Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA BELAS

DESEMBER 1999

Malfoy Manor terlihat sama sejak Draco meninggalkannya 18 bulan yang lalu, dan selalu sama setiap kali ia berkunjung sejak itu. Yang setelah ia pikir, memang selalu sama bahkan sejak ia kecil. Bangunan yang sama dan tanpa jiwa, yang pernah ia anggap rumah tapi tidak pernah terasa seperti rumah.

Ia yakin lukisan-lukisan yang berbaris di dinding pasti belum berubah sejak ratusan tahun yang lalu. Leluhur-leluhur di gambar itu menatapnya seiring ia berjalan menyusuri koridor; kulit dan rambut pucat mereka terlihat sama dengan milik Draco; kaya dan sukses di masa mereka, tapi terlupakan di masa Draco saat ini. Bayangan untuk menggantung lukisan dirinya sendiri di dinding itu; yang akan membuatnya terlihat hebat, pernah terpintas di pikirannya dan membuatnya merasa semangat.

Sekarang, ia bisa memikirkan beberapa hal yang lebih buruk dibandingkan menggantung fotonya di samping pria-pria berwajah suram ini.

Ia tidak suka berkunjung ke Manor. Ia membencinya; benci jika ia teringat tentang tahanan-tahanan yang dulu ada di ruang bawah tanahnya, pertemuan-pertemuan yang menegangkan, rasa takut yang mengambil alih  tubuhnya kapanpun Voldemort memasuki ruangan. Rumah di mana Draco dibesarkan berubah menjadi ruang penyiksaan; tantenya menginterogasi banyak tahanan di ruangan yang sama yang Draco gunakan untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia benci untuk mengingat bagaimana ia terduduk di kamarnya dan merasa terlalu takut untuk melakukan atau mengatakan sesuatu tentang segala yang terjadi di rumahnya. Ia merasa mual.

Dan yang terburuk, Manor mengingatkannya tentang Belly; duduk bersamanya di air mancur, tidur di kamar tamu, membawakannya sarapan dan menciumnya sebelum tidur. Belly dan Manor dulunya hadir di dua dunia berbeda - gelap dan terang. Draco bodoh; ceroboh dan naif untuk mencampurkan mereka.

Baru-baru ini ada perubahan di cara Belly menghantui Draco, ia mulai melihat Belly. Wajahnya selalu muncul di kepalanya, tentu, tapi sekarang ia muncul di dunia Draco; ilusi kecil, muncul dari udara tipis. Kadang Draco tenggelam di dalam pikirannya, ketika ia berjalan atau memandang keluar jendela apartemennya - ia kadang tidak sadar ia sedang memandang sepasang mata besar gelapnya. Draco berkedip sekali, mencoba lebih fokus, dan Belly hilang.

Draco tidak pernah melihatnya di sini, di Manor. Ia selalu merasa kesepian di sini, saat ia berkunjung untuk minum teh atau makan malam. Selalu kesepian, bahkan saa ia di bawah tatapan orang tuanya.

Kesunyian di meja itu sangat nyaring, ditegaskan oleh bunyi alat makan yang bertabrakan dengan piring. Draco tidak suka keluar ke ranah publik, tapi rasanya itu akan lebih baik dibandingkan melakukan ini berkali-kali, ritual menyiksa ini.

"Ibu Astoria sudah memilih gaun," kata Narcissa dengan tenang; seakan ia sedang menceritakan berita yang bagus. "Impor dari Swiss."

Draco yang sedari tadi mengamati gelasnya, menatap ke atas. "Apa?"

Narcissa memberi tatapan jengkel. "Gaun Astoria, sayang. Untuk pernikahan nanti."

"Aku dengar," kata Draco. "Aku tidak tau ada rencana untuk membuat pernikahan. Setidaknya tanpa konsultasi ke calon pengantinnya. Atau, ibu tau lah, tunangan dulu."

Lucius menghela nafas dan melihat ke arah lain. Narcissa cemberut. "Sayang. Kami sudah membuat rencana berbulan-bulan."

Draco menatap mereka. Ia sudah, dengan heran, sangat toleransi tentang hubungan ini; ia bertemu dengan Astoria seperti yang mereka suruh, berteman dengannya dan tidak terlalu sering mengeluh. Ia tau orang tuanya dan orang tua Astoria ingin mereka menikah, tapi ia tidak tau mereka benar merencanakan semua itu dengan aktif. "Sudah ada tanggal?" ia bertanya. "Hari pernikahannya?"

Narcissa meletakkan cangkirnya. "Sebenarnya, iya, kami sudah tentukan. Bulan Agustus, tanggal empat."

"Lalu kapan ibu berencana memberitahuku?"

"Tanggalnya baru ditentukan minggu lalu, Draco," kata Narcissa. "Kau belum sepenuhnya menerima perjodohan ini, jadi menurut ibu tidak ada gunanya memberitahumu langsung."

"Menerima," Draco mengulang, dengan nada mencemooh. "Kalau ibu mau aku untuk berkata lebih jelas tentang itu," katanya, "Aku tidak mau menikah dengan Astoria."

Narcissa semakin cemberut. "Ibu kira kau menyukainya."

"Aku tidak mau menikahinya," ia mengulang. "Aku tidak mengatakan apapun tentang tidak menyukainya."

"Kalian berdua bertengkar?"

"Tidak," katanya. Ia melipat tangan di depan dadanya. "Aku hanya lelah bermain di permainan bodoh ini. Aku tidak mau ada di. . . gambar sempurna yang mau ibu lukis di keluarga ini."

Narcissa menarik nafas panjang; mengerutkan bibirnya. "Menurut ibu," katanya perlahan, "menurut ibu kau bertingkah impulsif. Beri sedikit waktu; kau akan mengerti. Kau masih tertinggal di Isobel, ibu mengerti itu. Tapi kau harus memikirkan ini, sebelum kau membiarkan Astoria benar-benar pergi."

Untuk pertama kalinya orang tua Draco menyebut nama Belly sejak sebelum pertarungan itu. Draco terlihat lebih tegang; memandang sinis ke ibunya, yang melanjutkan;

"Kau dan Astoria itu sama. Melihat kalian berdua terasa masuk akal."

Draco tertawa kencang. Konyol, menikahi seseorang karena masuk akal. Ia dan Belly tidak pernah masuk akal.

Lucius akhirnya menatap Draco. Ia memberinya tatapan bosan. "Apa yang membuatmu berontak tiba-tiba, Draco?" ia bertanya. "Apa perempuan Gryffindor itu masih mempengaruhi pikiranmu, walaupun dia sudah tidak ada?"

"Perempuan Gryffindor itu," kata Draco dengan marah, "punya nama. Dan kalau ada yang mempengaruhi pikiranku, itu Astoria. Dia benci perjodohan; menurutnya itu bodoh."

Narcissa terlihat bingung. "Yah - menurut orang tuanya itu adalah ide ayng bagus -"

"Menurutnya tidak," kata Draco. "Dan aku mengerti - menikahi anak dengan tergesa-gesa untuk mempublikasi sesuatu yang lain selain reputasi buruk kalian - tapi aku sudah 20 tahun, bu. Aku tidak harus melakukan apa yang kau suka lagi."

"Sebenarnya, harus," kata Lucius dengan dingin. "Selama kau maih mau dukungan kami."

"Dukungan kalian," kata Draco. Itu bukan pertanyaan; ia tau apa artinya itu. "Aku tidak butuh lagi. Aku bisa cari pekerjaan."

Lucius mengangkat alisnya. "Oh ya? Di mana? Kementrian?"

Draco menatapnya sinis. "Mungkin."

Lucius menyeringai. "Seorang mantan Death Eater, bekerja di kementrian. Di saat seperti ini. . . Konsep yang lucu."

Narcissa menatap ragu mereka berdua. "Cukup," katanya.

"Maksudku," kata Lucius, tanpa merusak kontak mata pada anaknya, "kementrian tidak seperti dulu. Seluruh dunia sihir juga, bahkan sekarang, semuanya terstruktur untuk menghindari orang seperti kita. Jadi jika kau mau keluar dari kurungan asuhan kami, Draco, silahkan. Teruslah bertingkah sok idealis." Lucius memandang ke arah lainl mengamati tangan pucatnya sendiri. "Beritahu kami kapan kau akan datang."

Draco berdiri dari kursinya. Menatap ayah dan ibunya di dapur putih bersih sempurnanya; semuanya bersinar dan berkilau. Minum dari cangkir yang mereka miliki bahkan sebelum Draco lahir. "Yah," katanya, "Aku tidak akan datang dalam waktu dekat. Terima kasih."

Ia meninggalkan Manor tanpa menoleh ke belakang. 

-

Kembali ke apartemennya, ia merebus air untuk teh; bagian-bagian dari obrolan mereka masih terdengar di kepalanya. Ia tidak harus melakukan apa yang orang tuanya suruh. Ia bisa hidup tanpa dukungan keuangan, mungkin, walaupun ia yakin mereka tidak akan memotong sepenuhnya. Pasti akan sulit untuknya. Akan sulit pasti - tapi tidak mustahil.

Pintu apartemennya terbuka lebar, dan Blaise masuk. Blaise selalu berkunjung tanpa peringatan, tapi akhir-akhir ini ia muncul tanpa mengetuk pintu; menjelajah apartemen seakan milik sendiri. Blaise sudah putus hubungan dengan pacar Perancisnya belum lama ini - dan kehadirannya jadi lebih sering. Draco pernah terganggu, tapi tujuan Blaise selalu baik.

"Malfoy," kata Blaise, menyapa. "Bagaimana orang tuamu?"

"Baik," kata Draco, menjaga untuk tidak mengeluarkan nada kesalnya. "Sama saja."

Blaise menyadari air yang mendidih. Ia mematikan tombol di termosnya. "Jangan minum lagi," ia berkata, tidak menghiraukan makian Draco. "Kita keluar malam ini. Semua anak Slytherin - Pansy, Nott, Pucey. . ." ia menghitung dengan jarinya. "Dan kau. Reuni besar."

"Aku tidak mood."

"Tidak ada pilihan, Malfoy, kau ikut," kata Blaise. "Sudah berbulan-bulan kau tidak keluar dengan kami."

"Tidak mood.," ia mengulang dengan nada datar. Ia menghadap ke jendela, bertumpu pada lengannya dan melihat ke luar. Mengharapkan Belly untuk muncul lagi; hantu di jalan.

"Malfoy," Blaise mengerang. "Aku berusaha membantumu, sungguh. Tapi kau ini keras sekali, mengurung diri di apartemen ini setiap hari. Hidupmu akan habis di sini - "

"Ya tidak apa-apa."

"Kami merindukanmu," kata Blaise, nadanya lebih halus. "Walaupun kau tidak merindukan kami. Banyak hal buruk yang kau lalui, aku tau itu. Tapi yang lain - mereka juga melalui masa yang sulit. Kami semua melaluinya; selama satu tahun setengah. Dan rasanya lebih baik jika kita melaluinya bersama."

Draco tidak menjawab.

"Aku akan kembali jam sembilan," kata Blaise. "Kalau kau tidak menyusul - tidak apa-apa. Tapi kau harus tau, kami semua mau kau ada."

Draco menunduk. "Mereka mau aku menikahinya," ia berkata.

Blaise berhenti. "Kau sudah bilang itu."

"Tapi mereka benar-benar merencanakannya. Mereka merencanakan pernikahannya. Mereka sudah memesan gaun Astoria."

"Yasudah, nikahi dia," kata Blaise. "Kau menyukainya kan?"

Draco cemberut. "Aku tidak mencintainya."

Blaise mengerang lagi. "Astaga Malfoy, apa yang terjadi padamu?"

Draco tidak menjawab. Blaise merangkulnya, melihat ke luar jendela bersama Draco. "Satu malam," katanya pelan. "Beri kami satu malam, untuk mengingatkanmu akan pesta Slytherin yang dulu sering kita kunjungi - lalu kami akan berhenti memaksa. Lalu kau bisa membiarkan dirimu membusuk di sini, dan aku tidak akan berkata apapun."

Draco tersenyum, tapi ia terdiam.

"Maksudku," kata Blaise. "Aku akan berkunjung, tentu. Tapi kau bisa membusuk sesukamu."

Draco tertawa. Ia memalingkan pandangan dari luar jendela dan menatap Blaise. "Fine, Zabini. Jika itu bisa membuatmu lepas, ok - aku akan pergi." Blaise menonjok angin dengan semangat; Draco memutar bola matanya. "Satu lagi," katanya. Draco mengambil nafas panjang; merasa kebencian membuatnya berkata. "Jangan ajak Astoria."

-

Senin ada update lagi! Yeay!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro