Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ROUND 11: Kedok Al

Lautan dedaunan kering berpindah dan berlari dikejar angin. Melengkapi kegersangan malam hari yang membakar kulit. Di kerumunnan elit ibu kota Las Vegas angin panasnya bahkan menitip salam. Menjilat tiap tepi bangunan berlapis emas itu.

Malam yang panjang untuk bisa tertidur nyenyak.

"Ayah memanggilku?" Pria berperawakan tinggi besar membalikkan badannya dari pandangan bulan. Tersenyum arif melihat puterinya.

"Ya. Kemari. Kau belum tidur, 'kan?"

"Belum, Ayah." Dia melangkah mendekati sang ayah di jendela. Jendela besar yang terbuka lebar di lantai dua puluh rumah mereka. Terkejut melihat purnama sempurna di atas langit. Terang dan bulat.

"Kau menyukainya?"

"Siapa?"

"Bulan."

Dia berpikir sesaat. "Hm ... mungkin iya."

Ayah terkekeh. Mengelus surai puterinya sayang. "Ini pertanyaan sederhana, tapi kau masih perlu waktu untuk memikirkannya. Masih bertanya 'siapa'. Kau memang anak Ayah yang brilian, Tara."

Tara tersenyum senang. Ayahnya ini jarang memuji orang, tetapi ketika dia berbicara, maka itu adalah kebenarannya.

"Kalau kau menyukai bulan ..." desis angin lagi-lagi melintas. "... maka tetaplah begitu, yang sinarnya tidak membakar seperti matahari, yang kilaunya tidak menyakitkan seperti cahaya lampu. Selalu jadi dirimu. Tiru yang baik. Tidak peduli seperti apa dunia memperlakukanmu ... kau tetaplah bulan yang akan berderang jika waktunya tiba."

Tara menunduk. Dia tau apa artinya itu. Itu pesan tersirat dari sang ayah untuk satu hal yang sangat dibenci Tara ketika mereka mulai membahas ini. Ada saat-saat tertentu ketika ayahnya menggumam kata-kata yang entah kenapa bisa Tara mengerti maksudnya.

Pesan untuk dirinya jika kelak sang ayah tiada.

"Ayah tidak akan ke mana-mana." Tara mencengkeram ujung baju Ayahnya. "Ayah akan tetap di sini."

Ayah berbalik. Menatap Tara yang sudah besar. Umurnya baru delapan belas tahun, tetapi pancaran kemilaunya jelas terang. Ayah memeluk Tara. Mengusap punggungnya yang perlahan terguncang.

"Ya. Ayah akan selalu ada di sini." Tersenyum pilu, dia berusaha meyakinkan diri sendiri. "Kapan pun kau butuh, Ayah akan selalu datang."

Malam itu ... pertemuan ditutup oleh tangisan Tara.

***

"Ayah tidak pernah melanggar janjinya." Di kesiur yang sama, di pendar purnama yang sama, Tara menggenggam hatinya. Netranya membayang sosok orang paling dicintainya di langit terang.

Menggenang lagi. Panas lagi matanya. Tara kali ini membiarkannya meleleh sama seperti waktu sang ayah mendekapnya. Sama seperti malam yang menjadi panas karena perubahan iklim.

Langit ... selalu jadi temannya untuk berbagi. Wajah orang-orang yang dicintainya selalu muncul di sana. Seperti gambar yang ber-slide, gambarnya terus berganti. Selalu kembali lagi ke awal setelah tiba di akhir.

Tara suka menatap langit. Kadang berjam-jam lamanya dia melakukan itu hanya untuk mempermudah perjalanannya melunasi rindu menggunung. Hanya untuk melihat dirinya akan baik-baik saja setelah semua prahara.

Dirinya kuat. Dia perempuan tangguh seperti yang selalu dibanggakan mendiang ayahnya.

Ayah. Ayah. Ayah. Bisa apa Tara tanpanya?

Fajar hampir menyingsing ketika Tara sadar dia harus kembali ke rumah sakit untuk menyamar sebagai Al. Perihal kenangan ayahnya, pinggirkan dulu.

Seseorang yang sudah dipermak menyerupai dirinya ada di sana, menggantikan posisinya karena Tara harus mengurus beberapa hal tentang bisnis ayahnya.

Dia akan menindaklanjuti laporan tiga jenderal tentang tuduhannya. Bagi Tara, sangat tidak masuk akal jika Lino pelakunya.

Buat apa?

Orang gila itu sudah punya segalanya. Lino sama saja dengan dirinya, tidak mau mengambil alih kekuasan orang tua mereka. Bedanya, Lino masih punya adik yang bisa menggantikannya. Sebenarnya Tara juga punya. Dia juga memiliki seorang kakak perempuan, tetapi mereka berdua bukan orang yang diingankan ayah.

Tuan Abdurrahman hanya menginginkan dirinya.

"Aku harus bergegas." Menelepon seseorang, Tara segera meluncur ke TKP setelah tempatnya steril.

***

"Anda tidak perlu melakukan ini semua, Nona Muda." Zulkarnaen memaksa ikut rombongan ke rumah sakit. Dia bersikeras akan diam, tetapi kenyataannya ... wajahnya benar-benar ingin Tara tendang sekarang.

Dokter, beberapa suster, dan perias wajah ahli segera sibuk di sekitar Tara. Memasang infus, merias wajahnya agar terlihat terluka secara alami. Tara bahkan memakai jaringan kulit palsu yang terluka untuk memar di lengannya. Sedikit terlihat mengering karena efek obat.

Semuanya disiapkan secara matang.

"Jangan banyak bicara, Pak Tua. Aku pernah bilang apa soal tidak ikut campur tentang keputusanku?"

Zulkarnaen tergagap. Dia tidak bisa menggugat lagi. Akhirnya dia keluar ruangan setelah diancam akan dipecat.

Saat menjadi Al, Tara diceritakan belum sadar. Mungkin besok saat teman-teman biadabnya itu menjenguk, Tara akan membuka mata untuk pertama kalinya.

Tara tersenyum miring ketika mengingat nama Arga.

Ah, lelaki tampan itu. Kenapa dia bebal sekali hanya untuk jadi pacarnya? Seumur hidup, hanya kali ini Tara ditolak lelaki. Berkali-kali pula.

Padahal 'kan tujuannya hanya ingin mengorek informasi soal sniper itu. Tara mencurigai Arga? Jelas! Di chapter pertama saja dia sudah berani menyerang, kenapa Tara ragu kalau dia orangnya?

Dari sekian ribu manusia jahat di kampusnya, dan ketika di kecilkan skalanya-itu berarti kelasnya-kenapa hanya Arga yang bersikeras?

Lawannya terang-terangan menyudutkannya, Tara juga harus unjuk gigi untuk membalasanya.

Namun, Tara masih belum punya bukti untuk dipercayainya secara penuh. Spekulasinya harus imbang dengan bukti lapangan yang nyata.

Sebab, meski ciri-ciri sniper itu sama dengan Arga ... entah kenapa Tara belum bisa menarik benang merahnya.

Tara tertawa sebelum kesadarannya terbenam akibat obat bius. Penyamarannya sudah siap.

"Aku akan menangkapmu."

***

Seseorang di balik kegelapan mengendap-ngendap ketika melihat banyak mobil masuk ke rumah sakit yang tiba-tiba sepi. Tadi dia hendak ke supermarket membeli mie instant. Namun, karena melihat hal mencurigakan sepuluh meter dari perjalanannya, Arga menghentikan mogenya.

Seorang wanita muda berbaju serba hitam, berkacamata hitam, berjalan paling depan. Segera diikuti beberapa orang berpakaian hitam lainnya. Sepertinya dia pemimpinnya.

Pakaiannya khas sekali. Berjas dan berdasi. Bedanya, perempuan itu memakai coat hitam dan sweater hingga leher dan bersepatu boat-padahal cuaca malam ini terasa panas.

Arga memperhatikan dengan saksama. Postur tubuhya terlihat tidak asing, tetapi  siapa? Sepertinya mereka dari suatu organisasi sekelas mafia-dilihat dari betapa sigapnya beberapa penjaga di sekitar wanita itu dan pintarnya mereka menyembunyikan pistol di balik baju meski sedang di pegang.

Orang biasa tidak mungkin dikawal seketat itu. Beberapa penjaga bahkan terlihat di sekitar gedung, menjaga penuh.

Siapa wanita itu? Apa kepentingannya?

Oh, apakah di Indonesia, mafia juga legal keberadaannya?

Arga membelalak ketika sadar kalau Al juga dirawat di rumah sakit itu. Bagaimana keadaannya?

Arga menggeleng. Buat apa dia mengurusi gadis itu? Mati ya mati saja.

"Gue muter jalan aja. Gue laper banget sampe mau mati." Arga akhirnya pergi. Meninggalkan informasi penting jika saja dia mau menyelinap ke dalam gedung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro