[2.b] Handoko Komara
"Klien 317 barusan cerita ke aku. Dia sudah mengusir suaminya dari rumah."
Sambil mendengarkan suara Ellen di ujung telepon, Han menarik tuas air panas dispenser. Menyeduh mi instan dalam cup yang sudah dia tuang minyak dan bumbunya.
"Dia benar-benar sudah muak dengan suaminya. Yah ... siapa yang nggak akan muak kalau tahu yang jadi selingkuhan ternyata adiknya sendiri."
Terlalu menjemukan untuk Han, tapi kasus seperti itu selalu mengundang simpati Ellen. Rela menyediakan waku untuk mendengar segala keluh kesah klien. Mungkin sebagai sesama perempuan, Ellen memiliki naluri cukup besar untuk mendukung kaumnya yang sedang terluka.
"Gaji anak-anak sudah aku transfer. Plus bonus buat Baim dari klien 311."
Kinerja agennya untuk klien 311 memang pantas mendapat apresiasi lebih. Baim sampai rela terkena bogem mentah di wajah setelah melindungi klien mereka yang mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Sebagai agen private detective, seharusnya Baim tidak boleh turut serta dalam penggerebekkan—klien seharusnya didampingi pihak dari kepolisian. Cukup menginvestigasi dan menemukan bukti yang menguatkan adanya perselingkuhan. Lebih dari itu, menjadi urusan dan tanggung jawab kliennya. Namun, terkadang Baim malah menerabas aturan.
"Aku juga sudah transfer buat Laras."
Laras adalah adik perempuan Han. Setiap bulan, Han mengirimi uang untuk keperluan kuliah dan sehari-hari gadis itu di Semarang.
Sejak mereka berdua berencana berumah tangga, Han memercayakan rekeningnya pada Ellen—urusan keuangan menjadi skala prioritas yang diajukan Ellen. Sehingga Ellen sangat tahu kondisi keuangannya. Aliran uang masuk dan keluar secara cermat diperhitungkan oleh Ellen.
Beberapa kebocoran pengeluaran langsung wanita itu tambal. Membenahi keuangan Han yang amburadul tanpa pencatatan. Mana pernah Han terpikir mencatat jumlah yang ia keluarkan dalam sehari untuk makan ataupun sekadar membeli rokok. Terlalu remeh bagi Han yang sebelumnya terbiasa hidup santai.
Pendapatan sebagai detektif partikelir, dikira sudah cukup menopang hidupnya berdua dengan Laras. Namun, kehadiran Ellen beserta rancangan masa depannya membuat Han harus berpikir taktis tentang mengelola keuangan yang baik.
"Mami undang kamu makan malam di rumah besok."
"Nggak ada babi, kan?" tanya Han memastikan.
"Nggak ada, dong. Dijamin halal. Mas bisa makan ayam kung pao buatan Mami yang enak. Kujamin Mas bakal ketagihan."
"Peralatan masaknya gimana?"
"Kenapa tanya peralatan masak segala?"
"Kalau Mami kamu masih suka masak babi, terus masak ayam bakpao pa—"
"Kung pao, Mas. Bukan bakpao," ralat Ellen yang cukup memaklumi rendahnya daya tangkap Han soal nama-nama masakan chinese.
"Ya itulah ...," Han menggaruk alis, "Selama memasaknya masih pakai peralatan masak yang sama waktu masak babi, si ayam kungfu itu tetap haram."
Decakan Ellen terdengar. Entah gara-gara Han salah menyebut nama menu lagi atau karena masalah halal dan haram. Han mengintip hasil seduhan mi-nya. Masih belum terlihat matang sempurna. Tersisa tiga menit lagi kalau mau sesuai petunjuk.
"Harus begitu, ya, Mas? Kan, peralatan masaknya pasti sudah dicuci bersih. Nggak akan ada sisa-sisa daging babi yang nempel."
"Tetap najis. Harus dicuci sebanyak tujuh kali."
Setelah terdiam beberapa saat, Ellen lalu berkata, "Kalau gitu kamu nggak usah datang, deh, Mas. Aku nggak enak bilangnya sama Mami. "
"Begitu lebih baik."
"Mami nggak mungkin berhenti masak babi. Kamu tahu itu, kan, Mas."
"Iya. Aku maklum."
Babi rica-rica, babi kecap, babi lada hitam, sup babi, babi panggang, segala macam menu perbabian papi Ellen suka. Ketiadaan menu olahan daging babi bisa membuat laki-laki itu mogok makan.
"Kamu makan malam sama apa, Mas?"
"Soto."
Mi cup-nya sudah siap disantap. Han menarik kursi, lalu duduk menikmati aroma artifisial soto.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara bilah kayu yang diketuk tukang nasi goreng langganannya yang Han kira tidak berjualan hari ini.
Ck, telat!
Selesai makan, Han beranjak mendekati jendela. Dari balik kaca jendela yang agak buram berdebu, Han memperhatikan lalu lalang kendaraan yang melintasi jalan raya-di depan ruko tiga lantainya ini. Han merasa kosong. Pikirannya entah ada di mana. Ada sesuatu yang berbeda di kehidupannya sekarang. Sesuatu itu yang belum bisa berdamai dengan dirinya. Masih dia sangkal, masih dia anggap kehilangan itu tidak nyata.
•••
Lantai dua ruko ini difungsikan sebagai ruang kerja tim. Terdapat satu set meja besar berbentuk oval dengan lima buah kursi. Tempat Han dan yang lainnya biasa berdiskusi mengenai masalah klien mereka.
Tidak ada sekat yang membatasi ruangan. Membuat siapa pun bisa melihat segala hal yang sedang dilakukan. Sebuah sofa minimalis bergaya retro berada di bagian pojok sebelah kanan, di dekat area keluar-masuk lantai dua. Ditambah lima meja lainnya yang terletak di sisi kiri dan kanan ruangan. Setiap meja mempunyai pemiliknya. Termasuk meja Han yang berada di dekat jendela.
Klien 320
Nama : Sinta Camelia
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : Mengurus rumah tangga
Alamat : Pesona Regency Blok Y
No.5 Tangerang
NIK. : 3102×××××××××××1
Han membaca ulang data diri klien yang kemarin datang. Setiap orang yang ingin memakai jasa agen detektifnya diwajibkan mengisi data diri. Latar belakang masalah, hingga tujuan yang ingin dicapai sang klien dari menggunakan jasanya, haruslah benar-benar diketahui. Han tidak mau main-main dengan profesinya ini.
Kliennya sudah membayar lunas sebanyak 25 juta rupiah di awal, untuk kinerja empat belas hari penelusuran. Yang sebenarnya tidak menutup kemungkinan bisa selesai lebih cepat.
Enam tahun lalu, Han memulainya seorang diri. Setelah memutuskan resign dari perusahaan tempatnya bekerja selama tiga tahun. Han merasa jenuh dan lelah secara bersamaan. Ia butuh mengerjakan sesuatu yang membuat dirinya merasa tertantang.
Awalnya Han pikir bisa mengerjakannya sendirian. Namun, di tahun ke dua—setelah makin banyak saja klien berdatangan—dia harus menambah orang untuk membantunya. Sampai kemudian masuk Baim, Fatih, dan Aksan. Ketiganya bertahan hingga sekarang.
Target 320
Nama : Malik Rajasa
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 52 tahun
Status Hubungan : Suami
Pekerjaan : PNS
Alamat. : Pesona Regency Blok Y
No.5 Tangerang
Dugaan : Berselingkuh
Aktivitas harian : Terlampir
Han baru mulai membaca lembar selanjutnya, ketika terdengar suara derap langkah kaki menaiki anak-anak tangga. Han tidak perlu memeriksanya, karena sudah hafal siapa yang akan muncul.
"Sia-sia aja kita nungguin semalaman!" keluh Fatih setengah mengadu pada Han, lalu menarik kursi dan langsung menghenyakkan tubuh kurusnya di sana. Baim juga sudah duduk di balik mejanya.
Pandangan Han terangkat sebentar dari lembaran kertas ke arah dua orang itu. Mereka berdua tampak lelah setelah semalaman mengintai target.
"Kenapa, sih, Im, lo nggak percaya sama gue? Benar, kan, apa kata gue. Sampai lo ganti kulit juga dia nggak akan nongol!" cecar Fatih lagi.
Baim tampak santai. Lelaki berperawakan tinggi besar itu seperti tak terpengaruh dengan keluhan Fatih. Dia sedang fokus mentransfer hasil jepretan kamera DSLR-nya ke laptop.
"Arkan jadi diopname, Mas?" tanya Fatih seraya mengeluarkan handuk kecil dari dalam ransel.
Han mengangguk. Sudah dua hari Arkan terbaring di rumah sakit gara-gara demam berdarah.
"Terus Mas nanti jalan sama siapa?" tanya Fatih, karena biasanya mereka tidak bergerak sendirian. "Besok aku sama Baim masih harus ngikutin target ke Bogor."
"Sendiri juga bisa. Bukan case yang sulit."
Kemudian lelaki berkulit sawo matang itu bangkit berdiri sambil membawa laptop. Sebelah tangan lainnya memegang lembar kertas yang tadi dibaca. Memberi kode pada Fatih dan Baim untuk duduk di meja oval. Meminta waktu mereka sebentar untuk mengevaluasi hasil kerja.
Han sudah mengambil posisi duduk di bagian terujung meja. Baim pun segera membawa laptopnya dan duduk berseberangan dengan Fatih yang tampak malas-malasan, karena menahan kantuk. Tiba-tiba terdengar suara langkah yang terburu-buru dari arah tangga. Sampai sosok itu muncul dan menarik perhatian mereka-kecuali Han.
"Selamat pagi! Eh, jam setengah sebelas sudah siang, ya?" Wanita itu sempat melirik ke jam di pergelangan tangan, lalu mengulangi lagi sapaannya, "Selamat siang!"
Baik Fatih ataupun Baim tidak ada yang merasa mengenali wanita itu. Mereka berdua mencari jawabannya dengan melirik ke arah Han. Namun, Han masih tak acuh dan belum mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.
"Siapa, ya?" Fatih akhirnya bertanya langsung ke wanita yang masih berdiri di tempat.
"Ah, iya. Perkenalkan saya Dara, Mas. Saya yang—"
"Dia adik iparnya Risyad. Dia nanti yang akan bantu-bantu di sini untuk urusan admin," terang Han yang dengan cepat memotong kalimat Dara.
Risyad bukanlah orang asing bagi mereka. Jasa private detective-nya ini juga menguntungkan Risyad dan kantor hukumnya. Banyak klien Han yang akhirnya menggunakan jasa Risyad sebagai pengacara dalam pendampingan hukum. Tentunya atas rekomendasi dari Han.
Fatih yang tadinya tampak mengantuk mendadak bersemangat menyambut Dara. Bahkan tanpa bertanya lebih dulu ke Han, Fatih dengan sigap menujukkan meja kerja Dara. Meja yang sudah berbulan-bulan kehilangan penghuni. Namun, baru saja Dara akan menduduki kursinya, suara Han terdengar begitu lantang mengagetkannya.
"Jangan pernah duduk di kursi itu!" Han menatap Dara dengan tajam. "Itu tempat Ellen. Nggak ada yang boleh duduk di situ!"
Bukan hanya Dara yang terkejut, tapi Baim dan Fatih pun tak menyangka Han sampai berkata begitu. Keduanya tahu persis kalau Ellen tidak mungkin pernah kembali. Ellen sudah tidak ada di dunia ini, karena wanita itu sudah mati empat bulan yang lalu.
••☆••
Apa yang terjadi dengan Ellen?
Jangan lupa kasih bintangnya ya
Kunjungi akun Karya Karsa saya untuk membaca cerita lainnya
Terima kasih banyak ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro