Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25

Vote, komen, dan share jika kamu suka

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MALAM ini saja. Malam ini Paras memaafkan dirinya yang rapuh dan menangisi setiap detik tekanan mental yang dia peroleh dari rumah keluarga Efendi.

Untungnya, Paras masih cukup waras dan memilih menangis setelah Taksa benar-benar terlelap. Setelah dia salat isya. Setelah semua lampu rumah dimatikan. Setelah dia memastikan Bapak-Ibunya juga sudah tidur sehingga hanya dia satu-satunya yang terjaga.

Belajar dari segala yang terjadi di masa lalunya, Paras rasa, dia tidak harus terlalu keras pada diri sendiri. Dia tidak perlu berpura-pura, terutama saat menangis seorang diri seperti saat ini. Dia biarkan semua air mata dan isaknya tumpah. Lebur jadi satu, terserap pada serat bantal yang menutupi wajahnya sejak sepuluh menit lalu.

Dia relakan tubuhnya menggigil.

Dia relakan bibirnya tergugu.

Dia relakan luka hatinya bernanah... malam ini saja.

Malam ini saja. Paras tahu, setelah matahari datang esok hari, setelah Taksa bangun, setelah sarapan bersama Bapak-Ibunya, dia pasti bisa mengulas senyum kembali. Dia pernah selamat dari siksaan yang lebih dari ini. Dia pernah dirajam secara fisik maupun mental. Dia penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Dan pada kesempatan kali ini, dia mendapat kehormatan baru sebagai penyintas stigma miring terhadap status janda.

Lalu setelahnya, dia tertibkan segala rasa terhadap Prabusena Efendi Muzaffar untuk mundur di belakang batas yang seharusnya dia tegaskan sejak awal. Dia bersihkan ruang hatinya yang sempat kotor dan mengisinya hanya dengan Taksara Gemilang.

Malam ini saja.

Hal yang sama juga berlaku bagi Suci yang mendengar isak tangis Paras dari luar pintu kamar. Purnomo memeluk sang istri yang menolak tidur sebelum tangis itu berhenti terdengar. Malam ini saja, Purnomo dan Suci ikhlas putri mereka menderai air mata hingga pagi... tetapi tidak untuk malam-malam selanjutnya.

•°•°•

Sejak hari di mana Paras berbesar hati memohon ampun di hadapannya dan suaminya, Rosa secara otomatis menghindari bertemu pandang dengan Paras setiap dia memantau Ge Cafe. Namun pada akhirnya Paras lah yang lebih dulu memberanikan diri memulai interaksi dengan Rosa.

Ketika keponakannya itu berkata ingin bicara berdua, firasat jelek menyergap Rosa. Paras menghidangkan secangkir teh Turki kepada bosnya sebelum mengawali pembicaraan. Rosa mempersilakannya duduk.

Paras mengeluarkan sebuah amplop yang diletakkan di depan Rosa, bersama tunduk hormatnya.

Rosa menelan ludah. "Apa ini... Ras?"

"Paras izin resign, Bude."

Rosa menyambar amplop itu. Membaca cepat surat permohonan diri tersebut dan melipatnya kembali. Menatap Paras yang sudah tersenyum tegak di hadapannya.

"Paras kerja di tempat lain?"

Paras menggeleng, "ndak, Bude. Paras cuma mau istirahat sebentar. Nanti nyoba di tempat lain lagi kalau sudah siap." Lantas senyumnya berubah miris. Kerja belum genap dua bulan sudah mau istirahat? Ckckck.

Tetapi alasan klasik tersebut tidak mungkin membodohi Rosa. Jauh di ujung nuraninya, dia bisa merasa, Paras memiliki kelapangan hati yang jarang Rosa temui dari perempuan biasa. Apa hal ini yang dinilai berharga oleh putranya?

Rosa tersenyum berat dan mengangguk.

"Setelah ini Bude transfer gaji Paras bulan ini."

"Jangan, Bude. Bulan ini 'kan Paras cuma masuk dua minggu?"

"Dua minggu itu kamu kerja, Ras. Bukan rebahan. Sudah, pokoknya setelah ini Bude transfer." Rosa menepuk meja, menutup debat.

Paras mengangguk cepat. Senyum cerahnya mengembang berkat kelegaan yang perlahan memenuhi hati.

"Terima kasih atas kesempatannya, Bude. Paras jadi punya pengalaman. Dan Paras minta maaf kalau ada kekurangan selama kerja sama Bude."

Adalah hal yang sangat pahit bagi Paras mendengar bahwa pakde dan budenya menilai dia sebagai perempuan rusak. Rosa tahu. Namun berlawanan dengan itu, Rosa menggamit kesepuluh jemari keponakannya. Dia mengulurkan satu tangan, menepuk lembut kepala Paras, dan menghubungkan pandang mereka di satu garis lurus.

"Bude yang terima kasih, Ras. Terima kasih banyak. Kamu anak baik."

•°•°•

Semua menolak percaya bahwa hari ini adalah hari terakhir Paras di Ge Cafe. Terutama Angga.

"Kenapa? Kenapa?! Gara-gara si sepupu zero akhlak?!" Cowok itu menggulung cepat lengan seragamnya. "Mana dia? Di sebelah, 'kan? Ruangan mana?"

"Heh, heh, ojo nguawut." Vicky menahan tubuh Angga. "Mau ngapain, Bambang?"

"Mau bilang makasih. Makasih, Paras buat aku."

Paras hampir tersedak jus jeruk karena tertawa.

"Mbak Paras nggak mungkin mau sama berondong kasar," cibir Anggi menaik-turunkan alis pada Paras. "Iya, 'kan, Mbak?"

"Eh, Giput, di mana-mana berondong itu kasar. Mau halus? Gih pacaran sama kain kafan."

"Anggi, Mas!" pekik gadis itu tak terima.

Angga tertawa malas. "Giput. Anggi siput. Ntar kalo udah sregep, Gimon. Anggi monyet. Kalo makin sregep lagi, Gilut. Anggi belut. Kalo udah bisa sat-set-sat-set wusss kayak Tante, baru deh... Gitar."

Kening Paras berkerut. "Gitar?"

"Anggi halilintar."

Semua terbahak kecuali Anggi yang berpura-pura menangis bergelayut di punggung Paras.

"Huwaaa! Jangan pergi lah, Mbak! Siapa lagi yang mau belain Anggi? Mereka semua tukang buli Anggi!"

Nando menarik kerah seragam Anggi. "Tampangmu ancene (memang) buliebel, Put."

Hal tersebut diamini semuanya termasuk Paras yang tertawa lepas.

Malam itu, Paras mengikhlaskan posisinya di Ge Cafe dengan pelukan hangat dari keluarga kecil yang menemaninya selama hampir dua bulan ini. Paras diminta sering-sering main ke tempat ini meski bukan sebagai pegawai.

Tentu saja. Dia akan kembali menginjakkan kaki di Ge Cafe setelah menyatukan keping-keping hatinya yang hancur berserak seperti semula.

•°•°•

Paras baru saja mematikan kompor ketika Purnomo tiba sepulang kerja dan mengendus aroma umami yang menuntunnya ke dapur. Aroma tersebut berasal dari ayam goreng laos yang panasnya menari-nari di atas tirisan. Tangannya terulur bermaksud mencomot remahan laos garing tetapi Paras lebih cepat menjauhkan mangkuk tirisan.

"Bapak," dengkusnya, "kebiasaan. Cuci tangan dulu."

Purnomo mencibir namun tak ayal memenuhi permintaan sang koki.

Makan malam berdua bapak dan anak diselimuti keheningan panjang. Purnomo sibuk menguliti sayap ayam hingga tulang-tulangnya, sementara Paras lebih banyak berpikir daripada mengunyah. Sesekali dia melirik sang ayah yang tampaknya kelaparan sekali sampai mengorek-ngorek sambal di cobek.

Selesai makan dan mencuci piring, Paras menatap kosong pintu depan rumah yang memang dibiarkan terbuka. Suci dan Taksa belum juga pulang dari pengajian. Satu pesan Suci terngiang lagi setelah tadi sore Paras menyampaikan bahwa dia sudah berhenti dari Ge Cafe.

"Kalau kamu butuh waktu buat cari kerja dan tempat tinggal, ngomong sama Bapakmu, Nduk. Ibu sih maunya kamu di sini. Ndak usahlah nyewa kontrakan Prabu atau siapapun. Tapi keputusan akhir tetap di Bapakmu."

Paras mengumpulkan segenap keberaniannya untuk lesehan di dekat kaki Purnomo yang duduk di sofa, menonton acara sitkom. Dia sengaja menunggu jeda komersial agar tidak menginterupsi hiburan sang ayah.

"Pak, Paras mau ngomong."

Purnomo terdiam sesaat. "Apa, Nduk?"

"Paras sudah berhenti kerja dari tempat Bude Rosa."

Pandangan Purnomo beralih dari televisi. "Kamu diberhentikan?"

"Ndak, Pak." Segera Paras menatap bapaknya. "Paras yang mau keluar." Lalu dia tersenyum. "Paras memang mau kerja di luar lingkungan keluarga."

Purnomo membalas senyum itu. Teduh.

"Paras boleh minta waktu lebih, Pak?" Tertunduk perlahan, perempuan itu memilah kalimat. "Paras juga ndak jadi ngontrak sama Mas Prabu. Paras butuh waktu lebih buat cari kerjaan baru dan tempat tinggal, Pak."

Mendengar nama keponakannya, jantung Purnomo berdenyut nyeri. Dan saat matanya jatuh pada ubun-ubun putrinya, tangannya terulur, ingin melakukan sesuatu namun dia menarik kembali karena Paras menengadah.

"Paras ada tabungan tapi belum cukup, biasanya kos-kosan minta DP minimal enam bulan. Paras butuh waktu buat cari ker--"

"Kamu mau kuliah, Nduk?"

Paras mengerjap. "Hah?" Apa yang barusan?

"Kuliah. Kamu mau ndak?"

Debar jantung Paras menguat seiring senyum ayahnya yang menghangat.

"Ya..." bingung perempuan itu. "Ya mau, Pak."

Tapi uang darimana?

"Kok ndak yakin gitu? Iya apa nggak? Tabungan emas Bapak buat kuliahmu masih utuh. Kalo kamu nggak mau yo alhamdulillah wa syukurilah wa nikmatilah. Harga emas naik terus tiap tahun."

"Yah? Yah! Mau, Pak! Paras mau lah! Mau sanget, Pak!" Paras meraih dan menciumi punggung tangan tua itu. Tidak peduli meski air matanya membasahi jari-jari sang ayah. Ya Tuhan, jangan sampai Purnomo berubah pikiran.

Pria itu menatap lekat iris hitam putrinya yang memancarkan semangat. "Ya sudah. Pikirkan dulu kamu mau kuliah apa."

•°•°•

Bulan merangkak makin tinggi. Malam semakin larut. Taksa sudah lelap satu jam yang lalu tetapi mata Paras masih sangat segar. Sejak tadi ibu jarinya bergulir di atas layar ponsel membuka situs universitas satu-persatu.

Dia belum tahu ingin sekolah apa. Karena itu dia memeriksa profil hampir semua jurusan salah satu universitas di Malang. Dia bahkan menonton video perkuliahan yang diunggah di Youtube. Dan sepertinya semua jurusan menarik. Maka semakin bingung lah dia.

Tok. Tok.

Paras berjengit ngeri. Ketukan dua kali terdengar dari jendela kamarnya. Menunggu beberapa detik, tak ada yang terjadi, Paras kembali menatap ponsel.

Tapi jendela itu berbunyi lagi dan sekarang lima kali.

Hampir jam dua belas malam. Semua sudah tidur kecuali dia. Jendela kamarnya diketuk dari luar. Di luar kamar ada pohon mangga besar. Pak RT pernah bersaksi melihat perempuan berbaju putih dengan perut bolong berdiri di situ.

Oke. Keringat dingin menggantung di kening Paras.

Dia membanting diri memeluk Taksa. Memejam kuat-kuat. Mulutnya komat-kamit merapalkan ayat kursi tetapi sialnya ketukan itu datang lagi.

"Paras!" dan kali ini bersama suara berat laki-laki. "Ras, kamu belum tidur, aku tahu."

Paras menggeram. Ayat kursi mungkin mempan untuk mengusir hantu, tetapi tidak untuk Prabu.

Mau tak mau Paras beranjak. Menyibak tirai dan membuka daun jendela untuk sepupunya yang menyambut dengan senyum lelah. Paras pun tidak kalah lelah.

Lelah, menghindar dari pria ini di saat hati hancurnya masih berdenyut mendamba.

"Kenapa kamu blokir aku? Sejak kapan kita putus?"

Paras menatap tak percaya. Pertanyaan macam apa itu?

"Sejak aku tahu Pakde sama Bude nggak bisa terima status janda dan masa laluku. Udahlah, Mas. Aku memang janda. Masa laluku hancur. Aku nggak bisa maksa semua orang terima itu apalagi Pakde sama Bude. Pakde sama Bude mau yang terbaik buat Mas."

"Tapi yang terbaik untukku adalah Paras."

"Dan Mas bukan yang terbaik untukku."

Senyum Prabu memudar. Benarkah? Secepat inikah?

"Si berondong...?"

"Berondong dari Hongkong!" Paras mendengkus keras. Melipat tangan di dada, mendekati jendela, mengangkat dagu jemawa. "Bapak. Bapak yang terbaik untukku, bukan Mas. Maaf, ya. Bapak mau bayarin aku kuliah. Emangnya Mas? Mau nikah doang. Bapak maunya aku belajar, bukan bikin anak."

Prabu berpikir sesaat. "Kita bisa belajar sambil bikin anak."

Astaga. "Mas!"

"Maksudku, aku juga bisa bayarin kamu kuliah. Aku nggak akan ngurung kamu di rumah. Kamu mau kuliah apa? Di mana?"

Paras meringis mengusap tengkuk. "Belum tau. Enaknya kuliah apa?"

"Kamu mau jadi apa?"

"Waktu SD sih dokter. Cita-cita sejuta bocil."

"Ya sudah. Jadi istriku."

Heish. "Usaha terooos."

"Aku bisa bantuin kamu. Literatur banyak di rumah." Prabu melipat lengan di bingkai jendela. Merebahkan kepala, lantas melirik perempuan sinis di atasnya. "Jadi istriku; dan semua yang kamu mau bakal aku wujudkan."

Paras mencibir. "Aku bisa sendiri. Makasih."

"I know. Kamu nggak butuh aku."

"Iya. Pulang sa--"

"Tapi aku butuh kamu."

Saat Prabu meraih jemarinya, Paras tak bereaksi kecuali menahan napas. Terlebih karena setelah itu Prabu menengadah, menjalin pandangan matanya dengan Paras yang tertunduk.

Selangkah, dua langkah, kaki Paras mendekat perlahan. Dia selalu suka melihat refleksi dirinya pada kedua mata Prabu. Dia tampak sempurna di sana. Dia merasa diinginkan. Dia merasa berarti. Dia merasa dicintai. Dan dia ingin mencintai... meski sebagai perempuan rusak.

Namun, Prabusena Efendi Muzaffar menginginkan Parasayu Larasati tanpa syarat.

Dia menarik perempuan itu hingga jarak tak lagi menjeda. Prabu merangkum semua jemari kecil itu dalam satu genggaman kukuh. Menumpukan keningnya di sana. Memohon dengan seluruh harga diri yang tersisa kepada satu-satunya tempat dia melabuhkan hati.

"I need one more chance, Parasayu. Please. I cannot unlove you."

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 1 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro