Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(2)

Sore yang cerah diiringi teriakan-teriakan lucu anak-anak, membuatku terbangun dari tidur siang kali ini. Semilir angin yang masuk melalui jendela kamarku membuatku enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Kulihat jam dinding di kamarku sudah lewat waktu Asar, amat disayangkan kalau aku melewati sore hanya berdiam diri di kamar. Aku baru teringat Mama, kurasa dia sudah pulang ketika aku terlelap. Namun tak henti-hentinya isi catatan dari mendiang Ayah melayang-layang di dalam otakku. Wajar kalau masih teringat olehku. Toh, belum lama tadi aku membacanya.

Beranjak dari tempat tidur lalu kulangkahkan kaki untuk keluar kamar, dari ambang pintu kamar kulihat Lita bersama teman-temannya sedang bermain. Muka mereka sungguh sangat menggemaskan, ingin rasanya aku ikut bergabung bermain dengan mereka yang sarat akan kepolosan dan kejujuran. Tetapi tidak mungkin aku merusak citraku sendiri sebagai seorang pria remaja yang akan beranjak dewasa.

"Lita, Mama di mana?" tanyaku setelah berlaku jahil mencubit pelan pipinya.

"Abang!" setengah kesal Lita melanjutkan ucapannya, "cari pakai mata, bukan pakai mulut!"

Puh, aku hanya bisa tertawa kecil. Adikku sudah pandai menjawab sekarang. Aku rasa ini karena dia sering mendengar kata-kata yang sering dilontarkan Mama ketika aku hendak mencari sesuatu, tapi tak sedikitpun aku bergerak untuk menemukan yang aku cari. Lita ini cepat sekali menangkap ucapan-ucapan yang ia dengar sehari-hari.

Namun, bukan Damar namanya kalau tak paham keseharian Mamanya. Aku segera keluar rumah mencari. Jika tak ada kerjaan tambahan entah itu menjahit ataupun membuat kue, Mama banyak menghabiskan waktu di halaman rumah ketika cuaca sedang cerah. Benar perkiraanku, kulihat dari balik jendela kaca dia sedang mencabuti rumput-rumput yang sekiranya menganggu pandangannya. Dia adalah orang yang punya perhatian khusus terhadap kebersihan di rumah.

Langit yang terlihat hanya sesekali menunjukkan kumpulan awan putih yang bergerak. Aku sudah keluar rumah untuk mendekat dan mencoba membantu Mama, lagi pula itu lumayan untuk mencari keringat sore hari, tentu akan sangat menyenangkan. Tak perlu waktu lama, aku sudah jongkok di dekat Mama untuk mencabut rumput liar yang mulai tumbuh di halaman.

"Mama tadi pulang jam berapa?" ujarku, bertanya.

"Kamu tadi tidur nyenyak sekali," sambil memberikan senyum, "Mama pulang jam dua."

Pertanyaanku tadi hanya membuka suasana saja, agar kegiatan bersih halaman jadi lebih terasa manfaatnya.

"Semua urusan di sekolahmu sudah beres, kan?" Mama balik bertanya.

"Sudah, Ma ... tinggal nunggu waktu pengambilan ijasahnya."

"Kamu harus tetap menempuh pendidikan, jangan putus di tengah jalan," sambung Mama lagi, "jadi akan ke mana kamu melanjutkan sekolah, Nak?"

"Em, aku belum memutuskan, Ma," jawabku, lirih.

"Apa aku ini tetap bisa bersekolah?" giliran aku yang balik bertanya.

"Hehe ...," Mama mendekat, "untuk sekolah anak itu tanggung jawab orang tua, Sayang. Kamu tak perlu risau, kewajibanmu adalah menuntut ilmu. Rejeki itu sudah Tuhan yang atur, Nak."

"Tapi, Ma-"

Belum selesai aku berbicara, Mama justru memotong, "Sudah ... sudah. Kamu ambil sapu lidi sama pengki, lalu bawa kesini. Biar Mama yang membersihkan halaman, sebaiknya kamu suruh adikmu mandi, lalu antar dia pergi mengaji."

Lalu aku berdiri, sedikit berlari kuturuti permintaan Mama. Kuambil sapu dan pengki yang diletakkan di sudut belakang rumah. Sebentar saja aku sudah kembali di hadapan Mama untuk memberikan alat kebersihan yang tadi diminta olehnya. Selepas itu aku masuk ke dalam rumah untuk menyuruh Lita mandi.

Di dalam rumah, Lita masih asyik bermain dengan teman-temannya. Aku menyuruh Lita untuk mandi, kemudian aku meminta teman-teman Lita untuk pulang ke rumah, dan mengingatkan untuk pergi mengaji. Mereka menuruti yang kumau, lalu sekumpulan anak-anak tersebut membubarkan diri untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Begitu juga dengan Lita, dia sadar bahwa dia harus mengaji. Namun aku berani taruhan, Lita pergi mengaji pasti agar bisa bertemu dan bermain lagi dengan teman-temannya.

Bermain memang adalah hal yang tak akan bisa lepas dari masa kecil. Meskipun Lita belum bersungguh-sungguh mengaji, setidaknya dia mulai mengenal huruf-huruf hijaiyah. Aku tak akan pernah memaksa dia untuk hafal Al-Quran, di dalam mengaji tentunya juga diajarkan mengenai akhlak. Itulah yang aku harapkan, kelak suatu saat nanti akhlaknya terbangun dengan baik. Mengingat Mama sudah tidak bisa seratus persen memantau dan mengawasi tumbuh kembang anak bungsunya.

Lita yang sudah selesai mandi dan berpakaia, memintaku untuk memakaikan jilbab. Untung saja jilbab yang dibelikan Mama untuk Lita tidak ribet buatku. Karena, hanya tinggal memakaikan langsung tanpa perlu keahlian seni melipat. Mama juga tentu telah memikirkan yang terbaik untuk anaknya. Lita sudah selesai berdandan, lalu kami berpamitan kepada Mama. Aku mengantarkan Lita mengaji. Sebab, masjid tempat anak-anak mengaji harus menyeberangi jalan raya.

Setibanya kami di tempat Lita mengaji, aku menasihati adikku untuk mengaji dengan sungguh-sungguh. Aku meminta Lita selepas mengaji nanti untuk pulang bersama teman-temannya.

"Ustadzah, saya titip adik saya Lita. Agar pulang nanti dibantu menyeberang jalan," pintaku.

"Iya, Mas Damar. Insya Allah. Saya bertanggung jawab sama anak-anak."

Tenang rasanya mendengar ucapan tersebut, lantas aku berpamitan, "Mari, Ustadzah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ... hati-hati, Mas."

Aku membalas dengan anggukan kepala sambil berlalu meninggalkan masjid. Ketika aku menyusuri jalan, aku melihat Nyai Dasimah mengendarai motor. Betapa menyebalkan wajah sombongnya, nampak sekali seolah-olah dia pemilik dunia ini. Aku lantas teringat kejadian tadi siang ketika Nyai Dasimah menghardik Mama, tetapi sekilas aku teringat juga berita tadi siang tentang pembunuhan rentenir. Namun aku tak ingin berbuat jahat sekalipun selama aku hidup. Kupercepat saja langkahku pulang ke rumah, lebih baik aku membersihkan jasmani di kamar mandi, berharap percikan-percikan pemikiran picik hilang bersama bakteri oleh air yang mengalir di sekujur tubuhku.

♡♡♡

Ba'da Isya aku berkumpul di meja makan bersama Mama dan Lita, kami menyantap makan malam bersama. Walau hanya dengan sayur singkong yang dihangatkan, makan malam yang sangat istimewa menurutku. Sebab, makan bersama serasa lebih nikmat dibanding apapun itu, terlebih ada ikan asin sebagai pelengkap makan malam kali ini. Akan tetapi, aku iba melihat Lita yang hanya menyantap makanan kurang cukup gizi. Harusnya anak seumuran dia mendapat asupan gizi yang seimbang demi kecerdasan dan perkembangan yang baik. Andai saja pemerintah membuat program cukup gizi, aku yakin anak-anak di negeri ini akan menjadi anak yang cerdas. Jika aku sudah bisa menghasilkan uang, akan kupenuhi gizi Lita. Cukup aku saja yang kurang asupan gizi.

Sambil menunggu Mama yang sedang menyuapi Lita, aku menaruh piring ke tempat cucian. Aku mengambil air minum lalu kembali duduk di dekat Mama. Lita sungguh sangat menggemaskan, ada saja kelakuannya meskipun sedang makan. Aku sama sekali tak akan iri meski secara kasat mata perhatian Mama jauh lebih banyak untuk Lita. Aku juga pernah merasakan seperti dia, tak ada gunanya kalau aku iri hanya dengan perbedaan perlakuan. Karena aku yakin, dalam hati seorang Ibu perasaannya terhadap anak semua sama, penuh cinta dan kasih sayang.

Makan malam kali ini selesai, seperti biasa, aku yang mencuci semua peralatan makan yang kotor. Mama membersihkan meja makan sambil merapikan taplak meja makan. Saat sedang mencuci aku mendengar ketukan dari pintu ruang tamu.

"Iya ... sebentar ...." ujar Mama sedikit berteriak setelah mendengar ketukan pintu.

Kalau malam seperti ini ada yang bertamu, aku yakin paling orang-orang yang kenal baik saja dengan Mama atau mendiang Ayah. Mama setengah berlari ke ruang depan untuk membukakan pintu dan menyambut tamunya. Aku selesaikan pekerjaanku, kemudian berjaga-jaga jika sewaktu-waktu diminta membuatkan air minum untuk tamu.

"Damar ... buatkan teh manis, Nak."

Suara Mama terdengar jelas di telingaku. Segera kubuat suguhan segelas teh manis, dan aku ingat kalau di dalam lemari masih ada makanan ringan yang bisa disajikan untuk tamu. Tak lama berselang, setoples biskuit dan segelas teh manis sudah berada di atas nampan yang siap disajikan.

Perlahan kubawa nampan ke ruang depan. Sesampainya di ruang tamu, aku cukup terkejut dengan kedatangan tamu Mama kali ini. Ya, dia guru olahragaku di SMP Wangon, Bapak Guru Yezkiel Ibrahim. Aku cukup terkejut, sudah sebulan lebih dia tak bertamu. Guru Yezkiel biasa bertamu ke rumah sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Mama sangat mengenal baik beliau begitu pula sebaliknya. Aku teringat Mama pernah bercerita, sebelum menjadi guru, Guru Yezkiel terbiasa menghabiskan hari-harinya bersama mendiang Ayah ketika masih hidup.

Guru Yezkiel cukup banyak berjasa untukku, tanpa dukungannya mana mungkin aku bisa diterima di sekolah favorit kecamatan Klangenan. Dia banyak membantu ketika aku kesulitan memahami materi pelajaran untuk mendapatkan nilai yang baik sebagai syarat siswa baru di kala itu. Tak hanya di situ, terkadang beliau memberikanku uang untuk tambahan jajan.

"Jadi, bagaimana keputusanmu? Sebaiknya kamu memilih sekolah favorit. Aku menyarankan kau bersekolah di Kota Satria." ujar Guru Yezkiel membuka obrolan.

Aku hanya menatap mata Mama, aku masih bingung.

"Tuntutlah ilmu walau hingga ke Negeri Cina," Ibuku memberi dukungan."

Aku berpaling menatap Guru Yezkiel, "Tapi, Pak. Apa saya bisa sekolah di sana?"

"Bukan bisa atau tidak bisa, yang penting mau atau tidak mau," sambung Guru Yezkiel, "aku rasa nilaimu cukup untuk bisa diterima sebagai murid."

"Saya belum sepenuhnya yakin, Pak"

"Nah, sebaiknya kamu berunding dulu dengan Ibumu. Namun, aku berharap saranku tadi bisa menjadi bahan pertimbangan." tandas Guru Yezkiel.

"Mama, Pak Guru ... Damar permisi pamit ke belakang hendak menaruh nampan."

Mama mengusap lembut kepalaku, dan anggukan sopan Guru Yezkiel mengantarkanku kembali ke dapur. Badanku di dapur, tapi rasanya pikiranku sudah berada di Kota Satria. Kehidupan perkotaan sedikit banyak tergambar: ramai kendaraan berlalu lalang, bisingnya suara mesin, pergaulan bebas. Aku khawatir keadaan tersebut justru membuat fokus belajar dan prestasiku semakin menurun. Prestasiku tergolong sedang-sedang saja, tapi banyaknya penghargaan yang kudapat dari mulai lomba menulis puisi hingga membuat cerpen, aku mendapatkan perhatian khusus di sekolahku dulu.

Mama tengah berbincang dengan Guru Yezkiel, di sisi lain aku berdiskusi dengan diriku sendiri. Melihat wajah polos adikku yang sedang menonton televisi membuatku termenung, tak kuasa rasanya meninggalkan dia hanya dengan Mama. Sayangku terhadap dua wanita beda generasi tersebut tak akan pernah luntur sedikit pun. Ingin mengajaknya bergurau sejenak, tapi aku masih berpikir untuk mengambil keputusan yang tadi ditanyakan padaku.

Lamunanku membuyar ketika Mama memanggilku, "Damar ... ke sini sebentar. Pak Yezkiel mau pamit pulang."

Sebentar saja aku sudah berada bersama Mama dan Guru Yezkiel. Nampak sekali bahwa Guru Yezkiel sudah berdiri dengan tas yang dijinjingnya, Guru Yezkiel pun berpamitan pulang. Setelah berjabat tangan dengan Mama, lalu giliranku berjabat tangan sebagaimana murid menghormati gurunya.

Guru Yezkiel menyampaikan pesan terakhir di ujung perjumpaan, "Jika keputusanmu sudah bulat, segera hubungi aku."

Aku mengiyakan pesannya dengan menganggukkan kepala. Setelah mengucapkan salam, Guru Yezkiel beranjak dari ruang tamu. Beliau sudah dijemput oleh wanita dengan motor tak bergigi. Guru Yezkiel sepertinya dijemput oleh calon istrinya yang aktif sebagai pelatih tari tradisional di kampung sebelah. Tak lama berselang, batang hidung Guru Yezkiel sudah tidak kelihatan.

Aku tak ingin menutup malam ini terlalu cepat, ingin kusambung pembicaraanku tadi sore dengan Mama saat membersihkan halaman. Aku tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan menentukan perkara yang sedang aku alami.

"Damar tak tega melihat Mama, sebaiknya Damar kerja. Damar ingin meringankan beban Mama." ujarku yang langsung membuka obrolan kepada inti permasalahan.

Mama nampak sedikit terkejut mendengar pernyataanku. Akan tetapi ketenangannya dalam membimbing dan mendidik anak membuat Mama mampu menyampaikan keinginannya dengan lembut demi masa depan anaknya.

Sedikit sunggingan senyuman di awal, lalu Mama berujar. "Kamu ini lulusan SMP, kamu belum cukup memiliki keahlian. Mama sudah sampaikan tadi sore, kamu tentu masih ingat. Ini sudah menjadi tanggung jawab seorang Ibu yang menjadi kepala keluarga. Mama tak berani jamin dengan latar belakang pendidikanmu, kamu akan merubah kehidupan keluarga ini. Bukan tidak mungkin kamu nantinya dibodoh-bodohi oleh orang lain."

Aku terdiam, lalu Mama melanjutkan pembicaraannya. "Soal biaya sekolah, Mama bisa memohon surat kepada Kepala Desa untuk membantu keringanan. Jika pandai, tentu sekolah akan sangat berkenan memberikanmu beasiswa. Mamamu ini hanya lulusan SD, Ayahmu SMP. Harusnya kamu lebih tinggi pendidikannya, lebih pandai dari Mama. Keluarga ini nantinya tentu akan menjadi tanggung jawabmu, jika Mama sudah tak sanggup lagi dengan pekerjaan-pekerjaan yang Mama kerjakan. Dan tak lupa, nama baik keluargamu ini perlu kamu jaga baik-baik bersama adikmu. Kamu harus melanjutkan pendidikan, itu juga pesan Ayahmu semasa hidup."

"Jika aku bersekolah di dekat sini saja, bagaimana?" tanyaku, memohon.

"Begini, Sayang ... tadi Pak Yezkiel sudah menyampaikan ke Mama perihal pendidikan yang terbaik untukmu. Dia justru yang sangat bersemangat untuk membantumu bersekolah di Kota. Jangan kamu berpusing hanya memikirkan Mama dan Lita, alangkah baik, jika kamu bisa dengan segera menghubunginya. Tak usah khawatir, Mama pasti baik-baik saja."

Aku hanya menundukkan kepala, tak tahu harus berujar apa. Meski dalam kepalaku banyak sekali yang kupikirkan.

"Ah, Mama lupa. Jarak tempuh perjalanan Kota ke sini tidak lama, hanya dua jam. Kamu tetap bisa sebulan sekali pulang untuk melihat Mama, bukan? Tenang, Pak Yezkiel akan membantumu mencarikan kos." ujar Mama, menyambung.

"Tap- tapi, apa aku bisa sehari saja tak melihat Mama dan Lita?" tanyaku ragu.

"Kamu takkan pernah tahu bisa atau tidak jika kamu belum mencobanya," sejenak mengatur napas, lalu Mama berkata kembali, "sudah, sebaiknya kamu bawa gelas ke dapur lalu cuci. Mama hendak menidurkan Lita, Mama juga sudah mulai mengantuk."

Mamaku berlalu mengajak Lita yang sedari tadi asyik menonton acara televisi untuk masuk ke kamar. Masih belum sepenuhnya aku utuh, membuatku enggan beranjak dari kursi busa di ruang tamu, tapi dorongan perintah Mama mencuci gelas lebih kuat melawan rasa sungkanku. Sejenak saja aku beringsut, gelas sudah berada di tanganku. Kemudian kubawa gelas tersebut untuk dicuci. Mama tak lupa mengingatkanku untuk mematikan lampu dapur setelah mencuci gelas.

Sakelar lampu dapur kutekan setelah selesai mencuci piring. Aku bergegas masuk ke kamar untuk merebahkan tubuhku yang mulai dilanda kelelahan. Setelah berbaring di atas kasur, tubuhku yang menemukan nikmat istirahat berbanding terbalik dengan otakku yang masih berpikir keras menentukan nasibku yang akan datang. Hal itu membuatku tak bisa tidur, selain itu bayang-bayang rentenir terus melayang-layang dipikiranku, namun hal yang sangat membuatku sulit tidur yaitu catatan dari mendiang Ayah untuk Mama yang jauh lebih kuat terpatri di benakku.

Kuputuskan saja untuk menulis di buku sekolahku yang menyisakan lembaran kosong. Kutulis apa yang menjadi pikiranku saat ini. Aku teringat pesan lama untuk menulis apa yang sedang dipikirkan, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis. Tak terasa jari jemariku bergerak, pena meluncur deras hingga akhirnya tepat tengah malam selesai sudah puisi kubuat. Setelah selesai menulis, aku seperti mendapat pencerahan. Bersekolah di Kota adalah suatu pilihan yang tepat. Aku bisa belajar menulis lebih baik lagi, dan aku yakin Tuhan akan membalas dengan kebaikan meski aku melawan sebuah kebaikan pula. Selang beberapa saat, aku mulai mengantuk. Pedih mulai menyerang mataku dan sesekali aku menguap, sebaiknya aku segera memejamkan mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro