ROUND 17: Kakak Dallan
Umur Tara 16 tahun.
Keluarga besarnya tengah berkumpul di ruang tamu, menyambut kakak tertuanya, Dallan yang baru pulang dari study-nya.
Dallan telah menyelesaikan S2 di Oxford dan bersiap dilantik menjadi pengganti ayahnya suatu saat nanti. Penerus keluarga Syah secara resmi dan mutlak.
Tuan Abdurrahman mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambut puteranya. Semuanya mewah dan meriah. Beberapa tahun tidak melihat anaknya, Tuan Abdurrahman melihat perubahan yang sangat signifikan.
"Kau semakin tampan, itu jelas, tapi ini." Tuan Abdurrahman menepuk lengan dan perut Dallan. "Kau mencuri dari mana semua otot ini, Pemuda?"
Dallan tertawa senang. Memeluk ayahnya singkat. "Aku terinspirasi dari seorang pemuda malas yang berolahraga karena ingin diterima gadis pujaannya, dan sekarang menjadi istrinya."
Dua orang beda usia itu tertawa kencang. Tuan Abdurrahman menepuk punggung Dallan. Tawa mereka berhenti sejenak. "Sayangnya bertahun-tahun kemudian, perut buncit lebih mendominasi pemuda itu daripada otot."
"Benar. Dia tidak bisa berhenti makan setelah mencicipi masakan lezatku."
Dua orang itu menoleh melihat seorang bidadari melintas. Dallan dan Tuan Abdurrahman serempak menunduk hormat, yang dibalas gelengan kepala si bidadari.
"Kalian itu terlalu mirip. Aku seperti melihat Rahman versi tua dan tambun dengan yang muda dan kuat."
Dallan dan Arum tertawa melihat raut kesal Tuan Abdurrahman. Jarang sekali mereka dapat melihat ekspresi menggemaskan itu. Biasanya dia hanya suka memerintah dan menyuruh-nyuruh dengan wajah menyeramkan.
"Sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi dengan kalian. Kalian sama-sama menyebalkan."
Arum mendekat. Meraih tangan Tuan Abdurrahman dan menciumnya. "Kau lapar? Biar aku masakkan sesuatu."
Tuan Abdurrahman terkekeh. Memeluk pinggang istrinya dan pergi meninggalkan Dallan tanpa sepatah kata.
Dallan tertawa kecil. "Dasar, tua-tua banyak maunya."
Dallan meneguk coktailnya lagi. Bersalaman dengan beberapa tamu dan menikmati pesta. Beberapa dari mereka memberi selamat pada Dallan atas kelulusannya.
Semuanya adalah kolega ayahnya. Tidak ada satu pun teman Dallan di sini.
Dallan beranjak dari tempatnya berdiri setelah tidak ada orang yang mendekat. Dia akan mencari dua orang gadis kesayangannya. Mereka belum bertemu sejak tadi pagi.
Ke mana mereka?
"Kakak!" Dua suara nyaring itu mengejutkan Dallan hingga ia melompat ke belakang.
Dua gadis yang dicarinya terkikik melihat kakaknya sempurna kaget.
"Kalian ini, selalu saja mengagetkanku. Ke mana saja kalian, hah? Apa harus aku mencari dulu baru kalian akan muncul?"
Tara dan Anita nyengir. Dua saudara bukan kandung itu menyembunyikan sesuatu di balik punggung.
"Apa itu? Apa yang kalian sembunyikan? Jangan bilang kodok atau jangkrik seperti tahun lalu."
Dallan meremas rambutnya gemas. Dia benci sekali dengan hewan, dan dua gadis ini selalu memberikan kado berisi sesuatu yang tidak disukainya.
"Tidak usah. Jangan berikan aku kado yang aneh lagi, adik-adik tersayang." Dallan menurunkan satu lututnya, menyejajarkan tinggi mereka. "Kemari dan peluk aku saja. Aku merindukan kalian."
Dallan sudah bersiap dengan merentangkan tangannya lebar-lebar, tetapi Tara dan Anita malah menyodorkan barang yang mereka sembunyikan.
"Ini untuk Kakak kami tersayang," kata Tara.
"Khusus dari aku dan Tara," sambung Anita.
Dallan terdiam. Menatap sebuah kotak besar di depannya.
"Apa ini? Bukan hewan lagi, 'kan?" tanya Dallan ragu-ragu.
Tara dan Anita menggeleng serempak. Dua gadis terpaut usia empat tahun itu menyodorkan kado lebih dekat pada Dallan. Memintanya membuka kado.
"Baiklah, baiklah. Aku buka. Awas saja kalau aneh-aneh lagi."
Dallan mengambil kotak itu dan membukanya dengan mudah. Tidak dibungkus dengan banyak kertas, jadi Dallan dapat melihat isinya secara langsung.
"Wow! Apa ini? Kalian membelikanku skateboard?"
"Bagaimana? Kakak suka? Aku dan Kak Anita tau kalau Kakak sangat suka bermain ini." Tara bergelung di leher Dallan. Mengecup pipi kakaknya singkat.
Dallan tertawa miris. Dia menatap Tara dan Anita bergantian dengan senyum manisnya. "Kemari, biar kupeluk kalian dulu."
Tara yang hendak maju lebih dulu ditarik Anita berlari menjauh. Menghindari amukan Dallan yang sebentar lagi pecah.
"Lari Tara. Lari seperti seekor rusa!" Anita tertawa.
Tara ikut tertawa meski tidak mengerti apa yang terjadi. "Kenapa kita harus lari seperti rusa?"
Anita menunjuk ke belakang. "Karena kita tengah dikejar harimau."
Tara melihat ke belakang dan menemukan Dallan tengah mengejar mereka dengan wajah siap mencekik. "Awas kalian Gadis Nakal! Aku tidak akan mengampuni kalian kali ini!"
Anita tertawa kencang. Berlari membawa Tara ke dalam rumah, melewati tangga, naik ke lantai dua. Mereka jadi tontonan para tamu di dalam ruangan.
Sedangkan Tara sama sekali belum mengerti apa yang terjadi. Dia hanya manut saja dibawa Anita pergi ke sana kemari. Bermain kucing-kucingan dengan Dallan.
"Kenapa mereka begitu bahagia?" Tuan Abdurrahman yang melihat tingkah tiga anaknya tidak habis pikir. Dia menoleh menatap istrinya, meminta jawaban.
"Anita dan Tara memberikan Dallan kado sebuah skateboard. Kau ingat musim panas tahun lalu? Saat Dallan berkali-kali jatuh dan kesal karena tidak bisa menggunakan benda itu?"
Tuan Abdurrahman mengangguk. "Ah, jadi karena itu Dallan sampai sadis mengejar mereka. Dia merasa diejek rupanya," ucapnya diakhiri kekehan.
Arum mengangguk mengiyakan. Masih tersenyum melihat ketiga orang itu saling berkejaran di lantai dua.
Itu adalah momen tak terlupakan bagi Tara. Masa-masa sebelum kakak tersayangnya tewas karena kecelakaan beruntun.
Malam itu hujan datang seperti bulan-bulan penghujan di Las Vegas. Tara tengah menyiapkan perlengkapannya untuk kembali ke sekolah di Indonesia. Dua koper sudah penuh dengan baju-baju dan buku.
Dia ditemani Ramiro yang masih berumur 9 tahun. Bercerita tentang betapa serunya bersekolah di tanah kelahiran ibunya.
"Apakah di sana ada camilan seperti ini?" Ramiro mengangkat bungkus makanan keripik kentang yang tinggal separuh.
"Tentu saja." Tara tertawa kecil. "Ini bahkan merk dari Indonesia. Kau menyukainya?"
Ramiro mengangguk. "Ini sangat enak dan renyah."
"Aku bisa membelikanmu lebih banyak jika kau mau ikut denganku ke Indonesia."
Ramiro terdiam. Dia menatap Tara dan camilannya bergantian. "Tidak. Aku tidak suka berada di tempat asing. Di sini juga banyak orang menjual. Kalau aku mau, akan kusuruh Ayah membeli seluruh supermarket yang ada di sini."
Tara tertawa sambil mengacak rambut adiknya. Ramiro sudah besar. Meski umurnya baru sembilan tahun, otaknya tidak bisa disamakan dengan anak seumurannya. Dia jauh lebih mengerti dan lebih paham akan sekitarnya.
Wajah polosnya saja yang membuatnya terlihat tidak tau apa-apa.
"Baiklah. Aku akan mengantarmu ke kamar. Sebaiknya kau cepat tidur, Adik Kecil."
Ramiro tidak menyahut. Dia patuh saja pada setiap perkataan Tara. Ramiro bahkan tidak pernah mematuhi siapa pun selain Tara dan ibunya. Dia akan selalu membangkang jika diatur atau keinginannya tidak terpenuhi.
Namun, jika dua wanita itu sudah bersuara, Ramiro tidak bisa berkata tidak.
Saat itulah, ketika hujan di luar makin lebat, rumah tiga lantainya serasa lengang, Tara masih sibuk mengantar Ramiro, pintu utama tiba-tiba dibuka kasar dari luar.
Enam orang berseragam hitam masuk membawa peti, disusul ibu dan ayahnya di belakang. Tatapan mereka sempurna menunduk dengan tubuh basah kuyup. Sang ibu yang biasanya terlihat tegar, untuk pertama kalinya menampakkan wajah sedih dalam pelukan suaminya.
Dia terisak dan terguncang. Membawa kabar kematian yang tidak bisa diterima siapa pun.
Membuat seisi rumah berduka sebulan lamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro