Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DELAPAN BELAS

Draco tidak bisa duduk tenang. Ia sudah mondar-mandir di apartemennya selama satu jam, kemudian naik turun tangga di gedungnya. Kemudian ia memakai celana pendek dan sepatu olahraganya dan keluar untuk lari - hanya untuk mendapatkan kegiatan yang jelas - karena Isobel masih hidup dan tenaga seakan mengalir di sekujur tubuhnya dan Draco tidak tau harus berbuat apa.

Saat ia kembali ke apartemennya, ia menyadari bahwa ia meninggalkan apartemen dengan kondisi pintu terbuka lebar. Kemudian ia ingat ketika ia hangover dan muntah di bak cuci piring di dapurnya.

Ia tidak bisa istirahat. Ia tidak tau bagaimana bisa ia melihat Belly lagi, tidak tau bagaimana bisa ia duduk selama lebih dari satu jam, mengamatinya - bagaimana sekarang ia bisa bertanya, berbicara dan bertingkah seperti orang normal, karena sekarang ia tidak tau bagaimana cara menghadapi -

Rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata. Pikirannya berputar di satu lingkaran - pasti itu bukan Isobel, cinta matinya yang membuatnya berduka selama satu setengah tahun - karena ia sudah meninggal tapi Draco mulai melihatnya dan ternyata itu benar dia, benar-benar dia, dan dia duduk di depan Draco dengan mata gelapnya, kulit sempurnanya dan bulu mata tebalnya, dan entah Draco sudah gila atau ada kuasa yang lebih tinggi yang mengasihaninya dan memberinya kesempatan kedua. Membawa Isobel kembali, berkata, lebih hati-hati kali ini.

Tapi Draco juga tidak hati-hati, kan? Karena jika ia berhati-hati ia akan ada bersama Isobel, melindunginya. Jika ia hati-hati ia tidak akan membiarkan Isobel keluar dari jarak pandangnya.

Ia mengambil sepatu olahraganya tang terduduk berantakan di dekat dinding, dan memakainya. Kemudian meninggalkan apartemennya - memastikan ia sudah tutup pintu kali ini - dan berlari lagi.

-

Ketika Isobel kembali dari Leaky Cauldron, ia langsung menuju kamar ibunya. Ia membuka pintu dan mengintip. Ibunya menoleh ke arahnya dari tempat tidur, gelap dan suram, dan bertanya, "Darimana kau?"

"Toko," kata Isobel. "Mau kuambilkan apa? Air?"

Maggie mengangguk, dan kembali tiduran dengan nyaman di bantalnya. "Air."

Di dapur, Isobel membuka syal Draco dan mengisi gelas dengan air dari keran. Ia masih bisa merasakan sentuhan Draco di lehernya, di punggung tangannya, dan di bekas luka pada tulang pipinya. Bekas luka itu tidak terlalu terlihat, sebagian dari bekas itu bahkan sudah hilang, dan ia menyadarinya. Rasanya aneh. Ia tidak tau apa yang ia harapkan dari Draco, tapi yang pasti bukan itu.

Isobel sudah menyiapkan diri untuk obrolan yang lebih formal; bertukar informasi, berjabat tangan. Tapi ketika Draco melihatnya di club malam itu - seluruh air mata dan jari-jari yang menggenggam satu sama lain dan alkohol dan hati yang terluka - di situ ia menyadari sehancur apa Draco. Seberantakan apa. Karena dirinya.

Dan - Isobel tau mereka pernah menjalin hubungan. Tapi untuk merasakan tatapan Draco padanya, hampir tidak meninggalkan wajahnya, untuk merasakan tangan yang memeluknya dengan erat. . . Ia tau Draco menyukainya, tapi tidak sebanyak itu. Isobel tau Draco sedih, tapi tidak seperti yang baru saja ia lihat. Isobel tau Draco menderita, pasti. Tapi ia tidak menyangka Draco akan menyamakan perasaannya.

Isobel membasahkan sebuah waslap, menutup keran dan kembali ke kamar ibunya.

Menurunnya kondisi Maggie lebih dari penurunan fisik. Terkadang ketika Isobel ke kamar Maggie, ibunya akan menatapnya dengan mata melotot, seakan ia tidak mengenali anaknya. Seakan ia sedang menunggu seseorang untuk masuk ke kamarnya dan menyerangnya. Beberapa menit kemudian, ia akan berbaring lagi, tertidur pulas.

Terkadang, ia akan memegang pergelangan tangan Isobel, duduk dan berkata dengan suara serak, "Kau tau tentang Malfoy?"

"Tidak terlalu," Isobel selalu berkata, dengan lembut menidurkan kembali ibunya. "Aku tidak terlalu tau."

"Kau tidak akan mendekatinya?"

"Tidak, bu. Aku tidak akan mendekatinya."

Tapi di lain waktu, Maggie akan baik-baik saja. Tenang dan masuk akal. Dan ketika Isobel membuka pintu, dan meletakkan waslap dan air di meja kecil di samping tempat tidur Maggie, ia akan menatap Isobel. "Apa kau mengenakan kalungmu?"

Isobel duduk sila di lantai kayu. "Iya, tentu saja."

"Apa kau pernah melepasnya?"

"Tidak bu. Katamu tidak boleh."

Maggie berbaring menghadap Isobel. "Bagaimana kalau malam? Ketika kau tidur?"

Isobel menghela nafas. "Aku tidak pernah melepasnya."

Maggie mengangguk, senang dengan jawabannya. "Itu masih melindungimu," katanya. "Tidak ada yang bisa menyakitimu selama kau memakainya."

Sebuah pertanyaan muncul di benak Isobel. "Bu, jika aku diserang saat pertarungan itu adalah hal yang membuatmu sakit sekarang. Bagaimana jika aku diserang lagi? Apa itu akan membuatmu lebih sakit?"

"Tidak," kata Maggie. "Tidak akan."

"Yakin?" tanya Isobel. "Karena jika itu membuat ibu lebih sakit, aku akan lepas sekarang."

"Jangan berani-beraninya kau," kata Maggie, rasa takut tergambar di wajahnya. "Itu tidak akan membuatku lebih sakit, percaya lah."

"Darimana aku mendapat kalung ini, sebelum ibu memantrainya?" tanay Isobel. "Apa ada yang memberikannya padaku?"

Maggie menahan tatapannya. Kemudian berkata, "Aku memberikannya padamu."

Isobel tidak berkata apapun. Ia tau itu adalah kebohongan, ia hanya tidak tau kenapa. Seburuk itu untuk mengakui bahwa Draco pernah mencintainya? Pernah berbuat baik padanya? Rasanya lucu, ia merasa lebih baik percaya pada seorang laki-laki yang baru ia temui di club malam, daripada ibunya sendiri. Tapi ibunya berbaring di sana, merasa sakit sebagai konsekuensi dari pengorbanannya untuk anaknya, dan Isobel merasa sulit untuk kesal. Ia berdiri, mencium pipi kurus ibunya, dan meninggalkan kamarnya.

Di kamarnya, ia membuka sweaternya. Ia meletakkan syal Draco di tempat tidurnya, mengambil potongan suratnya yang tersisa di kantongnya, dan memegang liontin kalungnya. Tiga barang itu terasa berbeda sekarang; memiliki arti yang baru, titik terang dari menemui seorang laki-laki yang lebih mengenalnya daripada ia mengenal dirinya sendiri.

Di dindingnya terdapat kaca tanpa bingkai yang bergantung: ia berjalan dengan ragu mendekatinya. Ia melihat dirinya, mencoba melihat apa yang Draco Malfoy lihat. Mata gelap, pipi dengan freckles. . . Draco pernah mencintai wajah ini. Ia tidak tau kenapa itu sulit untuk dipahami.

Bagian dari dirinya merasa konyol untuk bertanya-tanya apakah Draco masih menyukainya, apakah mereka akan nyambung. Ia merasa sedikit malu, mengingat apa yang ia katakan padanya. Aku tidak meragukan apa yang pernah kita miliki, tapi aku tidak mau memaksakan apapun. Hal bodoh untuk dikatakan, untuk pertama kali Draco melihatnya: tidak berguna dan kasar, keluar dari campuran rasa takut dan kebingungan. Tapi itu tidak menggentarkannya. Tidak mengurangi kasih sayang yang ia tunjukkan.

Malam itu, ketika Isobel berbaring di tempat tidurnya dan mengulang obrolan mereka lagi dan lagi, kemudian terdengar suara crack dari depan rumah. Ia membuka tirai dan melihat Draco berdiri di teras, tangannya berada di dalam kantong; melihat ke sekelilingnya. Matanya berbinar saat ia melihat Isobel.

Isobel membuka jendela, merasa diterjang perasaan malu, tidak tau bagaimana cara menyapanya -

"Sialan," kata Draco. Ia mendekat ke jendelanya: mereka berdiri di kedua sisi, menatap satu sama lain. "Kau nyata. Aku tidak bermimpi."

Isobel tersenyum. Lampu redup kamarnya menyinari wajah Draco, menambah nuansa kuning di rambut putihnya.

"Maaf," ia berkata, menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menjauh lebih lama lagi. Enam jam paling lama di hidupku, dan aku mulai bertanya-tanya apakah tadi siang itu benar terjadi, dan aku harus berbicara padamu lagi."

"Tidak apa-apa," kata Isobel. Ia menjaga volume suaranya. "Bagaimana kau menemukanku?"

"Aku mengirim surat pada gadis Weasley itu lagi," katanya. "Aku harus berkomunikasi dengan teman-temanmu terus, kau tidak akan percaya - " ia mengambil jeda. "Aku harap tidak apa-apa aku berada di sini," katanya, sambil tetap menatap Isobel. "Tidak ada yang ingin aku katakan, aku hanya ingin melihatmu."

Ia mengangguk, gugup. "Aku juga ingin melihatmu."

Isobel mendengarnya menghela nafas, nafasnya bergetar.

"Bisa kita bicara di luar?" tanya Isobel, dan Draco mengangguk. "Maaf - tapi, kalau ibuku mendengarmu dia akan menjadi gila -" Ia mencari sendalnya dan memakainya dengan gugup, menyadari pandangan Draco padanya.

Draco mengulurkan tangannya untuk membantunya memanjat jendela. Ia mengambilnya, mengangkat satu kaki ke daun jendelanya dan memanjat, bergantung pada tangan Draco -

Ia melompat ke teras dan melepaskan tangannya. Ia merasa tersipu. Bagaimana satu sentuhan dapat membuatnya merasa seperti itu - ia tidak tau.

Mereka berjalan ke depan, ke pepohonan di depan rumahnya di mana ia yakin ibunya tidak akan mendengar mereka. Jika Maggie menemukan Ginny di kamar Isobel  itu masih masuk akan; menemukan Draco sudah beda cerita. Isobel melirik ke rumahnya; hanya lampu kamarnya yang menyala.

"Sudah berama lama kau di sini?" tanya Draco. "Di rumah ini?"

"Satu setengah tahun," jawab Isobel. Udara terasa dingin: ia menarik lengan sweaternya. "Aku bangun di sini beberapa hari setelah pertarungan. Aku tidak pernah mengucap selamat tinggal pada rumah lamaku. Aku tau itu sepele, tapi. . ." Ia menghela nafas. "Tetap saja." Ia menatapnya. "Apa kau pernah ke rumah lamaku?"

"Sekali dua kali," katanya. "Manor lebih besar, jadi lebih banyak ruang untuk kita bersembunyi dari semua orang."

"Manor?" Isobel mengulang. "Aku pernah ke rumahmu?"

Draco meniup udara yang membuatnya terlihat seperti asap. "Iya," katanya. "Kau lumayan sering ke sana sih," ia melirik ke rumah Isobel. "Kau senang di sini?"

"Tidak," Ia langsung menjawab, dan menambahkan. "Kesepian. Ini rumah yang bagus, tapi aku tidak mengenal siapapun."

"Tidak ada tetangga?"

"Tidak ada yang pernah berbicara denganku lebih dari lima menit."

"Jadi tidak ada cowok muggle yang menarik perhatianmu?" ia bertanya. Sebuah senyuman tergambar di wajahnya - sarkastik dan cukup lancar - tapi matanya tidak menggambarkan candaannya. Mereka tetap memandang Isobel, tegang dan gugup.

Isobel menggeleng. "Tidak ada."

Cara mereka berdiri di tengah jalan seharusnya terlihat canggung, pikir Isobel. Hanya menatap satu sama lain, tidak bergerak, tidak menyentuh. Seharusnya tidak nyaman. Tapi tidak, dan Isobel ingin Draco untuk tetap ada di sini; menatapnya dengan lama. Ia ingin berbicara pada Draco berjam-jam.

"Aku bertemu tetanggamu - "

"Aku tau," kata Draco. "Emily. Aku yakin ia bilang kau -" Ujung bibir Draco mengangkat tersenyum - "Sangat ingin bertemu denganku."

Isobel merasa pipinya merah. "Aku mencoba mengetuk pintumu, satu kali ketika aku mersa berani. Kau tidak ada di rumah, tapi ia mendengarku, jadi aku bicara padanya -"

Draco mengangkat alisnya. "Aku dengar Daphne yang bicara padanya."

"Yah," kata Isobel. "Aku tidak bisa membiarkan tetanggamu bilang seorang Isobel mencarimu."

"Iya," katanya setuju. "Aku mungkin tidak akan menerima itu dengan baik. Bagaimana kau menemukan apartemenku?"

Isobel merasa jantungnya copot. "Oh," katanya. "Yah, aku membuntutimu."

Draco tersenyum kecil. "Ulang?"

"Aku membuntutimu sekali ke apartemenmu," katanya. Ia merasa detak jantungnya semakin cepat. "Ada ujung jalan, dan aku bisa melihat apartemenmu dari situ. Maaf - pasti terdengar sangat buruk. Tapi aku tidak mengenalmu. Yang aku tau hanya sejarah keluargamu dan aku pernah punya hubungan denganmu - dan aku sangat takut untuk menemuimu, karena kau tidak tau apapun tentangmu - jadi aku, mengamatimu untuk beberapa saat -"

"Kau mengamatiku," ia berkata, senyumnya makin lebar, "dari jendelaku?"

"Maaf," Isobel berkata dengan gugup. "Aku mengerti seaneh apa itu. Tapi aku tidak pernah berbicara pada orang lain selama setahun selain ibuku, dan tidak ada yang tau aku masih hidup - dan aku bingung saat mengetahui kita pernah punya hubungan - dan aku tidak mempercayaimu. Aku mau belajar untuk mempercayaimu, setidaknya sedikit sebelum aku berbicara padamu." Isobel tidak yakin bagaimana cara menjeaskannya. Bagaimana menjelaskan rasa takut yang ibunya tanamkan padanya tentang orang lain; membuatnya yakin bahwa orang-orang di dunia ini adalah musuhnya.

Senyum Draco memudar, mendengarnya bicara. "Tapi kau percaya padaku sekarang?"

Ia mengangguk, "Ibuku akan sangat marah jika ia tau -" Isobel memberinya senyuman kecil - "tapi iya, aku percaya padamu."

Isobel melihat Draco lebih santai; bahunya tidak tegang lagi. "Aku harap semuanya hal baik," katanya. "Yang kau lihat."

"Hanya kegiatan minum teh yang sangat sering," kata Isobel. "Terlalu sering sebenarnya."

Draco menyisir rambut dengan tangannya. "Iya."

"Dan," Isobel berkata dengan hati-hati. "Beberapa pengunjung."

Wajah Draco turun. "Pengunjung?"

"Aku melihat dia sekali," kata Isobel. "Astoria. Aku dengar tentang pernikahan kalian." Isobel menarik nafas. "Aku rasa kemunculanku yang tiba-tiba tidak baik untuk itu."

Draco menggelengkan kepalanya. "Lupakan itu," ia berkata, terlihat panik. "Aku tidak akan menikahinya, tidak ada yang bisa memaksaku. Aku akan memberitau orang tuaku kau masih hidup, mereka akan mengerti."

Isobel menatapnya. "Menurutku jangan, Draco," katanya dengan pelan. "Aku sudah bertemu ayahmu sekali, di dekat apartemenmu. Ia tidak senang melihatku."

Matanya terbuka lebar. "Apa yang ia katakan?"

"Ia hanya menyuruhku menjauh," katanya. "Tidak apa-apa, benar -"

Draco terlihat marah. "Dia tau? Dia tau kau masih hidup?"

"Sejak ia melihatku," kata Isobel. "Itu baru beberapa minggu yang lalu."

"Beberapa minggu," kata Draco kesal. Ia memasukkan tangannya kembali ke kantongnya dan melirik ke teras. "Aku sudah bertemu dengannya sejak itu."

"Aku rasa lebih baik," kata Isobel, "jika kau tidak memberitaunya untuk beberapa lama, bahwa kau tau aku di sini."

"Kenapa tidak?" ia bertanya. "Aku tidak peduli apa yang ia pikirkan."

Isobel menatap Draco. "Apa kau mempercayai ayahmu, Draco?"

Ia menggeleng. "Tidak. Dan kau benar. Kita akan menahan ini." Isobel mengangguk, Draco melanjutkan; "Menurutmu. . ." Ia mengambil jeda, terlihat muram. Ia memainkan sepatunya di tanah. "Menurutku ayahku mungkin ada ikut campurnya dengan ingatanmu yang hilang."

"Menurutku tidak," kata Isobel. "Ia terlihat terkejut melihatku hidup, Draco. Ia tidak tau aku masih hidup selama ini. Aku yakin ia mau kau menikahi Astoria karena itu akan mengembalikan reputasi keluargamu. Maksudku - jagan tersinggung -"

"Aku sama sekali tidak peduli tentang reputasi keluargaku," ia berkata dengan datar. "Tapi kau benar, itu kenapa mereka mau aku menikahinya. Aku tidak mencintainya, asal kau tau," ia berkata, menatap Isobel lagi. "Dan yang pasti aku tidak ada keinginan untuk menikahinya."

Isobel melangkah lebih dekat pada Draco, menggigil dan memeluk dirinya sendiri, pandangannya tertuju hanya pada Draco. Ia terkesima dengan betapa cepatnya semua ini terjadi, seberapa cepat Draco menerima bahwa ia masih hidup dan berada di sin sekarang, menawarkan segalanya - seberapa cepat ia melembut padanya -

Lalu, samar-samar dari dalam rumah terdengar suara ibunya. "Isobel?"

Jika salah satu dari mereka melihat ke langit, mereka akan melihat langit berwarna biru tua, bertaburan bintang yang terlihat kecil. Tapi mata mereka tertuju pada satu sama lain-

"Isobel," suara Maggie terdengar lagi.

"Kau harus pergi," kata Isobel, ke Draco. "Tapi aku sungguh berpikir kita sebaiknya tidak memberitau orang tua dulu. Aku tidak tau apa yang akan terjadi."

Draco mengangguk. "Oke. Kita akan menunggu."

Isobel memberinya senyuman. "Terima kasih sudah datang ke sini."

Draco mengangkat tangan ke siku Isobel; mengelusnya. "Kapan aku bisa menemuimu lagi?"

Isobel menghela nafas dari mulutnya; terlihat embun di udara antara mereka. "Apa besok terlalu cepat?" ia bertanya. "Besok malam?"

Draco mengangguk lagi. "Besok boleh."

Isobel menghela nafas, membuat embun lagi. "Baiklah."

"Baiklah." Draco mengulang. "Aku pergi sekarang."

Tapi untuk beberapa saat Draco menatapnya, dan Isobel menatapnya kembali; mengamati mata abu-abunya berharap ia tidak perlu pergi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro