02
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"YA, Paras."
Jantung Paras seakan nyaris meletus membuat perempuan itu beringsut mundur lantas berdiri menjauh. Dia mengusahakan senyum setenang mungkin, berusaha tidak tampak tertekan di bawah raut masam Prabu yang mengintimidasi.
"Kopinya, Mas," ulang Paras, seraya menyelipkan anak rambutnya di balik telinga.
"Ya." Prabu mengubah posisi jadi duduk sambil mengucek mata. "Thank you. But please jangan colek-colek. Aku bukan Choki-Choki."
"Tapi Choki-Choki disedot, Mas, bukan dicolek," ralat Paras. Kemudian dia menepuk mulut karena Prabu menengadah disertai delikan. "Bener, 'kan?"
Prabu lantas menggeleng pelan diiringi tawa ringan, meraih secangkir kopi dari meja lalu menyesapnya. Dia menatap Paras kembali.
"Afi mana?" tanya Prabu.
"Lagi siap-siap buka, Mas." Paras menunjuk dapur dengan ibu jari. "Mau dipanggilin?"
"Nggak usah. Kamu belum mulai kerja, 'kan?" Prabu bertanya balik, Paras menggeleng. "Duduk sini. Apa kabar kamu, Ras? It's been quite long, ya?"
Untuk beberapa saat Paras terpana sebelum akhirnya bersedia duduk menemani Prabu. Kalau tadi Paras berpikir Prabu masih sama ketusnya dengan yang dulu, jelas dia salah. Profesi Prabu yang mengharuskan pria itu berinteraksi dengan anak-anak setiap hari tentu berperan besar membentuk Prabu yang sekarang. Prabu yang lebih mudah tersenyum, meski terkadang juga dapat berwajah masam jika mood nya turun.
Tetapi setelah bertemu sepupunya pagi ini, Prabu mendapati suasana hatinya sedikit membaik. Rasanya seperti berjumpa teman yang sudah lama tidak bertukar sapa. Apalagi saat bernostalgia mengenai masa-masa kecil mereka, meski dengan usia terpaut 12 tahun, seakan melempar Prabu dan Paras ke masa lalu.
"Lagian kamu ngapain, coba, setiap main petak-umpet ngumpetnya selalu ke kamarku? Aku lagi ganti baju kamu uthuk-uthuk nyelong masuk nggak pake permisi kek," ungkit Prabu gemas.
"Ish, salah Mas lah! Ganti baju nggak kunci pintu. Seingatku malah kamar Mas nggak pernah dikunci makanya aku kebiasaan ngumpet di situ. Oh, satu lagi kenapa aku suka ngumpet di kamar Mas."
Prabu mencondongkan tubuh. "Apa itu?"
Paras melirik penuh arti. "Soalnya... itu kamar Mas Prabu."
"Gimana?"
"Ada Mas Prabu. Mas Prabu galak suka marah-marah. Makanya anak-anak takut nggak berani ke kamar Mas. Kamar Mas itu buat kita dulu ibarat kandang singa!"
Alasan yang menurut Prabu aneh. Dia terkekeh kala teringat saat bocah perempuan 5 tahun memergokinya bertelanjang dada di kamar. Tentu saja Prabu marah besar, namun alih-alih menangis bocah itu justru naik ranjang dan bersembunyi dalam selimutnya.
"Dan kamu sengaja masuk kandang singa itu. Menantang maut, Ras?"
Paras tersenyum kecil. "Aku lebih takut kalah daripada dimarahin sama Mas. Waktu itu rasanya malah Mas Prabu lindungin aku. Mas ngusir anak-anak yang nyariin aku, tapi nggak ngasih tahu mereka kalo aku ada di kamar Mas."
"Aku?" Prabu tercenung sesaat. "Masa' sih? Aku marahin kamu, lho, Ras. Inget banget kamu sembunyi dalam selimutku nggak mau keluar. Kamu ada di pojokan lemari pas aku mau ambil baju. Kamu di dalam bathub pas aku mau mau mandi. Kamu ketawa di kolong kasur pas aku tidur. Waktu itu aku pikir kamu..."
"Mbak Kunti?" terka Paras, seketika lambungnya serasa tergelitik.
"Mak Lampir!" tukas Prabu, dan keduanya tertawa bersama. "Kamu dulu ngeselin, tahu, Ras. Di antara anak-anak itu kamu yang paling pengin aku pites. Kecil, lasak, ceriwis... alhamdulillah gedenya normal."
Paras mendecih kesal. "Mas juga ngeselin."
"Dulu, 'kan?" Prabu tersenyum kemudian meneguk kopinya sesaat. "Ras, kamu fresh grad, ya? Ambil jurusan apa?"
Senyum dan tawa Paras perlahan luntur.
Fresh grad? Pertanyaan yang menyentil batin Paras. Entah apa tujuan Prabu bertanya seperti itu. Tidakkah dia tahu jalan hidup Paras sempat jadi gunjingan keluarga besar lima tahun belakangan? Atau itu adalah sindiran yang sangat halus? Paras tak bisa menerka karena mimik Prabu yang tetap terlihat tenang.
Mata Paras mulai terasa panas namun perempuan itu masih mengusasi diri. Dia mengulas senyum formal lantas beranjak dari duduk.
"Maaf, Mas, aku balik ke dapur dulu."
Paras membungkuk sopan dan segera keluar. Bertemu kembali dengan keluarga besar, Paras rasa, mentalnya belum cukup siap untuk itu.
•°•°•
"Taksaaa! Assalamualaikum!"
"Wa ikus malam, Mama!"
"Waalaikumsalam," ralat Paras gemas kemudian mundur ketika Taksa hendak menyerbu kakinya. "Sebentar, Mama cuci tangan dulu."
Melepas masker kain yang menutupi mulut, meletakkan belanjaan di meja makan, Paras kemudian menuju wastafel untuk cuci tangan. Suci yang baru saja keluar dari kamar mandi mengintip keresek yang tadi dibawa Paras.
"Ras? Kok sudah belanja-belanja? Uang darimana, Nduk?"
Tak langsung menjawab, Paras terlebih dahulu mengeringkan tangan dengan handuk yang tersedia lalu mendekati ibunya untuk salim. Disambung dengan menyalami Taksa yang sudah menunggu sejak tadi.
"Paras diterima, Bu. Alhamdulillah," katanya, sambil menarik kursi makan untuk duduk.
Senyum segera merekah di bibir Suci.
"Alhamdulillaaah! Gimana, Ras, gimana? Siapa yang nerima? Ditanyain apa di sana?"
Sambil memeluk Taksa dalam pangkuan, Paras menceritakan kejadian yang dialaminya pagi ini. Suci sedikit terkejut karena putrinya sudah bertemu Rosa, tapi dari pengakuan Paras, sepertinya semua berjalan normal. Tidak ada pertanyaan kepo seputar hilangnya Paras lima tahun lalu, kecuali bagian Paras bertemu Prabu yang memang sengaja Paras lewati. Paras rasa ibunya tidak perlu tahu soal Prabu karena dia sendiri berniat melupakan itu.
"Terus ini kamu belanja apa, Ras? Uang darimana? Kamu masih punya uang?"
Paras mengendikkan bahu. "Paras jual cincin nikah tadi." Lagipula, dia sudah tidak butuh benda itu. "Ini Paras beli bahan buat bikin nugget. Selama Paras tinggal kerja nanti Taksa bisa makan ini. Taksa suka nugget, 'kan?"
"Nugget suka. Ayam goweng suka. Kepedel suka. Tahu buwat suka. Es gadonal suka."
Pelukan Paras yang makin mengerat justru membuat Taksa tertawa, terlebih saat Paras menciumi pipi gembilnya, bocah itu menggeliat kegelian. Pemandangan sederhana yang perlahan menghangatkan hati Suci. Wanita itu beranjak sesaat menuju kamar, kemudian keluar lagi bersama sebuah kotak karton yang dia letakkan di meja, tepat di depan Paras.
Paras menghentikan gerakannya.
"Apa, Bu?"
"Buka," titahnya. Paras menuruti namun kemudian terperangah melihat isinya. Berbagai perhiasan emas berukuran kecil. "Itu punya Paras. Dulu Mbah Utimu suka beliin cucu-cucunya setiap ada rejeki lebih. Ada giwang (anting), kalung, gelang, sama cincin. Tapi waktu kecil kamu sembrono jadi Ibu amankan semuanya. Pakai ini, Nduk, kalau sewaktu-waktu kamu butuh tambahan."
Lidah Paras seakan membeku.
Hingga detik ini Paras masih setengah percaya seolah baru bangun dari mimpi buruk panjang. Kesalahan masa lalu, kekerasan yang dia alami, luka yang belum benar-benar sembuh, semua adalah bahan bakar yang mendorong Paras untuk merombak total hidupnya. Menancapkan satu pasak sebagai tempatnya berpegang yang akan jadi dasar kuat atas segala rencana kedepannya nanti.
Pasak itu adalah Taksa, putranya. Dan sejak itu, meski masih tetap sulit, Paras bisa merasa bahwa dia sudah berada di jalur yang benar. Meski masih tetap sulit, ada saja kejutan pertolongan Tuhan untuk putranya. Mungkin ini juga hasil awal dari ridho orang tua?
Entahlah. Yang pasti saat ini Paras begitu terharu. Tak memedulikan matanya yang berkaca, Paras menatap lembut ibunya.
"Bu, mulai besok Paras titip Taksa, ya?"
Meraih genggaman putrinya, Suci mengangguk. "Iya. Sekarang Taksa prioritas utama Paras, ndak usah lagi mikir macem-macem. Kalau Paras kerja keras, kerja ikhlas, insya Allah hasilnya berkah."
•°•°•
Jam kerja Paras dimulai setelah jam makan siang berakhir. Di jam-jam ini Ge Cafe relatif sepi, bahkan bisa dibilang kosong meski permintaan delivery tetap berjalan normal. Saatnya PU sif malam mulai bersih-bersih. Paras baru saja akan mengambil sabun cuci piring ketika Angga, teman satu sifnya, menghalangi.
"Ras, kamu beres-beres meja sama nyapu. Aku yang cuci piring."
Sejujurnya, Paras kurang suka dengan kesan otoriter yang Angga tujukan padanya sejak pertama berkenalan. Terlebih ketika sudah jelas Angga lebih muda darinya tapi remaja itu tidak menunjukkan minat memanggil Paras sebagai 'mbak'. Namun sudahlah, Paras di sini sebagai pekerja, bukan penasihat tata krama.
"Maklumin aja, Ras," bisik Zahra, salah satu chef, ketika Paras melewatinya setelah mengambil alat-alat kebersihan. "Habis dicampakkan, tuh. Ceweknya tidur sama cowok lain. Hihihi."
"Hush. Malah ditawain, Mbak," tegur Paras meski tak ayal dia juga terkekeh.
"Bener, kok. Tapi selama di sini Angga memang nggak pernah nyapu, sih. Dia alergi debu, Ras. Makanya pas PU sebelum kamu resign dan dia yang nyapu, parah banget tuh bersin sana-sini. Udah pake masker juga padahal."
Paras mengangguk paham. Baiklah, dia juga tidak keberatan dengan sapu dan alat pel.
Bahkan bisa dibilang Paras cukup senang dengan pekerjaan bersih-bersih ini. Ketika masih menikah dulu, meski tinggal di rumah mewah milik mertua dengan beberapa ART, namun sebagian besar pekerjaan rumah dibebankan pada Paras. Beberapa tahun hidup di bawah tekanan membuat fisik dan psikisnya terbiasa dengan lelah. Jika kali ini lelah itu mendapat bayaran rutin setiap bulan, Paras sama sekali tidak keberatan.
Semua meja dan kursi telah dia sterilkan. Begitu pun lantai sudah disapu. Paras baru saja akan mengembalikan peralatan ke gudang ketika lonceng pintu depan berdenting, dan dia spontan menoleh.
"Selamat datang--" tetapi senyum cerahnya luntur seketika, "... Mas."
Prabu tersenyum canggung dari tempatnya berdiri.
"Bisa bicara sebentar, Ras?"
"Mas bisa bicara sama waiter kami untuk order. Aku panggilkan--"
"Kamu." Prabu menekankan. "Aku mau bicara sama kamu."
Menghindar. Yang Paras inginkan hanya menghindar dari omongan keluarga besar dan hidup tenang bersama Taksa.
"Tentang apa?"
"Tentang yang kemarin."
Paras memejam sesaat. "Maaf, Mas, aku kerja."
"Jam berapa kamu selesai?"
"Jam sebelas... malam."
"Pas. Praktikku malam ini selesai sekitar itu. Aku antar kamu pulang," putus Prabu sepihak yang sontak membuat Paras menganga.
•°•°•
Jalanan kota Malang menjelang tengah malam tidak bisa dikatakan kosong, mungkin lebih tepatnya lengang. Jika siang hari ketika Paras berangkat kerja tersedia banyak angkot, maka kebalikannya ketika dia pulang sudah tidak ada angkot sama sekali. Sepanjang perjalanan menuju rumah, perempuan itu bertopang dagu di pintu mobil, memikirkan cara untuk pulang besok dan seterusnya.
Ah, ya, malam ini dia selamat karena kebetulan diantar Prabu. Yang terlihat masih berseliweran hanya ojek online. Sedikit lebih mahal dari angkot, tapi apa boleh buat, bagaimana pun Paras harus mengalokasikan gajinya untuk transport itu.
Di dalam kepala Paras sedang berputar rencana untuk menyicil motor bekas ketika tanpa dia sadari Wrangler putih Prabu sudah melambat di gang rumahnya. Kendaraan itu segera berhenti tepat di depan pekarangan rumah Paras.
Prabu mematikan mesin mobil dan keheningan menguasai mereka. Setelah mempersiapkan kata-kata, pria itu menoleh Paras yang menunggu central lock dibuka.
"Maaf, Ras," ucapnya jelas, menatap lekat adik sepupunya. "Maaf kemarin aku tanya seperti itu, maksudku cuma basa-basi tapi kelihatannya kamu nggak suka. I had no idea tentang apa yang terjadi sama kamu lima tahun lalu. Aku baru tahu setelah tanya sama Prita and I'm sorry to hear that."
Paras mengerjap ragu. "Apa sih yang Mas tahu tentang aku?"
Entah mengapa Prabu merasa sedang diaudit.
"Tentang... maaf," dia menjeda sejenak, "kamu hamil dan pergi dari rumah."
Paras memicing. "Cuma itu?"
"Kamu pergi dari rumah untuk menikah sama orang itu."
"Cuma itu?"
"That's all." Prabu mengangguk. "Cuma itu."
"Apa keluarga kita sudah tahu aku pulang?"
"Aku rasa baru aku, Mama, dan, ya... Prita," jelas Prabu. "Group chat Dinasti Candra Diwangsa belum geger." Paras menanggapi dengan senyum tipis sebelum Prabu bertanya polos, "suami ikut ke sini, Ras?"
Ya. Tentu saja keluarga besar belum tahu sepenuhnya. Hanya, Paras sudah lelah berlari. Gunjingan keluarga atau pengucilan, apapun itu, akan dia terima dengan punggung tegak.
"Aku sudah cerai, Mas."
Prabu terkesiap. Seketika lidahnya kebas dan kata-katanya menguap. Paras mengembus pelan lalu tersenyum lagi.
"Aku yang mengajukan cerai dengan alasan kekerasan fisik. Sekarang aku janda, Mas. Anak aku yang bawa. Aku nggak mau dia sampai jadi korban Papanya juga."
Prabu membasahi bibir sekilas. "Maaf, aku nggak--"
"Maaf kenapa, Mas?" Paras tertawa pelan. "Bukan salah Mas. Ini hidup aku, nggak ada hubungannya sama Mas Prabu. Kenapa? Kenapa Mas ngelihat aku kaya' gitu? Buat apa minta maaf? Setelah dengar ceritaku Mas jadi prihatin?"
Masih bergeming, Prabu menelan ludah.
"Semua yang terjadi kemarin itu murni salahku. Aku ngelawan Ibu sama Bapak. Aku sendiri yang terima akibatnya. Kalau Mas mau tahu, keadaanku sekarang sudah jauh lebih baik. Nggak ada alasan untuk Mas Prabu prihatin. Ya, memang aku nggak kuliah. Aku nggak punya gelar akademik yang bisa dibanggakan, tapi aku punya pengalaman sebagai ibu. Aku punya pengalaman sebagai istri. Aku punya pengalaman sebagai menantu. Aku punya pengalaman dilecehkan. Aku punya pengalaman gagal berumah tangga. Aku punya pengalaman dihancurkan. Bekal hidupku memang nggak sama dengan kebanyakan orang, Mas, tapi aku rasa di situlah serunya."
Tetap tak mendapat reaksi dari Prabu, Paras tersenyum kembali sebagai penutupan, sebelum telunjuknya mengangkat tuas kunci pintu secara manual.
"Sudah, ya, Mas? Mas Prabu nggak perlu merasa nggak enak sama aku. Ngomong-ngomong, makasih tumpangannya, Mas. Assalamualaikum."
Paras baru saja membuka pintu dan kakinya turun menginjak footstep, ketika Prabu menahan lengannya. Membuatnya berbalik kembali.
"Ya, Mas?"
"Aku bukan prihatin sama kamu."
Alis Paras melengkung. "Jadi?"
"Penasaran," ucapnya lambat. "Sialan, Ras. Aku makin penasaran sama kamu."
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 30 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro