07 (b)
Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
LEBIH dari lima belas tahun menyelami dunia medis, air mata adalah pemandangan lumrah yang Prabu saksikan setiap hari. Air mata suka, duka, hingga amarah pernah ditujukan padanya. Menguji kesabarannya dalam hal melayani. Dan seiring berlalunya waktu, kini dia jadi lebih mampu.
Namun sejak dulu, hanya air mata dua perempuan yang benar-benar mampu mengguncang Prabu: ibunya, dan adik perempuannya. Setidaknya begitu, sampai siang ini ada tambahan perempuan lain yang baru dia sadari ada di posisi penting dalam hatinya.
Paras, perempuan itu, jelas tidak mungkin menangis di depan Prabu. Yang Prabu tahu adik sepupunya itu sengaja berlama-lama mengambil wudu terutama di bagian membasuh muka. Meski posisi Paras membelakangi Prabu tetapi punggung kecil yang gemetar itu tidak bisa berbohong.
Saat Paras berbalik, air mata itu tidak ada. Hanya raut dingin, tatapan redup, serta wajah merah yang tersisa di sana. Prabu menoleh ke belakang sekadar memastikan Paras sudah siap menjadi makmumnya, tetapi saat pandangan mereka bertemu, Prabu mengepal kuat-kuat. Menahan diri agar tidak menarik Paras dalam pelukan karena dua hal.
Pertama, takut wudunya batal. Kedua, Prabu tidak yakin apakah sebuah pelukan darinya dapat mengobati Paras atau justru memperkeruh keadaan.
"Pakde, sawim."
Taksa mengulurkan tangan beberapa saat setelah Prabu mengakhiri doa dengan usapan wajah. Prabu membiarkan punggung tangannya dicium lalu memerhatikan balita itu mundur mencari ibunya. Masih dalam balutan mukena putih, Paras menangkap Taksa sesegera mungkin. Menguncinya erat, lantas membenamkan wajah di perut putranya.
"Gewi, Mama, gewi!" pekik bocah itu, menggeliat seru.
Paras semakin intens mengusak Taksa. Yang membuat Prabu heran, sepupunya itu sama sekali tidak mengangkat wajah. Prabu mendekat sepelan mungkin, dan hanya butuh beberapa detik untuk dia mengerti alasan mengapa Paras seperti itu.
Paras menangis.
Paras menangis tanpa suara. Mencoba meredam air mata dan isakan di perut Taksa yang masih tertawa-tawa. Rasa nyeri datang bertubi, meremas jantung Prabu yang sialnya hanya membisu di tempat.
Beberapa waktu berlalu, Prabu menemukan kesadarannya dan meninggalkan ibu dan anak itu. Senyum pesimisnya terbentuk saat memikirkan bahwa besar kemungkinan dialah yang akan jadi penyebab Paras hancur jika memaksakan ego lelakinya.
Prabu rasa, dia harus mundur tanpa pernah memulai.
•°•°•
"... wis ndak lanang-lanangan maneh..."
"... penyesalan selalu di belakang, Nduk."
"... wis lah, pasti jadi musibah."
"... memperbaiki diri, meskipun janda..."
Mengapa rasanya sulit sekali mengenyahkan suara-suara itu dari ingatan Paras.
Paras berusaha meyakini bahwa semua ucapan itu adalah bentuk nasihat kasih sayang dari yang tua kepada yang muda. Mereka adalah para Pakde, Om, Bude, dan Tante yang Paras anggap sebagai orang tua sendiri sejak kecil. Mereka dengan senang hati membawa Paras main, jalan-jalan, makan di luar, atau sekadar membelikan es krim demi membahagiakan keponakan. Paras tidak mungkin melupakan kebaikan mereka dan kenangan indah masa kecil itu.
Lima tahun tidak bertemu, Paras hanya menangis dalam diamnya mendapati keluarga ini bukan lagi seperti dulu. Akalnya sedang berusaha memahami itu. Bagaimana pun dia juga telah berubah sangat banyak dan memang pantas jika diperlakukan berbeda.
Tetapi sudut kecil hatinya masih saja bertanya, apakah dinasihati dengan membuka aibnya seperti itu di depan semua orang adalah perlakuan yang... adil?
Jika iya, mengapa sesakit ini?
Ah, baperan kamu, Ras.
Sindiran itu Paras tancapkan kuat-kuat dalam benak sebagai pengingat. Dilengkapi dengan pengukuhan bahwa dia sudah memaafkan diri atas semua kesalahan masa lalunya. Dia juga sadar sejak awal bahwa menjadi buah bibir dan dikucilkan adalah sanksi sosial yang pasti akan menghadangnya, suka tidak suka.
Paras menegakkan bahu. Mengedarkan pandangnya berkeliling.
Semua bercengkrama dalam tawa. Dia ada di tengah-tengah mereka. Namun kekosongan yang dia rasakan justru semakin jadi nyata.
Ketika seseorang mengusap punggungnya dari belakang, Paras menoleh dan menemukan Prita tersenyum hangat. Memberikan isyarat untuk keluar dari lingkaran keluarga besar.
Paras mengikuti kakak sepupunya duduk di pojok gazebo karena sudah lelah memasang senyum palsu. Memandangi hamparan air tambak bersama Prita yang diam saja ternyata mampu membuang lebih dari setengah sesak di dadanya.
"Cokelat bagus buat stress relief, Ras."
Hanya itu yang Prita katakan: menawarkan buah siram cokelat dari chocolate fountain. Disantap bersama tanpa satu pun bertukar kata. Diam dan makan.
Kecuali setelah mangkuk itu kosong, Prita bertanya, "lagi?" dan Paras tersenyum menggeleng, menatap lekat saudaranya.
"Makasih, Mbak."
Prita menepuk punggung Paras dua kali seakan mengerti. "What doesn't kill you makes you stronger."
Paras mengangguk. "Siap, Kakak."
"Eh, ya, Ras." Prita memutar tubuh menghadap Paras lurus. "Mas Pra--"
"TOLONG! TOLONG, MAMA, TOLOOONGGG!!!"
Bukan hanya Paras dan Prita yang terkejut. Semua segera menoleh ketika Azalea belingsatan lari menghambur di pelukan Prita disertai jeritan histeris.
"Ta--TAKSA JATUH KE KOLAM, MAMA, TOLONG!!!"
•°•°•
Paras membekap mulut dengan napas tak beraturan dan air keluar tanpa jeda dari kedua matanya. Menyaksikan Prabu di dalam kolam mengangkat tubuh lemas Taksa yang segera disambung Efendi membawanya untuk dibaringkan di lantai. Semua yang berkerumun otomatis membuka jalan ketika Prabu melompat keluar dari kolam langsung menuju Taksa.
Mengabaikan tubuhnya yang kuyup disertai bau busuk menyengat, pria itu menepuk-nepuk pipi Taksa. Memeriksa cepat tanda vital balita itu. Denyut lemah. Tak ada respon. Dia membuka rahang kecil itu untuk memastikan tidak ada sumbatan. Lalu satu tangannya menahan dahi Taksa sedangkan tangan lainnya bekerja melakukan kompresi di pusat rusuk Taksa. Menekankan telapaknya sebanyak 30 kali dalam 20 detik.
Kaki-kaki Paras lumpuh hingga dia berlutut di sisi putranya yang tetap terbujur seperti mati.
Usaha kompresi tak membuahkan hasil. Satu tangan yang tadi dia gunakan untuk kompresi kini mengangkat dagu Taksa. Sementara tangan lain tetap bertahan di dahi. Prabu merunduk. Membuka mulut Taksa yang kemudian ditutup dengan mulutnya. Meniupkan udara selagi matanya mengawasi dada Taksa yang terangkat mengembang. Prabu melepas mulutnya. Meniupkan lagi. Mengulangi usahanya hingga pada tiupan ketiga, sesuatu terjadi.
Taksa terbatuk keras. Tersedak memuntahkan sedikit air yang membuat Paras kembali menemukan kekuatannya. Dia memegangi putranya yang masih setengah sadar. Membawa tubuh lemas itu dalam pelukan dan terisak di belakang punggung Taksa.
Prabu terduduk di tanah. Menyugar tetes air dari rambut di dahinya dan tersenyum lega.
•°•°•
"Ini, Ras, baju ganti sama kotak P3K," ujar Danila, menyerahkan barang-barang itu pada Paras. "Kalo perlu apa-apa panggil aja, ya. Aku di depan."
Paras membungkuk sebelum Danila keluar. "Makasih, Mbak."
Sepeninggal kakak sepupunya--anak kedua Suwarmi--Paras mengamati pakaian yang dipinjamkan untuk Prabu. Meski suami Danila berpostur lebih kecil dari Prabu tapi Paras rasa t-shirt dan celana kaus ini masih cukup menjangkau Prabu. Dan--sungguh suami Danila pengertian sekali--ada celana dalam pria baru yang masih tersegel dalam plastik mika. Paras menyelipkan benda keramat itu bersama celana kaus dengan canggung, sekaligus bertanya-tanya, kira-kira celana dalam itu cukup atau tidak untuk Prabu?
Pintu geser kamar mandi keluarga Suwirma dibuka dari dalam membuat Paras nyaris melompat. Taksa keluar dengan tubuh dan kedua tangan terbungkus dalam handuk, menghampiri ibunya dengan semringah seolah insiden tenggelam 30 menit lalu tidak pernah terjadi.
"Mama, Aca dah mandi sama Pakde tadi bikin bayon-bayon sabun."
"Mmh?" Paras membungkuk menyambut Taksa, lalu celingukan ke arah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. "Pakde mana?"
"Sini. Sini bajunya, Ras."
Prabu hanya mengeluarkan satu lengan basahnya dari celah itu. Mengerti maksudnya, Paras menyerahkan satu set pakaian pinjaman suami Danila pada lengan yang langsung menyambarnya dan menutup pintu kembali. Paras mengembus lelah.
Dia lantas membimbing Taksa duduk di bangku dekat kamar mandi, mengeringkan tubuh kecilnya, mengolesi minyak telon lalu memakaikan pakaian cadangan. Setelah itu membawa Taksa yang sudah wangi dalam pangkuan dan dekapnya.
"Taksa tadi ngapain, kok bisa jatuh?" tanya Paras tanpa intimidasi.
Taksa memutar tubuh menatap ibunya. "Tadi ikang datang, Aca mau ambil ndak bisa."
Bola mata Paras seketika memanas. "Maafkan Mama, ya."
"Mama sawah apa?"
"Mama nggak jagain Taksa. Maaf, ya." Paras memaki dirinya sendiri, sibuk merasai luka hingga melalaikan tugas utamanya terhadap Taksa. "Kalo main dekat kolam lagi, ajak Mama, ya? Jangan sendirian, ya?"
"Ndak kok tadi sama Kaka Awea."
"Kakak Azalea juga masih kecil kayak Taksa," terang Paras. "Maksud Mama sama yang sudah besar. Sama Mama, sama Uti, sama Bude Wiwit..."
"Sama Pakde Doktew boleh?"
Dari semua orang dewasa yang Taksa jumpai, Paras tidak habis pikir mengapa nama Prabu yang keluar dari mulut kecil itu. Mungkin karena Prabu menyelamatkan nyawanya? Mungkin karena mereka mandi bersama? Atau sesederhana karena Taksa menyukai Prabu?
Entahlah.
Yang Paras tahu, dia menanggapi Taksa dengan anggukan dan senyum. "Iya, Pakde Dokter boleh."
"Boleh apa, Ras?"
Paras dan Taksa menoleh bersama ketika Prabu akhirnya keluar kamar mandi, tetapi langsung mendapat sambitan dari handuk Taksa yang dipegang Paras. Paras menganga tak percaya disuguhi dada bidang dan otot biseps Prabu terekspos tanpa penghalang.
"Mas! Pake baju!"
"Ck, Ras, bajunya jatuh basah. Pinjamin lagi, dong?"
"Kok bisa jatuh, sih?!"
"Ya jatuh aja gimana? Nih!" Prabu mengangkat barang bukti kemudian melemparnya ke kursi. "Aku pinjam sendi--ah!"
Prabu tidak meneruskan kalimat karena lengannya ditahan Paras, tepat di bagian luka sepanjang 10 senti yang masih basah. Paras menengadah. Menautkan pandang mereka untuk beberapa detik sebelum mengajak Prabu duduk sejenak untuk mengobati luka dengan kotak P3K yang dia pinjam.
Paras tidak punya gelar medis seperti Prabu. Tetapi setidaknya dia cukup tahu bagaimana mensterilkan luka, membubuhkan antiseptik di sekitarnya, dan menutup luka dengan kasa bersih. Prabu terdiam, mengamati Paras begitu tekun mengerjakan lengan kanannya.
"Sudah." Perempuan itu tersenyum menengadah. "Kok diem, Mas? Ada yang salah nggak?"
Prabu menarik lengannya rikuh. "Nggak," lantas membenahi handuk yang tersampir menutupi punggung dan bahunya.
"Mas, makasih," bisik Paras tulus, menarik kembali Taksa ke dalam dekapnya. "Aku nggak tahu harus gimana seandainya tadi nggak ada Mas."
Prabu tertawa mengacak puncak kepala Taksa. "Ada Papa. Ada Prita. Kalau cuma resusitasi mereka juga bisa."
"Tapi cuma Mas Prabu yang langsung masuk ke sana nggak pakai mikir sampai tangan sobek entah kena apa, Mas juga nggak sadar."
Prabu mengusapi hidung yang mendadak gatal. "Nggak usah ngomong kalau kamu cuma mau buat aku merasa jadi superhero or something."
"But you are my superhero, Mas." Paras hanya ingin menyampaikan terima kasihnya dengan benar. "Superhero semua emak-emak yang anaknya berobat ke Mas, lebih tepatnya."
"Ras."
"Gimana, Mas?"
Untuk sekian detik pertama, Prabu terdiam menimbang masak-masak setiap kata yang akan dia utarakan. Menganalisis segala probabilitas. Memperhitungkan konsekuensi. Hingga merancang antisipasi untuk semua yang mungkin terjadi nanti, andai dia memberi kesempatan ego lelakinya untuk maju sekali lagi.
Dan, entah bagaimana, binar sepasang mata di depannya memberi dukungan penuh atas rasa yang ingin Prabu perjuangkan.
Maka, dia tersenyum.
"Something's going on between us, Ras. Kamu setuju?"
Detak jantung Paras mengeras. Dia mengerti. Dia sangat mengerti apa yang dibicarakan abang sepupunya. Dia mengangguk, samar.
Anggukan samar yang kemudian memberi Prabu keberanian untuk menarik Paras dalam peluknya. Paras dan Taksa sekaligus. Prabu harus memastikan Paras mengerti bahwa dia tidak sedang bercanda dengan memperdengarkan dadanya yang bergemuruh.
"Mas..."
"Aku mau kamu."
Paras tak bisa berpikir. Otaknya melambat.
Begitu pula dengan seseorang yang sejak tadi menjadi saksi interaksi ketiganya tanpa mereka sadari.
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 10 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro