Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ayana- 7

Aku menghirup udara pagi hari depan sebuah gedung menjulang tinggi. Orang-orang berlalu-lalang keluar masuk melalui pintu gedung yang terbuat dari kaca.

"Hei!" teriak seseorang mengagetkan diriku. Aku pun menoleh ke belakang.

"Aish ... Aldi rupanya. Tumben datang pagi sekali?" tanyaku sembari mengikuti langkah Aldi yang sudah duluan di depanku.

"Kamu tidak baca grup chat? Kan aku bilang,  bakal ada CEO baru," ucapnya dengan santai, sembari memutar-mutar id card miliknya.

"Aduh, rasanya kaya aku yang kudet di sini. Aku semalem ga on di grup, dan malah fangirl-an."

"Dasar wanita!"

👑👑👑

Pekerjaan hari ini begitu padat. Aku, sebagai pekerja baru di sini yang dianggap sebagai pemula, terkadang masih bingung dengan pekerjaan yang harus aku lakukan.

"Ayana, laporan kemarin sudah dibuat?" tanya seorang wanita seniorku, namanya Vita.

"Sudah, Kak. Kemarin sudah Ayana kirim ke Kak Eri."

Sungguh senang, masa depanku terkendali seperti diaryku. Buku kecil berwarna ungu itu tergeletak di atas meja, sebelah keyboard. Setelah aku mengganti buku dari yang tahun sebelum-sebelumnya, rencana sempurnaku berjalan dengan lancar.

Kini, setelah menyelesaikan studiku yang melelahkan, aku berhasil masuk dan diterima dengan baik di perusahaan koran ternama. Beritahari.id itulah nama perusahaan koranku.

Aku bekerja di bidang percetakan dan pemasaran. Bulan ini, rumor yang aku dengar, penjualan stabil. Jadi, tidak ada tekanan yang harus aku lalui karena bekerja saat keadaan perusahaan sedang terpuruk.

"Hei ... hei, aku punya kabar terbaru nih," kata salah satu seniorku yang lainnya. Namanya Kak Tami.

Semua orang yang bekerja di depan komputernya pun langsung berkumpul di meja kak Tami.

"Ada apa?" tanya kak Zena.

"Menurut rumor yang aku dengar, CEO baru kita itu adalah Keponakan Pamannya. Lebih tepatnya, CEO kita saat ini tidak punya anak dari istrinya, nah si keponakannya itu kedua orang tuanya sudah meninggal, jadi dia menggantikan posisi Pamannya."

Semua manggut-manggut mengerti. "Dia tampan ga ya?" Kak Ara tiba-tiba menyahut.

"Aku belum tahu pasti, Ara. Nanti kita akan tahu bagaimana tampangnya."

"Ehem! Semuanya dengarkan aku!"

Semua orang diam dan memperhatikan Aldi, yang baru saja datang. Aldi adalah direktur di bagian percetakan ini. Awalnya aku tidak pernah menyangka, akan bertemu dengannya lagi. Tapi, itu semua nyata. Dan semua orang tahu, bahwa aku dan Aldi berteman dengan baik.

"Ada apa Direktur?" tanya kak Vita.

"Ada kejutan buat kalian."

Semuanya nampak bertanya-tanya. Aku juga bingung, kejutan apa yang dimaksud Aldi. Makannya kak Vita bertanya padaku.

"Kamu tahu, kejutan apa yang Kak Aldi mau kasih?"

Aku menggeleng cepat. "Tidak. Kak Aldi tidak memberitahuku apa pun."

Tiba-tiba saja, laki-laki berawakan jangkung, wajahnya khas luar sana, namun matanya cokelat benderang seperti orang lokal, lengkap menggunakan jas rapihnya, berjalan perlahan memasuki ruangan.

Manik mata orang-orang membulat, terutama kaum hawa. Berbeda denganku. Mataku terbelalak, kaget. Itu yang aku rasakan. Perlahan aku mundur ke meja kerjaku.

Dengan cepat aku membuka meja laci, sehingga uang recehanku terjatuh seluruhnya ke lantai. Aku segera mengambil masker berwarna pink bermotif bunga dari dalam laciku ,dan segera aku pakai. Aku juga merangkak untuk mengambil uang recehan yang dari tadi jatuh.

Uang recehan itu penting, tahu? Lumayan buat ngasih ke pengamen kalau kita lagi naik angkutan umum. Uang recehanku begitu berhamburan di lantai, bahkan sampai ada yang jatuh ke kolong laci CPU.

"Itu kamu, yang sedang merangkak!"

Mendengar bentakan itu yang dirasa tertuju padaku, aku pun reflek berdiri.

Dug!

Kepalaku membentur meja dengan cukup keras.

"Aww ...," ucap seluruh karyawan dengan menatap iba padaku.

Aku hanya nyengir. Mungkin tidak terlihat, karena ditutup oleh maskerku. Aku mengusap-ngusap bagian kepalaku yang terbentur meja, rasanya sakit. Namun, rasa malu lebih besar daripada rasa sakit yang aku alami.

"Kamu mendengar perkataan saya tadi?" tanya Pria ber-jas rapih itu sembari tersenyum lembut menatapku.

Aku menunduk. "Iya, Pak. Saya dengar," jawabku berbohong. Karena, sebenarnya aku tidak mendengar perkataannya tadi.

"Kalau begitu, sebutkan!"

"E-eh." Aku berkata gugup. Aku menatap sekeliling. Kak Vita menatapku iba, ingin membantuku. Begitu pun dengan yang lainnya, namun mereka mencari aman. Ah ... sudahlah, aku tidak suka dikasihani.

"Kamu tidak tahu bukan?" tegas Pria itu. "Kalau begitu, datanglah ke ruang kerjaku nanti, saat jam istirahat. Jangan ada siapa pun, yang memberitahu padanya. Kalau tidak, orang yang memberitahu akan langsung saya pecat!" jelasnya lalu pergi meninggalkan ruangan ini.

Suasana tegang tadi kembali mencair. Kak Vita mendatangiku dan mencoba meneangkanku. "Apa kepalamu sakit?" Aku hanya menggeleng pelan sembari kembali duduk di bangku kerjaku.

Ah ... kenapa CEO baru yang dimaksud itu adalah Jimmy. Ya! Kalian benar, kalian tidak salah baca! Dia adalah seorang bernama Jimmy Dirgantara. Kenapa masa laluku harus kembali disaat aku sudah hidup dengan tenang.

Aku menyandarkan diri di kursiku. Menatap langit-langit kantor berwarna putih polos. Semua nampak sibuk kerja, tidak ada keriuhan di dalamanya. Ada apa ini? Apakah peraturan barunya menyuruh kami diam? Entahlah, kepalaku terasa berat hari ini. Mungkin, aku akan pulang lebih cepat ke rumah Marsha, karena menunggu dua hari itu sangat lama.

👑👑👑

Jam istirahat baru saja dimulai. Sesuai apa yang dikatakan Jimmy, aku pergi ke ruangannya. Sebenarnya aku ingin ikut bersama senior-seniorku. Aku ingin lebih dekat dengan mereka, aku juga ingin makan makanan enak! Argh ... aku frustrasi. Bagaimana aku harus menghadapi Jimmy, setelah berapa tahun aku tidak bertemu?

Aku berdiri menarik napas di depan ruangannya. Untung saja, ruang Jimmy ada di lantai tiga, sehingga aku tidak perlu terlalu sering bertemu dengannya. Tanganku terasa begitu berat, ketika ingin mengetuk pintu. Dan aku juga mendengar sedikit percakapannya.

"Tidak! Sama sekali tidak!  Aku seriusan ada urusan, sudah ya aku tutup telponnya."

Aih ... dia sedang teleponan? Daripada aku mendengar percakapan lebih lanjut alias menguping, itu tidak sopan.

Tok ... tok ... tok!

Aku mengetuk pintu.

"Masuk!" perintahnya, membuatku membuka pintu.

Dia tengah duduk hening di sana. Dasar Bos caper . Padahal aku tahu, tadi dia sedang telponan dengan seseorang. Tapi, aku mencoba sopan dan membungkukan badan di depannya.

"Saya sudah di sini, lalu bolehkah saya bertanya alasan anda memanggil saya?"

Jimmy diam menghentikan aktivitas menulisnya. "Kamu tidak sadar kesalahanmu?"

Aku mencoba menarik napas pelan. "Saya tahu kesalahan saya, tapi mohon maaf, tadi saya sedang mengambil uang receh saya yang terjatuh."

Kali ini dia mendongak menatap bola mataku lurus. "Secinta itukah kamu sama uang?" tanyanya sembari berdiri dari duduknya.

"Siapa namamu?" tanyanya tegas. Sementara aku menunduk tak berani menatap matanya. Dan aku memilih diam.

"Aku bilang, siapa namamu? Kamu tuli?" teriaknya.

"Aya, Pak. Nama saya Ayana!" teriaku membalas teriakannya, tak sudi aku disebut tuli oleh dirinya. Siapa dia itu?

Keningnya nampak berkerut. Kini, otot di rahangnya kembali seperti biasa.

"Bisakah kamu membuka maskermu? Itu sungguh tidak sopan ketika berbicara dengan atasanmu!"

Aku menggeleng sembari mundur perlahan, sementara ia maju perlahan mengamatiku. Kini tubuhku sudah menyentuh dinding. Mampus! Aku bakal ketahuan.

"Saya bilang, buka maskermu! Kamu tidak dengar?" ucapnya kini pelan. Wajahnya hanya berjarak sekitar 30 centi dari wajahku.

Aku memalingkan wajah, tak berani menatap matanya langsung. "Aku sedang pilek, Pak."

Kini Jimmy kembali tegap biasa. "Benarkah? Kamu tidak bohong? Suaramu tidak terdengar seperti orang pilek."

Keringat sudah mulai bercucuran di pelipisku. Bagaimana ini? Apakah identitasku akan terbongkar dengan mudah?

Dia mengalihkan pandangan dari mataku, ke arah leherku. Tanganya perlahan mendekat, dan memegang kalung dengan cincin menempel di dalamnya.

Plak!

Untuk pertama kalinya aku menampar seorang pria. Dan ini, adalah atasanku. Ah ... aku tidak perduli, ini bisa jadi pembelaan untukku

"Aku tahu, bapak Bos di sini! Tapi, jangan berani melecehkan saya seperti ini. Saya bukan wanita rendahan! Kalau bapak menginginkan wanita rendahan, cari saja. Di luar sana banyak."

Jimmy nampak terlihat kaku sembari memegang pipinya yang merah karena aku tampar dengan cukup keras. "Ma-maaf, saya tidak--"

"Sudahlah! Saya tidak ingin mendengar pembelaan Bapak. Jika Bapak bertanya pada saya, saya sudah tahu apa yang Bapak katakan tadi pagi, saya tahu dari pengamatan saya. Jangan coba-coba mendekati saya lagi, Pak. Ingat itu!" tegasku, membuatnya berdiri mematung. Aku pun menatapnya sinis, lalu pergi keluar dari ruangan itu.

Aku memegang jantungku yang sedang menggebu dengan cepat. Aku juga membuka masker di wajahku, karena wajahku nampak panas. Aku pun pergi keluar kantor, untuk menatap kota dan mencari udara segar.

Aku melihat Aldi tengah berdiri sembari menikmati kota di sana. Perlahan aku mendekatinya, dan mulai menyapanya.

"Kamu sedang apa?" tanyaku membuatnya menoleh. Wajahnya nampak sumringah.

"Kamu sudah selesai? Apa yang dikatakan dia tadi? Kamu tidak apa-apa?" tanyanya bertubi-tubi.

"Tenang saja, Aldi. Aku tidak apa-apa."

Wajahnya tidak menampakan kecurigaan, syukurlah. Dia menaruh soda dingin di pipiku. Dan juga sekantung roti di tangannya.

"Aku tahu, kamu lapar. Makanlah, aku juga sangat lapar," katanya membuatku tersenyum dan ceria kembali.

Aku bersyukur punya teman seperti Aldi. Andai saja, Arthur yang ada di sini, maka aku akan lebih senang lagi. Tapi, sekarang apa dia sedang sibuk di tokonya? Aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengannya, karena berbicara di telpon saja tidak dapat menghilangkan kerinduan.

"Roti ini sangat enak bukan?" tanya Aldi, membuyarkan lamunanku.

Aku mencoba menyantapnya setengah. "Iya, ini sangat enak."

"Syukurlah kalau ini enak."

Aku kembali diam. Senyum di wajahnya kini memudar. "Kamu yakin, tidak ada apa-apa?"

"Aku jadi tidak yakin, akan terus bekerja di sini, Aldi."

Keningnya berkerut. "Kamu tidak serius 'kan, berkata seperti itu?" tanyanya khawatir. Nampak jelas tergambar di wajahnya.

"Aldi, kadang hidup tidak sesuai perkiraanmu. Aku juga tidak ingin pindah dari sini. Ini adalah perusahaan idamanku, mana mungkin aku pergi semudah itu."

"Kalau begitu tinggal saja di sini. Tidak perlu pergi."

"Aku akan memikirkan ini nanti, tapi aku harus pulang dulu ke rumah Houten. Aku merindukan Arthur dan Marsha."

"Mau aku antar? Aku juga ingin ke sana," ucapnya dengan antusias.

"Baiklah, kamu boleh mengantarku."

👑👑👑

Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro