[1.b] Gentala Jumantara
Genta seperti melompat pada satu waktu yang dirinya sendiri tidak mengerti sedang berada di mana. Di sekelilingnya hanya ada hitam yang melingkupi rasa keingintahuan akan ketidakberadaan cahaya. Genta bertambah panik ketika tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan. Tergeletak diam tanpa bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba sinar mulai datang bersamaan dengan sebuah pintu yang terbuka. Secercah sinar itu perlahan menjadi semakin benderang seiring langkah seseorang yang terdengar mendekatinya.
Genta melihat sosok yang sekarang berdiri di dekatnya, yang tak lain adalah sahabat baiknya. Sorot mata Radit menatap dengan penuh kebencian.
"Dasar anjing!"
Genta ingin bersuara, tapi tidak bisa. Mulutnya seolah lumpuh untuk berbicara.
"Bahkan nyawa seekor anjing sekali pun masih lebih berharga dari nyawa lo bangsat!"
Murka Radit tercetak jelas di wajahnya. Amarah yang selama ini tidak pernah sama sekali Genta lihat. Kengerian merayap di antara mereka, begitu Radit mengacungkan pisau yang dipegangnya.
"Gimana kalau gue kasih pelajaran ke bagian paling berharga lo ini." Radit menunjuk ke arah kemaluan Genta dengan ujung mata pisau yang pastinya sangat tajam.
"Apa lo masih bisa bercinta dengan Arumi tanpa itu?"
Genta bergidik. Dia ingin mengatakan sesuatu. Meminta maaf telah lancang dengan Arumi. Menjelaskan kalau dia bukan bermaksud mengkhianati temannya sendiri.
Tapi terlambat. Pisau sudah bergerak memotong. Memecahkan jeritan panjang memilukan.
Namun, itu bukan Genta. Dirinya sekarang sudah berpindah tempat. Berdiri di dalam satu ruangan berdinding kaca. Genta kebingungan dengan perubahan mendadak ini. Dan matanya langsung terbelalak melihat orang lain yang berada tak jauh di depan telah menggantikan posisinya. Genta langsung berteriak memanggil nama kakaknya. Tangannya menggedor dinding kaca sekuat tenaga, tapi sia-sia saja.
"Genta!" Sebuah suara dengan lantang memanggil namanya.
Genta menengok dan terkesiap kaget mendapati ibunya menggantung dirinya sendiri pada sebatang pohon, dengan usus tertarik keluar dari dalam perutnya yang telah terbelah.
▪︎▪︎▪︎
Mimpi itu datang lagi.
Genta mendesah keras. Merasa frustasi dengan mimpi yang belum mau lepas menyela tidurnya. Sebuah mimpi yang seperti menyadap setiap bagian kejadian dalam hidupnya. Dia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi dan hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menerawang. Melihat langit-langit kamarnya seperti layar proyektor. Menampilkan ulang tragedi yang menimpa keluarganya.
Kematian Raka mengawali semuanya. Tujuh tahun lalu, kakak lelaki satu-satunya itu tewas dibunuh. Cara kematian Raka yang sangat aneh dan tidak wajar menggemparkan masyarakat dan menjadi headline berita di setiap surat kabar nasional. Para kriminolog dan ahli berseliweran di stasiun televisi. Memberikan argumen serta dugaan atas kemungkinan pembunuhan itu bisa terjadi.
Berbagai motif yang bisa melatarbelakangi pembunuhan ditelaah. Tinjauan dari segi psikologis pun tak lupa dijabarkan, sehingga masyarakat bisa mendapat edukasi gratis dari sebuah kasus pembunuhan. Seolah begitu pentingnya mengetahui kondisi mental si pelaku.
Genta membenci media. Menyamakan para wartawan tak ubahnya seperti burung pemakan bangkai, yang terus saja mengejar berita tanpa peduli akan kondisi psikologis keluarganya. Kematian Raka adalah pukulan telak dan guncangan besar bagi keluarganya, tapi para wartawan seperti melupakan adab. Mereka terus saja mencoba mengejar berita, tanpa peduli kalau keluarga korban memerlukan jeda waktu untuk berkabung.
Bahkan sesaat setelah pemakaman Raka selesai, Genta pernah hampir menghajar salah satu wartawan yang dengan lancang bertanya langsung pada Mika mengenai perasaan anak itu ditinggal sang ayah. Genta sudah menarik kerah kemeja wartawan itu dan bersiap menghajarnya, kalau saja saat itu tidak ada yang mencegah.
Keluarganya lalu mencoba menutup akses dengan awak media manapun. Demi melindungi Mika agar jangan sampai mengetahui hal tragis yang menimpa ayahnya. Namun, media sepertinya punya cara sendiri untuk mendapatkan berita. Mereka mengorek segala informasi yang berkaitan dengan Raka dari orang lain. Memberedel kehidupan Raka dan menyajikan sebagai tontonan yang diharapkan memancing rasa iba dan simpati penonton. Selama berbulan-bulan, kasus pembunuhan Raka Bramantya selalu menjadi magnet untuk diperbincangkan.
Genta kemudian turun dari tempat tidur. Menjejakkan kaki di lantai marmer kamarnya yang terasa dingin. Dia berjalan keluar kamar sambil mengenakan kembali kaos yang selalu dilepasnya kala tidur.
Sepi. Itulah yang Genta rasakan ketika kakinya melangkah menuruni tiap anak tangga dalam keheningan yang sudah sejak lama menghinggap di dalam rumah sebesar ini. Genta menuju ruang keluarga yang kini lebih seperti pemakaman baginya. Foto-foto di masa bahagia dengan keluarganya yang utuh berjajar rapi di dinding. Mulai dari foto kecilnya bersama Raka, berlibur bersama kedua orang tua mereka, kelulusan, pernikahan Raka dengan Sara, hingga kebersamaan yang bertambah semarak dengan kehadiran Mika.
Pada saat itu semua baik-baik saja. Kebahagiaan selalu ada di keluarga ini. Awan mendung pernah datang ketika Sara meninggal. Membuat hancur perasaan Raka, karena ditinggalkan oleh wanita tercintanya. Meski segalanya tak lagi sama bagi Raka, laki-laki itu lalu berusaha menjadi ayah yang baik untuk Mika. Menyimpan dukanya sendiri dalam diam. Sampai kematian Raka merenggut satu per satu kebahagiaan yang pernah ada di rumah ini.
Genta meraba permukaan badan piano dalam remang cahaya. Dia sengaja tidak menyalakan lampu dan hanya mengandalkan cahaya bulan yang mengintip dari jendela yang sudah dia geser tirainya. Masih pukul dua dini hari, tapi Genta merasa perlu memainkan jemarinya di atas tuts piano.
Nada-nada dari Ballade No. 1 in G minor, mengalun indah mengisi kesunyian. Denting piano itu seakan ingin menunjukkan sisi bahagia yang dulu pernah ada di hidup Genta.
Karya Chopin itu dia mainkan pertama kali saat resital piano pertamanya di usia tujuh tahun. Kedua orang tuanya sangat bangga dengan kemahiran Genta bermain piano—yang mengungguli teman-teman sebayanya. Mungkin ini satu-satunya hal yang sejalan dengan kedua orang tuanya, karena selebihnya dia adalah anak yang berlawanan arah dengan garis ideal di keluarga ini.
Ayahnya sebenarnya menginginkan Genta masuk ke dalam dunia bisnis keluarga. Membantu mengembangkan perusahaan yang ayahnya dirikan dengan penuh kerja keras selama hampir dua puluh lima tahun. Namun, Genta mempunyai pilihan sendiri dan ingin hidup bebas, jauh dari alur yang sudah ada. Lagipula Genta pikir sudah ada Raka yang akan mengelola dengan baik perusahaan ayahnya itu. Raka si penurut yang selalu bisa diandalkan keluarganya.
Genta sadar kalau sudah membuat orang tuanya kecewa, tapi inilah dirinya yang hanya menginginkan hidup sesuai hati nuraninya. Genta ingat pernah membuat ayahnya marah besar karena merajah punggungnya dengan gambar seekor naga di usia enam belas tahun.
Waktu itu dengan beraninya Genta menyalahkan ayahnya sendiri, kenapa memberi nama Gentala padanya. Sedangkan ia hanya ingin merepresentasikan sebuah wujud dari namanya itu. Gentala Jumantara yang berarti naga angkasa.
Meski ayahnya sempat marah, tapi kasih sayang orang tua pada anak memang mengalahkan segalanya. Itulah keluarganya, yang tak sepenuhnya berjalan mulus, tapi selalu menjadi tempat yang nyaman bagi Genta berpulang.
Ironisnya sekarang tak ada lagi keluarga di rumah ini. Digantikan kekosongan yang tak berkesudahan.
Tiba-tiba ada suara lain yang menyela permainan pianonya. Jemari Genta mendadak terhenti ketika mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Antara bingung dan heran.
Siapa yang bertamu di jam selarut ini?
▪︎▪︎☆▪︎▪︎
Ada yang bisa menebak kira-kira siapa yang datang?
Jangan lupa untuk beri VOTE dan komentarnya ya, biar makin semangat melanjutkan cerita ini 😊
Terima kasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro