24 (b)
Dengarkan ini sebelum baca. BuRas banget lagunya 💕
•°•°•
CALON pilihan Efendi dan Rosa untuk Prabu baru saja datang.
Dia adalah Sierra yang beberapa waktu lalu Rosa temui di Ge Cafe dan bahkan mengenalkannya pada Paras. Kehadiran perempuan itu dan orang tuanya disambut hangat oleh keluarga Candra Diwangsa. Mungkin, kecuali Paras yang sengaja menyembunyikan tubuh kecilnya di barisan paling belakang para sepupu, sebab jauh di depan sana Prabu dan Sierra duduk bersisian.
Paras menjaga pandangnya dengan tunduk selama mungkin. Matanya panas dan berair jika terus-terusan dipaksa menyaksikan Prabunya bersanding dengan selain dirinya. Karena itu Paras mengalihkan perihnya dengan mengulir Instagram feed akun-akun receh.
Sayangnya, menundukkan pandang tidak semudah menutup telinga... dan hati.
Riuh rendah antusiasme keluarga Candra Diwangsa terhadap calonnya-Prabu sangat tinggi sehingga suka tak suka harus terdengar telinga Paras. Semua fakta tentang pasangan itu seakan ditamparkan ke wajahnya
Prabu adalah residen penanggung jawab kelompok koas Sierra. Dulunya, mereka senior dan junior.
Prabu dan Sierra adalah pediatris di dua rumah sakit berbeda.
Prabu dan Sierra sering menangani kasus-kasus rumit bersama; yang terbaru, bedah pemisahan kembar dempet kepala dua bulan lalu.
Prabu dan Sierra adalah half-blood--istilah bagi mereka yang salah satu orang tuanya berlatar belakang medis.
Prabu dan Sierra memiliki kecocokan dan kadar menarik yang sama secara fisik.
Prabu dan Sierra sekufu.
Prabu dan Sierra... Prabu dan Sierra... Prabu dan Sierra!
Paras memutuskan diam-diam mundur dari barisan sepupu dan melipir ke halaman belakang rumah. Saat ini kesehatan mentalnya jauh lebih krusial daripada menanti janji busuk Prabu yang katanya akan menolak perjodohan di depan satu Candra Diwangsa. Mana, ha? Mana?!
Halaman belakang rumah mewah Efendi adalah taman bermain sederhana yang sejak dulu jadi spot favorit Paras. Ada sepasang ayunan, papan lucuran, jungkat-jungkit, climbing bars, semakin menarik dengan adanya kolam air mancur. Dan sama seperti ibunya, Taksa juga sangat menyukai taman kecil ini. Saking sukanya dia menolak masuk dan bertahan di sini sendirian--didampingi Juwita sebagai orang dewasa.
"Di dalam panas, Ras?" Juwita berkomentar tanpa mengalihkan matanya dari ponsel saat adiknya turut duduk di ayunan sebelahnya.
Tentu saja Paras mengerti sindiran itu. Dia tertunduk. Ujung kakinya bergerak menendangi kerikil ringan. Dia tahu, sangat tahu, sekeras apa Prabu memperjuangkan dirinya. Pembahasan pernikahan sepupu satu jam lalu adalah buktinya. Tetapi tak bisa Paras mungkiri ada panas meradang di dadanya melihat Prabu dan Sierra.
Atau lebih tepatnya, setelah dia pikir lagi, penerimaan keluarga besar lah yang membuatnya cemburu. Pemujaan dan penyanjungan sebagai gadis berkualifikasi nyaris sempurna untuk menjadi istri abang sepupunya. Mengelu-elukan kelebihan dan memaklumi kekurangan yang mana tak mungkin Paras terima dari mereka semua.
Sebab pada akhirnya kenyataan memaksa Paras menelan pil pahit itu lagi. Dia memang tidak sebersih Sierra. Dia tidak lebih baik dari Sierra dilihat dari aspek manapun. Dia hanya mengambil hati Prabu. Hanya Prabu saja. Bukan keluarga Candra Diwangsa, terlebih lagi, Efendi dan Rosa.
Hanya Prabu seorang yang berhasil dia menangkan di sini.
"Pernikahan sepupu memang bukan dosa. Tapi buat saya pribadi hal itu egois. Egois terhadap calon anak, cucu, dan keturunan selanjutnya yang akan lahir dari pernikahan itu."
Argumentasi Efendi Candra Diwangsa adalah hal yang tak dapat disangkal bahkan oleh Prabu sendiri. Paras malu. Terlalu malu setelah Efendi memaparkan semua penjelasan ilmiah yang disederhanakan itu, dan membuat baik Prabu maupun Paras jadi badut lelucon di forum keluarga. Sekarang, seluruh anggota keluarga Candra Diwangsa sudah paham mengapa pernikahan sepupu harus dihindari. Karena mencengah selalu lebih baik daripada mengobati.
Termasuk Suci, yang meski tanpa menyuarakan, telah mencabut restunya. Paras langsung tahu hanya dengan melihat kekecewaan yang terlampau jelas di mata sang ibu.
Kini Prabu dan Paras benar-benar sendiri. Kecuali jika Tuhan menghendaki keduanya untuk saling memiliki.
"Aku sayang Mas Pra, Mbak... sangat."
Rerumputan yang dia pandangi mengabur karena genangan air di kelopak bawah. Kakinya berhenti menendangi kerikil.
Juwita terluka menatap adiknya yang terlihat mati-matian bertahan. Mengusap mata kasar dengan tisu dalam genggam jari-jari kecilnya. Juwita mengembus lemah. Bagaimana pun Paras harus belajar menerima bahwa rencana dan realita bisa sangat bertolak belakang.
"Calonnya Mas Pra nggak kaleng-kaleng," gumam Juwita enteng. "Keren. Kalo aku sih minder."
Paras menoleh sengit. Tak terima. "Aku juga nggak kaleng-kaleng, ya, Mbak. Aku survivor KDRT. Sendirian. Aku keluar dari rumah itu bawa Taksa dengan usahaku, sendirian. Aku healing, sendirian. Aku kerja dan nabung buat Taksa, sendirian. Oh, nggak sendirian, sih." Tawa lemah terbentuk di wajahnya saat melirik balita yang sedang menaiki papan luncur. "Karena sama Taksa, makanya aku bisa."
Mengaitkan pandangnya dengan Paras, Juwita tersenyum simpul. "Yang aku maksud memang kamu."
Tawa Paras menghilang perlahan.
"Yang berpendidikan tinggi punya karir bagus itu banyak. Kek aku gini, Ras. Di mata Mbak yang begini emang wajar; hasil nggak mengkhianati usaha. Kamu juga bisa seperti Mbak atau Sierra seandainya lima tahun lalu kamu nggak pergi. Ah, bukan, bukan." Juwita menggeleng pelan. "Kamu masih bisa. Kamu masih muda. Apalagi sudah jelas kamu survivor KDRT, kamu nggak kaleng-kaleng. Mbak harap keputusan apapun yang kamu sama Mas Pra ambil adalah yang terbaik buat kalian dan keluarga. Karena pernikahan bukan sekadar kamu dan Mas Pra saling mencintai, Ras."
"Yang terbaik kalian pisah, Nduk."
Kedua perempuan menengadah ke asal suara di sisi kanan yang bergerak mendekat. Merasa tak nyaman, Paras mengalihkan matanya dari Suci.
"Ibu sama Bapak ndak setuju. Lepaskan Prabu, Nduk."
Pengulangan Suci menambah berat beban kepala Paras yang seakan mau pecah. Dia menggigiti bibir bawah yang gemetar.
"Mas Pra ndak mau, Bu. Mas cinta sama Paras. Ibu lihat sendiri Mas Pra mau perjuangkan Paras--"
"Ibu tahu. Ibu tahu itu!" Suci mengentak tertahan. "Tapi Mas Pra-mu itu ndak bener. Dia dokter, dia tahu persis nikah sama kamu itu berisiko tinggi tapi dia ngotot. Dia ndak mikir perasaan calon cucu Ibu-Bapakmu ini, Nduk. Dan dia ndak mikir perasaan orang tuanya sendiri dengan menolak calonnya di depan satu keluarga!
Paras menoleh. Matanya membesar pada Suci.
"Mas Pra menolak...?"
"Iya. Dan calonnya juga nolak. Sekarang keluarga mereka sudah pulang. Pakde sama Budemu kecewa dan Masmu sak enaknya masuk kamar. Seneng tah kamu, Nduk, Prabu ngelawan orang tua demi kamu?"
Tanpa mengacuhkan sindiran Suci, Paras segera beranjak dari ayunan dan berlari ke dalam rumah.
•°•°•
Percuma. Sierra dan keluarganya sudah tidak di sini. Paras mengembus lelah. Entah apa yang dipikirkannya sampai dia berlari ke halaman depan ingin mencegah Sierra pergi. Dan seperti kata Suci, kecanggungan di kediaman Efendi sangat nyata pasca penolakan perjodohan oleh kedua calon.
"Owalah, Ndi, Mbak pikir Prabu wis oke," keluh Suwarmi, melemparkan tatapan kecewa pada Efendi. "Ojo dipaksa, tho. Kasihan. Opo'o sih kok kesusu tenan? (Ada apa sih kok terburu-buru?)"
"Iyo, Mas. Mbok dikenalkan pelan-pelan, lek ujug-ujug dikon rabi kabeh wong yo nolak. (Iya, Mas. Seharusnya dikenalkan pelan-pelan, kalau tiba-tiba disuruh nikah semua orang pasti nolak.)" Ariani menambahi.
Efendi hanya menanggapi dengan tawa tenang dan mempersilakan saudara-saudarnya untuk salat duhur di musala kecil sebelah ruang keluarga. Hati kecilnya sebagai ayah pun menolak menikahkan Prabu dengan cara seperti ini. Namun tentu saja dia lebih tak menginginkan putranya tersesat lebih dalam bersama perempuan yang tidak seharusnya.
Sementara semua salat, Paras yang sedang berhalangan berkeliling mencari Taksa yang seingatnya dia tinggalkan di taman. Tetapi bocah itu sudah tidak di sana. Dia juga tidak ada di barisan jamaah.
Paras mendesah. Ya Tuhan, lagi-lagi dia lalai.
Mau tak mau Paras mengelilingi seisi rumah Efendi. Dia sudah mencari hingga sudut dapur namun anaknya tak juga ditemukan. Semua tempat di lantai satu sudah dijelajahinya. Kalau bukan lantai satu, berarti...
Paras melirik tangga. Apa balita itu naik sendirian?
Mengikuti naluri, kakinya melangkah menapaki anak tangga satu-persatu. Posisi kamar di lantai dua masih sama dengan yang terakhir Paras ingat. Pintu paling besar di kiri adalah kamar Efendi dan Rosa. Di sebelahnya, kamar ganti dan kloset utama keluarga. Di sisi kanan ada kamar Prita, dan yang paling ujung... kamar favorit Paras saat bermain petak-umpet.
Berusaha berpikir positif, Paras mengetuk pintu kamar Prita. Mungkin saja Taksa di dalam bersama Azalea. Tetapi setelah tiga panggilan dan ketukan, tak ada reaksi.
Paras menoleh kamar di sebelah Prita. Sepertinya semesta sedang memainkan konspirasi karena semakin hari, Paras merasa dirinya dan Prabu semakin tarik-menarik. Gagasan itu terbukti benar, karena setelah satu panggilan dan ketukan, pintu dibuka dari dalam oleh Prabu.
Pria itu memberinya senyum lucu. "Tumben. Biasanya langsung dobrak."
Hati Paras menghangat mengenang masa itu. Terutama saat Prabu, untuk pertama kali, benar-benar memberi izin baginya masuk ke kamar ini tanpa perlu menyelinap. Dan saat mendapati Taksa sedang tidur di ranjang berselimut cover putih, Paras mengembus lega.
"Prita yang nganter ke sini. Tadi main game PC sama Alea," jelas Prabu setelah menutup pintu, yang mana itu membuat Paras tak nyaman.
Tetapi ada baiknya juga, sebab, Paras ingin bicara secara personal dengan pria itu. Dia menengadah. Menyejajarkan tatapannya dengan iris hazel teduh milik Prabu.
"Mas, kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku tentang semua risiko pernikahan sepupu yang tadi Pakde jelaskan?"
Jantung Prabu berhenti sesaat.
Bibirnya mengulas senyum kaku. "Untuk pasangan non-keluarga ada 2-3 persen kemungkinan kelainan kongenital. Dan untuk kita yang sepupu 4-6 persen. Lebih tinggi, tapi cuma sedikit. Nggak seseram itu, Ras. Papa berlebihan. Papa nggak suka keluarga berpihak sama kita."
Namun sepasang mata Paras justru berkaca dengan cepat. Menguarkan kekecewaan tanpa muara yang membuat hati Prabu mencelus.
"Tapi kemungkinan itu tetap ada, Mas. Kita nggak tahu. Kita nggak pernah tahu kelainan apa yang diam-diam sembunyi di darah kita. Ini... ini perkara calon anak dan Mas berani gambling? Kamu dokter anak, Mas!"
"Karena aku dokter anak aku berani, Paras!" sentak Prabu keras, dan saat itu juga bulir air jatuh dari sudut mata Paras. Prabu menyugar lelah berusaha menekan emosi. "Ka-kalau kamu takut ada banyak screening kongenital kita bisa ambil semua. Ada program perencanaan dan persiapan hamil yang kamu bisa ikuti nanti. Ada monitoring kandungan berkala. Ada banyak, Ras. Ada banyak plan di kepalaku buat kamu yang nggak mungkin aku tampar ke muka Papa di depan keluarga kita!"
Paras menghapus cepat air matanya sebelum kembali menatap Prabu nyalang.
"Ibu sudah nggak percaya sama kita, Mas. Ibu mau kita selesai di sini."
Telinga Prabu berdenging. "What?"
Selesai? Selesai apanya? Apa yang selesai bahkan saat Prabu belum memulai apapun?
Prabu menolak apa yang didengarnya. Otaknya melambat. Dan belum sempat dia mencerna informasi itu, sebuah ketukan terdengar dari pintu.
"Prabusena."
Paras membekap mulut. Suara Efendi. Sepasang matanya memindai cepat kamar Prabu dan menemukan pintu kloset. Tanpa menunggu reaksi Prabu, dia berlari menyembunyikan diri dalam lemari itu. Tak disangka juga kloset ini masih sanggup memuat dirinya; mungkin karena sudah tak ada baju-baju Prabu yang dulu digantung di dalamnya.
Prabu mendesah lelah. Membuka kunci pintu untuk Efendi yang ternyata tidak sendiri, namun juga bersama Rosa. Keduanya masuk dan pandangan mereka segera terarah pada Taksa yang pulas di atas ranjang.
Efendi melirik Prabu. "Ke mana Mamanya?"
Yang ditanya tersenyum menunjuk pusat dada. "Di hati Prabu."
Andai saja yang dimaksud bukan Paras, Efendi dan Rosa bisa saja tertawa karena lelucon itu. Sayang sekali hal itu justru memicu ketegangan antara Prabu dan keduanya.
"Papa kasih tahu kamu." Efendi menyimpan kedua tangan di saku celana. Menatap putranya dengan segenap amarah yang sedari tadi dia tahan di depan keluarga besar. "Satu-satunya cara kamu bisa menikahi anak itu dengan bawa dia lari. Pergi dari keluarga. Jangan jadi bagian dari Candra Diwangsa."
"Pa," tegur Rosa segera. Mengingatkan.
Masih menjaga hormatnya, Prabu menundukkan mata. Tetapi hati kecilnya masih saja berontak. Gumpalan pahit yang membengkak tak dapat ditelan membuat suara rendahnya terseret.
"Paras salah apa, Pa... Ma...?"
Dan sungguh, jika menangis dapat membebaskan sakit di dadanya maka Prabu tak keberatan. Dia bersedia menangis seperti bayi. Tetapi tak bisa. Sepanas apapun, matanya tak bisa berair semudah Paras melakukan itu untuk menuntaskan emosi.
Rosa benci melihat putranya sekacau ini dan memilih berbalik badan. Menyerahkan semua kendali pada sang suami.
"Paras nggak salah. Papa dan Mama yang nggak ingin menerima dia lebih dari keponakan."
"Karena bagi Papa kami egois terhadap anak, cucu, dan keturunan selanjutnya?"
"Ya."
"Cuma itu?" Perlahan, Prabu mengangkat wajahnya. Sosok Efendi memburam karena selaput bening membasahi permukaan matanya. "Risiko birth defect pernikahan sepupu cuma 4-6 persen dan ada banyak usaha yang bisa aku kerjakan untuk antisipasi. Apa Papa mau dengar? Apa Papa butuh itu?"
"Papa tahu tapi nggak butuh."
"Artinya ini bukan karena kami sepupu."
"Not really." Efendi memejam sesaat. "Sepupu adalah alasan kedua."
Bulu mata Prabu basah saat mengerjap. Jadi selama ini dugaannya tidak salah.
"Apa alasan pertama?"
"Sudah dijelaskan Mamamu."
Tentu saja. Alasan itu.
Prabu tersenyum gemetar. Alasan itu. Alasan ketertarikan Prabu pada Paras. Alasan Prabu mengagumi Paras. Alasan Prabu ingin mengamankan Paras selalu di sisinya. Rupanya adalah alasan yang sama yang membuat ayah ibunya tidak menginginkan Paras lebih dari keponakan.
"Karena Paras janda?" serak Prabu yang tidak sadar telah meneteskan air mata. "Karena lima tahun lalu? Karena dia hamil di luar nikah? Karena dia pergi? Karena dia korban kekerasan? Karena... di mata Papa... Paras itu rusak?"
Namun air mata tidak pernah menggugah Efendi Candra Diwangsa.
"Sudah dijelaskan Mamamu."
Tiga kata itu terasa bagai seribu jarum ditembuskan pada jantung Prabu secara bersamaan. Tak selesai di situ, jarum-jarum tersebut serentak menyucuki tempurung kepalanya yang berdenyut hendak pecah. Namun belum sempat dia mengendalikan kekacauan itu, sebuah suara menginterupsi.
Taksa terbangun.
Balita itu menangis mencari ibunya.
Prabu menyingkirkan air matanya dan bermaksud mengambil Taksa tetapi pintu kloset itu dibuka dari dalam. Tak banyak berpikir, Paras mengambil putranya dalam dekapan seraya mengusap punggung kecil itu. Menenangkan tangisnya sejenak sampai balita itu tertidur kembali dengan kepala bersandar di bahu sang ibu.
Kemudian perempuan itu menghampiri Efendi dan Rosa yang terpaku di tempat.
Dia memberi senyum sehangat yang bisa diusahakannya. Membungkuk sopan di hadapan orang tua kekasihnya sambil tetap menahan tubuh Taksa.
"Pakde, Bude, Paras dan Mas Prabu sudah putus. Nuwun pangapunten (mohon maaf), Pakde, Bude. Paras janji ndak akan mengganggu Mas Prabu lagi. Assalamualaikum."
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 30 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro