26
Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
KADANG, Paras pikir, hidup hampir tidak pernah berlaku adil terhadapnya. Namun pikiran sempit semacam itu hanya mengungkungnya dalam amarah yang membuang energi percuma. Penyakit hati tidak seharusnya dipelihara. Karena itu seringkali Paras memaklumi keadaan dan dengan lantang menyatakan, 'ya, memang aku seperti ini. Mau bagaimana lagi.'
Dengan begitu, Paras lebih mampu memaafkan kekurangan dirinya. Kekurangan di matanya, di mata keluarga, dan semua orang.
Jika Efendi dan Rosa tidak menginginkannya sebagai menantu apakah mereka salah? Tidak. Tidak sama sekali. Kesalahan memang ada pada Paras yang jauh di bawah standar restu mereka. Setiap orang tua berhak menetapkan standar segala aspek demi kebaikan anak. Sesederhana itu. Kalau Paras tidak memenuhi, maka sudah.
Paras mengerti.
Paras mengurai jemarinya yang masih dalam rangkuman Prabu, perlahan, namun pasti. Pria itu menengadah. Paras menemukan sepasang mata redup itu, dan selalu saja, dia ingin berusaha menghidupkan sinarnya lagi. Kali dia akan melakukannya namun bukan sebagai kekasih.
"I love you, too." Paras tersenyum, membingkai sisi wajah Prabu yang ditumbuhi rambut-rambut halus. "Tapi Mas bukan prioritasku. Maaf."
Prabu menahan jemari kecil itu tetap di wajahnya. "Sekolah lah. Belajar lah. Lakukan dan jadi semua yang kamu mau; aku cuma mau kamu ada di hidupku, Ras."
"Kuliah sambil nikah nggak segampang kedengarannya, Mas. Aku belum pantas untuk saat ini. Nggak sekarang." Paras mengacak ringan rambut Prabu. "Aku perlu memantaskan diri."
"Jangan menilai sendiri. Kamu sudah pantas untuk aku."
"Aku memantaskan diri bukan karena Mas. Aku mau menaikkan worth ku, untuk aku sendiri. Bukan karena Mas, bukan karena keluarga kita, untuk aku sendiri. Aku ingin mandiri di atas kaki sendiri."
Prabu bergeming. Lama.
Sepasang mata hitam itu menegaskan kesungguhan melalui kalimat sederhana. Paras ingin melebarkan sayap; Prabu tahu betul. Prabu tidak mempermasalahkan jika Paras ingin meraih asa itu namun ketakutannya hanya satu: Paras terbang terlalu tinggi; jauh dari jangkauannya; pergi tanpa berpaling lagi walau hanya sekadar mengucap selamat tinggal.
Belum pernah Prabu sejatuh ini. Belum pernah.
Kepalanya lunglai. Mengecupi tangkupan tangan dingin Paras yang mengusapi cambangnya dengan ibu jari.
"Kamu manis. Kamu baik hati. Kamu tangguh. Aku pusing harus gimana supaya nggak makin tergila-gila sama kamu."
Paras tersenyum. "Yang lebih dari aku banyak. Di antara calon-calon pilihan Bude ada, kok. Bude pasti memilih yang terbaik untuk Mas. Mas cuma perlu buka hati."
"Jangan paksa aku melupakan kamu. Sakit."
"Jangan paksa aku terima Mas lagi. Rumit."
Prabu menengadah kembali. Terutama, karena kali ini Paras mundur, benar-benar mengurai dan melepas jemarinya dari Prabu. Melepas semua jalinan rasa mereka. Melepas pria itu kepada hati baru yang suatu hari akan datang.
Paras tersenyum. Secara resmi menyudahi semua.
"Aku adiknya Mas. Mas kakakku. Kita sepupu dan nggak mungkin lebih dari itu. Assalamualaikum."
•°•°•
Setelah mengetahui bahwa Purnomo berniat menyekolahkan Paras, Suci tak kalah hebohnya mencari informasi perkuliahan. Yang pertama kali diajukannya tentu saja tidak jauh-jauh dari jurusan Ekonomi, Akuntansi, dan Manajemen. Sebab Juwita berasal dari rumpun tersebut, pastinya akan banyak membantu perkuliahan Paras nanti.
Paras menoleh heran. "Ibu nggak nyuruh Paras jadi guru, gitu? Ibu 'kan dulu guru."
"Ndak usah, guru di Indonesia ndak dihargai. Naik PNS susah. Gajine cuiliiik! Kamu ndak bisa nabung buat Taksa. Kecuali gurunya mahasiswa, dosen, lumayan lebih makmur."
Paras melongo. Semalam dia pikir, sekadar senang dengan profesi saja sudah cukup. Tetapi ibunya berpikir lebih realistis: sebagai ibu tunggal, sudah pasti Paras adalah satu-satunya tulang punggung Taksa. Dia butuh karir dengan penghasilan tetap yang menjanjikan.
"Paras mau kuliah di luar Malang boleh, Bu?"
Kening Suci berkerut. "Ibu ndak papa, sih. Taksa bisa di sini. Kamu mau ke mana?"
"Ke mana aja selain Malang." Paras tersenyum. "Mungkin Surabaya, Jember, apa Banyuwangi. Bisa pulang sekali-kali."
"Memangnya di Malang kenapa, Nduk?"
Paras tertunduk malu. "Ada Mas Prabu."
Lebih tepatnya, selama Paras masih di Malang, hatinya dan Prabu akan terus mencari celah untuk bersatu. Tidak peduli sekeras apa dia menyangkal di luar, ironisnya di dalam sini, Prabusena selalu yang nomor satu. Bukan tidak mungkin suatu hari pertahanannya runtuh dan menyerah kembali ke pelukan lelaki itu.
Tanpa perlu dijelaskan, Suci mengerti maksud putrinya.
"Ya sudah, tetapkan dulu, Nduk. Masih ada 3 bulan sebelum seleksi nasional. Kamu bisa ikut les persiapan," saran Suci, dan Paras mengangguk. "Oh, ya, Nduk. Ditawari Pakde Wir nginep dua hari satu malam di hotel Agrowisata Batu, kamu mau ndak? Ada waterpark sama petik apel di sana Taksa pasti seneng."
Mata Paras membola.
"Mau, mau! Gratis?!"
"Ada voucher 70 persen. Pakdemu punya banyak tapi mau hangus Minggu besok, daripada eman (sayang) itu dibagi-bagi di grup. Rencananya pada mau check in Sabtu siang, check out Minggu pagi."
"Oh." Paras meringis. "Ndak usahlah, Bu." Tadinya dia pikir Wiryawan hanya menawari ibunya.
"Masmu bilang--" Suci menggigit lidah sesaat. "Maksud Ibu Prabu ndak ikut. Ada jadwal bedah. Ibu baca di grup."
Senyum Paras terkulum kecut. Di saat begini dia bersyukur memiliki ibu yang peka.
"Oke. Paras sama Taksa ikut."
•°•°•
Kenanga Agrowisata adalah sebuah resort di kawasan pegunungan kota Batu. Waktu kecil dulu Paras cukup sering kemari, tetapi hanya masuk di area water park nya saja. Jarak tempuh Malang-Batu yang dekat membuat Purnomo berpikir untuk apa menginap di hotelnya? Hanya buang uang.
Tapi dengan adanya potongan 70 persen, tidak ada salahnya mencoba tidur semalam di resort mewah tersebut sekali seumur hidup. Itu pemikiran Suci. Sedangkan Purnomo tetap saja malas dan lebih memilih berakhir pekan di rumah. Alhasil yang pergi hanya Suci, Paras, dan Taksa. Purnomo cuma mengantar sampai lobi hotel.
"Lha, Pur nggak ikut, Ci?" tanya Wiryawan saat melihat mobil Purnomo keluar dari parkiran.
Suci mencebik. "Katanya kasurnya nggak cukup, Mas."
"Bisa nambah extra bed, kok. Melu wis (ikut dah)."
"Bapak males, Pakde, Senin sampai Jumat di luar terus. Sabtu Minggu mau rebahan katanya," jujur Paras, yang kemudian mendapat sikutan gemas dari Suci.
Wiryawan tertawa ringan. "Ya wis barangnya titip lobi dulu, belum boleh check in. Taksa, ayo renang sama Kung di bawah?" Pria itu merentangkan tangan. "Kita naik tangga yang tinggiii... trus meluncur turun, byur!"
Taksa menarik blus Paras. "Boyeh, Ma?"
"Mama ikut juga, dong." Wiryawan meyakinkan.
Tadinya Paras sedikit malu karena tidak punya pakaian renang resmi, tetapi setelah melihat pengunjung water park lain hanya mengenakan kaus dan celana, dia ikut turun juga. Meski pada akhirnya dia hanya duduk-duduk main air di tepi kolam anak. Merekam Taksa dalam pangkuan Wiryawan yang meluncur dari atas water slide setinggi kurang lebih 7 meter.
"Paras, sudah dari tadi, Nduk?"
Secara otomatis Paras menengadah. Menemukan Rosa tersenyum kemudian duduk di sisinya, turut mencelupkan kaki ke dalam air. Paras menyalami dan mencium punggung tangan wanita itu.
Bagaimana pun, Paras akan sering bertemu Rosa sepanjang umurnya sebagai keponakan. Dia harus membuang semua kecanggungan.
"Barusan, Bude. Itu Taksa sama Pakde Wir." Dia menunjuk water slide. "Bude sendirian?"
"Bude sama Alea berdua. Yang lain sibuk." Rosa melempar pandangan jauh pada Taksa. "Sudah cek rekeningmu, Ras?"
"Sudah." Paras mengangguk, menatap arah yang sama dengan Rosa. "Matur nuwun, Bude. Dibayar full padahal Paras baru kerja setengah bulan."
Rosa tersenyum tipis.
Untuk beberapa alasan yang sulit didefinisikan, Rosa merasa ada beban memberati dadanya saat bicara dengan Paras. Terutama setelah kejadian di arisan rumahnya. Pemberat tersebut kerap kali mengganggu fokus sehari-harinya namun hingga detik ini dia tak tahu harus bagaimana. Mungkin waktu dapat mengatasinya?
"Anak-anak apa kabar, Bude?"
Sedikit aneh rasanya Paras menanyakan Ge Cafe yang belum genap seminggu ditinggalkannya.
"Bude kembalikan Vicky ke asisten chef," gumam Rosa, lebih pada dirinya sendiri. "Tapi Bude tetep harus hire asisten baru. Vicky paling tepat pegang dessert. Zahra request sama Bude asisten barunya minimal yang seperti Paras."
Paras melirik sekilas. "Kenapa, Bude?"
"Menurut Zahra, Paras punya sensing yang bagus untuk rasa, aroma, tekstur, warna. Plating nya masih inkonsisten, kurang proporsional, tapi yang penting sudah clean and neat. Not bad."
"Thank you, Chef." Paras menirukan peserta kontes memasak.
Rosa tertawa seketika. "Bude kehilangan satu karyawan kompeten."
"Bude akan ketemu yang lebih baik."
"Mudah-mudahan." Rosa menoleh, lantas tersenyum menatap lurus sepasang iris Paras. "Paras nggak berminat mengembangkan itu?"
Paras mengerjap. "Maksud Bude?"
"Bude punya teman, di Surabaya, salah satu pengajar di akademi kuliner yang bisa Bude bilang kredibel. Lulusannya banyak yang ditarik ke hotel atau restoran minimal bintang tiga. Ada juga yang jadi kru dapur di cruise. Ada jalur masuk program beasiswa, tapi ya harus tes dulu."
Pupil Paras melebar. "Akademi kuliner? Ada, ya?"
"Ada. Bude kirimkan brosurnya kalau Paras mau lihat."
"Boleh, Bude. Boleh!" Paras mengangguk senang. "Makasih, Bude. Paras memang lagi bingung mau sekolah apa."
Namun kemudian, senyum di bibirnya berubah rikuh. Bukankah aneh. Seingat Paras dia tidak cerita pada Rosa bahwa dia akan kuliah.
Paras mengalihkan pandang lagi mencari sosok Taksa. Tetapi belum sampai menemukan anak itu, matanya justru tersangkut pada orang lain beberapa meter di depan. Seorang wanita di atas perahu karet. Wanita yang selamanya tidak ingin dia temui lagi.
Ibu mertuanya, dulu.
•°•°•
Hayolo
Kusatsu, Shiga, 2 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro