Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bagian 2 (Myesha)

12 Maret 2012

Siang itu, udara yang cukup panas dan melelahkan membuatku ketiduran di kelas. Aku terperanjat ketika mendapati segerombolan perempuan yang sedang duduk memunggungiku, lalu tertawa puas dan membahasa sesuatu yang tidak kuketahui maksudnya.

Mereka sungguh menyebalkan! gerutuku, hingga membuatku kehilangan kesabaran. Namun, aku memilih diam terhanyut dalam pikiran. Apakah mereka tak pernah diajarkan etika oleh orang tuanya? Dengan seenak jidat duduk di atas meja, padahal aku ada di belakangnya. Iya, aku yang duduk di kursi dengan mereka yang duduk di mejaku. Beberapa teman yang lain duduk berhadapan dengannya. Posisi mereka yang membelakangiku seakan tak menganggap aku ada, atau mungkin mereka menganggap dirinya ratu dan aku hanya rakyat kecil, hingga mereka berhak melakukan apa saja di kelas ini?

Berlama-lama berada di sini, sungguh membuatku muak. Aku menggeser kursi ini ke belakang agar mampu berdiri, lalu berjalan ke luar kelas. Kebetulan hari ini jam kosong. Jadi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar menghirup udara yang menghangatkan jiwa, seperti hatiku yang panas karena perlakuan mereka. Kupercepat langkah, sebelum ada guru yang melihat. Aku melangkahkan kaki ke arah koridor sekolah. Lorong ini sangat sepi. Terlihat tidak ada satu pun penghuni di tempat tersebut.

Tuk tak tuk.

Terdengar suara langkah seseorang yang mendekat. Dari suaranya, bisa dipastikan ini langkah kaki sepatu fantofel. Berarti ada seorang guru yang akan berjalan kemari, bukan? Mataku mendelik sambil celingukan mencari tempat persembunyian. Langkah itu terdengar semakin samar dan sudah dipastikan bahwa kondisi telah aman untuk keluar dari persembunyian. Mulutku melongo, mataku tak henti-hentinya memandang seorang laki-laki yang keluar dari ruang guru yang membawa setumpuk buku tulis. Dengan gaya jalannya yang cool, laki-laki itu menatap lurus dengan tatapan tajam, hingga tak menyadari keberadaanku saat berjalan melewati spesies manusia yang sedang mematung menatapnya. Aku kegirangan bukan main saat bertemu dengannya, meskipun ia tak menatapku. Setidaknya aku melihatnya. Bagaimana bisa aku menyukai seseorang yang bahkan dia tak mengenaliku?

Teet ... teet ... teet.

Mataku mengerjap saat mendengar suara bel istirahat. Dengan senyuman yang mengembang aku melangkah menuju kantin. Setelah beberapa menit berada di sana dan membayar pesanan makanan, aku berniat kembali ke kelas. Namun, belum sampai memasuki pintu kelas, ada suara yang menghentikan langkah. Suara tangisan perempuan yang sekiranya seumuran denganku, dia sedang menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil merengkuh badannya sendiri di ujung kelas. Aku terus memperhatikannya di ambang pintu, lalu bergerak masuk mendekati perempuan tersebut. Sekarang aku sudah duduk di sebelahnya. Ia tetap menangis lirih, seperti ada sesuatu yang menahannya. Ia terus menangis hingga tak menyadari keberadaanku.

Kubelai perlahan rambutnya. Secara refleks, ia menurunkan tangannya yang sedari tadi menutupi wajah, sekarang perempuan itu menatapku. Matanya sembap, merah merona. Terpancar jelas dari iris matanya bahwa ia sedang mengalami masalah berat. Seketika itu ia memelukku. Menangis semakin keras di pelukan. Aku yang mulai kebingungan hanya mematung sambil berbalik memeluknya. Terasa air matanya membanjiri seragamku hingga aku merasa kalau seragamku juga ikutan basah.

"Menangislah kalau itu membuatmu lega," ucapku sambil terus mengelus punggungnya, bermaksud untuk memenangkan dirinya.

"A-aku tak tahan akan tuduhan mereka kepadaku," ucapnya lirih sambil melepaskan pelukanku.

Aku masih tetap mematung sembari mengamatinya. Sungguh, perempuan yang sempurna. Dengan sesenggukkan dia menceritakan semua masalah yang sedang dihadapi. Awalnya aku sedikit canggung. Bagaimana bisa ia dengan mudah mengumbar aibnya sendiri di hadapan orang asing? 

Iya, aku orang asing, bukan?

Aku terus mengamatinya, mengumbar tanya dalam pikiran. Sungguh aku tidak mengenal perempuan ini atau memang akunya yang tak pandai bergaul, sehingga tak mengetahui ada makhluk bumi sesempurna dia? 

Jujur, aku memang lebih asyik bermain di duniaku sendiri. Bahkan aku tak menyadari kalau perempuan ini ternyata adalah teman sekelasku saat menatap identitas seragamnya yang menunjukkan kelas delapan B dalam tulisan romawi yang tertempel di bahu sebelah kanan.

Mataku terus menyelami wajahnya yang kini berhadapan denganku. Mata yang indah. Sorotan iris hazelnya mampu menghipnotisku. Aku terpana melihatnya. Hidung mancung. Bibir yang agak tebal berwarna merah muda alami. Rahang yang tegas, menjadi basah karena sisa-sisa air mata. 

Wajahnya terlihat lebih dewasa dariku. Mungkin, karena masalah yang sedang dialami, hingga  terlihat seperti bukan murid SMP.

"A-ada apa?" ucapku gugup. Karena aku jarang berinteraksi dengan orang baru.

"Tidakkah kamu mengerti tentang berita yang telah menyebar hingga ke seluruh sekolah?"

Tanpa perasaan canggung, perempuan itu berusaha meyakinkanku bahwa ia tak melakukan perbuatan itu. Tunggu, memang maksudnya perbuatan apa?

Sedetik kemudian perempuan ini mulai menyelendet di pundak. Aku memang tidak tau apa yang sedang dialami oleh perempuan ini. Tentang berita atau apa pun yang berhubungan dengan dunia luar tugas sekolah, sehingga aku tak akan tertarik membahas hal yang tak membuatku terlibat di dalamnya. Sekarang aku masih menatapnya dengan penuh tanya.

"Sudah kukatakan pada mereka, jika aku tidak hamil. Aku berani bersumpah! Mereka menuduhku tanpa bukti," ucapnya penuh penekanan, seperti ada semburat emosi yang tersampaikan di dalamnya.

Sekarang ia memalingkan wajah ke lantai. Membiarkan air matanya jatuh ke bawah. Mataku menegang mendengar penuturan dari perempuan ini. Bagaimana aku tak mengetahui berita yang sedang booming di sekolah? Apa katanya? Hamil?

Mendengar cerita ini, pikiranku tertarik mundur. Aku teringat segerombolan perempuan tadi—sewaktu jamkos—yang duduk di bangku dan membangunkanku dari tidur siang. Apakah masalah ini yang mereka bahas? Masalah yang amat serius.

"B-benarkah? Maksudku, bagaimana mereka menuduhmu telah berbuat seperti itu?" 

Iya, meskipun aku tidak pandai bergaul, tetapi bila menyinggung hal sensitif seperti itu. Tentunya aku paham. Apalagi maraknya pergaulan bebas yang membuat seseorang yang sedang jatuh cinta terkadang terlewat batas. Hal itulah yang biasa aku baca dan kutonton di televisi.

"Entahlah, yang kutahu mereka mengira aku berhubungan dengan Nicol, mantanku, bahkan aku sudah putus dengannya sebulan yang lalu," ujarnya dengan sesenggukan. 

Tangis perempuan itu kembali pecah. Melihat hal itu, aku mulai mengusap air matanya dengan jemari.

"Aku turut prihatin dengan masalahmu. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!"

Tiba-tiba perempuan itu menegakkan badannya, saat semula bersandar di bahu. Dengan senyuman yang terpaksa, ia menepuk pundakku, hingga kedua mata kita beradu. Ia menatapku lekat-lekat.

"Maukah kau menjadi sahabatku?"

Aku tercengang mendengar penuturannya. Di alam bawah sadar, tiba-tiba aku mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingku ke jari kelingking miliknya yang dari tadi sudah melayang ke udara.

"Oke. Sekarang aku merasa telah menembak seseorang," ucapnya sambil melebarkan senyuman. Dia terlihat cantik dengan tatapan bahagia. Seakan masalah yang ia hadapi tak pernah terjadi.

"Oh ya, aku Alisha, Alisha adrien. Senang bertemu denganmu, sekaligus menjadi sahabat barumu."

***

Sebulan terakhir ini aku merasa hidup. Sejak kejadian itu, aku semakin dekat dengan Alisha. Entah, magnet apa yang membuatnya dekat denganku, padahal aku tipe orang yang tidak mudah berteman.

Sejak itulah aku mulai membuka diri. Belajar terbuka untuk orang baru, belajar tidak menjadi orang pendiam. Ya! Karena Alisha-lah yang berpengaruh besar dalam hidupku. Ia mengajariku banyak hal. Mulai dari bersosialisasi dengan sekitar hingga cara berpenampilan. Kini hidupku lebih berwarna. Terima kasih Tuhan telah mempertemukanku dengan Alisha. Tentunya aku sangat bersyukur memiliki sahabat terbaik seperti dirinya.

Teeet ... teeet ... teeet.

Ketika jam istirahat, aku dan Alisha memutuskan untuk pergi ke kantin. Saat berbelok di persimpangan jalan menuju kantin, kami tertawa terbahak-bahak sehingga membuatku tak fokus melihat jalan, tiba-tiba saja tubuhku menegang tatkala menabrak seseorang.

"Radeve!"

Suara itu mengembalikan kesadaranku yang kini telah berada di pelukan seseorang. Aku mendongak, tatapanku bertemu dengan iris hitam miliknya. Iya, dia! Aku tercengang sambil melepaskan pelukan. Dengan cepat aku merapikan seragamku yang terlihat berantakan sambil merasakan denyutan jantung yang mulai membara. Aku merasa kini pipiku sampai leher telah berwarna merah karena malu.

Betapa terkejutnya aku bahwa laki-laki yang kutabrak tadi adalah laki-laki yang kucintai dalam diam. Laki-laki yang kutemui di koridor dekat dengan ruang guru. Laki-laki yang membuatku jatuh hati, padahal tidak saling mengenal satu sama lain.

Beberapa kali aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal karena bingung harus berbuat apa. Aku benar-benar tak bisa mengontrol perasaan, sehingga aku salah tingkah. Iya, aku ingin segera menghilang saja dari tempat itu. Sialnya, Alisha tidak menggubris semua ajakanku untuk pergi dari tempat mengerikan ini. Ia malah terlihat asyik mengobrol dengan laki-laki bernama Radeve. Alisha tak merespons kodeku, hingga kuputuskan untuk pergi dari tempat tersebut tanpa mengajaknya dengan tingkah lakuku yang terlihat kikuk.

Aku berlari menuju toilet putri saat kurasakan wajahku bagaikan kepiting rebus yang sudah matang. Sesampainya di toilet, aku memandang kembaran wajahku ke arah cermin yang besar di sana. Di bawah cermin terdapat wastafel. Kubasuh wajahku dengan guyuran air. Segar rasanya. Kukerjap-kerjapkan bola mata sambil sesekali memeluk diriku sendiri hingga membentuk garis X. Beberapa kali kutepuk-tepuk kedua pipi. Meyakinkanku bahwa ini bukanlah sekadar mimpi. 

Aku bisa berpelukan dengannya?

 Iya, aku dipeluknya, bukan? Senyuman menggoda tak henti-hentinya terbit dari bibir merah muda alami yang kumiliki. Ada perasaan bangga menyelinap di tubuh. Aku jingkrak-jingkrak tak karuan sambil membayangkan, mengulang kejadian tadi dalam memori ingatan.

***

Malamnya aku tak bisa tidur. Sebisa mungkin aku memejamkan mata. Namun, hasilnya nihil. Mencoba berbaring ke kanan lalu berganti ke kiri. Tetap saja kejadian siang tadi masih terekam jelas dalam otak. Aku tersenyum-senyum kecil sambil membayangkan kejadian tadi terulang lagi dengan posisi yang sama. 

Hanya mengingat kejadian itu saja sudah membuatku malu, hingga kutarik selimut menutupi seluruh badan. Menyembunyikan wajahku yang mulai memerah.

Keesokan harinya terdengar suara berisik.

Prok prok proook.

Gubraak gubraak.

Suara tepuk tangan keras lalu tergantikan oleh hentakan pintu yang sengaja dipukul agar tercipta suara dentuman yang keras. Aku mengerjapkan kelopak mata yang serasa menyilau terang di baliknya. Mataku menyipit, mencoba mempertajam pandangan. Kugunakan lenganku untuk menyembunyikan mata, lalu menguceknya agar mataku dapat melebar. Melihat tajam ke arah langit-langit kamar.

Gubraak gubraak.

"Ayo! Bangun, Myesha!"

Kualihkan pandanganku melihat sosok ayah yang sedang memukul pintu. Kebiasaan yang dilakukan ayah sejak aku kecil, memukul-mukul pintu kemudian jika aku tetap tidak bangun, maka aku akan digendong dan di arahkan ke sinar matahari agar teriknya sinar matahari tersebut bisa membuat kelopak mataku terbuka. Selanjutnya seperti biasa aku akan jatuh dari gendongan ayah dan langsung berlari terbirit-birit menuju kamar mandi. 

Itulah ayahku! Bila ayah pada umumnya membangunkan anak-anaknya dengan cara disiram air, berbeda dengan ayahku. Ia mempunyai cara sendiri bila ingin membangunkan anak- anaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro