Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1.c] Gentala Jumantara

Genta segera mengambil inisiatif untuk melihat sendiri siapa yang bertamu. Namun berbarengan dengan asisten rumah tangganya yang juga muncul.

"Biar saya yang lihat. Bi Isah kembali saja ke kamar," kata Genta yang tak tega melihat wanita paruh baya itu tampak masih menahan beban kantuk di matanya.

"Baik, Mas." Isah menurut, lalu kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.

Pintu utama terbuka. Hawa dingin udara malam langsung menyergap. Genta bergegas menuju gerbang depan rumahnya. Seharusnya ada Danang yang bertugas membuka gerbang. Namun, Genta melihat laki-laki itu tertidur pulas di pos.

Danang memang kalau sudah tidur akan sulit untuk dibangunkan. Ada suara ribut sekali pun dia tidak terganggu. Normalnya mungkin Danang tak akan dipekerjakan lagi. Bagaimana bisa memperkerjakan orang seperti itu untuk menjaga rumah?

Meski begitu, Genta sudah menganggap Danang seperti keluarganya sendiri. Danang adalah anak sopir pribadi ayahnya dulu. Sejak Genta masih kecil, laki-laki yang sepantaran dengannya itu sudah kerap wara-wiri di rumah ini. Bahkan sesekali ikut bermain bersamanya dan Raka.

Genta mengintip pada celah kecil berbentuk persegi pada pintu gerbang, yang berfungsi untuk melihat keadaan di luar. Di sana ada seorang remaja dengan ransel di punggung dan tudung hoodie menutupi kepalanya. Hanya sendirian, tidak ada siapa pun yang bersama gadis itu. Membuat Genta buru-buru menggeser pintu gerbang begitu menyadari kalau itu adalah keponakannya sendiri.

Mika langsung berjalan masuk di bawah tatapan heran dan kaget pamannya.

"Kamu tahu ini jam berapa?" tanya Genta yang tidak bermaksud menunggu jawaban Mika dan langsung berkata lagi, "Seharusnya kamu sudah bisa mengerti kalau berbahaya sekali buat kamu keluar malam-malam sendirian!" Nada suara Genta terdengar marah.

Mika menunduk. Sebelumnya, Genta belum pernah memarahinya. Sehingga dia cukup kaget juga melihat reaksi Genta ketika marah. Mika lalu mengekori langkah Genta yang berjalan memasuki rumah. Tak ada lagi yang dikatakan Genta sampai mereka berdua duduk bersama di ruang keluarga.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya Genta yang berusaha lebih tenang sekarang.

"Aku tadi diantar ojek online."

"Orang rumah tahu kamu ke sini?" Genta sebenarnya sudah bisa menebak jawabannya. Tidak mungkin kakek dan nenek Mika membiarkan cucunya pergi sendirian.

Mika menggeleng.

Genta menghela napas. Kekhawatirannya ini sangat beralasan. Malam hari sendirian di kota seperti Jakarta bukanlah tindakan tepat. Kejahatan ada di mana-mana. Semua bisa terjadi ketika mangsa bergerak tanpa perlindungan, dengan banyaknya predator yang bebas berkeliaran. Genta tidak mau kejadian tak mengenakkan sampai menimpa Mika.

"Aku minta tolong sama Om, untuk antar aku ke tempat terakhir Papa. Itu bukan permintaan yang sulit, kan?"

Genta meraup wajahnya. Mika ternyata masih berkeinginan kuat mengunjungi tempat yang bagi Genta tak ingin disambanginya lagi. Kemarin dia dan kakek Mika sudah memutuskan kalau sebaiknya gadis itu tidak pergi ke sana. Mendatangi tempat menyedihkan itu hanya akan membangkitkan memori buruk yang selama ini sudah berusaha untuk dikubur dalam-dalam.

"Sebaiknya turuti saja apa yang dibilang kakek kamu. Tempat itu lebih baik dilupakan."

"Aku ini udah besar, Om. Bukan anak kecil lagi. Apa salah kalau aku mau tahu setiap jejak dari kematian Papa?" tuntut Mika.

"Papa kamu sudah tenang bersama Tuhan, Mika. Jadi yang perlu kamu lakukan adalah cukup dengan mendoakannya."

Mika menggeleng. "Bertahun-tahun aku percaya kalau Papa meninggal karena kecelakaan. Tapi ternyata Papa meninggal dengan cara yang nggak wajar." Mika menatap mata Genta. "Itu bukan sesuatu yang gampang untuk aku lupain."

Kata-kata dalam kepala Genta seolah habis. Benaknya dipenuhi pertimbangan baik dan buruknya untuk kembali ke tempat yang dia anggap hanya mengingatkan pada rasa sakit.

Namun, Genta akhirnya harus menyerah pada keinginan Mika. Sebelum subuh, Genta sudah mengendarai mobilnya ke arah Bogor.

•••

Matahari belum sepenuhnya naik. Sayup-sayup suara kicauan burung terdengar, menemani langkah-langkah kaki yang menjejak di jalanan tak beraspal yang becek. Genta dan Mika harus berjalan kaki, karena jalan yang akan mereka lewati tidak bisa dilalui mobil. Genta sudah menitipkannya pada pemilik warung yang berbaik hati halamannya dijadikan tempat parkir mobilnya.

Genta menghentikan langkahnya di depan jalan yang bercabang. Dia sedang mencoba mengingat arah yang benar. Tujuh tahun bukan waktu singkat untuk mengaburkan rute yang pernah dia lewati bersama ayahnya.

Genta ingat wajah ayahnya yang tegar. Yang berusaha tampak kuat begitu datang ke tempat anak sulungnya ditemukan. Ayah berkata padanya, kalau tujuan mereka mendatangi langsung lokasi Raka ditemukan adalah sebagai bentuk penerimaan. Ayahnya sama sekali tak menunjukkan raut marah apalagi sumpah serapah penuh dendam.

Walau setelahnya duka mendalam yang tersembunyi itu menggerogoti jiwa ayahnya. Membuat orang yang selama hidupnya selalu bugar dan sehat harus menjemput ajal lebih cepat. Dengan menggunakan cara yang tidak pernah terpikirkan Genta akan dilakukan oleh ayahnya.

"Kita harus lewat mana, Om?" tanya Mika. Gadis itu melihat area lahan di sekelilingnya yang banyak ditumbuhi semak dan ilalang.

Pandangan Genta lalu tertumbuk pada pohon melinjo di sebelah kanan. Seketika Genta tahu harus melangkahkan kakinya ke mana. Mereka kemudian melewati jalan setapak yang berada di tengah-tengah kebun singkong. Sebelum akhirnya sampai di sebuah kali kecil yang hanya selebar parit.

Genta tertegun. Dia bisa melihat pohon beringin tua itu masih berdiri kokoh di sana. Berdiri dalam bayang-bayang pagi yang menguatkan aura kelam dari pohon itu.

Tiba-tiba Mika berjalan mendahului Genta. Dia sepertinya sudah tahu kalau pohon beringin itulah tujuan mereka. Langkah Genta berhenti tepat di samping Mika.

"Di sebelah mana?" tanya Mika yang kemudian memperjelas pertanyaannya. "Di dahan yang mana Papa tergantung?"

Tidak ada perbedaan apa pun dari pohon beringin itu. Semuanya tetap sama. Sehingga tak sulit bagi Genta menunjuk pada dahan terbawah pohon yang ada di sebelah kiri. Letak di mana Raka pernah tergantung.

Perasaan berat menjalari Genta. Dia tak mau berlama-lama di tempat ini. Sedangkan Mika tetap diam dan terus menatap lurus ke dahan yang tadi ditunjuk Genta.

Tak berapa lama, Mika mulai terisak. Air mata perlahan turun ke pipinya. Genta lalu merangkul Mika mendekat padanya. Pasti amat berat juga bagi Mika membayangkan ayahnya tergantung di pohon itu. Namun, kata-kata Mika berikutnya tak bisa Genta mengerti, atau mungkin saja dirinya yang salah mendengar.

"Kata mereka ... Papa adalah yang terkutuk."

••☆••

Jangan lupa Vote dan komentarnya ya ❤

Terima kasih ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro