Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ayana- 5

Ujian tinggal beberapa hari lagi. Aku memfokuskan diriku untuk belajar dengan bersungguh-sungguh demi hasil yang memuaskan. Aku juga berencana akan kuliah dengan jalur beasiswa atau undangan karena tidak ingin membebani ibuku.

Hari ini aku tidak pulang seperti bisanya. Aku meminta pelajaran tambahan terlebih dahulu pada wali kelasku hingga pulang lebih telat dari yang lainnya. Tepatnya pukul 16.30 aku baru pulang. Kami kelas 12 disuruh pulang pukul 12.30. Tapi aku merasa tidak puas dengan pengajaran mereka yang sebentar itu.

Aku melangkah dengan gontai terus memperhatikan buku yang aku baca. Dengan rambut dikuncir kuda menyisakan sedikit rambut yang tidak terikat juga tidak lupa dengan kacamataku.

Orang-orang yang masih berada di sekolah mencoba menyapaku, menggoda, bahkan mendekatiku. Untung saja aku sedang berada dalam mode belajar dimana aku akan mengabaikan semua orang yanh berada di sekitarku. Tidak perduli apa kata mereka jika mengatakan aku sombong dan jutek. Pokoknya tidak ada yang bisa mengangguku ketika aku sudah fokus.

Embusan angin terus menerpa rambutku membelai lembut pipiku dan membuat lembar-demi lembar buku terbuka. Aku menatap sekeliling. Kini aku sedang berdiri di bawah pohon. Dengan extra sabar aku menunggu angkutan umum lewat. Namun samar-samar, aku melihat seseorang sedang berboncengan mengenakan motor ninja berwarna merah.

Dari jarak 200 meter aku melihat Marsha dan Jimmy. Benar itu mereka, sedang berboncengan. Untung saja aku sedang mode belajar. Jadi hal seperti itu tidak akan menggoyahkanku. Bahkan aku akan mencampakkan pacarku sendiri ketika mode belajar. Sudah satu minggu lebih, kami tidak berbalas pesan.

Tin ... tin!

Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Dengan cepat aku menghentikan mobil itu dengan lambaian tanganku. Mobil itu berhenti tepat di pinggir jalan. Kebetulan mobil itu sedang kosong sehingga membuatku lebih nyaman.

"Pak, saya mau sewa mobil ini sendirian. Tolong bawa saya keliling-keliling kota ya, Pak," kataku sembari naik dan duduk di paling ujung mobil.

"Siap, Neng."

Mobil melaju perlahan. Aku mengeluarkan alat tulisku beserta buku-bukunya. Tak lupa dengan kain—sebesar tikar kecil—aku juga keluarkan. Aku bentangkan kain tersebut di dalam mobil. Bangku mobil sudah aku jadikan layaknya meja. Sementara aku duduk di lantai mobil.

Kubuka jendela yang berada di depanku sebagian. Karena nantinya buku-bukuku bisa terbang jika dibiarkan terlalu besar.

Angin sore sungguh nikmat. Sesudah gerah akibat teriknya matahari akan segera berakhir jika mendapat sejuk embusan angin sore.

Kini langit nampak bersedih ditinggal sang surya. Akupun meminta berhenti pada supir mobil.

Sekarang sembari menikmati desiran angin segar aku menatap sekeliling kota dari trotoar. Nampak lampu-lampu mengeluarkan cahaya berwarna oranye. Tempat hiburan dan kafe yang baru saja buka mendadak dikerubungi banyaknya orang-orang yang penat sepulang bekerja.

Aku melihat bangku panjang berdiri di sana. Aku memutuskan untuk duduk dahulu sebentar, refreshing sebelum ujian.

👑👑👑

Hari ini pun dimulai. Hari dimana semua siswa bersitegang, bergelut dengan kursor dan juga monitor di depannya. Semua nampak fokus. Keringat sedari tadi sudah bercucuran membasahi pelipis mereka.

Dengan mengerahkan semua kemampuanku aku fokus membaca huruf-demi-huruf, kalimat-demi-kalimat. Sudah bisa kalian tebak bukan, hari pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia.

Tidak dapat diremehkan memang Bahasa Indonesia. Karena jika kalian tidak teliti ketika membacanya maka kalian akan terkecoh menyebabkan salah satu poin-mu hilang.

Syukurlah ini sudah tiga soal terakhir. Tidak ada hambatan selama aku mengerjakannya. Akupun telah menyelesaikan semua soal. Saatnya pergi pulang.

Hari ini aku mau nonton film baru sebelum malam hari dipakai untuk sedikit berlatih. Dan sebelum sampai rumah, aku harus beli dulu makanan ringan teman untuk menonton.

Drd ... drd ...

Ponselku berdering. Langsung saja aku mengambilnya dari dalam saku. Tertera nama Marsha di sana.

"Hallo Marsha, ada ap—"

"Cepat pulang! Pokoknya dalam lima menit harus ketemu!"

Ada yang tidak beres. Langsung saja, aku menutup telpon dan pergi ke rumah. Rencana harianku gagal lagi. Mungkin aku harus beli buku diary baru supaya rencana perfect-ku berjalan dengan mulus.

👑👑👑

Aku berlari dengan cepat setelah mencapai depan rumah. Langsung saja aku memasuki gerbang dan membuka pintu rumah yang besar itu.

Nampak di sana mata Marsha sembab. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Langsung saja aku menghampirinya yang sedang duduk bersama para pelayan lain.

"Marsha, ada apa?"

"Ayana! Sudah beberapa kali Ibu bilang, panggil dia Nona Muda!"

Ah ... iya aku lupa. Saat sedang bersama pelayan lain aku tidak leluasa memanggilnya hanya dengan sebutan Marsha.

"Iya Bu, Ayana lupa," kataku lalu kembali memalingkan wajah pada Marsha. "Apa yang terjadi, Nona Muda?"

"Hua ... hua ... Ayana, hilang ... hilang." Marsha langsung menyemburkan pelukan padaku ketika aku bertanya padanya. Tanpa ragu aku membalas pelukannya.

"Apa yang hilang?" tanyaku lirih.

"Kartu ujianku. Padahal setengah jam lagi sesi ke-4. Aku mau ujian," ucapnya masih menangis. Aku melepaskan pelukannya, dan mulai menyeka air matanya.

"Sudahlah, biar aku yang cari."

Aku pun mulai menaiki tangga dan masuk ke kamar Marsha. Aku geledah segala ruangan yang kemungkinan ia simpan barang. Namun tidak ada satupun di antaranya yang menyimpan kartu ulangan Marsha.

Kemudian aku berpikir dengan tenang. Marsha itu selalu menyimpan barang di kolong meja kelasnya. Ah ... iya, mungkin saja di sana.

Dengan cepat aku berlari dan kembali ke lantai bawah. Tidak ada waktu lagi tinggal 15 menit sebelum ujian. Aku menarik lengan Marsha supaya iya mengikutiku. Aku mengabaikan pertanyaanya karena tidak ada waktu lagi.

Langsung saja, aku menyuruh Pak Aron—supir—untuk mengantar kami ke sekolah Marsha.

"Kau ini kenapa Ayana? Sudah tahu kartu ujianku hilang. Masih saja mengantarku ke sekolah," protesnya setelah di dalam mobil.

Aku hanya tersenyum. "Berhentilah menangis nanti mukamu kusam." Aku nyengir.

Dia mendelik. "Terserahlah."

Akhirnya kami sampai di sekolah Marsha. Tidak terlalu ramai orang karena dominan hanya kelas 12 yang sedang ujian yang datang ke sekolah. Kamipun turun dari mobil tak lupa denganku langsung mengenakan masker supaya tidak mencolok. Aku takut majikanku dibully karena jalan dengan seorang pemabantu jelek sepertiku.

"Kelas kamu ada di mana Marsha?"

"Lantai tiga," jawabnya kecut.

"Kamu tunggu di sini. Aku bakal lari ke kelas kamu. Supaya tidak terlalu jauh. Ah begini saja, kamu tunggu di lab komputer saja, ya!"

Dia mengangguk. "Aku kebagian ruangan di kelas 2-1. Jadi ke sana saja setelah menemukan kartu ujianku."

Dengan sisa tenaga aku berlari menyusuri tangga. Aku tahu kalau Marsha itu kelas 3-11, jadinya aku langsung ke sana. Aku melirik sekitar dan mendapatkan bangku yang mencolok.

Terdapat vas bunga di atasnya. Falam satu kali tebak, aku tahu itu pasti bangku Marsha. Dia sangat suka sekali melakukan hal-hal aneh seperti itu.

Dan benar saja saat aku menengok bagian kolong bangkunya ada kertas seukuran KTP di sana. Tidak basa basi aku mengambilnya dan kembali berlari ke lantai dua.

Untung saja kelas ini dekat dengan tangga. Jadi aku tidak harus berlari. Dengan cepat aku meminta pada pengawas ujian untuk menyerahkan kartu itu pada Marsha. Setelahnya aku pamit seraya membuka masker dan tersenyum lebar pada Marsha yang sedang panik setengah mati kala itu.

"Semangat!" ucapku yang langsung dilihat oleh puluhan pasang mata di sana.

Semua orang saling berbisik di sana. Sepertinya ada yang tidak beres sebentar lagi. Perlahan aku mundur dan ... berlari.

"Kejar bidadari!" pekik salah satu laki-laki di kelas 2-1.

"Kejar!" teriak semua murid mendukung si lelaki pertama.

Untung saja pengawas menahan mereka. Kali ini aku selamat dari kejaran maut. Terimakasih pak pengawas.

Rasa lelah seperti menggerogoti diriku. Padahal hanya berjalan di tangga menuju lantai satu sudah membuat kepalaku pening. Bahkan aku berjalan sedikit sempoyongan. Aku mencoba dengan kuat memegang sisi tangga, tapi nihil aku nyaris terjatuh.

"Hei kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Aku pun mencoba berdiri tegap dan tersenyum padanya.

"Aku tidak apa-apa terimakasih sudah menyelamatkanku," kataku lalu mencoba melarikan diri darinya.

"Santai saja kenapa buru-buru? Kita bahkan belum berkenalan."

Aku pun berhenti sejenak dan menjulurkan jabatan tangan padanya. "Ayana."

Dia membalas jabatan tanganku. "Aku Aldi. Kita sekarang teman, ya," ucapnya sembari mengunyah permen di mulutnya.

Aku melongo menatap Aldi. Mulutku menganga sembari membelalakkan mata. Bahkan dengan mudahnya dia bilang bahwa sekarang kami berteman. Dia bercanda?

Dia memasukan satu butir permen pada mulutku. "Sudahlah jangan menatapku seperti itu! Aku tahu aku tampan. Mari, aku antarkan kamu ke depan gerbang."

Dengan cepat aku tersadar dan mengikuti Aldi yang sudah mendahuluiku. Sembari mengunyah permen cokelat yang rasanya manis ini tanpa sadar aku tersenyum melihat tingkah lakunya.

Aku mengucapkan terimakasih pada Aldi lalu menaiki mobil yang terparkir di depanku. Aldi. Dia satu-satunya orang yang mengatakan sekarang kita berteman. Tidak ada laki-laki yang mengatakan itu padaku, selain dari Arthur yang mengatakan, "jadilah pacarku, maka kau tidak akan kesepian."

👑👑👑

Hari-hari pun berlalu. Ujian yang selama ini menghantui kini sudah usai. Mungkin sudah sekitar satu minggu ujian usai.

Kini semua orang dinyatakan lulus. Semua orang begitu berantusias berfoto atau bertukar kado di lapang sekolah.

Tanpa terkecuali diriku. Tak mau menjadi si pengacau pesta aku hanya bisa diam duduk di sudut perpustakan dekat tangga. Melihat orang-orang bersenang-senang dari kejauhan sudah membuatku merasa senang. Tidak ada yang lebih baik dari melihat senyuman banyak orang.

Bukan fans fanatik namanya jika tidak menemukanku. Aku menghela napas berat tatkala melihat kerumunan orang berdiri di ambang pintu. Aku sudah tahu siapa mereka.

Dengan Arthur menerobos kerumunan, ia mengulurkan tangannya padaku untuk segera ikut tenggelam pada kerumunan banyak orang yang tengah berpesta.

Keputusan mutlak tak terbantahkan. Terpaksa aku melangkahkan kaki menerima uluran tangannya dan ikut berpesta bersama lulusan-lulusan sekolah ini.

Fyuh ...

Waktu memang berjalan dengan sangat cepat. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi dengan aku yang masih remaja. Kamu akan bertemu denganku setelah aku dewasa. Jadi ... sampai jumpa di masa depan.

👑👑👑

Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro