DUA PULUH DELAPAN
GUYS, CHAPTER INI PANJANG DAN SERU BANGET! JANGAN SKIP! CHAPTER INI NGEJAWAB BANYAK PERTANYAAN DUH MAU NANGIS
-
i s o b e l
Ginny mengayunkan tongkat sihir dengan mengucap Alohamora di pintu depan gedung dan meninggalkan Isobel di lobby. Isobel perlahan berjalan menaikki tangga, beban hari ini terasa berat di hatinya.
Saat ia tiba di apartemen Draco, ia sudah dalam keadaan menangis.
Beban selama lima hari yang terisi dengan emosi yang tebendung; akhirnya mengambil alih dan pecah, dan ia tidak bisa lagi mendorongnya. Tidak bisa, bahkan untuk satu menit pun, berpura-pura bahwa ia tidak sedang berusaha bernafas di dunia yang seakan sangat bertekad untuk menenggelamkannya.
Sudah sangat lama sekarang, ia mencoba untuk tidak mempedulikan gambar buram yang menempati ingatannya tentang Draco. Berpura-pura bahwa itu bukanlah kenyataan; seakan ia sudah bisa berjalan maju dan tidak menghiraukannya dengan beranggapan bahwa ingatan itu tidak akan menjadi masa depannya. Tapi sekarang ia sudah, dalam hitungan menit, membenarkan bahwa itulah masa depan - bahwa ada beberapa tahun dari hidupnya yang tidak akan bisa ia dapatkan kembali, selamanya - dan ia sedang menghapus air mata dari pipinya dan berjalan sempoyongan ke pintu Draco, merasa sesak nafas -
d r a c o
Ia sudah melihat Isobel berjalan mendekati gedung dari jendelanya: memperhatikannya berjalan, Ginny Weasley di sampingnya. Jendela yang sama di mana Draco bisa melihatnya di pojok jalan di mana Isobel berdiri selama berminggu-minggu, curiga dan tidak percaya; mengamati Draco dan mencoba untuk mencocokkan potongan puzzle di kepalanya. Jendela di mana ada bunga salju kecil terduduk, tidak tersentuh, di daunnya. Draco masih belum memberitaunya bahwa itulah satu-satunya hal yang ia miliki dari kehidupan mereka sebelumnya.
Sebelum. . . semuanya. Sebelum ini. Apapun ini.
Belly mengetuk dan mendorong pintu secara bersamaan. Draco menoleh, dan menyadari bahwa Belly sedang menangis. Ia mengamati wajahnya yang ternodai oleh air mata, dan dengan hitungan detik berada di sampingnya; memeluknya erat di dadanya.
"Aku tidak -" kata Isobel, menempelkan kening ke dada Draco dan mengeluarkan isak tangis - "Aku tidak bisa -"
Draco memeluknya lebih erat, menyelipkan jemarinya di rambut Isobel. Berpikir apakah Isobel bisa merasakan jantungnya, berdetak di dadanya. Sangat ingin tau sebab kesedihannya, siapa yang menyebabkan ini; tapi memaksa diri untuk tetap diam.
Belly memeluknya kembali, tangannya memeluk bagian tengah tubuh Draco. "Aku minta maaf," katanya, suaranya terdengar terpendam karena sweater Draco.
"Diam," Draco bergumam.
Draco menurunkan kedua tangannya ke belakang paha Isobel, mengangkatnya, dan membawanya ke sofa. Menjatuhkan diri, bersama Isobel.
"Maaf," Isobel mengulang, memindahkan rambut dari wajahnya. "Maaf - aku menangis lagi - hanya muak -" Ia berhenti sejenak; pipi merah, mata bengkak - kemudian mengangkat satu tangan dan menggambar garis dengan jarinya di sepanjang rahang Draco. Dengan air mata, bibirnya terangkat menjadi sebuah senyum kecil. "Draco, kau terlihat marah."
Draco tidak bisa tertawa. "Aku hanya ingin tau apa ada orang yang harus kubunuh."
"Tidak, tidak ada." Isobel memandangnya, dan alis Isobel mengernyit, dan air mata terbendung lagi seiring ia terisak, "Aku tidak pantas untukmu."
Draco bisa tetawa sekarang, di perkataan itu. Draco tidak bisa menahannya. Betapa konyolnya untuk Isobel mengatakan ia tidak pantas untuknya.
Draco menatapnya: mata gelapnya, terlihat merah dari tangisnya; air mata yang terperangkap di antara bulu matanya; pipinya yang basah. Bagaimana ia terduduk berhadapan dengan Draco, kakinya terlipat. Betapa gilanya, pikir Draco, bahwa ia sudah cukup beruntung untuk mendapatkan Isobel kembali padanya, untuk memeluknya, dan Isobel berpikir ia tidak pantas.
Isobel menghapus air matanya. Draco melihatnya menggigit pipi bagian dalamnya, seakan sedang berpikir rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan informasi yang ia dapat. Kemudian ia berkata, dengan hati-hati, "Hermione menjelaskan perbedaan antara mantra ingatan dan Obliviate padaku. Ia menjelaskan bagaimana rasa Obliviate, ketika kau menjadi target untuk mantra itu." Ia mengambil jeda, pandangan matanya berpindah-pindah antara kedua mata Draco. "Kami yakin itu yang terjadi padaku."
"Tidak," kata Draco. "Tidak, itu pasti salah -"
"Maafkan aku," kata Isobel. "Kurasa aku selalu tau itu, jauh di dalam perasaanku. Aku hanya - aku tidak tau. Membiarkannya. Tidak mau menerimanya."
"Bagaimana kau bisa sangat yakin?"
"Karena seperti itu rasanya, itu -" Ia menghela nafas. "Ada banyak jarak di ingatanku - kesamaran yang besar yang tidak pernah aku mengerti. Itu di mana kau seharusnya berada. Itu lah tempatmu, untuk tiga atau empat tahun."
Tenggorokan Draco terasa kering. "Tapi Obliviate tidak bisa dikembalikan."
"Iya." Air matanya sudah hilang sekarang: matanya terlihat lebih jelas, dan hanya fokus pada Draco. "Jadi apapun yang kita lalui di sekolah," ia berkata perlahan, "Aku tidak akan ingat itu."
Draco menggelengkan kepalanya. Itu semua lebih dari sekedar apa yang mereka lalui di sekolah. Itu adalah dunia Draco. Masih menjadi dunia Draco. "Tapi jika ingatanmu dikeluarkan sebelum itu, ingatanmu bisa dikembalikan -"
"Tapi Draco," kata Isobel. "Ingatanku tidak dikeluarkan. Kita tau itu. Sebesar apa kemungkinan siapapun yang mengambil ingatanku ini mengeluarkannya dulu?"
Draco mengangguk, merasa tidak tertolong. "Kecil."
"Maka ya ini lah," kata Isobel. "Seperti ini lah yang harus aku jalankan, selalu."
Selama satu minggu ini, Belly lebih sibuk berusaha mengembalikan ingatanya dibandingkan Draco. Masuk akal: selama berhari-hari Draco terguncang dengan keajaiban bahwa gadis yang ia cintai dan yang membuatnya kehilangan ada di sini, hidup dan ada, sementara Isobel dihadapkan dengan orang asing yang pernah ia cintai tapi ia lupakan sepenuhnya. Draco lebih peduli dengan berbincang dengannya, kehadirannya, dibanding terlalu mengkhawatirkan tentang ingatannya, tapi tetap saja -
Untuk tau Isobel yang ia kenal di sekolah, yang mengubah seluruh dunianya dalam beberapa tahun, tidak akan pernah lagi kembali -
Sangat menyiksa.
"Maaf aku," kata Belly.
"Untuk apa?"
"Hanya - Maaf aku bukan Isobel yang kau kenal. Bahkan aku tidak mengenalnya, diriku sendiri."
Draco meletakkan tangan di pahanya sendiri, telapak tangannya terbuka dan memainkan jari-jarinya. Beberapa saat kemudian, tangan Belly; yang berukuran jauh lebih kecil dari tangan Draco, seluruh jati-jati lentiknya dan beberapa kuku yang rusak; mengikuti. Isobel metelakkan tangannya di dalam tangan Draco, dan mereka tetap berada di posisi itu. Saling menggenggam; jari-jarinya berbaring di atas jari Draco.
"Tidak masalah untukku," kata Draco. "Apa yang kau tau tentangku adalah biaya untuk memilikimu kembali. Untuk mengetahui keadaanmu yang hidup dan sehat." Draco menjatuhkan pandangannya ke tangan mereka. "Biaya, iya. Tapi akan kubayar segera. Lagi dan lagi."
Ketika ia memandang Belly, kedua mata Belly memandangnya. "Benarkah?"
"Benar."
Tenggorokan Draco terasa kering, kepalanya pusing, dan yang ia tau, mereka bisa saja menjadi dua orang terakhir di dunia ini sekarang. Di sofa ini, di apartemen kecil ini.
"Aku ingin menyaksikan ingatanmu," kata Isobel. "Ya?"
"Iya," kata Draco, dengan ragu. "Tentu kau boleh."
"Benarkah?"
"Iya," kata Draco lagi. "Kapanpun kita bisa menemukan Pensieve."
Isobel bisa saja membenci Draco setelah itu: Draco tau. Mungkin menyaksikan Draco berdiri di atas menara Astronomy, menunjuk tongkat sihirnya ke jantung Albus Dumbledore, dan memutuskan Isobel tidak akan mau menemuinya lagi.
Draco tidak mau Isobel melihat itu. Dan ia tau bahkan jika Isobel melihatnya, siapapun masih tetap menghapus ingatannya -
Tetap saja. Jika Isobel ingin melihat ingatan Draco, maka ia akan melihatnya.
"Jadi apa?" Draco bertanya. "Ada ide lain?"
Belly terdiam untuk beberapa saat. "Sebenarnya, iya," katanya. Ada getaran kecil yang hampir tidak terdengar di suaranya. "Ada." Isobel memandang Draco. "Aku akan tanya ibu siapa yang mengambil ingatanku, katanya. "Dan aku tidak akan meninggalkan rumah sakit sampai aku mendapat jawaban."
i s o b e l
Isobel selalu membenci rumah sakit, dan kedatangannya yang berulang ke St.Mungo membuat rasa bencinya semakin besar. Seluruh tempat itu sangat steril; dinding yang berkilau dan terang, bau menyengat dari bahan permbersih tercium kuat di setiap ruangan dan koridor.
Tapi Draco berjalan di sampingnya kali ini, dan itu membuat semuanya sedikit lebih mudah diterima.
Mereka berjalan menyusuri koridor-koridor, menaikki tangga ke bangsal pribadi ibunya; Isobel dengan sebuah rangkaian bunga merah muda di pelukannya. Itu pertama kalinya ia bepergian bersama Draco di wilayah sihir, dan perbedaannya dengan jalanan ramai kota London yang dipenuhi muggle sangat jelas. Isobel langsung menyadari tatapan dari para pengunjung, pasien dan pegawai rumah sakit ketika Draco melewati mereka. Cara mereka menatap dan tatapan itu yang mengikuti seiring Draco berjalan di koridor. Bagaimana pandangan mereka kemudian tertuju pada Isobel.
Isobel tidak begitu terbuang ketika ia bersama Draco. Itu hal yang pasti.
Saat mereka mencapai bangsal ibunya, Isobel menatap Draco. "Kurasa kau di luar saja," kata Isobel. "Setidaknya untuk sementara. Kita lihat bagaimana nanti."
"Baiklah," kata Draco, menyandarkan bahu kanannya ke dinding. "Panggil aku kalau kau butuh bantuan."
Isobel mendorong pintu bangsal untuk membukanya. Ia tidak mau ibunya melihat Draco; merasa yakin Maggie akan kacau jika itu terjadi. Tapi Isobel juga tidak yakin apakah ia berani menanyakan hal itu pada ibunya sendirian.
Ibunya terlihat sangat pucat. Setiap kali Isobel melihatnya, di antara kunjungan, untuk beberapa detik ia terkejut saat melihat kondisi fisik ibunya; bagaimana lemah ibunya.
Isobel mencari mata ibunya ketika pintu terbuka, dan ia menghela nafas lega. Ibunya sudah bangun. Itu artinya tidak ada alasan untuk tidak bertanya pada ibunya.
Isobel memberi Draco tatapan terakhir. Draco masih bersandar di dinding, lengannya terlipat di depan dada. Tanpa ekspresi: tapi pandangannya masih tertuju pada Isobel. Draco tidak bisa mengatakan apapun, sekarang, dengan pintu yang terbuka. Tapi Draco memberikan sebuah anggukan, dan Isobel mengerti. Isobel bisa melakukan ini. Harus bisa.
Ia berjalan memasuki bangsal, dan Maggie tersenyum. "Ibu rindu padamu, sayang."
"Aku juga rindu ibu," kata Isobel. Ia menahan pintu dengan doorstop. "Boleh aku biarkan terbuka? Sumpek di sini."
"Bunga itu untuk ibu?"
Isobel berjalan menjauhi pintu menuju tempat tidur ibunya. Di sudut matanya, mata abu-abu Draco sudah tidak terlihat.
"Tentu ini untuk ibu." Bunga itu sudah terduduk di meja samping tempat tidur Maggie. Isobel mengambil vas dan membuang isinya ke dalam tempat sampah; menyusun rangkaian bunga baru ke dalamnya. "Bagaimana kondisi ibu?"
"Baik," kata Maggie. "Lebih baik."
Isobel tidak yakin ia bisa mempercayai itu. Ibunya tidak terlihat lebih baik. Dan ia masih di bangsal pribadi.
"Duduk," kata Maggie. "Apa yang kau lakukan selama di rumah? Kau kesepian?"
Isobel hanya menghabiskan satu malam untuk tidur di rumahnya sejak ia menemukan Maggie terkapar di koridor. Dan sejak saat itu ia tidur di sofa; bahkan tidak di tempat tidurnya sendiri. "Iya," Isobel menjawab, duduk di kursi kayu sebelah tempat tidur Maggie. "Aku merindukan ibu."
Isobel menyadari tidak adanya empati Maggie dari perkataan Isobel. Jika ada, ekspresi Maggie terlihat lebih cerah. "Apa rumah terasa sepi, tanpa ibu?"
Isobel memalingkan wajah. "Iya."
"Oh sayang," kata Maggie. "Yah, baguslah ibu akan pulang, sebentar lagi."
"Iya," kata Isobel. "Iya, itu benar."
"Ada apa?"
"Tidak," kata Isobel. "Tidak apa-apa."
"Lalu kenapa kau banyak bicara?" Alis gelap Maggie mengernyit. "Ada yang terjadi?"
Tidak, aku hanya -" Isobel menggenggam tangannya sendiri. Ia menarik nafas. "Beberapa hari yang lalu, ibu mengigau."
Isobel tidak menyangka ibunya bisa terlihat lebih pucat melebihi sekarang. Tapi dengan kata-kata itu, ibunya terlihat lebih pucat, dan jantung Isobel terasa berhenti saat ekspresi ibunya berubah. Sebuah konfirmasi bahwa ibunya memang mengetahui lebih banyak.
"Ibu yakin ibu sering mengigau," kata Maggie. "Ibu yakin ibu mengatakan hal yang tidak masuk akal."
"Yah," kata Isobel perlahan, mengamati ibunya. "Ibu mengatakan sesuatu tentang Lucius Malfoy."
Maggie menarik kontak mata anatara dia dan anaknya. "Seperti yang ibu katakan, tidak masuk akal."
"Apa ibu tidak mau tau apa yang ibu katakan?"
"Tidak." Maggie menggelengkan kepala. "Tidak - tidak ada artinya kata-kata itu."
"Tapi ibu bahkan tidak mau mendengar -"
"Ibu selalu mengigau. Ibumu tidur di sebelah ibu bertahun-tahun dan selalu memberitau ibu." Maggie menatap Isobel lagi. "Ayahmu juga dulu mengigau, kadang. Lucu sekali."
Isobel merasa frustasi terbendung dalam dirinya. Ibunya berusaha mengalihkan pembicaraan; dengan jelas mengganti topik ke arah hal yang ibunya lebih nyaman untuk bicarakan. Isobel menatap tajam ke telapak tangannya, kemudian berkata, "Aku mau tau tentang Draco Malfoy."
Ada jeda yang cukup panjang dan berat. Isobel melihat ke arah pintu bangsal yang terbuka. Draco berdiri di pojok kanan, mendengarkan setiap kata yang mereka katakan. Dan ia takut akan apa yang ibunya katakan, tapi ia harus tau.
"Bu," katanya, kembali menatap Maggie. "Aku ingin tau. Ibu menyembunyikanku terlalu lama."
"Tidak ada yang perlu kau ketahui," kata Maggie.
"Itu tidak benar."
"Tidak ada yang perlu kau ketahui, sekarang -"
"Itu tidak benar," Isobel mengulang. "Banyak sekali yang harus aku ketahui. Banyak yang tidak ada di ingatanku - dan ibu tau kenapa aku tidak bisa mengingat itu semua, dan ibu tidak mau memberitauku -"
"Kepalamu terbentur."
"Tidak, kepalaku tidak terbentur." Isobel merasa panas, air mata dari amarahnya jatuh di pipinya. "Aku tidak melupakan semua yang aku tau tentang Draco Malfoy hanya karena aku jatuh dan kepalaku terbentur. Ada yang mengambil ingatanku. Ada yang mengambilnya dariku dan sekarang aku tidak ingat apapun tentangnya."
Untuk beberapa saat, ruangan itu sunyi. Isobel melihat ke atas, sedikit terkejut; sepenuhnya menduga Maggie akan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal, respon yang tidak penting. Tapi Maggie terlihat sama sedihnya seperti anaknya. "Ibu takut jika ibu memberitaumu," kata Maggie, "kau akan pergi dan menemukan anak laki-laki itu. Kau akan bicara padanya. Dan itu akan membuatmu terjebak dalam bahaya. Lagi."
Isobel merasa mual; jauh dalam dirinya merasa bersalah.
Isobel memiliki dua pilihan. Entah dia bisa jalan ke koridor, mengambil tangan Draco dan menariknya ke dalam - membiarkan ibunya melihat siapa dia, siapa dia sebenarnya - sangat berbeda dengan segala yang orang-orang percaya tentangnya dan keluarganya -
Atau ia bisa berbohong. Berjanji untuk tidak berbicara dengan Draco, jika ibunya memberitau kebenarannya.
Ia baru saja menemukan celah, pada ibunya. Menemukan celah yang ia tidak pernah temukan sebelumnya; celah kecil untuk terbuka. Sedikit harapan yang Isobel tidak pernah lihat sebelumnya, dan ia cukup yakin bahwa jika ia memberitau ibunya yang sebenarnya sekarang - memberitaunya bahwa Isobel telah merusak kepercayaannya; tidak hanya ia berbicara pada Draco tapi ia sudah memeluknya, memeluknya erat, tidur di tempat tidurnya - jika Draco masuk sekarang dan ibunya menangkap sosok laki-laki dengan kulit pucat, rambut putih itu; seperti milik ayahnya, Dark Mark mengintip di lengannya -
Akan sangat mengejutkan untuk Maggie.
Tidak, Isobel harus menunggu. Walaupun itu membuat perutnya berputar, untuk berbohong seperti ini-
Isobel harus tau apa yang terjadi. Ia melirik ke pintu, kemudian kembali ke ibunya. "Aku tidak akan bicara padanya," kata Isobel. "Aku tidak akan."
Maggie menatapnya embali; ekspresi ragu terlihat jelas. "Bagaimana ibu tau?"
"Tidak ada alasan untukku," kata Isobel. "Dia kan seorang Death Eater."
"Iya," kata Maggie. "Dan sejenisnya merusak segalanya. Mereka membunuh ayahmu. Mereka hampir membunuhmu. Ibu tidak tau bagaimana kau bisa jatuh cinta padanya."
Isobel tidak menghiraukan detak jantungnya yang begitu cepat, dan mengambil tangan ibunya. "Apa ibu akan memberitauku yang sebenarnyaa, sekarang?" Isobel bertanya. "Aku mohon?"
Maggie Young menghela nafas. Ia menggenggam tangan anaknya.
Dan akhirnya - akhirnya - ia memberitau Isobel apa yang terjadi setelah pertarungan Hogwarts.
Pada tanggal 6 Mei 1998, satu hari setelah pertarungan Hogwarts, Lucius dan Narcissa Malfoy mengunjungi rumah lama Young di Surrey. Karena Isobel Young diserang di pertarungan itu oleh Alecto Carrow, dan Lucius dan Narcissa ingin kecurigaan mereka terjawab.
Draco akan pulih, pikir Narcissa. Draco mengurung diri di kamarnya sekarang, jendela tertutup dan bantal-bantal basah karena air mata, tapi Draco akan melalui ini.
Itulah yang Narcissa inginkan. Ia ingin Draco untuk pulih; untuk bergerak maju meninggalkan Isobel Young. Narcissa ingin putranya bahagia dan sehat di keluarganya yang bisa memberikan itu.
Lucius, di sisi lain, ingin anaknya kembali. Anaknya yang dulu, anak yang menjunjungnya dan mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi, dan bersumpah akan kesetiaannya pada keluarga seakan keluarga itulah yang paling penting di dunia ini. Yang mana memang seharusnya seperti itu. Ia menginginkan anaknya yang menggunakan nama Malfoy seperti emblem kebanggaan.
Lucius tidak pernah menyukai Isobel Young. Mungkin mampu membunuhnya dengan tangannya sendiri jika Alecto Carrow tidak mendahuluinya. Ia membenci gadis yang mengambil perhatian Draco; mengambil kesetiaan Draco yang tadinya sangat kokoh untuk keluarganya dan tidak ada orang lain. Lucius ingin Isobel pergi dari hidup Draco. Dari dunia Draco. Untuk selamanya.
Dan Narcissa percaya Isobel sudah meninggal; ia melihat cahay hijau terbang dari tongkat sihir Alecto ke jantung Isobel; dan Draco terduduk di sampingnya; menggenggam wajah Isobel di kedua tangannya. Tapi Lucius ingin memastikan.
Karena reputasi Malfoy sedang kacau balau. Segala kemungkinan sudah menjadi kesalahan, dan keluarga Malfoy berubah dari kuat dan terpandang menjadi bahan cemooh dalam hitungan menit -
Dan tidak ada cara untuk memperbaiki itu selama Isobel Young masih hidup. Dan ia merasa kesal; marah; karena yang ia tau penjaga dunia sihir siap membawanya ke Azkaban kapan saja, dan satu-satunya nama pewaris di keluarganya seakan hancur karena seorang gadis Gryffindor dengan darah campuran.
Lucius tidak mengetuk: melangkah masuk ke rumah Young seakan itu adalah gedung untuk publik. Narcissa, gugup dan panik, mengikuti di belakangnya.
Maggie Young berteriak - lari menyusuri koridor dengan tongkat sihir, dan Lucius menertawainya; mencemoohnya; berkata, Singkirkan itu, wanita tua, sebelum kau mencelakai dirimu sendiri. Lucius berjalan melaluinya: bukan Maggie yang ingin Lucius temui -
Isobel Young berbaring di sofa ruang tengahnya, tidak sadarkan diri. Tanda merah kecil berbentuk bintang tergambar di lehernya; satu-satunya jejak sihir yang menyelamatkannya.
Kalung yang Draco berikan padanya, dan yang ibunya berikan mantra terduduk di meja kecil; liontin perak kecil.
Dan setelah 20 menit berteriak dan menjerit, mencemooh dan curiga, Maggie Young dan Lucius Malfoy menemukan kesimpulan yang sama.
Mereka tidak mau Isobel dan Draco bersama atau berdekatan. Mereka saling melukai. Mereka datang dari dua dunia yang berbeda, dan kebersamaan mereka hanya akan memberi dampak buruk.
"Kau harus menghapus ingatannya tentang Draco," Lucius memerintah, dekat dengan wajah Maggie. "Dan katakan pada semua orang bahwa ia sudah meninggal. Dan kau harus keluar negeri kemanapun yang membuatmu seakan hilang - di mana ia tidak akan berpapasan dengan anak kami, selamanya. Kau mengerti?"
Air mata jatuh di pipi Maggie, tapi ia terdiam. Tidak mengatakan apapun; kepalanya berputar terisi dengan perkataan Lucius.
Keselamatan, untuk Isobel. Hidup jauh dari Death Eater, dari semua orang yang pernah menyakiti keluarga mereka. Hidup untuk mereka berdua yang damai, keamanan mereka tidak terganggu.
"Lucius," kata Narcissa, "Kita tidak bisa. Aku tidak mau mengambil ingatan Draco darinya. Tidak mau, kita tidak bisa -"
"Kita tidak akan mengambil ingatan Draco," kata Lucius. "Dia akan tetap di dunia sihir, bersama kita, dan orang-orang akan bertanya padanya tentang gadis itu. Kita tidak akan lepas dari pertanyaan itu." Pandangannya tertuju pada Isobel, masih di sofa. "Draco akan melupakannya," kata Lucius. "Sebentar lagi."
Maggie bersandar ke anaknya, terlihat khawatir. Maggie adalah penyihir yang cerdas. Ia bekerja di St.Mungo selama dua dekade, ia tau semua tentang mantra ingatan dan bisa melakukannya dengan sempurna.
Maggie hanya yakin jika ia melakukannya, Isobel tidak akan memaafkannya.
Isobel seperti sebelumnya, terbaring di sofa; ingatannya melekat dan hatinya hanya dimiliki oleh Draco Mafoy - akan sangat marah pada Maggie jika ia tau apa yang terjadi.
Tapi pasti, pikir Maggie. . . Pasti ia tidak tau - ketidaktauan itu - tidak akan melukainya.
"Tapi Lucius," Narcisa berkata, air mata terlihat menggenang. "Mereka akan menyusuri ingatan kita, saat kita di pengadilan. Itu yang selalu terjadi - mereka akan melihat ini semua, mereka akan gunakan ini sebagai senjata -"
Senyum licik Lucius tergambar. Ia sudah melewati cukup sidang di Kementrian untuk tau bagaimana prosesnya. Tau bahwa kasus seperti ini, sekarang Dark Lord sudah hilang, cukup serius hingga Kementrian akan mengeluarkan dan menyaring ingatan mereka seperti dokumen. Mereka butuh sekecil apapun informasi yang bisa mereka dapatkan untuk menemukan dan menjerat Death Eater yang kebur; jika ia mau sebuah kesempayan kecil untuk menghindari Azkaban, ia harus memiliki catatan yang bersih
-
"Itu kenapa Maggie tidak hanya akan menghapus ingatan anaknya," kata Lucius. "Ia juga akan menghapus ingatan kita."
Bibir Narcisa membentuk sebuah garis tipis seiring dia mengerti; Jika dia dan Lucius tidak pernah tau mereka berbicara pada Maggie, jika tidak ada ingatan tentang ini yang bisa dimasuki oleh Kementrian, maka ini tidak bisa dijadikan senjata. Terlebih lagi - Narcissa tidak perlu merasa bersalah tentang apapun dari rencana ini, jika ia tidak bisa mengingatnya.
"Jadi aku harus ingat?" tanya Maggie. "Aku jadi satu-satunya orang yang ingat pembicaraan ini?"
"Iya," jawab Lucius. Mata abu-abunya menatap tajam. "Dan jika kau peduli tentang keselamatan anakmu, kau tidak akan mengatakan tentang ini padanya, sampai kapanpun. Kau mengerti?"
Maggie mengangguk. Tentu ia peduli tentang keselamatan anaknya. Itu hal yang paling ia pedulikan.
Maka, saat Isobel Young terbaring tidak sadarkan diri di sofa, Maggie menghilangkan ingatan baik tentang Draco Malfoy dari kepala anaknya. Dalam sepuluh menit, ia mengemas segala yang mereka miliki ke dalam dus-dus hanya dengan ayunan tongkat sihir. Kemudian ia menghadap Lucius dan Narcissa, dan menggunakan Obliviate pada mereka juga.
Tidak ada satupun ingatan yang dikeluarkan terlebih dahulu. Tidak ada satupun ingatan yang bisa dikembalikan.
Pada tanggal 6 Mei 1998, sehari setelah pertarungan Hogwarts, Lucius dan Narcissa Malfoy membuka mata mereka, dan menyadari keberadaan mereka di rumah lama keluarga Young di Surrey.
Mereka sama sekali tidak ingat bagaimana mereka bisa ada di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro