Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17

Kok banyak yg nyalahin Bude Rosa sih wkwk. Selama ini emang baik tapi sebatas bude-ponakan aja okelah. Kalo mertua-mantu ogah. Dilogika aja, ibu normal mana yg bisa dengan gampang terima mantu macem Paras?

Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

SARAPAN Paras digegerkan dengan kiriman gambar dari Nando yang menampilkan tampak samping saat Prabu duduk memeluk Paras yang berdiri, membenamkan wajah di perut perempuan itu. Sementara Paras terlihat mengusap kepala pria itu penuh sayang. Gambar itu diikuti dengan beberapa baris pesan melalui jalur pribadi.

Mas Nando
ras, segarkan aku
apa maksudnya ini
😱😱😱

Parasayu Larasati
yaa gitu mas
hehe

Mas Nando
dokter Prabu sama kamu
serius ini
sesama sepupu???

Parasayu Larasati
minta doa restunya aja mas
😄

"Ras? Gek ndak ndang ringkes-ringkes, Nduk (ayo cepat beres-beres, Nak) katanya berangkat pagi?" tegur Suci yang otomatis membuat Paras menyimpan ponsel dalam pangkuan.

"Masuk paginya mulai minggu depan, Bu," jelas Paras menggeser duduknya untuk memberi Suci tempat. "Berarti Paras titip Taksa mulai pagi, ya, Bu? Ibu kerepotan nggak, sih? Taksa pencicilan 'kan, Bu? Kalo Ibu repot di Gema Medika ada nursery, biar Paras titipin Taksa di sana. Mungkin bisa Paras jenguk sesekali pas istirahat."

"Ndak usah lah Ibu seneng ada temen di sini. Timbangane (daripada) Ibu ndelok'i (nonton) sinema kumenangis cek apikan dulin karo (enakan main sama) Taksa. Iyo, Sa?" Suci merentangkan tangan menyambut Taksa yang baru bangun, masih dengan setengah nyawa menghambur dalam pelukan sang nenek.

"Aca mimpi, Uti," lirihnya di lengan Suci, kemudian mengintip Paras yang menunggu kelanjutan. "Aca bobo sama Mama sama Pakde Doktew."

Paras tersedak ludah sendiri. Suci memelotot.

"Pakde Dokter? Pakde Prabu maksudnya?" bingung Suci. "Bobo gimana?"

"Bobo di dayam sepawat eh sepawatna jatuh."

"Innalillahi!" seru Suci hiperbolis. "Terus Taksa, Mama, sama Pakde gimana?"

"Teyus tebang naik baying-baying mambu."

"Bambu!" koreksi Paras mencubit pipi bulat Taksa.

"Terbang ke mana?" tanya Suci antusias.

"Ke Matos, teyus Aca mandi bowa."

"Hiiih!" Suci mengeratkan Taksa dalam dekapnya hingga bocah itu tiba-tiba terpingkal kegelian. "Taksa ngode Uti, ya? Hmm? Taksa ngode mau ke Matos? Uti sekarang sudah bisa pesen ojek dari hape, lho. Ayo kalo mau ke Matos kita cuss!"

"Cuss, Uti!" dan Taksa menyambut bro fist yang diacungkan Suci.

"Oh, ya, Nduk," masih memeluk Taksa, Suci menoleh putrinya lagi. "Kata Bapak kamu mau pindah ke kontrakan Prabu dua bulan lagi? Ibu sih maunya kalian tetep di sini. Tapi misalnya Bapak tetep mau kalian pindah, Taksa biar tetep Ibu momong aja ya, Ras? Ibu ke rumah kamu pagi-pagi. Mesakno (kasihan) kalo Taksa di tempat penitipan. Lagian biaya penitipan bisa kamu tabung."

Hangat merebak saat itu juga di mata dan hati Paras. Betapa bodohnya dia yang pernah menyia-nyiakan Ibu sebaik ini dan memilih pergi dibutakan cinta yang tidak sehat. Tetapi kesalahan itu tidak akan terjadi dua kali.

Karena itu Paras melengkungkan senyumnya, meski takut, kali ini dia akan memulai kisah cintanya dengan cara benar.

"Bu, Mas Prabu mau ke sini pas jam istirahat habis duhur. Ada yang mau dibicarakan sama Ibu."

"Ibu?" Suci membulatkan mata. "Bicara apa, Nduk? Soal rumah kontrakan? Kok serius banget sampai harus ke rumah?"

"Nanti Paras jelaskan berdua sama Mas Pra." Paras menggenggam satu tangan hangat ibunya, memohon harap dengan tatapnya. "Paras sama Mas lagi sama-sama bingung. Kami butuh bantuan Ibu. Apapun yang Paras sama Mas jelaskan nanti, Paras minta tolong ditanggapi dengan kepala dingin, ya, Bu? Paras mau berubah. Paras mau manut (patuh) sama Bapak sama Ibu."

•°•°•

Seingat Suci, jumlah kunjungan Prabu ke rumah ini setiap tahunnya bisa dihitung jari. Mungkin hanya setahun sekali setiap hari raya. Atau arisan keluarga. Kadang malah tidak sama sekali terutama ketika Prabu sedang hectic-hectic nya dengan urusan sekolah medis.

Karena itu saat Paras berkata bahwa ada yang ingin dibicarakan Prabu dengannya sampai harus datang ke mari, mau tidak mau Suci berpikiran jelek. Mungkin Paras mengusik Prabu hingga pria itu terganggu dan merasa tidak nyaman. Mungkin kinerja Paras di Ge Cafe buruk. Tetapi bukankah Rosa justru memberi Paras posisi yang lebih baik? Mungkin Paras menunggak hutang dari Prabu dan tidak sanggup melunasi? Ya Tuhan jika iya jangan sampai Purnomo tahu.

"Assalamualaikum--"

"Waalaikumsalam! Masuk, Le, masuk," sambut Suci bahkan sebelum Prabu menyelesaikan salam dan segera menggiring keponakannya duduk di ruang tamu. "Maaf, ya, Le, rumahnya berantakan. Dulinane (mainannya) Taksa kemana-mana."

Meletakkan paper bag yang dibawanya, Prabu lantas berlutut membantu Suci memunguti kepingan plastik warna-warni. "Oh, Taksa seneng LEGO?"

Suci tertawa mengangsurkan ember plastik tempat mainan pada Prabu. "Iya itu, Le, bikin pesawat terus dijatuh-jatuhin. Ambyar kemana-mana. Seneng betul sama pesawat."

"Hmm. Berarti interior kamar Taksa di rumah Prabu bisa dikasih tema pesawat."

Gerakan tangan Suci berhenti.

Dia menoleh Prabu. "Kamar Taksa kok di rumahmu, Le?" Kemudian Suci menangkap maksud keponakannya. "Ah, rumah kontrakan? Palingan Taksa masih dikeloni Mamanya, Le. Belum berani tidur sendiri."

"Kalau Taksa mau adik harus belajar tidur sendiri, Tante." Supaya Mamanya bisa mengeloni Prabu. Begitu.

"Adik?"

"Mas Praaa!"

Keluar dari kamar setelah menidurkan Taksa, Paras mendesis dan segera mencubit keras lengan atas Prabu. "Jangan ngode-ngode sama Ibu!"

"Ngode apa, sih?"

"Sok polos! Aku ngerti isi kepala Mas!"

Prabu tersenyum. "Calon istri cerdas kamu."

"MAS!" Ya Tuhan, beri Paras kesabaran lebih dalam menghadapi lelaki kardus.

"Ono ae (ada-ada saja), Pra, Pra." Suci tertawa menutup ember LEGO kemudian beranjak. "Minum apa, Le? Teh? Kopi? Kopi susu?"

"Apa aja, Tante. Ah, ini," Prabu meraih paper bag nya yang diserahkan pada Suci.

"Owalah, suwun, Pra. Opo iki? (Apa ini?)" Suci memeriksa isinya lalu matanya membulat berninar. "Lho alah, kok ngerti Om-mu seneng ayam geprek? Sip, Le, sip!"

Senyum Prabu mengembang puas saat Suci berlari ke dapur menyimpan ayam geprak itu. Paras menyikut Prabu. Prabu membalas dengan lirikan dan sebelah alis naik.

Suci kembali lagi dengan senampan berisi teh dan sepiring jajanan pasar yang kemudian dihidangkan di meja. Bergantian menatap Paras di sisinya dan Prabu di seberangnya, sang ibu memulai perlahan.

"Pra mau bicara apa sama Tante?"

Napas Prabu tertahan. "Pra mau menikah, Tante."

"Wah! Bener, Le?!" Suci berbinar seketika. "Alhamdulillah, akhirnya nemu juga. Anak mana? Mbok ya dikenalkan dulu sama keluarga. Kapan rencananya, Pra?"

Alih-alih menjawab, Prabu justru diam. Mengerling Paras untuk sesaat sebelum mengembalikan senyumnya pada Suci. Membaca arah mata keponakannya, semringah Suci luntur kala melihat putrinya sendiri tertunduk meremasi jemari, menahan gelisah yang menari-nari.

Dan Suci mulai mengerti. Jantungnya sesaat berhenti.

Tapi, apa iya...

"Paras?" Lidah Suci terasa kelu. "Menikah sama... Paras?"

Prabu membungkuk. Sopan. Memejamkan mata.

"Inggih, Tante. Prabu mohon izin menikahi Paras."

Suci terdiam. Lama.

Panjangnya hening itu adalah bukti tak terbantah bahwa kejujuran Prabu mengguncang kesadarannya. Ah, tidak. Suci menggeleng pelan dan mengusahakan tawa kaku. Dia segera menguasai diri.

"Bercandamu marai (bikin) Tante syok, Pra. Anak mana?"

Namun keseriusan yang menekan dari sepasang mata keponakannya membuat Suci merinding. "Parasayu Larasati, putri kedua Tante. Prabu ingin bangun setiap pagi melihat Paras ada di sisi Prabu."

Suci tak tahu lagi. Dia menoleh putrinya. "Paras," ujarnya gelisah, "gimana pendapatmu, Nduk? Anak perempuan ndak boleh dinikahkan tanpa diminta persetujuannya."

Dengan kerendahan hati, Paras menatap ibunya.

"Paras bersedia menikah sama Mas Prabu dan ada di sisi Mas setiap bangun pagi, Bu."

"Ah." Suci tertawa bingung. "Tapi... tapi kalian ini," dia menatap keduanya bergantian, "kalian sepupu."

"Sependek pemahaman Prabu, pernikahan antar sepupu dihalalkan dalam Al-Ahzab ayat 50. Dan dalam Undang-Undang Perkawinan Bab 1 Pasal 2 disebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."

"Ibu." Paras segera menggamit jemari ibunya. "Ibu, Paras tahu kami sepupu. Paras sadar kami masih satu keluarga. Tapi ini yang Paras dan Mas sama-sama inginkan. Paras pernah salah karena nikah tanpa restu Bapak sama Ibu. Paras durhaka. Dan Paras ndak mau mengulangi itu lagi, Bu. Paras mau mulai semuanya dengan benar, dengan ridho Bapak sama Ibu supaya pernikahan Paras sama Mas Prabu bawa berkah, bukan musibah."

Suci merasakan matanya memanas. "Tapi kenapa harus Prabu, Nduk... kenapa?"

"Karena," Paras menatap Prabu sesaat, "karena Paras dan Mas sama-sama ndak bisa memilih hati ini jatuhnya kepada siapa, Bu."

"Tante," Prabu kembali bersuara, "Prabu paham Tante khawatir karena Prabu dan Paras masih sepupu. Tante khawatir ini sulit diterima keluarga besar. Dan kalau ada masalah yang kena bukan cuma Prabu dan Paras tapi juga keluarga. Prabu tahu risikonya. Prabu siap dengan konsekuensi itu karena ini murni pilihan Prabu."

"Pilihan Paras juga, Bu," perempuan itu menambahkan, segera.

"Tapi apa keluarga kita siap dengan ini juga, Pra? Ras?" Suci menuntut keduanya. "Bapakmu, Ras. Ibu ndak tahu. Ibu bener-bener ndak tahu apa Bapakmu bisa terima ini. Papa-Mamamu, Le, apa mau nerima Paras? Paras itu--" berhenti sesaat, Suci menelan ludah. "Mamamu selalu cerita kamu dikenalin sama anak perempuan yang--kalau Tante boleh bilang--dari keluarga menengah ke atas. Dan masih gadis. Paras anak Tante ndak seperti itu. Dia sembrono. Dia masih belajar mandiri dan sudah punya anak. Sudah ndak gadis. Papa-Mamamu mau, Le?"

Paras tak ingin melawan sebab itu benar. Dia sadar dan menerima. Tetapi Suci yang gemetar tak mampu menahan emosi akhirnya menitikkan air mata. Paras merangkul dan mengusap punggung ibunya sekadar untuk menenangkan.

Di sisi lain, Prabu mengembus berat dan berkata dengan tidak rela.

"Untuk sekarang, Prabu lagi usaha menyakinkan Papa dan Mama, Tante. Prabu sama Paras ingin tahu--terlepas dari persetujuan anggota keluarga lain yang belum pasti--apa Tante berkenan merestui hubungan kami?"

Melirik putrinya, Suci kemudian menyeka mata yang berkaca. Gurat-gurat halus terbentuk di sudut mata itu saat mengulas senyum tipis.

"Pada dasarnya Tante ndak keberatan dengan status kalian sebagai sepupu. Ndak semua yang tabu itu keliru dan bikin malu."

Angin segar bertiup di dada Prabu membuat pria itu ingin menangis di sini. Paras merunduk mencium punggung tangan Suci penuh khidmat.

"Tapi keluarga ndak bisa nerima ini dengan mudah, Nduk, Le." Suci mengusap puncak kepala putrinya, merasa miris dalam hatinya. "Bisa jadi di keluarga kita, cuman Ibu satu-satunya yang ridho dengan pernikahan kalian."

Paras menghambur memeluk ibunya. Erat. Menumpahkan tangis yang tak mampu lagi dia bendung di balik punggung tua itu.

"Makasih, Bu..." isaknya terbata, "makasih."

Suci mengangguk tertahan. "Kuat-kuat, Nduk. Kalau memang jodoh Allah permudah jalannya. Tapi kalau ndak, jangan memaksa, harus berbesar hati. Harus legowo, harus mengikhlaskan. Allah yang tahu yang terbaik."

Prabu meraup wajah. Menengadah dan seketika hatinya terasa ringan saat melihat satu bebannya telah terangkat. Hilang begitu saja dan berganti dengan senyum kepercayaan diri.

Hari ini dia tahu, langkahnya menghadap Suci sudah tepat.

Selanjutnya siapa?

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 22 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro