Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 (a)

Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

DUA puluh tiga tahun mengenal Juwita, belum pernah Paras setakut ini pada sang kakak kecuali dua waktu: (1) saat menceritakan kehamilannya, dan (2) saat Juwita sudah tahu hubungan Paras dan Prabu tetapi untuk suatu alasan, perempuan itu memilih diam. Pura-pura dungu. Bahkan Paras mengetahui hal ini justru dari Prabu. Prabu tahu dari Prita. Prita tahu dari Juwita yang menyaksikan sendiri bagaimana adiknya ada dalam pelukan sepupunya selayaknya pasangan kekasih. Yang tidak kalah mengerikan, adiknya membalas pelukan itu dengan sama mesranya.

Juwita tidak tahu apa dia harus tersentuh atau jijik.

Bukan Juwita tidak paham bahwa Tuhan menghalalkan cinta antarsepupu, tetapi, astaga. Prabu dan Paras sudah mengenal setidaknya sejak Paras lahir. Prabu selalu melihat Juwita dan Paras sebagai adik, dan sebaliknya, bagi Juwita dan Paras Prabu adalah kakak.

Memang ada masa lebih dari 15 tahun di mana Prabu dan Paras tidak bertemu sama sekali. Diawali ketika Prabu mengambil preklinik di sebuah universitas Jakarta dan meneruskan hingga spesialisasi, ditambah kepergian Paras selama lima tahun, sudah pasti semuanya berubah. Paras bukan lagi bocah 7 tahun yang mengecap Prabu sebagai singa, dan Prabu bukan lagi remaja 19 tahun yang membenci Paras sebagai kutu kecil pengganggu.

Mereka bertemu kembali sebagai dua orang yang berbeda. Hanya Juwita sama sekali tidak mengira perpisahan 15 tahun akan menyatukan mereka kembali bukan sebagai sepupu, tetapi kekasih. Terkadang takdir juga bisa bercanda.

Tentu saja Juwita punya pilihan untuk menutup mata terhadap hubungan gelap Paras dan Prabu tetapi nuraninya sebagai kakak berkata lain. Adiknya harus diberi pengarahan namun setelah berbagai pertimbangan, dia tidak bisa melakukannya sendiri. Dia butuh bantuan pihak lain dan rasa-rasanya Prita adalah orang yang tepat.

Maka keduanya mengatur agenda untuk bertemu berempat, di satu tempat di waktu yang sama.

"Car free day, Mbak? Minggu besok?"

"Iya," sahut Juwita di sambungan panggilan seberang. "Kamu libur, 'kan? Mbak Prita mau mulai persiapan lahiran sekalian bawa Alea jalan. Mas Prabu juga ikut."

Beberapa hari lalu, Paras sudah diwanti-wanti oleh Prabu bahwa ada kemungkinan Prita dan Juwita berencana mempertemukan mereka berempat. Sudah pasti tujuannya membahas hubungan tabu Paras dan Prabu. Prabu meminta Paras mempersiapkan hati dan mental untuk itu.

"Oke, Mbak," jawabnya lugas. "Minggu, ya."

Paras tersenyum setelah panggilan berakhir. Dia siap. Jika itu dengan Prabu, Paras percaya dia bisa.

•°•°•

Matahari masih malu-malu saat sekuriti rumah Prabu membukakan gerbang untuk Scoopy Juwita yang segera diparkir di halaman. Seturunnya dari skuter, Paras dan Taksa mundur beberapa langkah mengamati kediaman pribadi Prabu yang baru pertama dikunjunginya. Bukan rumah megah seperti bayangan Paras: seperti di sinetron atau rumah mantan mertuanya dulu. Hanya satu lantai, tidak tingkat, tetapi memiliki halaman kosong yang sangat luas.

"Wumah Pakde Doktew isa buat bong bong kaw, ya, Mama?" Taksa menarik-narik ujung kaus Paras. Paras mengangguk setuju. Bahkan lahan kosong ini lebih luas daripada bangunan rumahnya hingga Taksa berpikir bisa membangun bumper car.

Juwita melirik penuh arti pada Paras. "Kata Mas Pra, dulu, dia males bangun rumah gede-gede kalo cuma ditinggalin sendiri." Dia lantas mengembus pendek. "Ayo. Mbak Prita di dalam."

Paras berusaha menutupi kecanggungannya saat Prita mempersilakan mereka masuk. Dan kecanggungan itu berangsur pudar saat matanya berkeliling mengamati interior minimalis bagian dalam rumah Prabu yang memberi kesan lengang dan luas. Padahal dari luar tidak tampak sebesar ini.

Pandangan Paras berlabuh pada sebuah lemari kaca berisi berbagai foto, suvenir, piagam, dan penghargaan lain. Senyumnya terkembang terutama saat foto tumbuh kembang Prabu berderet rapi di depannya. Memerhatikan foto Prabu saat bayi, Paras hampir bisa membayangkan sosok anaknya dan Prabu kelak sebelum Juwita berseru membubarkan imajinasinya.

"Jam segini baru bangun, Mas Prambodo?!" omel Juwita, mendapati Prabu keluar kamar dengan mata setengah terbuka, rambut semrawut, kaus dan celana rumahan selutut yang kusut.

Prabu menutup mulut saat menguap, tampak berusaha keras membuka matanya yang berair. "Diem, Witoyo. Aku baru pulang jam dua, nggak berani tidur takut bablas subuh, baru tidur habis subuh."

"Heish. Nggak tau yang namanya alarm, Mas?"

Paras tersenyum kecil dalam diamnya saat mengamati. Semalam Prabu memang bilang ada cito salah satu pasien rawat inap yang dia tangani. Meski bukan Paras yang turun tangan, ada rasa bangga terselip di hatinya karena memiliki seorang Prabu yang integritasnya tidak diragukan.

Namun saat sudut mata Prabu menyadari senyuman Paras, kelopaknya terbuka sempurna seakan lelah tidak pernah ada dalam kamusnya.

"Astagfirullah, dasar bucin sepupu! Ngapain mesam-mesem?! Siap-siap buruan!" maki Prita, disertai pukulan keras di lengan Prabu yang terkesiap dan segera masuk kamar lagi.

•°•°•

Car free day kota Malang diadakan setiap hari Minggu di bilangan Ijen, yang mana masih satu area dengan rumah Prabu sehingga mereka tidak perlu kendaraan lagi. Bahkan jalan besar depan pagarnya pun sudah bebas kendaraan, sebagai gantinya, diisi dengan lalu-lalang pengunjung yang jalan kaki atau bersepeda pancal. Selain itu, ada dokar ditarik kuda yang otomatis menyedot perhatian Taksa.

"Aca naik itu, Ma. Ayo naik!" Dia merengek setelah melihat satu keluarga kecil naik dokar melewati mereka. "Sama Mama sama Pakde, ya? Mama sama Pakde beyum naik kuda yang waktu di pasaw mawam-mawam."

"Hah?" Juwita membungkuk. "Mama sama Pakde naik kuda?"

"Yang waktu itu Aca naik kuda, Mama sama Pakde ndak naik. Kudana buat anak kecil."

Juwita menyerongkan wajah. Menatap tajam adik dan abang sepupunya menuntut penjelasan. Paras tersenyum rikuh menggigit bibir. Prabu, yang memang meneguhkan hati untuk tidak lari lagi, segera mengangkat Taksa dalam peluknya lantas menggenggam jemari Paras. Dia memberi jawaban dengan pasti.

"Maksudnya waktu kami jalan bertiga, Taksa naik merry go round yang memang khusus buat anak-anak. Orang dewasa nggak boleh."

"Jalan bertiga?" Prita menyipitkan mata.

"Yep." Tersenyum percaya diri, Prabu mempertegas maksudnya. "Bertiga. Aku kencan sama Paras dan bawa Taksa."

Prita dan Juwita terbeliak. "Kencan?!"

Mengabaikan keterkejutan dua adiknya, Prabu memanggil sebuah dokar kosong yang melintas, masih setia membawa Paras dan Taksa di sisinya. 

•°•°•

Sesekali Paras melirik dokar lain di belakang lewat sudut matanya. Prita dan Juwita yang memicing seram ke dokar di depan yang berisi dirinya, Prabu, dan Taksa praktis membuatnya bergidik ngeri.

Di sisi lain Prabu dan Taksa yang duduk di hadapannya tampak santai saling suap cimol. Prabu bermaksud menyuapi Paras juga namun perempuan itu menepis bersama raut takut. Memahami keresahan perempuannya, Prabu tertawa dan memberi Paras sentilan ringan di dahi.

"Santai, Ras. Mereka saudara kita."

Paras mencondongkan tubuh. "Mas bisa bilang gitu karena Mas yang paling 'kakak' di sini. Aku yang paling 'adik'!" Dia mendesis tepat di depan Prabu.

"Aku bilang gitu karena mereka setara sama kita."

"Aku nggak. Jujur aja aku mulai insecure sama hubungan kita, Mas. Mas nggak lihat tadi gimana ekspresi jijiknya Mbak Wiwit sama Mbak Prita waktu Mas bilang kita kencan? Seolah-olah kita ini habis berzina!"

Prabu bersandar di salah satu tiang, menikmati aliran angin. "Nggak tuh. Tadi pesen dokar."

"Mas!"

"Parasayu," kembali menegakkan duduk, Prabu tersenyum mengambil jemari Paras yang dia kaitkan dengan jemarinya. "Kita harus belajar masa bodo sama tatapan sinis, nyinyir sirik, omongan julid atau apalah dari orang lain. Kamu sudah yakin hubungan kita ini boleh dan nggak salah; itu bagus. Aku mau kamu lebih percaya diri bahwa kita pasti bisa mengubah persepsi keluarga besar selama ini."

Menimbang sejenak, Paras tersenyum kecil dan mengangguk. "Aku percaya Mas. Caranya gimana?"

"Kita mulai dari..." Prabu melirik dokar belakang sekilas, "Prita sama Wiwit. Mereka yang paling dekat sama kita di keluarga. Makanya tadi aku bilang mereka setara sama kita. Kita sudah sama-sama mereka dari kecil, hmm?"

"Jadi gimana? Kita harus blak-blakan sama mereka?"

"Biasa aja, sih." Prabu mengangkat bahu. "Rileks. Santai dan terbuka sama mereka. Kita perlu jadi diri sendiri di depan mereka supaya mereka sadar... kita ini bukan aib. Nggak ada yang perlu dipermasalahkan dari jatuh cinta sama sepupu. Kita ini boleh banget disahkan seperti pasangan lain."

Senyum Paras yang semula kecil berhasil mengembang bersama hatinya yang terasa hangat.

Prabu terhenyak melepas tangan Paras karena Taksa limbung ke arahnya. Bocah itu tertidur. Dengan segera Prabu mengatur ulang posisi, mendekap Taksa dalam pangkuan dengan satu lengan menyangga agar kepala Taksa tetap nyaman. Lalu entah dorongan dari mana, Prabu mengusap lembut rambut bocah itu dan tersenyum saat mengamati wajah polos tanpa dosanya.

"Mirip kamu waktu ketiduran di kamarku, Ras."

Kening Paras berkerut. "Aku? Kapan?"

"Duluuu," jawab Prabu tanpa beralih. "Waktu kamu sembunyi di kolong ranjangku, ketiduran, semua nyariin kamu tapi nggak ketemu. Witoyo yang nemuin kamu. Dia ngomel-ngomel katanya aku sengaja ngumpetin kamu."

"Mas!"

Prabu menengadah karena panggilan Paras kali ini terdengar seperti protes keras. Benar saja, perempuan itu dengan lugas menunjukkan kekesalannya.

"Jangan nyebut Mbak Wiwit dengan Witoyo lagi. Terus jangan mau dipanggil Prambodo sama Mbak Wiwit. Aku nggak suka!"

Prabu menyipitkan satu mata. "Kenapa? Udah dari jaman kecil, deh, Ras."

"Mbak Wiwit itu suka sama Mas!"

"What?" Prabu tertawa satir. "Dia bilang gitu?"

"Nggak sih... feeling ku."

"Nggak lah, Ras. Dia sepupuku."

Paras mendelik. "Terus aku bukan gitu?"

"Kamu kesayanganku."

Paras mengulum lidah, antara baper namun juga gemas.

"Bohong. Mana buktinya? Manggil aku 'Sayang' juga nggak pernah. Malah punya panggilan spesial sama Mbak Wiwit. Iyuh!"

Entah mengapa perut Prabu mendadak geli. Ingin tertawa, namun bibir mungil yang mengerucut di depannya membuatnya menahan diri. Sisi jahil Prabu terpancing untuk menikmati kecemburuan Paras lebih jauh.

"Hooo... kamu mau dipanggil 'Sayang'?"

Paras mendengkus keras. "Nggak usah. Thank you, next."

"Papa-Mama?"

"Males banget."

"Pipi-Mimi?"

"Nggilani, Mas!"

"Bidadari surgaku?"

"Allahu robbi!"

Prabu mengembus panjang. Pusing.

Membuang wajahnya yang tersipu malu, pria itu menengadah ke langit biru. "Ya sudah. Parasku."

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 17 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro