ROUND 10: Lino Lagi
Suara siulan seseorang terdengar nyaring di antara deretan bangunan yang lengang. Derap langkah kakinya menggema hingga ke sudut-sudut ruangan. Kedua tangannya berada di belakang kepala. Berjalan santai mengikuti siulannya yang sedikit bertempo.
Membuka pintu, dia memanggil, "Darling ...."
Sebuah vas bunga melayang ke arahnya. Tidak kena. Refleksnya yang tinggi dapat menangkap serangan tiba-tiba itu.
"Cih!"
Lino pura-pura cemberut. Memasang wajah sok imut. "Kau kenapa, sih, Darling? Tidak aslinya, tidak di tubuh satunya, selalu saja menyerangku tanpa alasan. Kau membenciku?"
"Sangat!"
"Aku juga sangat mencintaimu."
"Cepat katakan apa perlumu datang kemari. Aku merasa tidak mengundang Babi Hutan masuk ke sini."
Lino duduk di meja kerja Tara. Kakinya bergerak maju dan mundur, melihat sekeliling dengan tatapan berbinar. Interior ruangan satu ini masih sama meski sudah tidak lagi di Las Vegas. Orang nomor satu yang paling dicintainya itu sangat menyukai desain ini ternyata.
"Aku punya berita bagus," katanya setelah beberapa lama melihat wajah masam Tara. "Aku akan berkuliah denganmu mulai besok."
Rasa sakit menyerang kepala Lino ketika rambutnya ditarik kuat. Lino menyeringai. "Sakit, Darling."
"Jelaskan apa maksudmu melakukan itu? Kau pikir kau siapa masih ikut campur dalam hidupku, hah?"
Kepala Lino terhempas ke depan hingga dia tidak lagi duduk di meja. Wajah Tara memerah, seperti akan meledak. Urat-urat di lehernya menegang.
Lino tersenyum kecut dan sedikit kecewa. "Aku hanya ingin ada di dekatmu. Apa itu salah?"
"Tentu saja!" jawab Tara tanpa berpikir. Tara mendekat, menatap softlen warna hitam yang dipakai Lino. "Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi. Jadi kau—"
"Dulu kita punya!"
"ITU DULU!" Tara sekarat. Tidak sadar tangannya sudah ada di kerah baju Lino dan sedikit mengguncang tubuhnya. Tara menghela nafas. Tangannya turun perlahan dan dia sedikit menjauh, tapi Lino menahan lengannya.
Mata mereka bertemu lagi.
Lino mengembangkan senyum meski jelas matanya berembun. Tangan ini, perempuan ini, pernah menjadi miliknya dulu. Pernah menjadi perempuan paling lembut dan manis di matanya. Pernah dan sampai sekarang masih duduk di hatinya.
Namun, waktu dua hari cukup untuk membuyarkan segala kenangan manis selama tiga tahun hubungan mereka. Genangan darah itu dituduhkan atas namanya, dan perempuannya menjauh karena itu.
"Aku pernah berjanji padamu kalau aku akan selalu menuruti kemauanmu apa pun itu. Itu dulu. Semestinya juga berlaku untuk sekarang." Lino melepas lengan Tara. "Tapi karena kau bilang sekarang berbeda ... maka janjiku padamu juga padam sudah."
Usai mengatakan itu Lino menghampiri Tara, meraih kepalanya, mengecup ubun-ubunnya singkat, lalu pergi.
Tara memejamkan matanya kala desir angin menghantar kepergian Lino. Tara menguatkan hatinya. Ia takut kepingan-kepingan itu kembali mengisi kosong dalam dirinya.
"Harusnya kau jangan keras kepala," katanya lirih seraya menyentuh puncak kepala.
***
"Cek pembaruan terkini, Zulkarnaen."
Tara pergi ke ruang rapat ketika Zulkarnaen—paman sekaligus pelayannya—memanggil. Semua jenderal di bawahnya juga segera duduk di kursi masing-masing, tapi mereka tidak bertatapan secara langsung. Sebab keberadaan Tara yang jauh dari Las Vegas, pusat bisnisnya, mereka melakukan rapat menggunakan tekhnologi.
"Berita buruk atau baik lebih dulu, Nona Muda?"
"Buruk."
Zulkarnaen mengangguk. Memencet tombol, dia membuka tiga panggilan jenderal yang sudah menunggu sejak tadi. Tiga komandan tertinggi itu duduk sigap ketika wajah Tara tampak di layar. Mereka hendak berdiri, memberi hormat, tetapi Tara melambaikan tangannya. Itu tidak perlu.
"Cepat katakan saja masalah peting apa sampai kalian harus menemuiku. Apa tidak cukup Zulkarnaen menjadi wakilku?"
Jenderal berumur paling tua menunduk sedikit. Dia pengikut paling lama semenjak Ayahnya masih muda. Terus mengabdi hingga sekarang.
"Maafkan kelancangan kami, Nona Muda. Namun, masalah ini benar-benar harus kami sampaikan secara langsung kepada Anda."
"Kami?" Tara mengangkat alisnya. "Kalian punya keluhan yang sama?"
Mereka serempak mengangguk.
Tara bersedakap. Mulai memperhatikan dengan serius. Sepertinya ini benar-benar masalah besar jika sampai tiga jenderal mengalami hal serupa.
"Cepat."
"Beberapa hari yang lalu tidak ada masalah dengan bisnis kami di wilayah masing-masing. Wilayah kasino, pariwisata, miras, narkoba, senjata, dan lainnya berjalan lancar. Saya bahkan tengah membangun kondominium dan hotel bertingkat sesuai permintaan Anda beberapa waktu lalu."
Tara mengangguk. Ya. Itu memang inginnya. Sudah saatnya bisnis keluarganya tidak selalu berkutat pada narkoba, senjata, dan kasino.
"Namun tiga hari yang lalu sampai hari ini kami mengalami kemerosotan baik dari sektor finansial sampai kekurangan tenaga kerja." Dia mengambil nafas. "Entah bagaimana, para pegawai kami hilang secara perlahan dalam jumlah banyak. Bahkan beberapa orang yang ahli di bidangnya jadi bagian di dalamnya. Mereka lenyap. Sanak saudara mereka juga tidak ada yang tahu mereka pergi ke mana."
"Tetapi bukan itu masalah yang tidak bisa kami atasi. Keluarga korban masih dapat kami tangani dengan sejumlah uang untuk menutup mulut mereka. Masalahnya adalah karena kami menemukan siapa pelaku di balik semua kejadian ini, dan itu mengejutkan kami."
Jenderal kedua menyahut, "Benar, Nona Muda. Kami juga terkejut ketika tahu siapa pelakunya. Dia juga meninggalkan jejak yang jelas ketika melakukan semua perbuatannya itu."
"Siapa?" Tara penasaran.
"Dia sangat dekat dengan Anda, Nona Muda."
Mereka bertiga saling berpandangan. Telihat enggan, takut, dan bimbang.
"Ayo cepat katakan, kalian para orang tua! Aku tidak punya waktu seharian mendengarkan gurauan kalian."
Zulkarnaen di samping Tara hanya membenarkan letak kacamatanya. Sudah biasa mendengar bentakan Nona Mudanya secara langsung.
"Pelakunya adalah ... Tuan Lino, mantan tunangan Anda."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro