04
Vote, komen, dan share jika kamu suka
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
DULU, waktu Paras masih sekolah, dia benci sekali dengan cowok yang merokok. Hanya saja bodohnya di kelas tiga SMU dia jatuh cinta, berpacaran, bahkan hamil dengan mantan pentolan ekskul basket yang jelas-jelas perokok. Termakan omongan sendiri. Sebab itulah Paras yang sekarang makin sentimen terhadap perokok.
Apalagi setelah dia tahu bahwa Angga adalah salah satunya.
Meski sebenarnya Angga tidak merokok di dalam bangunan Ge Cafe. Pemuda itu sedang duduk di belakang dapur yang terhubung langsung dengan parkiran khusus staf. Paras menemukannya saat bermaksud membuang sampah. Perempuan itu menahan ketidaksukaannya dengan bersikap masa bodo, namun satu panggilan dari Angga membuatnya urung membuka pintu.
"Oi, Tante."
Paras menoleh tepat saat Angga melepaskan asap di udara, lalu membalas tatapannya dengan tawa tak bersahabat.
"Masuk via jalur orang dalam itu enak, ya?"
Bibir Paras merapat sebelum menjawab, "aku punya kualifikasi yang dicari."
"Kualifikasi my ass." Angga menjatuhkan puntung rokok dan merematnya dengan satu injakan, lantas mendekati Paras hingga perempuan itu mengernyit karena aroma keras tembakau. "Salah satu requirement untuk PU adalah belum berkeluarga. Masih sendiri. Eh, atau janda satu anak itu masuk kategori belum berkeluarga? Status perkawinan di KTP Tante apa, sih?"
Paras terbeliak. Rasanya dia tidak ingat ada requirement seperti itu pada lowongan yang ditunjukkan Suci dari grup WA keluarga. Tapi yang paling penting, kenapa Angga bisa tahu...
Ah, ya. Prabu. Hanafi. Paras mulai mengerti.
"Gimana, Tante? Kenapa diam? It's okay, Tan, kami semua tahu Tante di sini karena nepotisme tapi yaudah lah. Orang kecil kayak kami bisa apa? Asal masih terima gaji setiap bulan bodo amat dengan praktik KKN. Iya, nggak? Tante juga gitu, 'kan?"
Inilah yang Paras takutkan.
Semua akan berpikir bahwa dia masuk lewat jalur belakang. Bahkan setelah mendengar satiran Angga dia sendiri juga mau tak mau termakan pemikira itu. Bahwa jangan-jangan memang itulah faktanya. Rosa menerimanya di Ge Cafe, semata hanya karena...
"Yaudah, sih, Tan." Sebelum pergi, Angga menepuk lengan Paras yang sudah sangat kaku. "Cuma mau bilang, Tante jangan khawatir. Aku akan terus pake masker selama sif di dalam cafe. Aku takut Tante ngaduin aku ke Bude Rosa... soalnya... ntar kalo aku dipecat, aku makan apa?"
•°•°•
Gerakan tangan Paras yang sedang makan melambat saat Vicky dan Angga memasuki ruang staf bersama senampan jatah makan masing-masing. Sementara Vicky memilih duduk di seberang Paras, Angga justru mengambil tempat tepat di sisi perempuan itu. Menghanguskan napsu makan Paras dalam sekejap.
"Ras, nih." Vicky menggeser susu karton jatahnya. "Minum susu yang banyak, Ras, biar susunya gede."
Paras memelotot.
"Nggak, nggak. Aku memang nggak doyan susu, piss!" Vicky meringis lebar disertai acungan jari membentuk V. "Minum dah. Kamu butuh asupan kalori yang banyak soalnya dari tadi gerak terus."
"Nggak gerak nggak kerja. Makasih, Mas," kekeh Paras mencoba santai. "Anak aku suka susu kotak gini. Biasanya dia minum yang lebih kecil, sih."
"Hee?" gumam Vicky, mulai memotong dagingnya. Sedikit terusik dengan keterbukaan Paras yang tidak biasa, mengingat sejauh ini perempuan itu tampak tertutup mengenai kehidupan personalnya. "Anak kamu cewek cowok, Ras?"
"Cowok, Mas."
"Umur berapa?"
"Empat ta--"
Denting garpu jatuh membuat Paras terkesiap dan menelan kembali kalimatnya. Angga membungkuk memungut kembali benda stainless itu. Rasa gelisah segera menggerogoti Paras ketika tatapannya bertemu dengan Angga. Perempuan itu segera beranjak dan tersenyum.
"Aku duluan, Mas."
"Lah? Belum habis, Ras. Habisin dulu--"
"Ntar aja." Paras tersenyum rikuh. "Di luar crowded kayaknya. Aku bantu Mas Nando dulu."
Tanpa menunggu respon Vicky, Paras keluar ruang staf bersama nampannya yang kemudian dia simpan di sudut salah satu konter dapur untuk nanti dimakan lagi. Paras hanya ingin tenggelam dalam suasana kerja akhir pekan agar tak ada waktu baginya memikirkan ucapan Angga. Urusan dapur tampaknya sudah di handle Hanafi dan Zahra meski hanya berdua. Nando lah yang terlihat kewalahan melayani pengunjung sebab Sasha, waiter yang satu lagi, sedang ijin sakit.
"Dibantuin apa, Mas?" cegat Paras ketika Nando terburu-buru menuju dapur.
"Ngg... ini deh." Nando menujuk deretan piring siap saji. "Serving, Ras. Yang udah served jangan lupa coret dari meja sama kasih paraf."
Paras langsung mengangguk paham karena sudah pernah melakukannya. Cukup mengantarkan pesanan ke meja yang sesuai kedengarannya memang mudah, tapi tidak selalu seperti itu. Terkadang ada saja permintaan tambahan lain dari pelanggan yang harus dia catat dan sampaikan ke dapur. Maka ketika akhirnya Paras mencapai urutan terakhir dari daftar serving, perempuan itu mengembus lega.
Namun kelegaan itu hanya bertahan sesaat setelah Paras tahu bahwa meja terakhir yang harus dia serve diisi oleh Rosa, seorang wanita muda, dan--oh Tuhan kenapa harus--Prabu.
Sedapat mungkin Paras menahan bola matanya agar tidak melirik Prabu. Menepis interaksi di ruang kerja Prabu tempo hari yang kini kembali menghantui pikirannya. Meski Prabu sudah minta maaf dan memintanya melupakan, namun jelas mengatakan tidak mudah melakukan.
"... satu spinach fatayer, satu orange coconut semolina cake, satu tahini salad, sama satu mint lemonade," jelas Paras, menghidangkan pesanan satu-persatu di atas meja lalu tersenyum pada Rosa. "Ada yang kurang, Bu?"
"Pas." Rosa membalas dengan senyum lebih ceria. "Makasih, ya, Ras."
"Ada tambahan, Ibu?"
"Mineral water satu, Mbak," jawab wanita di sebelah Prabu. "Jangan dingin, ya. Mas Pra, mau juga?"
Mengerling Paras yang sedang tunduk mencatat, Prabu tersenyum tipis. "Nanti."
"Fatima, Tante ke toilet sebentar." Rosa beranjak setelah menepuk lengan wanita muda itu. "Pra, jangan ke mana-mana."
Rosa melenggang pergi diikuti Paras di belakangnya. Sang owner rupanya tidak benar-benar ke toilet, melainkan inspeksi dadakan yang secara halus memaksa Vicky dan Angga mempercepat makan malam mereka. Meski dadakan namun semua staf tampak terbiasa, tidak panik menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari ibu bos walau tetap harus sambil bekerja.
Paras mendapat gilirannya ketika perempuan itu sedang mengelapi gelas di meja bartender. Rosa merapat di lengan keponakannya dan berbisik, "cantik nggak, Ras?"
Gerakan Paras terhenti. "Iya, Bu?"
"Itu, yang di sana." Rosa menunjuk meja Prabu beberapa meter di sana dengan dagu. "Cocok nggak buat Masmu?"
Terdiam sesaat, Paras mengamati perempuan di sebelah Prabu yang terlihat jelas memiliki garis keturunan Timur Tengah--seperti Rosa. "Cocok, Bude," dan dia tersenyum, "keluarganya Bude?"
"Bukan, Ras, masa' nikah sama keluarga?" Rosa tertawa ringan. "Anak temen Bude. Doain aja lah, Ras, semoga cocok. Bude nggak paham Masmu itu seleranya yang gimana. Rasanya mumeeettt ditanyain terus, 'Prabu kapan nikah? Itu adiknya sudah mau anak dua.'"
"Eh, Mbak Prita lagi isi, Bude?"
Rosa menggangguk, "baru tiga bulan. Paras gimana, Nduk? Belum ada sebulan, betah nggak di sini?"
"Alhamdulillah, Bude," jawab Paras segera, melanjutkan mengelapi gelas. "Mas-mas sama Mbaknya asyik, kok."
"Alhamdulillah. Ada kesulitan apa, Ras?"
"Nggak ada, sih..." Senyum Paras berubah rikuh.
"Sih?" selidik Rosa, menyerongkan kepala.
"Anu, Bude, maaf." Sekali lagi, Paras menghentikan geraknya. Menatap lurus sepasang mata Budenya, mengumpulkan keberanian untuk bertanya tanpa menyudutkan. "Paras lupa. Di lowongan kerja yang Bude share itu, apa ada syarat belum berkeluarga? Terutama untuk posisi PU yang Paras isi."
Kening Rosa mengernyit. "Kenapa?"
"Kalau iya... Paras nggak memenuhi kualifikasi itu, Bude."
Menunggu reaksi Rosa, Paras hanya bisa menahan napas.
"Paras dengar dari mana?" Rosa melipat lengan di atas konter. "Lowongan yang dulu memang ada syarat itu untuk PU. Kalau yang kemarin Bude revisi karena... yah," wanita itu mengangkat bahu, "setelah Bude pikir, status pernikahan bukan masalah. Yang Bude butuh pegawai yang mau kerja keras dan jujur."
Beban di dada Paras perlahan terangkat.
"Jadi... Paras memenuhi semua syarat, 'kan, Bude?"
"Iya. Kenapa, Ras? Ada masalah?"
"Nggak. Nggak ada, Bude." Paras menggeleng cepat bersama senyum cerah. "Cuma tanya aja. Makasih banyak, Bude. Paras bantu doa semoga Mas Prabu segera ketemu jodohnya supaya Bude nggak mum--"
"Aku kenapa, Ras?"
Paras terlonjak turun dari stool karena napas seseorang mengenai tengkuknya. Untung saja tangannya sedang kosong tanpa gelas. Andai Rosa tidak di sini sudah pasti dia akan melayangkan bogem mentah ke wajah Prabu yang saat ini berhias seringai tengil. Hish!
"Pra. Kamu ngapain ke sini? Temanin Fatima!" hardik Rosa mengibas kesal.
"Mama ngapain diam di sini? Kami baru ketemu sekali. Mama berharap apa? Aku hamili dia?"
"Pra--" Rosa menahan diri karena bola matanya serasa akan keluar. "Ya sudah. Mama temani kamu. Tapi kamu ikut ngomong, dong, ngomong! Jangan bisu!"
"Ya... ya," sahut Prabu enteng, kemudian menoleh Paras yang sejak tadi mematung sebagai penonton. "Sebentar."
Prabu mendekati Paras yang secara reflektif bergerak mundur karena terdesak tubuh pria itu. Namun kaki kecilnya terpaksa berhenti karena punggungnya sudah membentur kaca lemari pendingin. Prabu mempertegas ikatan pandang mereka hingga Paras kehabisan oksigen, terlebih ketika Prabu mengulurkan tangan untuk menyentuh pegangan pintu lemari pendingin dan menariknya perlahan.
Paras terkesiap.
Sadar setelah ditampar keras oleh kenyataan, perempuan itu menggeser tubuhnya supaya Prabu dapat mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam lemari. Prabu lantas pergi bersama Rosa, meninggalkan Paras yang ternganga dan memaki dalam hati, 'apa susahnya bilang minggir?!'
•°•°•
Ibu
Ras, pulang jam berapa?
Taksa badannya panas
Tadi sudah ibu kasih parcet
Sempet turun tapi naik lagi
Empat baris pesan dari Suci mengacaukan konsentrasi Paras saat berganti pakaian di ruang staf. Setelah jam menunjukkan tepat pukul satu malam dia segera absen sidik jari dan keluar bangunan Ge Cafe. Dingin angin malam menembus jaket, menggigiti kulit, membuat Paras semakin tidak sabar menunggu aplikasi ponselnya mencari driver ojek terdekat. Hampir sepuluh menit dia berdiri, sendirian, putus asa menunggu driver yang ketersediaannya dipertanyakan.
Jarak rumah sampai Ge Cafe lebih kurang tiga kilometer. Paras rasa tidak ada pilihan baginya selain mulai berjalan kaki menyusuri trotoar sementara tangannya terus mencari driver. Sedangkan pikirannya terlempar pada Taksa yang menurut keterangan Suci saat ini tengah menggigil dalam tidur.
Taksa menggigil. Dua tahun lalu, Taksa pernah demam hingga menggigil dan nyaris fatal. Hanya mengingatnya saja membuat Paras trauma. Matanya mulai berkaca seiring langkah yang semakin lekas karena terbakar rasa cemas.
"Hey, Tante! Hey, Tante! Diiia si janda judes!"
Paras menghentikan kakinya begitu pula Angga yang mematikan mesin motor. Seringai cemooh pemuda itu kontan berganti jadi panik saat dia melihat--untuk pertama kalinya--Paras menangis putus asa.
•°•°•
Lampu rumah menyala terang dan pintu depan masih terbuka lebar di jam satu malam adalah hal yang tidak biasa. Begitu turun dari boncengan dan melepas helm, Paras bergegas masuk menemukan bapak dan ibunya bertengkar entah karena apa. Langsung terjawab ketika Suci menghampirinya berlinang air mata.
"Nduk, Nduk ayo pesan taksi ojol atau apa. Ibu ndak tahu caranya. Ibu telepon taksi biasa ndak ada yang angkat. Taksa harus ke rumah sakit. Bapakmu bener-bener ndak punya hati. Coba Ibu bisa bawa mobil sendiri sudah dari tadi Ibu ke rumah sakit."
Sklera Paras memanas dan berkaca dengan cepat melihat rupa dingin sang bapak. Tapi dia segera sadar ini bukan waktunya menangis. Taksa tergolek lemas dengan mata terpejam saat Paras masuk ke kamar. Dia langsung mempersiapkan semuanya sementara Suci menjelaskan bahwa Taksa menggigil selama lebih dari satu jam dengan suhu konstan di atas 40 celcius.
Membawa Taksa dalam dekapan Paras segera keluar rumah. Dia menemukan Angga, yang entah mengapa, masih ada di atas motor di halaman rumah.
•°•°•
Kondisi terburuk yang paling Paras takutkan malam ini terjadi untuk kedua kalinya. Taksa kaku. Kulitnya membiru. Bola matanya berputar ke atas tersisa putih saja yang terlihat. Tremor menggetarkan tulang belulang kecilnya yang dilarikan Paras memasuki UGD langsung disambut dua orang berseragam hijau-hijau.
Paras mengatakan semua yang dia ketahui dari ibunya kepada dokter jaga. Tatalaksana yang langsung dikerjakan adalah injeksi diazepam secara rektal. Obat itu bereaksi dalam hitungan menit dan Paras menyeka sisa air matanya saat kejang Taksa berangsur reda.
Namun belum selesai di situ, dokter jaga mengatakan bahwa Taksa dehidrasi dan harus diberi asupan lewat infus karena kesadaran anak itu sangat rendah. Paras mengangguk cepat. Apa saja. Apa saja yang terbaik demi nyawa Taksa saat ini Paras percayakan di tangan tim medis.
Lengan mungil Taksa tak mampu melawan meski jarum infus menembus kulitnya. Pemasangan infus dan bidai berjalan cepat karena lemasnya balita itu. Paras menghambur di sisi ranjang putranya segera setelah semua selesai.
Mengamati kelopak Taksa yang bergerak lemah, sesak itu datang kembali menghimpit dada Paras. Ingatannya mundur pada malam-malam di mana Taksa enggan tidur sebelum Paras pulang. Sebenarnya, keinginan setiap anak terhadap ibunya itu sederhana: selalu ada di sisi. Tetapi ada kalanya, keinginan harus dikorban demi bertahan hidup.
Taksa masih terlalu kecil untuk mengerti itu. Bukan salah Taksa, dan Paras yakin, bukan pula salahnya karena mencari nafkah. Atau mungkin Paras akui, kesalahannya adalah selama ini dia tidak menjelaskan dengan benar. Dia belum menanamkan pemahaman mengenai kondisi mereka sekarang, tanpa sosok ayah sebagai tulang punggung.
Merebahkan kepala di sisi bantal Taksa, Paras berbisik, "Sa... cepat sehat, ya? Nanti jalan-jalan sama Mama, minum boba."
Kelopak Taksa bergetar lemah.
"Ehem."
Deham pelan yang datang menegakkan Paras kembali. Astaga. Dia lupa Angga masih di sini.
"Anak itu punya asuransi? Disuruh ngurus administrasi."
"Ah, iya." Paras menyambar tasnya, kemudian menatap Angga sayu. "Ngga, bisa minta tolong tunggu anak aku seben--"
"Kartunya aja. Siniin." Angga mengulurkan tangan. "Aku yang urus. Kamu tunggu sini."
Tak banyak berpikir, Paras menyerahkan kartu asuransi Taksa, "makasih, Ngga," bersama senyum lelah paling tulus yang dia miliki. "Makasih..."
Namun sesuatu pada senyum perempuan itu menghadirkan gelenyar aneh di dada Angga. Terasa berbahaya. Ingin menghindar, pemuda itu segera berbalik untuk menuju bagian administrasi.
•°•°•
"Hey."
Paras mengerjap susah-payah. Kelopak matanya seakan digantungi bola besi. Tak bisa dibuka. Tetapi usapan ringan di puncak kepalanya mengalirkan kenyamanan yang baru kali ini dia rasakan. Satu sudut bibirnya menarik senyum menikmati sentuhan itu.
"Sudah, Ngga? Asuransi... bisa?"
"Tidur di ruanganku kalau ngantuk. Biar aku yang tunggu di sini."
Kening Paras mengerut. Ruanganku?
Paras membuka paksa kedua matanya. Terbeliak lebar saat menemukan Angga entah bagaimana berubah jadi sosok Prabu.
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 6 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro