
Draco mengangkat tangan ke belakang lehernya. "Aku mau mandi. Sebentar."
"Oke."
Draco mengangguk, ekspresinya tidak terbaca. Kemudian ia berjalan ke kamarnya. Membuka kausnya saat ia berjalan - satu rangkaian gerakan - dan Isobel menopang dagunya; mengamati otot yang berkontraksi di punggung Draco.
"Kalau kau mau teh -" Draco memutar tubuhnya, dan mereka berkontak mata. Senyum jahil terlihat di wajah Draco. "Kalau kau mau teh, aku punya banyak."
Isobel menekan dagu di tengannya. Ada banyak balasan cerdas yang bisa ia lontarkan, tapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Lagi, pandangan matanya jatuh; kali ini ke dada Draco.
Draco tidak mengatakan apapun, tapi ia menyeringai lebih besar. Ia berjalan menjauh dan beberapa detik kemudian, Isobel mendengar suara air.
Ia berdiri, mengumpat pada dirinya yang sangat kaku; berjalan ke dapur dan membuka lemari hanya untuk mencari kesibukan. Tumpukan kotak teh camomile di lemari - dan tidak ada apapun lagi - membuatnya tersenyum.
Ia berjalan ke jendela yang terbuka. Dari sini, ia bisa melihat ujung jalan di mana Lucius Malfoy menyerangnya. Ia harus memberitau Draco apa yang ibunya katakan di St.Mungo's. Fakta bahwa ibunya pernah, atau mungkin masih berkontak dengan Lucius, mungkin bisa menjadi sesuatu yang penting.
Suara ketukan di pintu dan beberapa detik kemudian, pintu terbuka lebar.
Isobel berputar, jantungnya hampir keluar, tangan di pinggangnya untuk menarik tongkat sihit - tapi terhenti saat melihat Blaise Zabini berdiri di depan pintu. Kepalanya mendongak dan ia mengamati Isobel dengan ekspresi penasaran. "Yah," ia berkata. "Sudah terbukti."
Isobel menghela nafas lega. "Hai, Blaise."
Blaise berdiri di sana unutk beberap saat, memberinya tatapan yang sama, seperti eskpresi Ginny dan teman-temannya saat pertama kali melihatnya. "Aku dan Theo melihatmu dengan Draco pada Jumat malam itu," katanya, menutup pintu, "tapi kami tidak yakin."
"Draco tidak cerita?"
Blaise tertawa. Membuka mantelnya, melemparnya ke sofa. "Malfoy tidak cerita tentang apapun. Menggali informasi darinya adalah tugas untuk semua orang. Pastinya kecuali untukmu."
"Aku tidak mengingatnya," kata Isobel, ragu. "Aku tidak ingat ada hubungan dengannya. Dan aku tidak ingat banyak tentang teman-temannya." Ia meringis saat mengatakan itu, dan itu membuatnya sadar bahwa tidak mungkin ia hanya lupa pada Draco. Tapi seluruh dunia Draco; teman-temannya, atau setidaknya interaksi Isobel dengan mereka.
Isobel duduk bersama Blaise di sofa Draco dan menjelaskan semuanya padanya, dari awal hingga akhir; dari kalung yang dimantra hingga diisolasi selama satu tahun, hingga menemukan surat, hingga Lucius dan perbuatannya, hingga ibunya yang dirawat.
Saat itu selesai, Blaise terlihat tidak tenang; menatap dinding Draco dengan alis yang mengernyit. "Lucius Malfoy adalah orang brengsek," ia bergumam.
"Lumayan," kata Isobel. "Aku dulu berpikir mungkin satu-satunya cara memperbaiki semua ini adalah dengan mengembalikan ingatanku - tapi sekarang, dengan Lucius yang terobsesi dengan Draco. . ." Isobel menghela nafas. "Bahkan jika aku ingat semua tentang Draco hari ini, aku bisa lupa lagi besok."
Blaise mengangguk setuju. "Tetap saja," katanya, "menurutku mencoba mengembalikannya adalah awal yang bagus."
"JIka saja aku tau caranya," kata Isobel. Ia memikirkan ibunya, berbaring lemas di rumah sakit. Apa yang akan Maggie lakukan, jika Isobel memberitaunya tentang semuanya? Yang terburuk, ia akan marah pada Isobel. Yang terbaik, ia akan memberitau kejujurannya, sebagai balasan.
Isobel menghela nafas panjang. Mengetahui tentangnya dan Draco seakan membalikkan hidupnya, tapi ia sadar bahwa itu juga yang Draco rasakan. Kembali padanya pasti membuat semuanya lebih rumit. Untuk Draco, untuk keluarganya. Untuk gadis yang seharusnya ia nikahi.
"Apa Astoria tau aku masih hidup?"
"Kurasa tidak."
"Kita harus memberitaunya," kata Isobel. "Aku merasa jahat. Aku tidak yakin Draco masih mau menikahinya."
Blaise terlihat muram. "Menurutku Malfoy memang tidak pernah mau menikahinya."
"Tapi mereka merencanakannya. Walaupun Draco tidak mau."
"Aku tidak tau apakah Malfoy pernah setuju terhadap apapun," kata Blaise. "Menurutku orang tuanya yang sibuk dengan pernikahan ini."
"Mereka sudah menentukan tanggal, kan," kata Isobel. Merasa bersalah. "Itu cukup serius." Ia memikirkan Astoria yang sedang memilih gaun, membuat persiapan pernikahan. Bahkan jika Draco tidak ingin melanjutkan pernikahan, itu sudah cukup buruk. Isobel berpikir apa yang Astoria pikirkan tentang Draco. "Seperti apa dia?"
"Dia baik," katanya. "Dia dan Draco mengobrol banyak, pernah, untuk beberapa saat. Menurutku masalah yang paling nyata darinya adalah dia bukan kau."
Isobel merasa tersipu sedikit, tapi rasa bersalah masih mengikutinya. Ia mengganggu rencana bukan hanya upacara pernikahan, tapi untuk kehidupan setelah menikah; untuk seumur hidup.
Ia mendorong pikiran itu. "Dan bagaimana kabar kalian semua? Aku bertemu Pansy malam itu. Ia pikir aku hantu." Isobel mengamati Blaise, tapi seperti Draco, ekspresinya tidak terbaca. Senyumnya terlihat ramah, tapi terlalu cerah; terlalu dipersiapkan. "Aku yakin setelah pertarungan itu pasti tidak mudah untuk kalian."
Blasie melambaikan tangan, mengabaikannya. "Jangan khawatirkan kami. Kami baik-baik saja. Kami sudah melewati satu tahun untuk membuat Malfoy bahagia lagi, jadi kurasa kau berhasil. Ia dulu memiliki minyak wangimu -" ia mengernyitkan alis, terlihat jijik - "dan ia menyemprotnya di sekeliling kamar. Menyedihkan."
Isobel mengangkat tangan untuk menutup senyumnya. Baru tadi malam ia menempelkan bantal pada hidungnya, untuk mencari aroma Draco.
"Apa yang menyedihkan?"
Senyum Blaise melebar, dan Isobel menoleh ke arah Draco untuk melihatnya di depan pintu kamar - rambutnya basah di keningnya, handung putih halus menggantung di lehernya.
Mata Draco mondar mandir dari Blaise ke Isobel. "Apa yang kau katakan?"
"Hanya beberapa hal yang bagus untuk diceritakan, Malfoy," kata Blaise, berdiri dari sofa dan menepuk pundak Draco.
Pandangan Draco bertemu dengan Isobel, dan ia memberinya senyuman kecil.
"Aku di sini untuk memberi undangan, Malfoy," kata Blaise, tersenyum lagi. "Sebelum kita pulang ke rumah keluarga untuk Natal, kita keluar dulu malam ini. Isobel boleh ikut, tentu."
Draco menggelengkan kepala. "Lain waktu, Zabini."
Ekspresi wajah Blaise turun, maka Isobel berkata, "Kau pergi saja, Draco."
"Aku tidak -" Draco terhenti. "Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri di sini." Ia melirik sinis pada Blaise, seakan menantangnya untuk mengejek Draco. Tapi Blaise mengangkat bahu.
"Mungkin aku bisa ikut."
Draco kaku. "Tidak. . . Tidak. Kau tidak bisa ikut. Orang-orang tidak boleh tau kau masih hidup."
"Menurutku tidak apa-apa," kata Isobel. "Selama ayahmu tidak tau -"
"Ia bisa tau, dan itu cukup buruk."
"Siapa yang akan memberitaunya?"
"Yah," kata Blaise dengan hati-hati, mengambil mantel dari sofa. "Aku akan pergi -"
"Tidak, jangan," kata Isobel, berdiri. "Blaise - kalian akan merahasiakannya kan? Kau dan Theo tidak akan bilang pada siapapun?"
"Masalahnya," kata Blaise, berusaha menghindari pandangan sinis Draco, "bukan hanya Theo dan aku. Akan ada beberapa orang lagi di sana."
"Jadi kau tidak bisa pergi," kata Draco padanya, suaranya tegas. "Dan aku tidak akan datang juga. Jadi, terima kasih Zabini, itu saja."
"Malfoy," Blaise menghela nafas, "kau tidak akan bisa merahasiakan ini terlalu lama. Makusku - kita bisa coba. Tapi jika kau tidak datang malam ini, Pansy akan mengetahuinya. Theo tidak bisa menutupi ini darinya selama itu. Dan jika Pansy tau, ia akan memberitau Daphne -"
"Kalau begitu beritau Nott untuk tidak menjadi mulut ember," kata Draco marah. "Kau bahkan seharusnya tidak tau, Zabini. Kau tidak seharusnya di sini."
"Malfoy -"
"Aku tidak akan ikut," kata Isobel, dan mereka berdua menatapnya. "Maaf, itu saran yang bodoh." Ia menunduk. "Aku hanya muak dengan semua ini. Tapi kau harus pergi, Draco. Aku akan baik-baik saja."
Draco menggeleng, mata abu-abunya menatap Isobel. "Aku tidak akan pergi."
"Pergi saja," kata Isobel. Ia memaksakan senyuman. "Aku harus mengunjungi ibuku juga."
Draco menggertakan gigi. Ia mengangguk kecil pada Blaise. "Sampai bertemu, Zabini."
Blaise terlalu bahagia untuk meninggalkan ketegangan. "Sampai jumpa," katanya, membuka pintu apartemen Draco; meninggalkan mereka berdua.
-
-
-
Senin dan selasa update lagi yeay
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro