Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1.a] Gentala Jumantara

Siang sudah menjelang, tapi hujan belum mau berhenti sejak pagi. Kelabu nyatanya masih setia menemani langit. Begitu juga dengan sepasang tubuh tanpa busana di balik selimut yang masih betah berkelindan. Menapaki tiap jengkal nafsu yang mereka berdua miliki. Melawan udara dingin dengan kehangatan yang berpindah dari hubungan jasmani paling primitif. Mengejar tujuan yang sama. Titik di mana kenikmatan diburu untuk menuntaskan hasrat.

Ketika kenikmatan itu telah berhasil dicapai bersama-sama, barulah mereka melepaskan diri. Wanita berambut panjang itu langsung beranjak dari tempat tidur dan berjalan gontai menuju kamar mandi tanpa mengingat untuk memakai pakaiannya terlebih dulu. Toh, ketelanjangannya sudah bukan hal baru lagi untuk dilihat. Sedangkan si lelaki duduk sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Menyulut sebatang rokok yang kemudian diisapnya dalam-dalam. Merasakan nikotin menyesaki paru-parunya.

Dia bukan perokok. Namun, merokok adalah ritual kecil yang mulai sering dilakukan laki-laki itu setelah bercinta. Entahlah, dia tidak punya definisi atau alasan khusus mengenai keharusan merokok setelah mengeluarkan jutaan sel spermatozoid dari kejantanannya. Kenikmatan yang diperoleh dengan bersetubuh sudah cukup membuatnya puas.

Laki-laki itu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka dan melihat si wanita keluar dengan handuk terlilit sebatas dada. Rambutnya basah, menjuntai di sepanjang pundaknya yang polos. Menyisakan jejak air yang bergulir turun. Wanita itu lalu duduk di tepian tempat tidur dan membuka tas yang berada di atas nakas. Diambilnya hair dryer untuk mengeringkan rambutnya dengan cepat. Benda yang selalu dibawanya ketika hendak bercinta dengan laki-laki yang sedang merokok itu.

"Genta." Wanita itu menyebut nama si lelaki di tengah suara bising hair dryer. Jemarinya bergerak menyusuri jalinan rambut agar terkena uap panas dengan rata. "Minggu depan aku jadi membawa Radit berobat alternatif ke Surabaya. Mungkin masih ada harapan seperti yang selalu ibunya Radit bilang."

Tapi nada suara Arumi menyiratkan kalau dia sebenarnya sudah tidak banyak berharap.

Genta mengisap lagi rokoknya dan perlahan mengepulkan asap keluar melalui mulutnya. Dia tak berkomentar, karena wanita itu memang hanya ingin didengar. Sebagai teman baik dari suami Arumi, dia juga menambah tugasnya sebagai pendengar sekaligus teman bercinta. Peran ganda yang telah dilakukannya selama kurang lebih satu tahun. Lebih tepatnya dua tahun setelah Radit divonis lumpuh seumur hidup karena serangan stroke.

Tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran Genta kalau suatu hari dia akan meniduri Arumi. Dia bukan laki-laki bajingan yang tega bermain serong dengan istri orang. Apalagi istri teman baiknya sendiri. Keadaan yang memaksa ia melakukannya. Situasi sulit yang menarik masing-masing dari mereka untuk mengambil jalan ini.

Arumi adalah istri yang baik. Tipikal wanita yang lebih menyukai merawat keluarga dan menata rumah daripada bersenang-senang menghabiskan waktu di luar. Dia tidak pernah berselingkuh atau berbuat curang di belakang Radit. Genta juga tahu kalau Arumi sangat mencintai Radit. Bahkan setelah Radit tidak bisa melakukan apa-apa selain terbaring diam di tempat tidur pun, Arumi tak diragukan lagi adalah orang yang akan selalu setia menjaga suaminya itu. Sampai kapan pun.

Namun, setelah dua tahun sibuk dengan pekerjaan, sekaligus harus merawat anak dan suaminya, membuat Arumi tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri. Melupakan banyak hal menyenangkan yang bisa saja dilakukannya. Genta melihat Arumi seperti cangkang cantik yang ditinggal pergi penghuninya. Radit menyisakan kehampaan dalam diri Arumi yang seharusnya diisi olehnya sebagai suami. Sekuat-kuatnya Arumi menahan, akan ada kalanya dia butuh melampiaskan segala yang dirasakannya.

Meski Arumi tidak pernah menyesali ataupun merasa lelah merawat suami yang dicintainya. Namun, Genta juga mengerti kalau wanita itu sangat membutuhkan sentuhan. Genta lupa bagaimana persisnya, tapi pertama kali mereka berdua saling berbagi tubuh saat Arumi menangis karena merasa tak mampu memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya.

Genta kemudian menggantikan salah satu peran Radit yang tidak bisa lagi dilakukan temannya itu. Genta akan datang ketika Arumi membutuhkannya. Mengisi kekosongan dalam jiwa wanita itu. Membentuk hubungan yang hanya sebatas pemenuhan kebutuhan biologis. Tidak pernah lebih dari itu, karena Genta tetap menghormati Arumi sebagai istri Radit.

Dengung hair dryer tak lagi terdengar. Arumi sudah memakai pakaiannya. Bersiap meninggalkan kamar hotel lebih dulu daripada Genta. Selalu seperti itu.

"Terima kasih untuk hari ini," ucap wanita cantik berlesung pipi itu sembari membuka pintu kamar.

Genta tersenyum. "Hati-hati di jalan."

Tanpa banyak kata lagi, Arumi meninggalkan Genta sendirian di ruangan yang masih beraroma mereka berdua. Aroma seksual yang akan selalu mengingatkan Genta untuk meminta maaf pada Radit karena telah lancang menyentuh istrinya. Walau dia yakin, Radit pasti memaklumi pilihan yang ditempuh Arumi.

Atau bisa jadi sebaliknya.

Genta menyergah kemungkinaan buruk itu dan menyalakan sebatang rokok lagi untuk dinikmati.

▪︎▪︎▪︎

Dari hotel, Genta tak langsung pulang ke rumahnya. Genta mengendarai mobilnya menuju arah Serpong. Dia melirik sekilas pada benda yang sudah terbungkus rapi kertas kado berwarna hijau. Hadiah untuk Mika, keponakan satu-satunya yang hari ini berulang tahun ke empat belas.

Waktu berlalu begitu cepat. Sepertinya baru kemarin dia menggendong anak dari almarhum kakaknya itu. Sering kali pula dia harus ikut turun tangan menyuapi Mika, ataupun menenangkannya kala menangis.

Kalau mengenang hal itu, mau tak mau Genta juga akan kembali teringat anggota keluarga lainnya. Momen di mana dia masih bisa merasakan utuhnya sebuah keluarga. Menikmati waktu bersama keluarganya yang bahagia.

SUV berwarna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar rendah. Genta memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, karena sudah ada mobil pemilik rumah yang terparkir di carport yang hanya cukup memuat satu kendaraan.

Genta menggeser pintu pagar yang tidak dikunci, kemudian menutupnya kembali. Dia melewati pekarangan kecil yang dipenuhi pot-pot bunga aneka warna dan tanaman perdu lainnya. Rumah yang jauh dari kesan modern itu memang tidak sebesar rumah keluarga Genta, tapi ada sesuatu yang selalu dia dapatkan ketika berkunjung. Sesuatu yang sudah lama tidak dia peroleh dari keluarganya sendiri.

Genta mengucap salam sembari mengetuk pintu. Tak berapa lama seorang wanita tua membuka pintu dan tersenyum ramah begitu melihatnya.

"Ayo masuk, Mika sudah menunggu kamu," kata Utami yang juga nenek dari Mika. "Kalau Bapak biasalah, jam segini sedang main badminton sama temannya," sambung Utami. Menjelaskan keberadaan suaminya yang sedang tidak ada di rumah.

Genta mengekori Utami masuk ke rumah. Di mana dia menemukan keponakan kesayangannya yang sudah beranjak remaja itu sedang melihat video musik idolanya di Youtube. Walau kurang jelas terlihat, karena terdapat garis-garis hitam pada layar ponselnya.

"BTS lagi, kan," tebak Genta yang membuat Mika sedikit kaget, karena tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya.

"Bukan. Ini X1," terang Mika.

"Oh, beda."

Mika mengangguk. Gadis itu cukup mengerti kalau pamannya tidak bisa membedakan idolanya.

"Selamat ulang tahun, ya," ucap Genta lalu mengecup puncak kepala Mika dan mengeluarkan hadiah yang dibawanya.

"Apa isinya, Om?" Mika meneliti bentuk kotak hadiahnya.

"Kamu buka aja sekarang."

Mika langsung kegirangan begitu tahu isinya adalah sebuah smartphone keluaran terbaru.

"Terima kasih, Om!" seru Mika senang yang spontan langsung memeluk Genta.

Genta tersenyum melihat Mika gembira dengan hadiah yang diberikannya. Bukan tanpa alasan kalau Genta membelikan ponsel untuk Mika. Dia tahu kondisi ponsel keponakannya itu sudah tidak bagus lagi karena pernah terjatuh, yang menyebabkan kerusakan permanen pada layarnya. Tentu saja akan menjadi kurang nyaman kalau ada retakan berwarna hitam yang menghiasi layar.

Namun, Mika tidak pernah mengeluh atau meminta untuk dibelikan ponsel yang baru. Mika cukup paham untuk tidak merepotkan kakek dan neneknya. Mika juga tidak mau meminta pada Genta. Padahal Genta lebih dari mampu untuk membelikan apa saja yang Mika inginkan.

Kakek Mika baru muncul menjelang makan malam. Laki-laki berusia enam puluh lima tahun itu terlihat senang mengetahui Genta ada di rumahnya. Mereka berbincang sebentar sampai Utami menginterupsi obrolan.

"Bapak lebih baik mandi dulu. Nggak enak sama Genta kalau mencium bau badan Bapak yang kecut," saran Utami yang sedang menata piring di meja makan.

"Laki-laki badannya bau kecut wajar, Bu. Kalau badannya selalu wangi itu malah mencurigakan," elak Budiman sambil terkekeh.

"Perempuan lebih suka yang wangi, Pak. Mana ada perempuan yang suka laki-laki bau."

"Tapi Ibu malah suka sama Bapak yang bau ini, kan," canda Budiman lalu bangkit menuruti titah sang istri yang sudah kelihatan gemas.

Genta ikut tersenyum melihat interaksi pasangan yang masih tetap harmonis meski usia sudah merenggut pesona muda dalam diri mereka. Dia menyukai kakek dan nenek Mika, yang juga selalu terbuka menerima kehadirannya dan menganggap Genta selayaknya anak kandung sendiri.

"Gimana enak nggak sup buntut buatan Ibu?" tanya Utami saat mereka sudah duduk bersama untuk menyantap makan malam.

"Enak sekali, Bu. Nggak kalah sama yang pernah aku makan di restoran," puji Genta tak melebih-lebihkan. Masakan mertua kakaknya ini memang selalu enak.

"Yakin kamu Genta? Jujur saja, nggak usah takut kalau Ibu akan tersinggung," kata Budiman yang kontan membuat Utami mencubit lengannya.

"Aduh, Ibu ini kejam sekali sama Bapak. Disiksa terus. Kalian jadi saksinya, ya, kalau Bapak nanti buat laporan ke polisi," selorohnya yang mengundang tawa Genta dan Mika.

Makan malam berlanjut dengan penuh canda dan tawa. Membuat suasana terasa begitu akrab. Hal seperti inilah yang selalu dirindukan Genta akan menyambutnya ketika ia pulang ke rumah, tapi itu mustahil terjadi.

"Om, besok tolong antar Mika ke tempat Papa, ya," pinta Mika tiba-tiba saja langsung menyela obrolan Genta dengan Budiman.

Genta mengangguk. Mika memang selalu mengunjungi makam mama dan papanya di hari kelahirannya.

"Tapi bukan ke makam Papa."

Suasana berubah menjadi hening. Mereka menunggu Mika menjelaskan maksudnya. Berharap banyak kalau yang terlintas di pikiran mereka bukanlah yang dimaksud Mika.

"Antar aku ke tempat terakhir Papa ditemukan."

Tangis Utami pecah seketika. Budiman lalu berinisiatif membimbing istrinya menjauhi meja makan. Isakannya masih terdengar sampai pintu kamar mereka ditutup. Secara tak langsung membiarkan Genta menjawab sendiri permintaan Mika.

Genta masih terdiam memperhatikan Mika yang tetap makan dengan tenang. Seolah permintaannya tadi adalah sesuatu yang biasa saja.

Genta tak pernah mengira kalau Mika sudah mengetahui hal paling buruk yang dialami papanya. Bertahun-tahun mereka berusaha menutup rapat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Genta memang akan menceritakannya suatu hari nanti pada Mika, tapi bukan sekarang. Terlalu cepat bagi remaja ini untuk tahu.

Genta tak tahu harus mengatakan apa pada Mika.

▪︎▪︎☆▪︎▪︎

Oh iya, saya hanya mau mengingatkan sejak awal, bagi teman-teman pembaca yang masih di bawah umur saya harap nggak membaca cerita ini. Karena akan memuat adegan kekerasan, kata-kata kasar, dan juga hal-hal vulgar yang menurut saya hanya khusus untuk orang dewasa (baca Shades Of Cool aja ya aman hehehe... promosi)
.
Jangan lupa beri Vote dan Komentarnya ya 😊
.
Terima kasih ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro