Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Pernikahan

Part 6

Dengan alunan musik yang lembut, Liana memegang tangan Xander sambil berjalan perlahan menyusuri lorong menuju Aaron yang menunggu di bawah lengkungan bunga. Liana bisa mendengar suara isak tangis Xander ketika menyerahkan tangannya pada Aaron. Dan sungguh Liana bisa merasakan ketulusan Xander meski tahu keputusan pria tua itu begitu kejam baginya dan Aidan.

Xander melakukan yang terbaik untuk janji pria tua itu pada kakeknya. Menepati wasiat kakeknya dengan penuh tanggung jawab dan kebijakan. Dan ia juga sangat tahu Xander menyayanginya sama besar seperti yang diberikan pada ketiga cucu kandungnya.

Bagi Liana sendiri, Xander adalah sosok kakek dan orang tua pengganti baginya yang hidup sebatang kara di dunia ini. Xander memberinya keluarga dan kasih sayang yang sudah direnggut sejak ia berumur 14 tahun. Untuk sejenak, Liana menikmati momen yang menyesakkan dadanya. Dipenuhi keharuan dan kebahagiaan akan segala hal yang sudah Xander berikan padanya. Dan bersikap tegar meski ia tak menginginkan pernikahan ini adalah cara terbaik yang bisa Liana berikan untuk membalas segala kebaikan Xander.

Tarikan pelan Aaron menyela momen haru antara Liana dan Xander, Liana mengerjapkan matanya dan membiarkan dirinya dibawa ke hadapan pendeta. Seketika Liana kembali pada kenyataan.

Keduanya saling bertatapan saat janji pernikahan diucapkan. Liana dipenuhi tekad yang kuat untuk menjadikan pernikahan ini sebagai titik balik harapannya bersama Aidan, sedangkan Aaron dengan tatapan kemenangan yang sudah erat berada dalam genggamannya.

Setelah pendeta mengesahkan mereka sebagai pasangan suami istri, dengan tepuk tangan yang meriah dari para tamu undangan yang datang. Aaron menarik pinggang Liana dan mendaratkan ciuman di bibir wanita itu.

Aidan berpaling tepat sebelum bibir pasangan pengantin tersebut bersentuhan. Hatinya benar-benar remuk redam, jantungnya seolah dibetot dari dadanya.

"Kakek mengijinkanmu tidak datang di acara ini," bisik Aarash menepuk pundak Aidan, menyalurkan dukungannya.

"Hanya untuk membuktikan kekalahanku?" desis Aidan membalas. Meski Aidan sendiri tak tahu apakah masih ada kesempatan untuk memenangkan pertandingan ini. Gurat kemarahan yang menggaris di wajah Aidan semakin mengeras ketika Aidan kembali menatap ke arah panggung, tepat saat Aaron melepaskan ciuman dari bibir Liana dan tatapan pria itu bertemu dengannya. Seringai terselip di ujung bibir sang adik, yang membuat Aidan mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Sungguh, jika bukan karena Aarash yang menahan lengannya kuat-kuat untuk mempermalukan diri, Aidan yakin ia sudah naik ke panggung dan menghajar Aaron. Menghancurkan wajah sang adik dan membawa lari Liana.

"Jangan bersikap bodoh, Aidan. Kau tahu berapa banyak pengawal Aaron di sekitar kita," bisik Aarash.

Aidan melirik ke sekitar panggung, juga ke tempatnya dan Aarash berdiri sebagai pengiring pengantin. Aaron benar-benar menjaga ketat mereka dari hal-hal yang bisa mengancam rencana pria itu berakhir dalam kekacauan. Ada banyak pengawal berpakaian serba hitam yang disewa oleh adik sialannya itu, dan kakeknya mengijinkan tindakan pencegahan tersebut. Membuatnya dan Aarash tak bisa berkutik.

Aidan menyentakkan tangan Aarash, tak tahan menyaksikan kemenangan Aaron lebih lama lagi. Ia butuh minuman keras. Sesuatu yang keras yang membuatnya berhenti memikirkan pernikahan yang lepas begitu saja dari genggamannya. Ia pun berbalik dan melangkah pergi.

Kaki Liana sudah terangkat ketika melihat Aidan yang berjalan pergi ketika Aaron menahan pinggangnya. Kemudian pria itu menunduk dan mendekatkan bibir di telinganya. "Mau ke mana, istriku?"

Liana bersumpah mendengar tawa mencemooh dalam kata istriku yang dibisikkan oleh Aaron. Liana membalasnya dengan sorot kebencian yang begitu pekat dalam tatapannya.

Aaron sedikit mengangkat wajahnya, dengan senyum yang tak pernah goyah sejak acara pernikahan dimulai. "Aku tak akan menuntut ucapan selamat dari Aidan, sebagai bentuk empatiku kepadanya sebagai seorang adik yang baik. Apakah itu tidak cukup untuk menghormati masa lalu istriku?"

Segala macam umpatan siap meluncur dan menyembur dari mulut Liana ke wajah Aaron. Tetapi semua terpaksa tertahan ketika Xander dan Sofia naik ke panggung untuk mengucapkan selamat kepada mereka berdua, menyusul Aarash, dan keluarga dekat dan jauh, lalu para tamu undangan.

Acara berlanjut ke acara resepsi, dengan para tamu undangan yang lebih umum. Mulai dari kerabat jauh, teman, klien dan rekan kerja. Semua keluarga besar Xander Group.

Sepanjang acara, Liana tak berhenti mencari keberadaan Aidan dan meresahkan keadaan pria itu. Ditambah kakinya sudah benar-benar pegal berdiri dengan sepatuh hak tinggi serga gaun yang begitu beras dan riasan serta hiasan apa pun yang menempel di kepalanya.

Acara resepsi akhirnya usai setelah jam menunjukkan tepat jam dua belas malam. Liana meninggalkan pelaminan ketika Aaron menyapa beberapa teman pria itu. Menekan nomor Aidan yang masih belum aktif. Namun Liana tak berhenti mencoba dan terus mencobanya di sepanjang perjalanannya menuju kamar hotelnya di lantai tertinggi.

Sesampainya di kamar yang ditata seindah mungkin untuk pasangan pengantin baru tersebut, Liana masih dipenuhi kegelisahan yang semakin menyesakkan dadanya. Liana pun memutuskan untuk menghubungi Aarash.

"Di mana kau? Mama panik mencarimu, kau tiba-tiba menghilang dari pelaminan."

"Aku di atas."

Desahan lega Aarash terdengar, kemudian Liana mendengar suara pria itu yang mengatakan pada seseorang untuk mencari mamanya dan memberitahu tentang keberadaan Liana.

"Kau sendirian? Aku melihat Aaron bicara dengan kakek."

"Ya. Aku ingin mengganti pakaianku dan mencari Aidan. Bisakah kau membantuku dan menungguku di basement? Ah, tidak. Aku tidak bertanya, Aarash. Kau tunggu aku di bawah, sekarang."

"Tunggu, tunggu, Liana. Kau akan apa?"

"Aku tidak melihat Aidan sejak sejak acara pernikahan selesai. Bahkan di sepanjang acara resepsi?"

"Ya, kau harus maklum. Dia butuh waktu untuk menyendiri."

"Aku perlu bicara dengannya."

"Tidak sekarang, Liana."

"Aku tak akan bisa tidur sebelum bicara dengannya."

"Ya, ini malam pertamamu dengan Aaron. Kau memang tidak seharusnya tidur."

Kedua mata Liana seketika membeliak dengan jengkel. "Kami tidak akan melakukan hal semacam itu, Aarash."

Aarash diam sejenak. "Kau yakin?"

"Amat sangat."

"Aku tak akan meragukanmu, Liana. Tetapi Aaron jelas tidak bisa ditebak."

"Tidak ada yang terjadi tadi malam. Dan lagi, aku bukan seleranya."

"Hmmm ... sejujurnya aku ingin memberitahumu satu hal, Liana. Sejak kau muncul di hadapannya dengan pakaian pengantinmu itu, kau sudah menjadi wanita favoritnya. Sekarang. Dia tak akan melewatkanmu. Selamat berhorny moon. Ups ..."

"Hentikan, Aarash."

Aarash terkikih, tetapi kemudian menyadari keterdiaman Liana, pria itu langsung terdiam dan senyum seketika lenyap dari wajahnya. Digantikan keseriusan. "Oke. Aku hanya bercanda."

"Bercandamu sama sekali tidak lucu," sergah Liana dengan jengkel.

Aarash mendesah pelan. "Oke. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Aaron tak mungkin membiarkanmu berkeliaran tengah malam untuk mencari Aidan. Aku yakin dia sudah meletakkan pengawal di depan lift khusus yang menuju ke kamar pengantin baru kalian."

Saat itulah Liana menyadari ketololannya. Mengingat bahwa ia memang melihat dua pria berseragam serba hitam yang berdiri di samping kanan dan kiri lift yang dinaikinya tadi. Erangan penuh sesal lolos di antara bibirnya.

"Aku akan mencari dan memastikannya baik-baik saja untukmu. Apa itu membuatmu merasa lebih baik?"

Liana hanya mendesah pelan, tak punya pilihan selain merasa puas dengan tawaran Aarash. "Sedikit."

"Ada lagi yang kau butuhkan?"

Liana menggeleng meski ia butuh bantuan untuk keluar dari kamar hotel ini. Tahu Aarash pun tak akan membantu. Sepertinya ia harus mengandalkan dirinya sendiri.

Panggilan berakhir, Liana meletakkan ponselnya dan mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Begitu pun segala macam hiasan di kepalanya dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat keluar, ia melihat panggilan tak terjawab dari Aarash dan langsung menghubungi kembali pria itu.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanyanya begitu panggilan tersambung.

"Hmm, ya. Aku mendapatkan kabar dari barista yang sedang melayaninya."

"Di mana? Apa dia baik-baik saja?"

"Ya, di Midnight Club. Sudah menghabiskan gelas ketiga. Sepertinya tak akan pulang sebelum subuh. Dan dia jelas tidak baik-baik saja."

Liana terduduk dengan lemah di pinggiran tempat tidur yang dipenuhi kelopak bunga mawar. Seharusnya ia begitu menikmati keindahan yang berada di sekutarnya, tetapi hatinya terasa begitu pedih memikirkan semua ini seharusnya dinikmati olehnya bersam Aidan.

"Bisakah kau menemaninya untukku?

"Ya, aku baru saja sampai di tempat parkir. Dan tentu saja. Kau bisa tidur dengan nyenyak di pelukan Aaron. Tapi... Kupikir kau tak akan tidur semalaman. Hingga menjelang pagi. Sepanjang pernikahan kau langsung masuk kategori wanita yang wajib ada di ranjangnya." Aarash menggoda lagi.

"Hentikan, Aarash."

"Hm, ya. Tapi, hari ini kau sungguh memesona dan menamparnya keras dengan penampilanmu, Liana."

"Sekali lagi kau bicara, aku akan merobek mulutmu."

Aarash terkikik.

"Bercandamu tidak lucu, Aarash."

"Hmm."

"Kau tak punya mulut."

"Bicara salah, dia pun salah. Wanita selalu benar, ya?" ejek Aarash kemudian.

Mata Liana terpejam dengan jengkel.

"Kau butuh yang lain lagi? Pesan untuk Aidan mungkin?"

Liana terdiam. Ada banyak hal yang butuh ia bicarakan dengan Aidan, tetapi harus ia sampaikan secara langsung. "Pastikan saja Aidan baik-baik saja."

"Siap, tuan putri."

Dan baru saja panggilannya dan Aarash terputus, perhatian Liana teralihkan dari layar ponselnya ke arah pintu kamar hotel yang terbuka. Liana menoleh dan langsung bertatapan dengan manik biru Aaron yang tajam. Untuk beberapa saat yang lama keduanya saling pandang.

Sambil melangkah masuk dan melepaskan jasnya, pandangan Aaron menyusuri penampilan Liana yang berdiri di samping tempat tidur. wanita itu hanya mengenakan Judah mandi dengan rambut yang masih basah. Tanpa mengenakan alas kaki.

Sungguh, Liana jelas bukan wanita yang masuk dalam kategori seleranya yang diijinkannya untuk naik ke tempat tidur. Tetapi ... semua berubah ketika wanita itu menerobos masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan mabuk. Melepaskan pakaiannya karena panas alkohol yang sudah mengambil alih kewarasan wanita itu.

Satu hal yang membuat Aaron takjub. Bagaimana mungkin wanita yang terlihat tak menarik ternyata bisa menjadi begitu panas dan seksi. Membuat Aaron menahan hasrat yang begitu kuat sepanjang malam dengan tubuh telanjang Liana yang berbaring polos di sisinya. Dan malam ini, Aaron tak akan menahan diri lagi.

Liana menelan ludahnya ketika Aaron melangkah semakin dekat. Begitu luasnya kamar mereka, dan pintu kamar mandi berada di sudut yang lain dari tempatnya berdiri dan sofa berada di sisi ruangan yang lain. Tetapi langkah Aaron mengarah lurus kepadanya, dengan sangat perlahan yang membuat Liana diserang kegugupan. Tubuhnya terhuyung ke belakang ketika Aaron melepaskan sabuk dan melemparnya ke lantai. Menyusul dari kupu pria itu yang sudah terurai dan ...

"A-apa yang kau lakukan, Aaron?" Liana tergelagap ketika jemari Aaron mulai melepaskan kancing kemeja teratas, lalu kedua dan kata-kata Aarash mendadak berputar di kepalanya.

"Menidurimu?" jawab Aaron lugas, yang membuat Liana tersedak oleh kegugupannya. Wajah wanita itu merah padam, rasa malu bercampur kemarahan.

"Jangan gila kau, Aaron."

Senyum Aaron naik lebih tinggi dengan tangan pria itu yang bergerak semakin turun. Hingga tak menyisakan satu kancing pun yang tertaut. Dada bidang dan perut berpetak pria itu mulai mengintip di antara kancing-kancing yang sudah berpisah dengan lubangnya. Kemudian tangan Aaron naik ke atas, menjatuhkan kemejanya begitu saja di lantai. "Kita tak mungkin membiarkan apa yang dipikirkan oleh semua orang hanya omong kosong, kan?"

Liana tersentak pelan. "Jadi benar? Tidak ada yang terjadi tadi malam. Aku tidak mungkin mengandung anakmu."

"Kalau begitu tugasku untuk membuat itu menjadi mungkin, kan?"

"Kau menipu semua orang!" jerit Liana dengan marah.

"Kupikir kalian semua sudah tahu itu." Aaron mengerlingkan matanya.

Liana menggenggam erat ponselnya, sudut matanya mulai menelusuri sisi kosong di samping kanan dan kiri Aaron yang berdiri tiga meter di depannya.Jaraknya dan pintu cukup jauh, tetapi mungkin ia bisa mencapainya dengan ...

Rencana di benak Liana bahkan belum sepenuhnya selesai ketika tiba-tiba Aaron menyambar pinggangnya dan menjatuhkannya di tempat tidur. Hanya dalam satu kedipan mata, tubuh besar Aaron menindihnya dan memaku kedua pergelangannya di atas kepala. Merampas ponsel dalam genggaman tangannya dan melemparnya ke lantai.

"Lepaskan, Aaron!"

"Jadi ... apa selanjutnya?" Aaron sengaja menyisakan jarak setipis mungkin di antara wajah mereka. Membiarkan napasnya berhembus di permukaan wajah Liana yang membuat wanita itu semakin merah padam.

"Yang jelas tidak seperti yang ada di kepalamu, Aaron."

"Oh ya?" Aaron terkekeh. Satu tangannya yang lain bergerak menarik simpul tali jubah Liana. "Aku suka wanita yang pemalu," gemasnya dengan sorot yang gelap dan licik.

"Hentikan, Aaron," desis Liana. Napasnya tersengal oleh tindihan berat tubub Aaron. Wajah Aaron begitu mirip dengan Aidan, dan bagaimana mungkin Liana bisa membenci sekaligus mencintai wajah ini di saat yang bersamaan. Aidan dan Aaron jelas memiliki kepribadian yang jauh berbeda.

"Kau yakin?" Tangan Aaron menurunkan kerah jubah Liana. Liana meronta, yang membuat Aaron semakin mudah menelanjangi wanita itu. "Kau ingin cara yang kasar, ya?" Aaron memberi tekanan yang lebih demi menahan rontaan Liana. Tak cukup kuat tapi juga tak cukup longgar. Sengaja membiarkan Liana kehabisan tenaga dan menyerah.

Tak lebih dari lima menit, wanita itu sudah kewalahan dan dengan wajah merananya, tak berdaya di bawah tubuhnya. "Semalam kau tak ingat apa yang sudah kau lakukan padaku, kan?"

Napas Liana terengah. Sungguh, ia ingin menangis. Tetapi kelicikan Aaron jelas akan semakin menindasnya. Dan ya, ia memang tak ingat apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Aaron hingga berakhir telanjang di tempat tidur pria itu.

"Sekarang aku akan membuatmu mengingat setiap detail keintiman kita tadi malam." Seringai di bibir Aaron tersungging semakin gelap. "Aku akan membuatnya menjadi lebih panas dari yang kau berikan padaku tadi malam. Sebagai ucapan terima kasih. Untuk istriku yang tercinta."

****

Cerita ini udah tamat di Fizzo, ya. GRATIS sampai end plus extra part

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro