Author- End
Akhir bulan memanglah hari paling sibuk untuk Ayana. Ia sedari tadi terus fokus pada layar monitornya. Jemarinya terus menari di atas keyboard tak memperdulikan hatinya yang merasa tidak enak akhir-akhir ini.
Perasaanya sangat cemas. Sedari tadi ia terus melirik ponselnya, tapi tidak ada satupun panggilan masuk ke ponselnya. Padahal Pria berkacamata itu bilang akan memberikan informasi esok atau lusa. Namun hampir satu minggu Ayana belum menerima pesan atau panggilan satupun.
Drd ... Drd
Baru saja Ayana melirik ponselnya, akhirnya ponsel itu bergetar menampakan nomot ponsel tidak dikenal pada layarnya. Buru-buru Ayana mengambil ponselnya itu dan menekan tombol hijau untuk menjawab.
"...."
"Benarkah? Kalau begitu tunggu sebentar aku akan ke sana."
Ayana langsung menutup telponnya, mengambil tas dan maskernya kemudian buru-buru berlari ke luar kantor menghiraukan pertanyaan dari siapapun. Bahkan Ibu Rose juga tidak bisa mencegah Ayana. Seluruh pegawai menatap kepergian Ayana dengan beribu pertanyaan, apakah gadis itu tertimpa musibah? Mereka sama sekali tidak mengetahuinya.
Beruntung tempat itu tidak terlalu jauh dari minimarket tempat Ayana bekerja, jadi dengan bebas Ayana bisa berlari menuju toko tersebut.
"Bagaimana hasilnya!" pekik Ayana ketika ia membuka pintu toko tersebut.
"Tenanglah Nona Ayana, kamu bisa duduk terlebih dahulu."
Beruntung tidak ada orang kala itu. Ayana jadi leluasa untuk berbincang dengan pria itu.
"Sebentar, sebenarnya siapa namamu?" tanya Ayana tiba-tiba ketika duduk di kursi.
"Aku Tedy, tidak ada yang istimewa dengan namaku."
"Jadi Tedy, kenapa kau baru menghubungiku sekarang? Bukankah janjimu besok lusa? Ini terlalu lama." Semburat kekecewaan terukir jelas di benak Ayana.
"Sebelumnya maafkan aku Nona Ayana karena nomer telpon yang kamu berikan hilang saat aku ingin menghubungimu. Tapi tadi ketika ibuku menyapu tempat ini, ia menemukan secarik kertas nomer telponmu. Jadi aku baru bisa menghubungimu sekarang," jelas Tedy.
"Terserahlah. Kalau begitu langsung saja pada intinya."
Tedy mengangguk. Ia membuka laptop di depan Ayana serta memberikan beberapa lembar kertas yang sudah diprinter.
"Dugaanmu selama ini benar jikalau surat kontrak yang kau berikan padaku adalah buatanku. Bahkan aku masih memiliki data mentahannya," Tedy menunjukkan dokumen yang berada di laptop.
Ayana membaca dengan sangat teliti. Meski dibaca berapa ratus kali isinya tetap sama seperti kertas yang Ayana punya.
Hati Ayana seperti ditusuk satu jarum setelah mengetahui fakta dari surat bukti yang diberikan Marsha. Seharusnya ia sudah tahu kedepannya bahwasannya pastilah Marsha dan Aldi yang telah membuat surat ini. Namun Ayana mencoba menghalau nalurinya ia tetap bertanya pada Tedy.
"Ingatkah siapa yang membuatnya?"
Tedy kemudian mengambil buku tandatangan pelanggan. Buku ini berguna untuk melakukan perjanjian bahwa Tedy tidak menanggung masalah apapun yang terjadi kedepannya.
Lembar demi lembar Ayana buka perlahan. Ia terus mencari dan mencari nama Marsha dan Aldi. Barulah di lembar ke sekian Ayana menemukan nama Aldi.
Seluruh tubuh Ayana mendadak lemas. Bahunya nampak bergetar hebat dengan air mata yang perlahan mengalir begitu saja. Tak lupa ia menutup mulutnya untuk mereda tangisannya.
Merasa prihatin dengan kondisi Ayana, Tedy membuka dokumen yang satunya lagi. Tedy tidak habis pikir manusia seperti apa yang menipu gadis cantik dan baik hati seperti Ayana. Jangan salah, Tedy bisa mengetahui Ayana adalah orang baik karena dirinya yang terkena tipu.
"Mungkin kau tidak ingin mengetahuinya, tapi aku punya dokumen isi surat aslinya." Tedy menunjukkan dokumen itu pada Ayana.
Ayana sedikit merasa lega tetapi juga sangat sedih. Ia sangat lega karena isi surat itu tidak sesuai yang dikatakan Marsha. Ia juga sangat lega karena Arthur tidak membenci dirinya karena Ayana mudah sekali mendapat pengganti. Namun Ayana sangat sedih karena Arthur ataupun Jimmy tidak pernah berbicara tentang ini padanya. Padahal Ayana tahu itu untuk kebaikannya, tapi tetap saja Ayana merasa sakit karena dirinya dijadikan bahan rebutan. Bahkan dirinya didapat melalui permainan kartu. Bukankah itu sangat menyedihkan.
Ayana tersenyum simpul dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia perbuat selanjutnya? Apakah mereka semua tidak ingin ia ada di dunia ini? Apakah mereka akan senang jika dirinya tidak ada di dunia ini? Baiklah, karena mereka sudah menipu Ayana habis-habisan, sekarang saatnya pembuktian apakah mereka masih menyayangi Ayana seperti dulu.
👑👑👑
Jimmy tengah tersenyum melihat-lihat foto ketika dirinya bersama Ayana. Ia kinih tengah duduk di bangku kebesarannya. Ia mengabaikan kertas-kertas yang makin menumpuk kian harinya. Mungkin nantinya tumpukan kertas itu akan berubah jadi gunung.
Rasa rindu kembali menjalar pada benaknya seolah membelenggu dan tak dapat dibebaskan. Hatinya kembali berdenyut nyeri ketika mengetahui kenyataan bahwa kini Ayana pasti sangat membencinya. Dia sadar bahwasanya penyesalan datang di akhir karena jika datang di awal itu pendaftaran.
Namun rasa sakitnya itu mendadak pudar ketika ponselnya berdering menerima sebuah pesan dari seseorang yang sangat sangat ia rindukan. Bahkan tiap hari tiap detiknya Jimmy tak bisa melupakannya. Bayangan senyumannya selalu membuat Jimmy tersenyum.
Buru-buru Jimmy langsung membuka pesan tersebut.
Teruntuk kalian sahabat-sahabat dan mantan kekasihku, sepertinya kalian tengah berbahagia kala ini. Aku baru menyadarinya tadi, bahwasannya dengan ketidak hadiranku mampu membuat kalian bahagia beribu-ribu kali lipat.
Pertama, untuk sahabatku Marsha dan Aldi. Sepertinya kalian sangat bahagia akhir-akhir ini. Bahkan aku melihat dengan mataku sendiri bahwa kalian adalah pasangan paling serasi di dunia ini. Berbahagialah kalian, aku bersumpah tidak akan menganggu kalian lagi bahkan untuk muncul di hadapan kalianpun tidak akan. Terimakasih untuk semuanya. Kalian adalah orang yang mampu menghiburku, memberiku semangat, tempat aku bernaung untuk mencurahkan segala keluh kesah. Mungkin kalian bosan dengan keluh kesahku, tapi kalian tidak menunjukkannya di hadapanku. Sekali lagi semoga kalian dapat hidup dengan bahagia.
Kedua, untuk mantan kekasih dan tunanganku, Jimmy. Hari-hari yang indah sudah sering kita lewati meski tidak lama. Bohong jika aku mengatakan tidak mencintaimu, buktinya ketika kamu menampakan wajah di hadapanku untuk pertama kalinya jantungku tidak bisa berdetak dengan normal. Padahal kala itu aku sedang di posisi punya kekasih. Tapi perasaanku padamu masih ada bahkan setelah kamu menyakitiku. Ternyata dugaanku semuanya salah. Kamu hanya menyukaiku dari segi fisik saja, buktinya perasaanmu padaku hanya sebatas taruhan. Jika kamu tidak melakukan taruhan bodoh itu mungkin kamu bahagia hingga sekarang bersama Meli. Sebenarnya akulah orang ke-3 di antatra kalian berdua.
Ketiga, untuk mantan kekasihku sedari SMA, Arthur. Terimakasih sudah mengisi kekosonganku selama masa-masa sulit. Meski semua orang mengejarku karena fisik, kamu tidak memandangku demikian. Buktinya kamu mampu menahan egoku. Maaf kalau perasaanku padamu tidak sepenuhnya, seperti aku menduakanmu padahal aku tidak bermaksud demikian. Sungguh perasaanku padamu dulu nyata. Awalnya itu hanya lelucon semata, namun lama-lama itu berubah menjadi cinta. Bahkan aku tidak pernah berhenti memikirkanmu dalam lamunanku kala itu. Dan parahnya lagi aku juga pernah dimarahi guru karena melamun ketika ia menjelaskan, dan itu semua karena memikirkanmu. Tapi itu dulu. Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan, aku berharap kamu bisa menemukan peganti yang sangat sangat baik jauh di atasku.
Terimakasih kepada kalian semua karena telah mengisi kekosonganku selama ini. Rasanya sangat sakit ketika mengetahui begitu banyak kebenaran yang tentunya kalian sembunyikan dariku. Mungkin dengan ketiadaanku akan membuat kalian semua bahagia tanpa memikirkanku lagi.
Aku akan pergi ke dunia dimana kalian tidak akan bertemu denganku lagi. Tapi aku tidak sekejam itu. Aku juga ingin bertemu kalian untuk terakhir kalinya.
Jika kalian berkenan, maka datanglah ke tempat tertinggi di sebuah gedung kesukaanku. Dimana lagi kalau bukan di tempat aku menyukai pekerjaan itu. Datanglah ketika sang surya hendak meninggalkan langit ini dan digantikan oleh rembulan.
Dari orang yang kalian sayangi, Ayana Pyhtaloka.
Membaca pesan panjang itu membuat Jimmy terdiam sejenak mencerna kata-kata yang dikirim Ayana. Mendadak ia mematung setelah menyadari isi pesan tersebut.
Buru-buru Jimmy berdiri dan menelpon Arthur. Ketika menerima pesan itu Arthur dilanda kepanikan yang sangat besar.
Aldi, Arthur, Jimmy, Marsha, mereka berempat sangat panik, cemas, dan khawatir akan kondisi Ayana. Tidak ada rencana untuk berangkat bersama mereka justru memaksa Jimmy pergi terlebih dahulu memastikan keselamatan Ayana.
Pikiran Arthur campur aduk. Ia sangat resah. Ia terus membayangkan hal yang tidak-tidak tetapi ia tepis langsung dari pikirannya. Ia sangat percaya bahwa Ayana tidak sungguh-sungguh dengan keputusannya.
Entah mengapa rasany kala itu langkah kaki Jimmy seperti melambat. Padahal ia sudah berlari semaksimal mungkin. Meski harus berlari menyusuri ratusan bahkan mungkin ribuan anak tangga, Jimmy tidak merasa lelah karena ini menyangkut soal nyawa seseorang. Apalagi itu Ayana wanita yang ia cintai.
Setelah membuka pintu tentu saja ia orang pertama yang berhasil sampai di atas paling tinggi gedung. Seorang wanita dengan cahaya berkilau sangat kontras di sana. Ia menatap langit berwara oranye itu sembari menitikan air mata dari kelopak matanya.
Bahkan lutut Jimmy terasa lemas. Ia sebenrnya ingin mendekati wanita itu dan memeluknya dengan sangat erat berharap bisa menumpahkan segala kesedihannya.
Namun seolah ada dinding penghalang antara mereka sehingga membuat Jimmy tak bisa melangkah lagi. Hanya jarak sekitar 3 meter antara mereka.
"Jadi kamu yang sampai duluan?" Akhirnya wanita itu bersuara meski tanpa berbalik. Suaranya nampak parau ditambah dengan suara embusan angin sore.
"Iya. Aku datang duluan untuk meluruskan kesalahpahaman antara kita Ayana."
"Kesalahpahaman apa yang kamu maksud? Aku sudah mengetahui semuanya, tak ada yang perlu dijelaskan lagi." Ayana berkata datar.
Keheningan langsung mengisi di antara mereka. Tak ada lagi kata yang terucap selain suara hiruk pikuk kota menjelang malam.
Hingga tiga orang lainnya datang bersamaan membuat keheningan di antara mereka sedikit mereda.
Orang yang paling antusias adalah Marsha. Dia menangis sesenggukan hingga matanya bengkak. Ia bahkan berlari dari jauh hendak memeluk Ayana, tapi seolah ada dinding penghalang tadi sehingga Marsha tidak mampu meski hanya melangkah satu senti lagi.
"Jarak tiga meter adalah pilihan yang tepat," kata Ayana masih dengan suara parau.
Marsha bersimpuh seraya terus menumpahkan segala emosinya yang meluap-luap. Tak henti ia mengucap kata maaf dalam ucapannya.
"Ayana tolong, tarik kembali kata-katamu pada pesan tadi!" teriak Arthur juga dengan suara parau.
Teriakan dari Arthur ternyata membuat Ayana mampu berbalik. Kini mereka berempat saling berhadapan.
"Kata-kata man yang harus aku tarik? Memang kamu siapa mampu memerintahku?"
Perkataan itu langsung menusuk hati Arthur. Ini bukan Ayana yang Arthur kenali. Ayana yang Arthur kenali adalah Ayana yang berkata lembut dan menjaga perasaan orang lain.
Seolah Ayana dapat membaca pikiran Arthur lagi-lagi ia berkata, "Apakah aku tidak boleh mengeluarkan kata-kata kasar? Apakah itu membuatmu sakit hati? Padahal kalian membuatku lebih dari sakit—" Suaranya mendadak lirih di akhir. "—Kalian pengecut. Empat—bukan lima lawan satu. Itu tindakan pecundang," katanya melirik ke arah pintu.
Semua orang yang ada di sana juga turut melirik ke arah pintu. Meli sudah berdiri di sana.
"Wanita jalang itu. Sedang apa dia kemari," gumam Aldi.
"Wanita jalang? Kamu mengucapkannya terlalu keras di samping kekasihnya!"
Aldi melirik Jimmy yang tengah terdiam sembari menunduk.
"Ayana sadarlah! Kamu harus ingat pada Natali dan Ibumu di rumah."
"Tidak usah membawa mereka dalam urusan ini Aldi. Kamu bukan siapa-siapa!"
"Ayana tolonglah. Kamu mungkin masih mengakuiku sebagai sahabat bahkan saudarimu bukan?" Kali ini Marsha yang angkat bicara.
"Saudari katamu? Saudari mana yang mengkhianati saudarinya," ucap Ayana ketus.
Kini semua orang tak mampu berkutik. Tidak ada yang mampu mendekati Ayana tanpa terkecuali Meli.
"Ayana gadis kecilku, kamu sudah tumbuh dewasa," kata Meli sembari memeluk Ayana lembut. Bahkan ia juga mengusap-ngusap rambut Ayana.
"Meli, bagaimana kabarmu? Kau bahagia dengan Jimmy?"
Mendengar perkataan itu membuat Meli melepaskan pelukannya dan menangis.
"Ayana sungguh aku sangat menyesal telah memisahkan kalian berdua. Aku—aku—aku tahu kalian berdua adalah orang yang sangat mencintai. Bahkan tidak hanya antara kau dan Jimmy, tapi juga antara kau, Marsha dan Aldi. Dosa besar apa yang telah kau perbuat hingga aku berani menghancurkan hidupmu, Ayana."
"Meli kau—" Jimmy nampak geram namun tak bisa melakukan apapun. Dirinya merasa seperti pengecut sekarang. Bahkan ia membiarkan Meli mendekati Ayana.
"Kau benar. Ini pasti karma untukku Meli," ucap Ayana.
"Untuk menebus semua dosa itu, aku di sini secara langsung di depanmu meminta maaf untuk yang terakhir kalinya. Apakah kamu bersedia menerima maafku?"
Ayana mengangguk, lalu Meli memeluk Ayana erat. "Tidak usah dipikirkan aku sudah memaafkanmu dari dulu. Kita bisa berteman sekarang."
Meli tersenyum sinis. "Teman? Siapa yang mau berteman dengamu,"
Uhuk!
Ayana mengeluarkan darah dari mulutnya. Ayana tidak sadar bahwasannya kini darah segar tengah mengalir dari perutnya. Matanya berkaca-kaca, mungkin ini akhir hayatnya. Rasa nyeri turut menjalar seluruh tubuhnya terutama perut. Pandangannya mendadak buram melihat orang-orang di depannya tercekat kaget. Namun Ayana tetap tersenyum meski dirinya menahan nyeri.
"Aku menyanyangi kalian semua."
Seolah bom waktu yang baru saja meledak, mata mereka terbelalak keringat bercucuran dari pelipis mereka. Pandangan di depan mereka ibaratkan mimpi buruk, namun sayang itu semuan nyata adanya.
Yang pertama tersadar adalah Jimmy. Ia bergegas berlari diikuti yang lainnya. Mereka semua nampak panik. Ambulan langsung mereka hubungi namun mengabaikan kepolisian.
Meli tertawa dengan lebar melihat Ayana terbujur kaku bersimbah darah ia melemparkan pisau yang sudah ternodai itu tanpa sedikitpun penyesalan. Seperti wanita gila ia tertawa dengan sangat keras.
Tanpa pikir panjang Jimmy langsung membawanya untuk menuruni tangga mengabaikan Meli, wanita yang sudah menusuk Ayana.
Pikiran mereka semua tengah kacau hanya Arthur yang bisa berpikir sedikit jernih. Ia menangkap Meli yang memang sepertinya sudah siap untuk dijebloskan ke penjara.
Orang-orang yang berada di dalam gedung itu nampak panik. Bahkan rekan-rekan kerja Ayana juga langsung menghentikan aktivitas mereka dan langsung mengikuti Jimmy yang tengah membopong Ayana.
Suara sirene ambulan begitu terdengar nyaring beriringan dengan suara sirene mobil kepolisian.
Tim medis langsung mengurus Ayana, sementara tim kepolisian langsung membawa Meli.
Sesampainya di rumah sakit mereka berempat ditambah para karyawan begitu cemas dan panik di luar rumah sakit. Setelah mengurus semua surat Ayana sedang melakukan operasi kala ini.
Jimmy menatap kosong tembok di depannya dengan baju berlumuran darah. Hatinya sangat hancur bahkan remuk melihat wanitanya terbujur kaku di dalam menjalani operasi.
Tak kalah hancurnya dengan Jimmy, begitupun Marsha dan Aldi. Mereka sangat merasa bersalah dan telah melakukan dosa besar kepada sahabat mereka itu.
Semua orang yang bersangkutan dengan Ayana sudah dihubungi. Ibu Ayana langsung tergeletak tak sadarkan diri ketika tiba di rumah sakit.
Kecemasan melanda semua orang. Mereka hanya bisa menunggu dan menunggu informasi dari dokter yang tengah melakukan operasi.
Waktu terasa berjalan sangat lama kala itu. Padahal kecemasan makin menjadi ketika dokter keluar dari ruangan operasi.
"Di sini siapa keluarganya?"
Karena ibu Ayana tidak sadarkan diri, Jimmy mengajukan diri sebagai salah satu anggota keluarganya.
"Tusukan pisau itu hampir mengenai organ vital pasien. Beruntung pasien segera dibwa ke rumah sakit sehingga bisa ditangani dengan cepat. Hanya butuh menunggu waktu selama beberapa hari untuk pasien sadar. Kita hanya bisa berdoa pasien diberi keajaiban dan secepatnya sadar."
Pernyataan dari sang dokter membuat setitik cahaya baru untuk mereka yang berada di sana. Mereka hanya bisa berharap Ayana sadar dan cepat sembuh sehingga bisa bersama mereka kembali.
👑👑👑
Sudah hampir satu minggu. Silih berganti orang-orang mengunjungi rumah sakit menunggu Ayana untuk sadar. Tapi sampai sekarang ia belum sadar juga.
Jimmy, Aldi, Marsha, dan Arthur mereka selalu menemani Ayana berharap bahwa sewaktu-waktu Ayana sadar dan membutuhkan bantuan mereka. Anggap saja itu sebagai penebusan dosa bagi mereka.
"Ayana bagaimana kabarmu? Apakah kamu baik-baik saja di sana? Kamu pasti kesepian bukan? Bangunlah kembali, kami di sini menunggumu. Kami semua menyayangimu sangat menyanyangimu. Jangan buat kami khawatir kumohon bangunlah!" Marsha nampak memegang erat jemari Ayana berharap Ayana terbangun.
Diikuti oleh tiga orang lainnya mereka juga memohon untuk Ayana supaya bangun dan kembali berkumpul bersama mereka.
Sepertinya doa mereka dikabulkan. Perlahan suara erangan keluar dari bibir mungil Ayana. Seperti menahan sakit, perlahan Ayana membuka mata.
"Ayana sudah sadar!" pekik Marsha tak percaya.
Yang lainnya juga melonjak kaget. Ayana tersenyum melihat empat orang penting berada di hadapannya.
"Dimana ibu dan Natali?" tanyanya pelan.
"Jangan terlalu banyak bicara. Mereka sedang pulang terlebih dahulu, sebentar lagi tiba."
"Ayana syukurlah kamu bangun. Aku sudah cemas memikirkanmu siang malam," tutur Marsha.
Ayana tersenyum. "Padahal aku hanya berniat membuat kalian cemas tapi justru aku terkena bencana sungguhan," ucapnya diiringi sedikit tawa kemudian kembali meringis.
"Sudahlah nanti saja berceritanya yang penting sekarang kamu sudah sadar." Jimmy membelai pipi Ayana lembut.
"Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan! Sekarang Ayana bukan lagi kekasihmu kita bisa bersaing secara sehat!" protes Arthur dengan disulut api cemburu membuat semua orang yang berada di sana tertawa lepas.
"Baiklah, aku terima tantanganmu!" Jimmy menerima tantangan dari Arthur.
"Kalian tidak malu dengan kesalahan kalian?" Marsha mengingatkan.
Mereka berdua sadar dengan tingkah konyol mereka. Setelah pertengkaran itu mereka meminta maaf dengan tulus diikuti Marsha dan Aldi.
"Aku menyayangi kalian," ucap Ayana dengan tulus.
Mereka berempat tersenyum. Merek semua berjanji akan pergi bersenang-senang ketika Ayana sudah sembuh.
Bahkan dalam hati kecil Jimmy ada keinginan untuk melamar Ayana.
End
👑👑👑
Hihihi akhirnya cerita ini tamat juga ya:) sedih ga? Engga ya:( puas ga?
Tenang buat yang belum puas masih ada epilog dan extra part yang belum terbahas dalam cerita sebelumnya.
Ikuti terus cerita ini kedepannya ya. Doakan semoga author tetap sehat dan mendapatkan inspirasi buat nulis cerita ini.
Jangan lupa tinggalkan komentar kalian di chapter terakhir ini dan baca cerita author yang lain ya^^
Salam manis dari Ayana, Marsha, Jimmy, Aldi, dan Arthur dan juga Author
😘😘😘
Semoga hari kalian menyenangkan:))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro