Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

NOVEMBER 1998

Draco Malfoy basah kuyup. Baju lengan panjang, mantel, celana; semuanya dibasahi dengan air hujan dingin yang menusuk.

Hujan sudah turun di kota London selama tiga hari. Ia tidak akan meninggalkan apartemennya—jika ia bisa memilih, ia ingin tetap berada di dalam, selamanya—tapi ibunya memaksa untuk pergi membeli secangkir teh kesukaannya dari kafe yang sering ia kunjungi. Sekarang, ia menaiki tangga menuju apartemennya, merasa kedinginan dan frustasi, dan berencana untuk diam di kamarnya yang terkunci untuk waktu yang lama.

Ia memasukkan kunci ke lubang kecil di pintu apartemennya, memikirkan kekonyolan para muggle yang merasa aman karena adanya logam kecil ini di pintu mereka. Tidak ada mantra perlindungan, hanya kunci kecil yang rapuh.

Ia lapar. Ia menolak semua makanan dan tidak menyentuh tehnya; meninggalkannya hingga dingin di kafe yang gelap dan sempit itu. Meninggikan suara saat berbicara dengan ibunya dan pergi.

Ketika ia melangkah ke dalam, sebuah pintu di seberangnya terbuka lebar. Jantungnya serasa jatuh.

"Hai, tetangga!"

Draco menghadap ke wanita itu, memaksakan sebuah senyuman. Emily—seorang wanita Amerika usia tiga puluh tahun, dengan rambut keriting—bergerak mendekatinya dan menjulurkan tangannya. Ia menjabat tangan Emily dengan ragu. "Kehujanan?" Ia bertanya

Draco tidak menjawab. Yang ia inginkan hanya masuk kamar dan tidur selama seminggu.

Ia melanjutkan dengan ceria. "Bagaimana mungkin kita belum pernah bertemu. Kau pindah ke sini dari kapan, dua bulan yang lalu?"

Ia mengangguk kecil.

"Yah, tidak bohong, aku mengenali wajahmu. Jangan kau anggap aneh, tapi aku dan teman-temanku beberapa kali mengawasimu dari jendela, ketika kami pulang dini hari. Biasanya sekitar jam tiga pagi dan lampu kamarmu pasti masih menyala," ia tersenyum. "Kau tidak pernah tidur ya?"

"Sedikit."

"Baiklah, senang bertemu denganmu." Ia mendekat dan meletakkan tangan di bagian lengan basah Draco. Ia memandang tangannya. "Berteman dengan orang baru kadang sulit, terutama dengan orang lokal, dan—" ia mengeluarkan suara tawa yang tinggi ketika Draco menggerakan bahunya untuk mengusir tangan Emily dari tubuhnya dan mengambil tongkat sihirnya. "Oh, apa itu?"

"Obliviate." Ia bergumam, menunjuk tongkat sihirnya ke arah wanita itu. Mata Emily menunjukkan pandangan kosong, dan Draco berjalan masuk ke apartemennya sebelum kesadaran Emily kembali seutuhnya.

Ia sudah menghilangkan dirinya dari ingatan Emily lebih dari lima kali. Setiap kali ia berkenalan lagi dan lagi, serasa menyiksa, tapi ia lebih memilih untuk berkenalan lagi dibandingkan membuat Emily berfikir bahwa mereka memang berteman. Ia melepaskan mantelnya dan membanting tongkat sihirnya di meja dapur, bertanya-tanya apakah semua tetangganya sesuka itu mencampuri urusan orang lain, atau dia lah yang membuat mereka merasa ia dapat didekati dengan mudah.

Obrolan dari penyiar radio menyapanya, mengeluarkan suara dari radio plastik kecil yang terduduk di lengan jendelanya. Ia membiarkan jendelanya terbuka sebelum ia pergi, dan itu menghasilkan genangan kecil di lantai kayunya, di mana air hujan berhasil masuk. Ia tinggal di lantai tiga di sebuah apartemen di daerah Hackney, dan ia selalu membiarkan jendela terbuka untuk waktu yang lama. Ia suka udara, dan suaranya. Ia tidak suka keheningan.

Apartemennya kemungkinan besar sama seperti apartemen berkasur satu lainnya di London. Dapur dan ruang tengah ada di satu ruangan yang sama, di mana sang pemilik menganggapnya sebagai "modern" dan "terbuka", sementara menurut Draco itu adalah cara untuk menjustifikasi ruang sempit itu. Ia banyak menghabiskan waktu di kamar tidurnya, menatap langit-langit, menunggu waktu berlalu.

Ia mengira keluarganya akan membenci rencananya untuk pindah ke London, tapi mereka malah mendukung. Mereka menawarkan Draco satu unit apartemen besar, furniture dengan kualitas bagus, dan satu peri rumah. Ia langsung menyadari bahwa orang tuanya berpikir rencana besar Draco adalah untuk mengulang dari awal; pindah ke kota besar, seakan membalik sebuah daun baru.

Ia pikir mereka bisa mengisinya.

Ia sudah mengambil lebih dari setengah brankas Gringotts-nya dan menukarnya dengan uang muggle. Ia berkunjung ke satu apartemen di koran muggle dan menggunakan mantra Confundus pada pemilik apartemen untuk mengambil uang sewa enam bulan di awal. Ia membeli sebuah kasur tipis dan menggelarnya di lantai, dan memutuskan untuk tidak membeli furniture.

Ia tidak mau mengulang dari awal; ia hanya ingin sendiri. Kesendirian, menurutnya, tidak datang dengan cara kabur dari suatu tempat, tapi dengan tetap hadir di antara ribuan orang yang tidak mempedulikannya. Kesendirian yang sesungguhnya datang ketika kita tidak terlihat.

Ia tidak mau ada sisa dari dunia sihir yang mengikutinya ke sini. Ia tidak mau peri rumah atau warisan keluarga kaya yang tidak ada gunanya. Ia tidak mau orang memandangnya; bisikan-bisikan tentang perilaku buruknya yang terdengar di sepanjang jalan.

Maka ia pindah ke sebuah kota yang padat dan dipenuhi muggle yang tidak akan mengenalinya. Muggle di kota London sangat sederhana, ketus, dan selalu terlihat tergesa-gesa. Ia mulai menemukan perasaan senang dan puas ketika tidak ada pandangan yang berhenti menatapnya seakan ia tidak terlihat; seakan mereka tau bahwa Draco tidak ada hubungannya dengan hidup mereka. Ia adalah seseorang—tapi bukan siapa-siapa bagi mereka. Hanya sebuah tubuh.

Ia menginginkan hidup dengan Isobel Young, tapi ia sudah tidak ada. Jadi ia memilih untuk tidak terlihat sekarang.

Ia membuka kulkasnya dan memandang isinya. Ada sepotong keju yang sudah lama, beberapa telur dan sisa sepotong pizza besar dari tiga malam yang lalu. Rak atasnya kosong.

Rasanya aneh baginya mengatur hidupnya sendiri, tanpa peri rumah yang melakukan pekerjaan rumah yang ia tidak pernah lakukan. Ia sama sekali tidak bisa memasak dan belum mepelajari mantra bersih-bersih yang palin dasar. Ia suka kemandirian, tapi tidak terlalu pandai menjalankannya.

Mengabaikan rasa laparnya, Draco tidak mau meninggalkan aparemennya untuk mencari makan. Maka ia mengisi teko listriknya dengan air dan membuat teh.

Sudah hampir jam lima sore dan matahari mulai terbenam. Ia kembali mengarah ke pintu dan menyalakan lampu. Di mana ia tidak menyukai keheningan, ia membenci kegelapan.

Di kegelapan, ia merasa sangat merindukannya.

Ia merasa kehilangan Belly ke manapun ia melangkah; dari kamarnya ke dapur ke toko di ujung jalan.

Ketika ia meminum teh bersama ibunya atau ke sebuah pub bersama teman-temannya. Perasaan itu mengikutinya.

Tapi di kegelapan, perasaan itu semakin kuat. Ketika semua cahaya hilang, dan dunia menjadi hening—itu saat di mana Belly seakan menghantuinya. Itu di mana Draco menyadari ruang kosong di sebelahnya. Di mana ia selalu menjulurkan tangannya untuk memeluk pinggang gadis itu—sekarang tidak ada apapun. Hanya selimut. Tidak ada tubuh yang lembut dan hangat. Tidak ada nafas yang halus dan stabil.

Ia menyalakan lampunya ketika ia tidur sejak berbulan-bulan yang lalu, ketika ia menyadari semua itu. Beberapa minggu kemudian, ia membeli sebuah radio, yang selalu ia nyalakan. Tidak pernah ia dengarkan—seakan ia peduli dengan apapun yang terjadi di dunia ini—namun itu membantu untuk menghapus kesunyian ini.

Ia tidak lupa bahwa Belly sudah tidak ada, ia tidak akan lupa. Tidak ada saat di mana ia lupa dan langsung ingat akan hal itu. Rasa sakit itu selalu ada bersamany; tidak pernah pergi. Tapi di kegelapan dan kesunyian, semua terasa lebih buruk. Maka, sebisa mungkin, ia tidak mau berada di kesunyian dan kegelapan lagi.

Ia membuang kantong tehnya ke bak cuci piring, kantong itu bergabung dengan tumpukan kantong teh bekas lainnya, dan ia membawa cangkirnya ke kamar. Ia meletakkannya di lantai dan ia berbaring di kasur tipisnya. Seperti malam-malam sebelumnya, dan malam-malam yang akan datang, ia memandangi langit-langit kamarnya, berpikir ketika ia kehilangan Isobel, ia juga kehilangan bagian dari dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro