22
Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
TIDAK bisa. Paras tidak bisa lagi tersenyum setelah mendengar pernyataan Efendi bahkan meski hanya berpura-pura. Bibirnya kebas, persendian kakinya lemas, dan sekelilingnya membias sebab matanya semakin panas. Dia menengadah pada langit-langit teras sebelum air matanya jatuh bebas.
Jemarinya meremas punggung daster Suci yang tak kalah terguncang. Namun wanita itu masih mampu mengusahakan senyum dan dia harus memastikan.
"Calonnya Prabu, Mas?"
"Ya." Tanpa sangsi, Efendi mengangguk. "Calon istrinya Prabu."
Suci menelan ludah kental.
"Siapa?"
"Minggu depan, Ci. Datang, ya? Nuwun pangestunipun (mohon doa restunya) buat ponakanmu yang rewel satu itu." Efendi menepuk ringan lengan adiknya. "Ya wis masuk, Paras juga, ndang istirahat. Sudah malam. Salam buat Pur sama Taksa. Mas nuwun pamit, assalamualaikum."
Paras tetap bisu tanpa mengacuhkan Efendi yang berlalu.
Kepergian Efendi malam itu menjadi awal tangisnya yang pecah tak terbendung dalam dekap Suci. Sebagai seorang adik, wajib bagi Suci mengharapkan yang terbaik bagi putra kakaknya. Keponakan yang sejak lahirnya telah Suci sayangi selayaknya putra sendiri.
Namun ibu mana yang hatinya tidak berdarah menyaksikan putrinya rapuh. Rapuh dan jatuh, terisak menderai air mata hingga datangnya subuh. Masih berbalut mukena putih, Paras akhirnya tertidur berbantalkan ribaan Suci. Kelelahan.
Suci pun lelah. Jauh lebih lelah daripada Paras. Dia pun ingin menangis, tetapi di depan anak itu, pertahanannya harus sekeras baja. Paras berada di titik terlemah dan membutuhkan rumah bernaung yang kokoh.
Sebab, kepada siapa lagi putri kecilnya harus datang, saat semua hati tertutup mati kecuali dia sebagai ibunya.
•°•°•
Hanafi sama sekali tidak bertanya ketika Paras meminta secangkir kopi--jenis apapun yang dapat pria itu sajikan--dengan kadar kafein paling tinggi. Terutama karena dia menyadari kelopak mata perempuan itu gembung dan tatapannya seperti mayat hidup. Entah apa yang terjadi tetapi yang pasti Paras butuh dopping untuk melalui satu hari ini.
Setelah mendapat izin 5 menit dari Zahra, Paras membawa cangkirnya ke ruang staf. Berusaha menenggak kopi robusta tersebut selekas mungkin. Menahan sensasi terbakar di permukaan lidah karena masih sangat panas meski dia sudah meniupnya.
Tetapi kemudian dia menyerah. Sensasi terbakar itu dapat mematikan papila lidahnya. Mana boleh asisten chef mengalami kerusakan indra perasa? Dia memutuskan menunggu sebentar sambil memeriksa ponsel yang sejak semalam dalam mode airplane. Sengaja. Tak ingin dihubungi bahkan oleh Prabu sekalipun.
Hanya saja, kembali ke sambungan internet adalah pilihan yang bodoh sebab semua notifikasi masuk bersamaan. Yang paling dominan tentu saja dari chat group Dinasti Candra Diwangsa.
Bude Rosa
Assalamualaikum wr wb sedulur Candra Diwangsa.. bismillah..
Ngapunten nggih isuk2 rame 🙏🏻 sekadar mengingatkan Pakde, Bude, Om, Tante, Keponakan2, Cucu2 sekalian untuk datang pada arisan bulanan rutin yg kebetulan bertempat di kediaman kami keluarga Efendi.
Dalam kesempatan tersebut kami bermaksud mengenalkan calon anggota keluarga baru yang InsyaAllah akan jadi menantu.
Sangat diharapkan kehadirannya untuk memberikan doa restu bagi anak kami 😄🙏🏻
Bulir air mata kembali bersarang di kelopak bengkak Paras. Segera dia tepis dengan lengan atas seragam namun matanya tak juga berhenti memindai isi obrolan grup.
Satu grup geger.
Prabu disebut dan di mention berkali-kali oleh semua anggota grup kecuali Paras dan Suci. Tetapi sang bintang utama tidak membalas barang satu huruf pun. Alih-alih muncul di grup, pria itu meninggalkan banyak pesan dan missed call untuk Paras sejak semalam.
Ayu
ras, sudah tidur?
📞missed voice call at 23:49
📞missed voice call at 00:12
📞missed voice call at 00:51
paras please
📞missed voice call at 01:20
kalo sudah baikan tolong hubungi aku
📞missed voice call at 04:01
ras, sudah sholat?
📞missed voice call at 05:22
📞missed voice call at 06:00
ras, aku hubungi ibu kamu
katanya kamu baru bisa tidur
please call me back ras
i need to know if youre okay
📞missed voice call at 07:03
paras, dont do this to me
aku mau denger suara kamu
📞missed voice call at 07:34
i love you and it hurts, ras...
Paras mengaktifkan kembali mode airplane nya.
Matanya masih saja mengeluarkan air. Percuma. Percuma saja menghubungi Prabu. Prabu korban perjodohan, Paras tahu betul dialah pemenang hati pria itu sebagaimana pria itu juga memenangkan hatinya. Namun apa artinya saling memberi hati jika pada akhirnya tak mungkin memiliki.
Dan apa yang bisa mereka perbuat saat ini?
Yang Paras tahu hanya dia dan Prabu masih saja berlari dalam labirin masalah demi jalan keluar yang tak pasti. Paras tak lelah berlari dan begitu pula Prabu. Lain halnya dengan orang tua Prabu yang akan menjemput putra mereka keluar dari labirin itu dengan cara sendiri, meski harus memaksa.
Meski harus perlahan-lahan menancapkan belati di hati salah satu keponakan mereka. Perempuan rusak yang jadi alasan terbesar Prabu buang-buang waktu berlari di labirin itu.
Namun Prabu selalu berkeyakinan, Paras adalah hadiah yang untuk mendapatkannya dia harus memenangkan sebuah peperangan.
Sebab itulah sekarang dia di sini. Menyisihkan sekian menit lebih awal sebelum jadwal visite paginya setelah Hanafi mengabarkan bahwa Paras masuk kerja dalam keadaan kacau.
"Ma--s... ngapain?" tanya perempuan itu, serak, tersiksa karena pahitnya kopi dan remuknya hati.
Prabu menutup pintu. Mendatangi perempuan itu dan menariknya berdiri. Membingkai wajah pucat itu dengan kedua tangan. Pupilnya bergerak cepat memindai setiap inci lantas merangkum tubuh rapuh Paras dengan sepasang lengannya. Erat.
"Maaf." Dia mencium puncak kepala itu. Lama. "Maaf." Dadanya sesak karena gemuruh yang tak kunjung reda. "Kamu selalu jadi yang paling sakit karena aku. Maaf..."
Air mata Paras kembali merebak dan terserap kemeja Prabu sebab pria itu membawanya semakin dalam.
"Minggu depan, waktu arisan..." seraknya, mengaliri telinga Paras, "aku akan menolak di depan keluarga. Aku pasti menolak. Dan bukan cuma aku, dia juga. Kami sudah bicara satu sama lain dan dia ada di posisi yang kurang lebih sama dengan kita. She never wants this forced engagement in the first place either. Dengan alasan apapun kami nggak bisa menikah karena paksaan."
Seharusnya Paras lega. Seharusnya. Tetapi dia tahu, "ini nggak akan selesai, Mas..." Tipis suara Paras nyaris tak bisa Prabu dengar. "Mas akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan berikutnya. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Kita nggak mungkin kecuali aku pilihan terakhir yang tersisa--"
"Dan aku akan selalu menolak."
Paras berusaha menggeleng. Prabu bersikeras menahan tubuh Paras yang berontak. Membubuhkan secara paksa ciuman-ciuman di sekujur kepala Paras hingga perempuan itu lelah dan menyerah. Membiarkan tubuhnya makin terbenam dalam kuasa Prabu.
"Jatuh cinta itu nggak cuma kenalan-pedekate-jadian-kencan-nikah. Pasti ada ujian untuk kita dan itu yang membuat ikatan kita makin kuat. Kamu yang bilang itu, Ras. Kamu yang tunjukkan itu sama aku. Kalau kamu lelah ayo kita minggir. Ayo kita istirahat sebentar. Aku nggak pergi. Aku menunggu di sini. Aku selalu di sini sampai kamu kembali jadi Parasku yang kecil tapi perkasa."
Prabu mengendurkan diri. Meraih wajah perempuan itu dan menghapus lembut air matanya. Mengulas senyum bersama sorot teduh yang kemudian memunculkan kembali tunas-tunas harapan pada hati Paras yang hangus.
"Nggak cuma kamu yang lelah. Aku juga. Ayo kita turun dan istirahat sebentar. Minggu ini nonton film di rumahku... mau?"
Paras membalas senyum itu. Samar.
Dia tertunduk menurunkan jemari Prabu dari wajahnya tanpa melepaskan. Yang Prabu katakan ada benarnya. Dia lelah. Dia sangat lelah dengan semua penolakan ini. Psikisnya butuh relaksasi agar lebih siap menghadapi tantangan selanjutnya yang sudah menanti.
"Iya, Mas." Suaranya masih saja sengau. "Maaf. Maaf aku insecure."
"Insecure itu nggak salah." Prabu mengangkat sayang dagu perempuannya. Memerhatikan baik-baik sepasang mata sembap itu. "Yang salah itu kalau kita berhenti di sini. Itu salah. Salah besar. Kita berhenti till death do us part, hmm?"
Paras mengangguk. Tersenyum lebih bernyawa. Dia mengerti dan percaya. Dia tidak harus menanggungnya sendiri; ada Prabu, selalu, tempatnya menggantung asa dan memercayakan hati.
"Prabu. Paras."
Keduanya sontak menjauh. Berputar ke asal suara di ambang pintu yang entah sejak kapan tak lagi tertutup. Jantung Paras memerosot ke lantai melihat Rosa tersenyum hangat di sana.
Baik Paras maupun Prabu tidak pernah sadar bahwa, sejak semula, mereka bukan tersesat di labirin problematika biasa.
Mereka tersesat di sebuah labirin mati. Boleh saja keduanya lari kemana pun, dan sampai kapanpun, yang akan mereka temui hanya jalan buntu.
•°•°•
Sudah terbayang endingnya kan? Ehe.
Kusatsu, Shiga, 27 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro