Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32

Ini double update! Jangan lupa vote bab sebelumnya juga 😋

•°•°•

MINTA maaf? Efendi Candra Diwangsa?

Otak Paras masih berusaha mencerna ketika kemudian Rosa turut menambahi suaminya dengan, "tentang Mas Prabu, tentang yang Paras dengar di kamar Mas Prabu, Pakde dan Bude minta maaf." Setelah menutup dengan senyum, Rosa menurunkan mata.

Lidah Paras kaku menyaksikan budenya menyeka sudut mata yang berair.

"Nggak sepantasnya Pakde sama Bude menghakimi Paras seperti itu," lagi, Efendi menambahkan. "Pakde sama Bude cuma mikir masa depan Mas Prabu, tapi mengabaikan perasaan Paras. Pakde sama Bude salah. Maaf, ya, Nduk."

Paras masih bergeming.

Sejujurnya, dia masih bingung. Paras sangat bingung. Tapi hatinya ngilu sendiri melihat Efendi tersenyum memohon dan Rosa tertunduk menghapus air mata di depannya. Jadi, dia tertawa samar untuk mencairkan ketegangan.

"Inggih, Pakde, Bude, sudah ndak papa." Tawanya sangat rikuh, matanya mencari sesuatu untuk pelarian lalu dia menemukan map berkas dan menepuknya dua kali. "Hari ini Paras ngurus SKCK sama SKBN untuk registrasi."

Efendi memiringkan kepala, masih tersenyum.

"SKCK sama SKBN ini bukti kalau Paras ndak pernah punya catatan kriminal. Paras juga ndak pakai narkoba. Ini perlu karena kitchen utensils bisa jadi berbahaya di tangan orang yang salah. UCA ndak mau ambil risiko dengan menerima calon murid yang dulunya kriminalis atau mantan pengguna narkoba."

Rosa menengadah. Matanya dan hidungnya masih merah meski sudah berhenti berair.

"Pakde dan Bude juga sama. Pakde dan Bude ndak mau ambil risiko... apalagi tentang pernikahan buat Mas Prabu." Kali ini, ganti Paras yang tertunduk. "Paras punya catatan hitam tentang pernikahan. Risiko nikah sama Paras lebih tinggi daripada yang catatan nikahnya masih bersih. Yang Pakde sama Bude lakukan wajar, semua demi Mas Prabu. Bukan Paras yang tepat untuk Mas Prabu."

Sesak. Paras sesak.

Pelupuk matanya memanas dan dia harus memejam untuk menahan diri. Menjeda sejenak, meluruskan emosi, sebelum kembali menegakkan diri dan tersenyum cerah.

"Bukan Paras yang tepat untuk Mas Prabu, tapi masih ada yang lain yang mau nerima Paras." Dia menepuk map berkas kembali. "Ini, yang mau nerima Paras. Makasih, Bude, Pakde, karena peduli sama perasaan Paras. Paras sudah maafin, kok."

Efendi bergeming. Kata-kata sederhana Paras memberi kehangatan di dadanya.

Siang ini dia tahu, dia kehilangan satu perempuan berhati bersih yang seharusnya bisa dijadikan menantu. Tetapi hati bersih saja bukan sesuatu yang mengesankan Efendi. Biasa. Perempuan baik hati itu biasa. Ada jutaan perempuan berhati lebih putih dan bahkan bernilai tambah di aspek lain jika dibandingkan Paras. Prabu hanya perlu membuka hati untuk salah satu dari mereka dan Efendi bisa bernapas lega.

Atau, setidaknya sekarang dia bisa bernapas lega setelah meminta maaf pada keponakannya.

Dia tersenyum. "Tetap jadi anak baik. Semoga sukses, Nduk."

•°•°•

Purnomo selalu merasa jika dibanding Juwita yang lurus, Paras itu sedikit nyeleneh. Ralat, lumayan nyeleneh.

Anak itu cerdas: dia, nyaris sendirian, mengumpulkan alat bukti sah yang dapat meruntuhkan sebuah firma hukum. Tapi dia juga bodoh memilih jurusan kuliah.

Anak itu perkasa: dia mampu menunjukkan taring ancaman di bawah intimidasi keluarga toxic Tanudiraja. Tapi dia juga penakut yang beberapa kali masih menangisi Prabu.

Anak itu ibu yang penuh kasih: dia membuang harga diri dan mengemis di kaki Purnomo agar Taksa tetap mendapat tempat tinggal layak. Tapi dia juga ibu cuek yang mengutik ponsel seharian sementara anaknya dibiarkan main sendiri.

Purnomo mencoba tersenyum melihat kelakuan Paras malam ini, duduk bersama putrinya itu di sofa ruang keluarga.

"Ngapain toh, Ras, dari tadi hape thok sing dicekel (yang dipegang). Mbok ya anaknya diajak main."

Paras melirik Taksa sekilas. "Kan udah tadi sore masak sama Paras, Pak. Biarin sekarang main sama Mbak Wiwit. Paras belajar video editing. Seru, Pak."

Raut Purnomo mengeras. Jantungnya berdebam.

"Video... yang itu?"

"Yang itu?" Mata Paras beralih dari ponsel. Mengerti maksud sang ayah, dia tersenyum merapat di lengan Purnomo. "Bukan, Pak. 'Kan dari kemarin Paras masak bareng Taksa sambil rekam. Terus rekamannya ini didandani gitu, lho, Pak."

Alis Purnomo berkerut skeptis. Terutama ketika Paras memainkan potongan pada timeline editor yang menampilkan Taksa makan dengan lahap, diberi efek suara applause, cheering, dan taburan konfeti.

"Kan jadi lebih lucu, Pak?" Paras mengerjap bersemangat.

Kalau itu memang lucu, Purnomo tidak mungkin menekuk bibir.

"Kamu ini mau sekolah kuliner apa sinematografi? Belum masuk kelas sudah selingkuh sama bidang lain."

Juwita berhenti menyusun mega blocks lantas menoleh. "Itu bukan sinematografi, Pak. Paras itu bikin konten. Bapak ngerti Atta Halilintar? Ya kayak gitu, tapi yang ini Paras Kesemutan."

Gigi-gigi Paras menggertak. Enak saja kesemutan.

"Nggak gitu juga, Mbak. Buat lucu-lucuan igstory aja ini. Taksa 'kan lucu, lebih gemes buat dipamerin daripada mukaku," kilahnya. "Paras setia sama kuliner, kok, Pak. Ndak selingkuh sama bidang lain. Bener deh."

"Ya sudah." Purnomo mendengkus. "Gimana tadi SKCK sama SKBN? Sini Bapak lihat."

Tanpa pikir panjang Paras berlari ke kamar, mengambil map, menyerahkan pada Purnomo dengan percaya diri.

Purnomo membuka dan mengambil berkas-berkas di dalam, matanya bergerak memindai satu-persatu, namun kemudian kedua alisnya bertaut. Dia mengacungkan lembaran dari dalam amplop SKBN tepat di depan hidung Paras.

"Siapa ini Bambang Kuncoro?"

"Hah?" Paras mengambil kertas itu. Kemudian mendelik horor. "HAH?!!"

"Hah hoh hah hoh ae! Sing genah, Nduk!"

Paras menyambar amplop pembungkus SKBN yang sialnya memang hanya berisi kop dan nomor surat. Keterangan berisi identitas ada di dalam amplop sebagai bagian surat. Otak Paras mendadak kosong hingga dia hanya bisa menganga.

"Mana? Mana??" Juwita merebut surat di tangan Paras, lantas meledakkan tawa keras. "Bahahahaa pinteeer kamu, pinter! Makanya sebelum pergi cek dulu isinya Parasayu apa Bambang?! Langsung angkut sembarangan kasian itu Bambang nyariin suratnya. Kasian!"

"Argh! Mbak!" Paras meremas kepala frustrasi. "Iya, iya! Iya besok aku ke sana lagi! Kok Bambang doang yang kasian, sih? Aku juga bingung terus suratku mana ini?!" omelnya, sambil merampas surat tersebut dan melipat kembali ke dalam amplop.

"Ya di rumah sakit atau katut (ikut) dibawa Bambang, Nduk," cibir Purnomo malas. "Ndang besok pagi langsung ke rumah sakit. Bahaya lek suratmu hilang disalah gunakan orang."

Ingin sekali rasanya Paras memaki si Bambang-Bambang ini, tapi dia sadar bahwa dia juga punya andil dalam insiden surat tertukar ini. Akhirnya dia hanya melangkah lunglai ke kamar dan mengembalikan map suratnya di atas meja.

Namun baru saja dia keluar kembali, ketukan tiga kali terdengar dari pintu depan.

Entah siapa yang bertamu pukul setengah sepuluh malam begini, tetapi tetap saja Paras membuka pintu tanpa curiga sama sekali bahwa ternyata orang itu adalah abang sepupu yang dia rindu, di hatinya masih nomor satu.

•°•°•

Hampir lima menit keduanya duduk di anak tangga teras memandangi jalan gang yang kosong, tanpa satupun membuka percakapan. Baik Paras maupun Prabu tahu jika salah satu berinisiatif memulai, cepat atau lambat pasti akan berakhir. Diam saja, jangan bicara, dan keduanya dapat terus bersama. Dalam diam juga, keduanya sedang menguras luapan rindu setelah dua bulan tidak bertemu.

Tetapi keduanya harus kembali pada realita. Paras lah yang pertama menyadari ketika teringat percakapan siang tadi dengan Efendi dan Rosa.

Dia tidak cukup baik untuk Prabu.

Matanya masih mengawang pada langit malam saat bertanya pelan, "ada apa ke sini, Mas?"

Prabu memandangi lekat profil samping yang cantik di sisinya. "Ada kamu." Dan bertambah cantik di mata Prabu karena perempuan itu hanya mengerling sekilas.

"Udahlah, Mas. Nggak usah bucin-bucin banget, aku benci. Aku benci sama Mas--"

Kalimat Paras terputus saat Prabu menepuk bibirnya dengan selembar amplop putih.

"Udahlah, Ras. Sesama bucin dilarang denial. Kalo kamu benci aku ngapain kita diem-dieman kayak tadi? Kenapa kamu nggak usir aku? Malah nemenin duduk di sini. Kangen bilang, Bos."

Emosi, Paras merampas amplop tersebut.

"Bas bos bas bos lambemu, Mas. Bilang kek daritadi mau nganterin ini! Ya sudah makasih. Pulang sana!"

"Surat yang ketuker sama kamu mana?"

Paras menepuk dahi. Benar juga. Dia segera berlari masuk rumah dan keluar lagi bersama surat Bambang yang langsung diserahkan pada Prabu.

Prabu menerima dan menukarnya dengan sebuah box kecil merah hati yang dia letakkan di telapak Paras.

"Apa ini?"

"Hadiah kelulusan." Prabu menahan tangan Paras yang bermaksud mengurai pita putih pengikat box tersebut. "Nanti buka di dalam."

Paras melenguh. "Aku baru mau sekolah, Mas..."

"Lulus masuk sekolah, maksudku." Prabu tersenyum, teduh. "Bukan tanda apa-apa. Bukan pengikat kita atau apapun. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu, since I love you, and that's all. Kalo kamu nggak berkenan simpan atau jual lagi. Ini rejekimu, atau Taksa, terserah. Jadi ambil, Ras."

Paras berbinar. "Alhamdulillah. Baunya perhiasan ini. Berapa gram, Mas? Surat pembelian ada di dalam, 'kan?"

"Hish, kamu!" Tertawa gemas, Prabu menjepit hidung Paras yang otomatis menepis dengan tangan. "Nanti buka di dalam." Lalu mengacak kasar poni perempuan itu. "Heh. Kamu ke rumah sakit, mampirin cafe segala tapi kenapa nggak mampirin aku, hmm? Gini-gini kita sepupu sejati, harus jaga silaturahmi."

Paras buru-buru menyingkirkan lengan besar yang mengguncang imannya itu.

"Apa perlunya aku mampirin Mas? Lagian Mas nggethu (serius) banget jadi Popeye si pelaut nutul-nutulin stetoskop ke dada bocil. Bye lah."

Prabu mengerjap sesaat. "Jadi sebenernya kamu mampir?"

Paras terdiam. Dia ketahuan.

Perempuan itu menjarak posisi duduk mereka lalu tersenyum canggung mengangkat box kecilnya. "Makasih, Mas. Suratku juga, makasih." Ibu jarinya terangkat menunjuk ke dalam rumah. "Aku masuk, ya--"

"Ras."

Saat Prabu menahan lengannya, menatapnya lebih dalam, Paras tersadar bahwa debar dadanya tak bisa berbohong. Sepasang mata sendu Prabu melempar ingatannya pada hari di mana pria itu mengatakan sesuatu yang mengubah semuanya. Yang mempertemukan hati mereka. Hari itu, saat arisan di rumah keluarga Suwarmi.

"Something's still going on between us, Ras. Kamu setuju?"

Yang Paras tahu, matanya memanas sangat cepat meski dingin angin malam menggigit kulitnya.

"Mas..."

"Aku mau kamu." Pupilnya bergerak gamang. "Masih."

Paras tidak mungkin lupa.

Hari itu di rumah Suwarmi, Paras melihat kesungguhan dari kedua mata Prabu yang belum pernah dia terima dari pria manapun termasuk Reksa.

Di samping cinta, Prabu juga menawarkan perlindungan. Tutur dan gestur Prabu kembali mengingatkan Paras tentang keamanan dan kenyamanan--rasa yang hilang darinya lima tahun ini. Dan Paras merindukan rasa itu. Paras butuh itu. Paras ingin Prabu yang menghangatkan hatinya kembali.

Karena itu Paras menerima uluran Prabu. Dan memang benar hatinya hangat bersama Prabu. Tetapi kebersamaan tanpa restu ini memberinya rasa lain yang tidak diharapkan.

Lelah. Hatinya lelah bersama Prabu.

"Aku nggak mau kamu, Mas." Meski itu bohong, Paras menguatkan senyum. "Maaf."

"Bohong."

"Aku capek." Paras memohon pengertian. "Aku capek. Aku memang begini. Mau sampai kapanpun aku tetap janda. Dan orang tua Mas nggak bisa terima janda. Aku capek, Mas... capek... aku capek dipandang rendah. Aku capek selalu dihina. Aku capek mengemis restu. Aku capek jatuh cinta sama Mas, tapi kenapa... aku segoblok ini masih juga cinta sama kamu...?"

Lirih kekecewaan yang tidak mampu lagi Paras bendung menyayat kuat jantung Prabu. Tangannya bergerak ingin meraih wajah perempuan itu namun yang dia dapat adalah tepisan tegas. Paras menghapus air matanya sendiri.

Paras bisa sendiri. Dia mengeraskan hatinya, sendiri.

"Aku nggak peduli kita masih punya perasaan itu atau nggak. Aku cuma minta Mas jangan bahas ini lagi. Selamanya. Atau aku nggak mau bicara sama Mas lagi meskipun sebagai sepupu. Selamanya."

"Ras!" Prabu beranjak mencekal lengan lawannya. "Aku nggak mau begini."

"Sepupu, atau bukan siapa-siapa?"

"Paras!"

"Oke. Bukan siapa-siapa."

Prabu terkesiap.

Sepasang mata gelap di depannya telah menutup diri dari konfrontasi. Tidak menerima argumen dalam bentuk apapun. Bukan siapa-siapa adalah harga mati.

Paras tidak main-main dengan kalimatnya. Dibuktikan oleh Prabu yang bertahun-tahun tidak lagi melihat Paras setelah malam itu.

•°•°•

Gengs, kuharap ga ada yang bingung bapak Efendi yth beserta istri udah minta maaf, kenapa BuRas tetep pisah? Ya karena minta maaf dan nikah itu 2 hal berbeda. Minta maaf berarti belio2 ini ngaku salah but it didn't mean paras was the right one for their beloved son. Itu semacam mereka mengakui, Ras, ternyata kamu memang anak baik, kamu nggak seburuk yg saya kira (tapi nggak perlu jadi istri anakku, oke?)

Kalo Paras diterima cuma gegara kejadian di hotel kmrn tidak make sense aja gitu. Diterima modal belas kasihan bukan karakter bapak Efendi. Monmaap ye Paras ✌🏻

Kusatsu, Shiga, 9 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro